Akan ada masa kita menyesal pada apa yang telah terjadi. Itulah sebab, pentingnya memikirkan dengan baik sebelum menentukan pilihan. Menghindari penjara berupa “andai-andai” yang tak mungkin terulang lagi.
Tepat pukul sebelas malamnya, kajian walimah selesai. Setelah seharian hatinya terguncang oleh pertemuan dengan Ali, Nadya memutuskan pulang. Dia beruntung karena Tasya biasanya akan rewel jika tidur bukan di rumahnya, dan kini dia memiliki alasan pulang.
“Nggak nginep aja, Nduk?” Dinar bertanya penuh harap.
“Maunya, Bu, tapi tahu kan, Tasya susah tidur di tempat asing.”
Dinar mengangguk. Meski firasatnya sebagai orang tua terlalu terasah untuk dibohongi setelah melihat mata sembab putrinya lagi sejak bertemu Ali. Dinar tahu itu. Tak hanya itu, dia juga sempat melihat Ali menyusul Nadya duduk di teras, beberapa jam lalu.
Dan memang di sanalah. Tepat di halaman rumah tak jauh dari rumah mertua Dinar, seorang lelaki tengah diam-diam memandang putrinya di balik gelapnya malam. Pemuda berhati lembut yang harus menyesali keterlambatannya memperjuangkan cinta dan berakhir dengan patah hati tak berujung.
Ali.
“Sedang apa, Nak?” tanya Bu Roro yang tiba-tiba muncul dari balik pintu, mengejutkan putra sulungnya yang tengah menatap jauh.
Ali terenyak. Buru-buru dia berpaling dari sekumpulan orang yang tengah berpamitan di halaman rumah Minarti. Laki-laki itu menatap sekilas sang ibu, sebelum kembali berpaling ke arah lain.
“Cari angin, Bu,” jawabnya, “Ibu kenapa belum tidur?” Ali balik bertanya. Laki-laki itu bangkit, mendekati sang ibu yang kedapatan menoleh ke arah teras Minarti. Lalu mendorong pundaknya perlahan, memaksanya berbalik dan kembali masuk.
“Nadya, ‘kan?” tebak Roro akhirnya.
Ali tak langsung menjawab. Lalu berakhir dengan gelengan saat melihat sang ibu memandangnya dengan tatapan menuntut.
“Jangan bohong, kamu, Al. Ibu lihat kamu bawa anaknya siang tadi.”
Ali menghela napas dalam, “Apa nggak ada yang bisa Ali sembunyikan dari Ibu?” tanyanya putus asa seraya menjatuhkan diri di atas kursi. Tangan kirinya meraih bantal busa cream lalu menggunakannya sebagai bantalan kepala.
“Ali, mereka sudah bahagia,” jelas Roro sekali lagi, setelah entah sudah berapa kali.
“Ali tahu, Ibu.” Ali memejamkan mata.
“Lalu, kamu kapan?”
Tak ada jawaban. Setelahnya Ali memilih bungkam karena Roro akan mengungkit semua nama gadis yang pernah dia kenalkan dan tak satu pun dari mereka tertarik dia dekati.
Sebaliknya benaknya justru menerawang jauh pada perempuan berambut panjang tergerai itu. Perempuan yang dia sadari masih menyimpan cinta begitu dalam. Dan kini, dia mulai menyesal telah menolak membawanya lari kala itu.
***
Usai menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya melangkah menuju dapur karena mencium aroma kopi. Benar saja, Pramono tengah berdiri di tepian kabin kompor, dengan dua cangkir kopi di depannya. Satu yang pekat untuk dirinya sendiri dan satu lagi Nadya tahu betul untuk siapa.
“Belum ngantuk, Mas?” Nadya mendekat dan menarik satu kursi.
“Belum, Mas masih mau ngobrol banyak sama kamu.”
Nadya mengulum senyum. “Kalo gitu ke sofa aja yuk. Kita sambil nonton film.”
Nadya beranjak setelah meraih satu gelas dari meja dapur dan meletakkannya di meja ruang tengah. Dia kemudian melangkah ke kamar untuk mengganti pakaian dengan yang lebih nyaman.
Sebuah dress rayon dengan potongan dada berbentuk V dan elastic di belakangnya, menjadi pilihan Nadya kali ini. Itu gaun favorit Pramono karena menampakkan dengan sempurna lekuk tubuh Nadya.
Urung bangkit, Nadya menunduk saat tiba-tiba dadanya terasa nyeri. Desir-desir halus muncul seiring hadirnya wajah Ali yang tengah tersenyum, terlintas begitu saja dalam benak.
‘Astaga.’
Nadya memejam demi menyingkirkan bayangan itu. Pandangannya lalu tertuju pada parfum di meja. Meraih lalu meletakkannya kembali setelah menyemprotkannya ke tubuh. Lalu pada lipstik warna merah menyala dan mengulaskannya sedikit tebal ke bibir.
Rambut yang semula terikat, dia urai dan mengacaknya sedikit. Dengan frustrasi, setengahnya karena merasa usahanya menyingkirkan Ali dari benak tak membuahkan hasil, Nadya bangkit dan melangkah buru-buru keluar.
Di ruang tengah, Pramono sudah asyik dengan filmnya. Ruang tamu mendadak berubah seperti bioskop. Layar besar di depan sana memancarkan cahaya dari film yang sedang ditonton.
Nadya menggeleng saat melihat sekilas film apa yang tengah diputar. Horor adalah temanya. Tapi adegan di dalamnya justru memperlihatkan betapa dewasa film itu.
Setiba di sofa, Nadya menyusul duduk dengan kaki menyilang. Menampakkan paha bersihnya tanpa dia sadari. Kemudian meraih cangkir di meja dan mulai menyesap isinya sedikit.
Aroma kopi semakin menguat sesaat setelah cairan kental itu masuk ke kerongkongan. Nikmat. Nadya menyukainya.
“Udah baikkan?” Pramono memulai.
Pertanyaan dari suaminya justru membuat Nadya terenyak. Lalu memicing pada detik berikutnya. “Baikkan?”
Pramono mengangguk. “Mas lihat kamu pucat, Mas kira nggak enak badan.”
Menyadari kekhawatiran sang suami, Nadya tersenyum malu. “Cuma capek, Mas.” Dia bohong lagi.
Laki-laki di samping Nadya menoleh. Dipandanginya wajah sang istri lekat. Bias cahaya dari layar besar itu membuat kulit yang memang sudah bersih semakin berkilau. Salah satu alasan Pramono merasa begitu beruntung mendapatkan Nadya meski tahu mustahil Nadya tak memiliki penggemar kala itu.
Mengabaikan layar televisi di depan sana, Pramono mendekatkan wajah ke arah istrinya.
Nadya tahu betul gelagat itu. Nadya masih diam, sebelum—entah bagaimana bayangan Ali tiba-tiba menyelinap, lagi. Membuatnya memalingkan muka tanpa disadari.
Pramono tertegun sesaat. Sorot penuh tanya tampak jelas di matanya. Tangan kirinya meraih wajah Nadya, dan kembali mendekat. Nadya memejam.
Pramono mulai bergerilya. Nadya menggeliat setiap kali bibir tipis suaminya melekat di kulit.
Seperti dendam kesumat. Malam itu Pramono beringas melampiaskan semua hasrat yang terjeda.
***
Pramono mengenakan lagi pakaiannya. Sementara Nadya memilih berselimut membelakanginya. Sebuah kecupan melayang di pipi disusul pelukan dari belakang.
Nadya menghela napas dalam. Berharap sesak yang sejak tadi bersarang segera berlalu dari relungnya.
Perjumpaan dengan Ali menggelincirkan ingatan Nadya kembali pada kenangan lama, entah untuk kali berapa. Menjerembapkan dirinya ke dalam luka, yang baru disadari belum sembuh sepenuhnya. Hingga tanpa terasa air matanya mulai menitik. Kian deras seiring detik berlalu.
‘Aduhai .... Aku bukan perempuan jalang. Tetapi bagaimana bisa ragaku melayani Pramono sedang benakku memikirkan Ali?’
Nadya terisak saat mengingat dirinya merasa menjadi penghianat ulung kehidupan indah dambaan setiap wanita.
“Kenapa, Dek?” Tiba-tiba Pramono bertanya. Nadya lupa soal isak yang biasanya membuat tubuh berguncang.
Tak ingin suaminya curiga, dihapusnya air mata cepat. “Nggak apa-apa, Mas, cuma ... capek,” jawabnya karena memang benar-benar lelah. Seharian, hatinya dirundung gelisah dan malamnya dia menjadi jalang di hadapan suami sendiri.
Pramono bangkit. Dia berjalan ke luar, lalu kembali dengan segelas air di tangan. “Minumlah,” ucapnya seraya mengulurkan air itu pada Nadya.
Nadya menerima gelas itu, lalu meneguk isinya hingga tandas.
Di depannya Pramono memandang dengan wajah dipenuhi rasa bersalah. “Maaf. Harusnya tadi kamu bilang kalau ...” ucapnya.
Merasa meminta hak di waktu yang tidak tepat, Nadya tahu, Pramono menyesal.
Perempuan itu menatap kedua mata teduh di hadapannya. Lalu seketika pandangannya kembali berembun. Lihat, meski hanya dalam benak, bagaimana bisa seseorang mengkhianati laki-laki sebaik dia?
Nadya menggeleng. “Maaf, Mas.”
“Maaf kenapa?” Pramono menyimak.
Tangannya membetulkan letak selimut Nadya, menutupi punggung yang terbuka. Lalu menyibak helaian rambut yang menutup sisi wajah ke belakang, melewati bahu.
Kali ini, Nadya menunduk. “Buat ... semuanya,” lanjutnya terdengar begitu berat.
Tak mengerti dengan sikap istrinya yang tak biasa, Pramono menatapnya lekat. “Kamu beneran hamil kali, Dek? Kita periksa besok, ya?”
Nadya kembali menggeleng. “Mas, ‘kan besok harus pergi,” cegahnya, “maaf, Insya Allah nggak apa-apa. Aku cuma capek aja kok.”
Pramono menghirup napas dalam, tanpa menoleh sedikit pun dari istrinya. “Ini ... bukan gara-gara ...” kalimatnya menggantung.
Laki-laki itu kemudian membuang pandang di antara helaan napas berat, “Lupakan. Tidur, yuk. Besok Mas harus berangkat pagi. Mana tenang kalau keadaan kamu begini?” ujarnya sambil mengusap pipi Nadya dengan ibu jari.
To be continue ...
Matahari sudah terik. Waktu menunjukkan pukul satu siang saat Nadya menyelesaikan pekerjaannya di dapur dan duduk di ruang tengah bersama Tasya yang asyik memainkan legonya dengan lesu. “Bobo yuk, Dek?” tanya Nadya. Bocah itu menggeleng. Sebaliknya dia justru bertanya, “Ma, Papa kapan pulang?” Mainan yang semula dia mainkan, kini hanya dipukul-pukulkan ke lantai. “Nanti kalo kerjaan Papa dah selesai, Dek,” jawab Nadya sembari memijat pelipisnya. Matanya terpejam, mencoba mengistirahatkan diri. Tak ada yang memaksanya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sulit baginya untuk benar-benar santai menyadari dirinya belum berberes rumah. Itulah yang membuatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah, meski tak ada yang meminta. “Papa lama! Kenapa Papa nggak ngajak Asya?” ucapnya lagi. Bibir mungil itu mulai mengerucut. “Karena Papa sekarang kerjanya pindah-pindah. Jadi kasihan Tasya kalo ikut.” Nadya mendesah lelah. Kadang-kadang pertanyaan kritis putrinya sedikit menyebalkan. “Tapi Tasya mau
“Halo, Al,” Pramono menyapa Ali yang kedapatan tengah duduk sendirian di jajaran kursi tamu yang hampir kosong. Sebagian besar tamu sudah meninggalkan acara, menyisakan beberapa orang saja. Ali menoleh. “Yo.” “Sendirian aja?” Pram kembali bertanya. Lalu menyusul duduk di samping Ali setelah meraih satu gelas teh hangat di meja tak jauh dari mereka. Ali mengangguk. Di tangannya ponsel masih menyala. Dan segera dia masukkan ke saku. Pramono yakin dia sempat melihat foto seorang bocah bergaun putih dengan rambut terikat, yang diambil dari arah samping. Sekilas, tampak mirip Tasya. “Thanks, tadi sudah membawa Tasya main.” Pramono meletakkan teh yang baru disesapnya ke atas meja, “tak menyangka, Tasya akan secepat itu akrab dengan orang asing.” Ali mengangguk samar. “Bukan masalah. Tasya anak penurut, walaupun sedikit keras kepala.” Ali menarik sebelah bibirnya. “Persis seseorang.” Pramono sempat menangkap ekspresi itu. Dan itu sedikit mengganggunya. Tepatnya, pada kalimat, ‘persis
Pintu terbuka. Hal pertama yang terlihat adalah sorot teduh di bawah topi hitam. Dahi lebar. Alis tebal. Hidung mancung. Bibir tipis lengkap dengan senyumnya yang meski samar, namun Nadya bisa melihatnya dengan jelas. Rahang tegas dengan jenggot tipis yang terarsir, menambah gagah sosok Ali yang Nadya kenal dulu. Menawan. Terutama kedua mata yang hampir selalu menyipit saat tersenyum, namun entah bagaimana bagi Nadya justru bagai lautan dalam yang siap menenggelamkan kapan saja. Nadya berdengap. Dia nyaris kehabisan napas setiap kali memandang wajah itu, dulu. Dan, bagaimana mungkin hal yang sama terjadi lagi sekarang? “Uncle ...” Tasya memanggil. Ali menoleh. Nadya tergagap. Panggilan Tasya seketika memecah keheningan di antara mereka. Nadya nyaris lupa ada Tasya di antara mereka. Tak butuh waktu lama untuk Tasya berada dalam gendongan Ali. Sebuah kecupan mendarat di pipinya, bocah itu tergelak akibat rasa geli. Ali kembali memandang Nadya dengan senyum samar. Seakan pertemuan
“Jadi, apa boleh kubawa Tasya?” Nadya berpaling. Jelas saja tidak. Dan Ali tahu itu. “Aku dibayar untuk menjaga anakmu, suka atau tidak suka.” Nadya mendengkus. Dia bangkit. Mengabaikan pening yang berdenyut setiap kali melangkah, Nadya berjalan memasuki kamar dan duduk di tepian ranjang dengan kedua tangan mengepal. Hatinya geram menerka apa yang sebenarnya Pramono pikirkan. Membiarkan laki-laki lain datang saat istri sendirian di rumah, apa dia sudah gila? Nadya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja rias, dan mulai menggulirkan ibu jari mencari nama kontak orang yang belum lama meneleponnya tadi. Nada sambung mendengung berkali-kali. Pramono tak kunjung mengangkatnya. Hingga pada putaran ke enam, terdengar sapaan salam di ujung sana. “Assalamualaikum, ada apa, Sayang. Mas lag—“ Belum selesai Pramono mengucap, Nadya memotongnya, “Apa Mas gila?” ucapnya ketus. Gerahamnya beradu. Debar jantungnya berkejaran. Begitu marah sampai tubuhnya bergetar. “Dek, kenapa kok tiba-tiba
Nadya tersentak bangun saat antara sadar dan tidak dia merasa seseorang baru saja keluar dari kamarnya. Seiring kesadaran yang mulai terkumpul, pandangannya mengedar. Tak ada siapa pun di sana. Artinya, itu hanya perasaannya saja. Namun prasangka itu segera lenyap, tepat ketika pandangannya tertuju pada pintu kamar. Dia yakin benar, tidak betul-betul menutupnya tadi. Lalu, benarkah ada seseorang? Siapa? Mas Pram kah? Nadya bertanya-tanya. Tepat ketika menurunkan kakinya dari ranjang, Nadya menyadari sebuah selimut telah menutupinya. Kini dia yakin, seseorang memang baru keluar dari kamarnya. Nadya mengusap wajah. Dia merasa, hanya terlelap sebentar. ‘Jam berapa sekarang?’ Gelisah, Nadya melangkah turun. Cahaya berdenyar, memenuhi ruangan sesaat setelah ditekannya sakelar lampu. Wajah yang semula sedikit segar, seketika berubah pias begitu menoleh ke dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Dua jam sudah dia tertidur. Dan itu jelas bukan waktu yang singkat. ‘Astaga,
“Asya mau ikut Uncle.” Ali mengulum senyum saat terlintas lagi bayangan Tasya yang merengek meminta ikut dengannya. Bagaimana bahagianya diinginkan seorang anak mendadak memenuhi hati, menagih rasa untuk juga memiliki. Bagaimana bisa dia jatuh cinta pada anak yang bukan darah dagingnya? Apa karena ada bagian dari Nadya di sana? Ali memarkirkan mobilnya. Tepat setelah dia melangkah keluar dan berbelok menuju, seorang wanita muncul di depannya. “Dari mana, Al?” Andini. Langkah Ali terhenti. Pandangannya memindai wanita itu sesaat sebelum mencoba melewatinya. “Aku menunggumu hampir satu jam.” Wanita itu menahan lengan Ali. Ali menghela membuang napas kasar. “Tak ada yang menyuruhmu menunggu, bukan?” “Ibu yang nyuruh,” sahut Roro dari arah pintu. “Bukan kebiasaanmu pulang terlambat. Dari mana kamu, Al?” “Ada urusan, Bu.” Ali menarik lengannya dari cekalan Andini dan melanjutkan langkah masuk. Namun, langkahnya kembali terhenti saat mendengar ibunya bertanya: “Jadi baby sitter Tas
Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore dan belum ada tanda-tanda tamu undangan Nadya akan datang. Dilihatnya deretan makanan di meja yang sengaja dipesan delivery agar lebih praktis dan hemat waktu. Lagi pula, daripada jamuan, sepertinya, Nadya lebih butuh persiapan mental untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi. Bersatunya dua hati, mungkin. Nadya menghela napas dalam sekali lagi. Serakah, barangkali itulah sebutan yang tepat ditujukan padanya, saat satu sisi hatinya tak rela dengan niat mengenalkan Ali pada Annisa. Tapi di sisi lain, dia tak ingin rumah tangganya berantakan hanya karena pikiran dan hati yang kini mulai memihak. Tak peduli kalau pun ada alat pengukur kadar cinta dan cintanya lebih besar pada Ali, fakta bahwa Pramono adalah suaminya dan di rumah tangga mereka ada Tasya yang harus dia prioritaskan dengan segenap kesadaran, tidak bisa diabaikan. Tok-tok! Suara ketukan seketika mengalihkan perhatian Nadya pada gadis kecil dengan lego di depannya. Ternyata Ta
Andai ada aku yang lain, aku pun tak rela menyerahkanmu pada yang lain. -Nadya Arfianti — Ali menenggak minuman bersoda di depannya seperti orang kehausan. Lalu meletakkannya kembali dengan sedikit tekanan. Annisa tersentak kaget, dan menatap bingung laki-laki itu dan Nadya bergantian. “Baiklah, ayo, Sa.” Ali bangkit. “Ya? K—kemana?” tanya gadis itu. “Kemana pun, mewujudkan keinginan kakakmu itu.” Ali menatap Nadya dingin bersamaan dengan tatapan bingung Annisa pada orang yang sama. Nadya mengangguk, isyarat agar Annisa setuju. “Uncle, Uncle, Asya ikut,” rengek bocah di sebelah Ali yang diam-diam menguping mereka. Ali memandang Tasya sesaat lalu menarik bibirnya samar. “Boleh.” Diraihnya bocah empat setengah tahun itu. Sebuah kecupan mesra mendarat di pipinya. Ali melangkah keluar membawa serta Tasya dalam dekapan. Nadya berpaling pada Annisa, menggenggam tangannya erat. “Gih, Sa. Tolong jaga Tasya.” “Tapi, Mbak ...” “Ali laki-laki baik. Kamu lihat sikapnya ke Tasya, ‘kan
Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,
“Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra
Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j
“Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem
“Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru
Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan