Matahari sudah terik. Waktu menunjukkan pukul satu siang saat Nadya menyelesaikan pekerjaannya di dapur dan duduk di ruang tengah bersama Tasya yang asyik memainkan legonya dengan lesu.
“Bobo yuk, Dek?” tanya Nadya.
Bocah itu menggeleng. Sebaliknya dia justru bertanya, “Ma, Papa kapan pulang?” Mainan yang semula dia mainkan, kini hanya dipukul-pukulkan ke lantai.
“Nanti kalo kerjaan Papa dah selesai, Dek,” jawab Nadya sembari memijat pelipisnya. Matanya terpejam, mencoba mengistirahatkan diri. Tak ada yang memaksanya mengerjakan pekerjaan rumah. Namun, sulit baginya untuk benar-benar santai menyadari dirinya belum berberes rumah. Itulah yang membuatnya harus mengerjakan pekerjaan rumah, meski tak ada yang meminta.
“Papa lama! Kenapa Papa nggak ngajak Asya?” ucapnya lagi. Bibir mungil itu mulai mengerucut.
“Karena Papa sekarang kerjanya pindah-pindah. Jadi kasihan Tasya kalo ikut.” Nadya mendesah lelah. Kadang-kadang pertanyaan kritis putrinya sedikit menyebalkan.
“Tapi Tasya mau sama Papa!”
“Iya ... nanti kalo Papa pulang, ya.”
“Tapi, Asya maunya sekarang!” Bocah itu memulai, “Nggak asik! Nggak asik!” pekiknya.
“Sya ....” Nadya mendesah.
“Asya mau sama Papa!” Tasya melempar satu mainannya hingga mencuat cukup jauh.
Nadya terenyak. Dia nyaris terpancing emosi kalau saja tak ingat dengan siapa dia bicara.
Nadya menghela napas. Mengabaikannya.
Baru tiga hari Pramono pergi, Nadya mulai sadar betapa lelahnya mengurus anak dan rumah sendirian. Pekerjaan rumah yang semula dikerjakan bersama, mendadak terasa dua kali lipat banyaknya selama suaminya tak di rumah. Ditambah rengekan Tasya yang berkali-kali tantrum menanyakan sang ayah. Menuntut papanya pulang disertai teriakan histeris. Menekannya pada titik terendah pertahanan diri. Nadya mulai tumbang. Sakit.
Nadya mengakui, dekatnya jarak dengan suami selama ini, menempatkannya pada zona nyaman. Di mana pun, kapan pun dia butuh, Pramono akan sigap turun tangan. Memperlakukannya laiknya ratu.
Pun dalam pengasuhan Tasya. Dengan dasar alasan, kedekatan anak perempuan dengan sang ayah akan membentuk karakter kuat dalam diri anak, menjadikan Nadya lupa—bahwa mungkin akan ada masa seseorang harus jauh dari sosok laki-laki seperti sekarang ini. Karier Pramono yang mulai menanjak, memaksanya pergi ke tempat-tempat baru yang lumayan memakan waktu.
Berada di zona nyaman, menjadikan Nadya nyaris lupa bagaimana cara menghadapi anak sendiri. Hampir satu jam Tasya menangis, dan dia tak tahu bagaimana membuatnya diam. Buntu.
“Asya!” Habis sabar, Nadya meninggikan nada suaranya. Usahanya sukses membuat bocah itu diam dalam sekejap karena terkejut. Namun justru menangis lebih keras.
“Mama udah bilang, Papa belum pulang! Tasya ngerti dong, mama capek, nih!”
“Kalo gitu Asya mau main sama Uncle!” teriaknya akhirnya.
“Apa?” Nadya terpaku. Kedua matanya nyaris keluar saking terkejutnya. Bahunya luruh. “Astaghfirullaah.”
“Asya mau sama Uncle! Sama Uncle! Sama Uncle!”
Nadya membuang muka. Lalu mengusap kepala yang terasa kian berdenyut seiring upaya menahan diri dari luapan emosi. Tak masalah jika dia menangis menanyakan sang ayah yang tak di rumah. Masalahnya, kenapa harus Ali?
Pertanyaan itu mendadak memenuhi tempurung kepala Nadya. Demi alasan apa pun dia tak akan mengizinkan laki-laki itu memasuki rumahnya. Apa kata suami dan tetangga nanti? Hal menarik apa yang membuat laki-laki itu menjadi pilihan lebih baik daripada ibunya sendiri?
Putus asa, dibiarkannya Tasya menangis hingga puas. Itu lebih baik daripada meminta bertemu dengan orang yang bahkan ingin dia hindari.
Nadya menoleh saat Tasya kembali berteriak di antara tangisannya. Beberapa barang dia lempar, berserakan, nyaris memenuhi lantai.
“Mama Nakal! Mama Nakal!”
Nadya menarik napas dalam. Berusaha menghadirkan kesadaran penuh, karena itulah yang dibutuhkan dalam pengasuhan anak.
Tak bisa dipungkiri, ketika emosi orang tua tidak stabil, maka begitu pula yang terjadi pada anak di bawah tujuh tahun. Tapi, bagaimana bisa stabil, saat kelelahan dan tekanan mendera secara bersamaan? Nadya berharap, suaminya di rumah ... dia paling tahu cara membuat Tasya tenang.
Nadya menoleh. Dilihatnya bocah itu masih menangis. Saat kelelahan, sering kali hati menjadi lebih sensitif dari biasanya. Satu sisi hatinya merasa marah. Sisi hati yang lain, kasihan.
Namun, bukan ibu namanya kalau rasa kesal menahan hati untuk mengasihi. Tak tega melihat wajah sembab putrinya, Nadya mendekat.
“Dek, papa kan, kerja. Nggak bisa pulang sekarang.” Masih memegangi sebelah kepalanya, Nadya berusaha membuat Tasya mengerti.
Sialnya, bujukan demi bujukan tak juga membuat Tasya paham dan diam. Bocah itu masih menjawab dengan tangisan dan kalimat yang sama: “Mama Nakal!”
Penat dan bising, membuat Nadya merindukan istirahat. “Astaghfirullaah, terus maunya Tasya apa? Mama capek dengar kamu nangis! Mama pusing, Dek!” bentaknya, sekali lagi tersulut emosi.
Alih-alih diam, tangisnya justru kian histeris. Tak hanya melempar barang barang, kali ini dia bahkan berguling di lantai.
Nadya menjatuhkan dirinya di lantai. Dia tahu, saat anak Tantrum, sikap orang tua seharusnya memberi kesempatan. Tapi itu sudah terlalu lama. Nadya merasa kelelahan mendengar suara bising saat kondisi tubuh sedang tak baik-baik saja.
Pandangan Nadya tertuju ke meja, saat ponsel terdengar berdering. Mengabaikan pening di kepala, Nadya bangkit dan meraih ponsel itu.
“Ya, Mas?” jawabnya.
“Lagi apa, Sayang?” tanya suara di ujung sana, lembut seperti biasanya.
“Mama Nakal! Mama Nakal!”
Belum sempat Nadya menjawab, Tasya kembali berteriak memecah konsentrasi untuk menjawab pertanyaan di ujung sambungan telepon. Memancing Pramono untuk bertanya, “Tasya kenapa, Dek?”
Nadya terisak. Habis sabar, Nadya meluapkan semuanya pada laki-laki itu. Tentang keadaan, keletihan, juga Tasya.
“Maaf, Mas, aku capek. Tasya ngamuk terus dari tadi. Mas kapan pulang sih?”
Terdengar helaan napas dalam di ujung sambungan telepon. “Biar Mas yang ngomong sama Tasya.”
Nadya menyerahkan ponsel itu pada putrinya. Untunglah anak itu menurut. Ponsel diberikan dan bocah itu mulai tenang, menyimak suara di ujung sana.
“Mama nakal,” ucap Tasya singkat, sebelum kembali diam dengan wajah menunduk. Isak-isak pelan masih terdengar.
—
“Main sama papa,” ucapnya lagi.
—
“Nggak mau!” sahutnya dengan sedikit tekanan. Tangisnya nyaris pecah kembali sebelum reda entah dengan kalimat apa di ujung sana.
—
Detik berikutnya, setelah diam beberapa saat, dia kembali berucap, “Mama nakal! Tasya mau sama Uncle Ali,” ucapnya lagi.
—
Mendengar nama itu, gelisah mendadak menyerang hati Nadya. Tapi, itu belum seberapa dibanding ketakjuban melihat Tasya langsung tenang setelah bicara dengan sang ayah.
Seketika dia merasa seperti manusia bodoh yang kehilangan akal sampai tak terpikir menelepon suaminya.
***
Nadya meletakkan kepalanya di sandaran sofa cream tak jauh dari Tasya. Memijit kepala di tengah aktivitas memperhatikan bocah yang tengah asyik bermain lego, membentuknya menjadi hewan.
“Papa bilang, Uncle Ali mau ke sini, Ma,” ucap Tasya sambil lalu.
Nadya terkekeh. Bukan pada ucapan itu, tapi untuk pikiran yang mengira Pramono menggunakan kebohongan untuk menenangkan putrinya. Lalu menggeleng heran, karena hal sesederhana itu tak terpikirkan olehnya.
“Oya?” sahut Nadya, menarik bibirnya tipis. Mendengarkan apa pun celoteh Tasya, asal dia tenang. Asal dia senang.
Namun ... itu tadi, sebelum deru mesin mobil terdengar di halaman. Pandangan Nadya tertuju pada pintu utama rumah mereka, lalu berpaling psda Tasya yang memandangnya dengan tatapan tak mengerti.
Gelisah karena merasa kalimat putrinya mulai benar, Nadya bangkit. Dia melangkah ke jendela, untuk memsendirinya sendiri.
Itu bukan mobil Pramono. Lalu mobil siapa?
Nadya masih berdiri di tepi jendela menunggu seseorang yang mungkin akan keluar dari kendaraan itu.
Nadya membelalakkan mata. Dan, bagai guntur yang menggelegar, debar jantung Nadya mendadak gaduh. Tubuhnya memanas, mendapati yang keluar dari mobil itu adalah Ali.
Nadya menoleh pada Tasya di tengah ruangan. Dia segera ingat kata-kata Tasya belum lama tadi dan mulai membenarkannya. Seketika muncul pula prasangka bahwa suaminyalah yang melakukan ini.
‘Apa dia gila?’
Tapi, bagaimana Pramono cara menghubungi Ali?
Nadya menggeleng ketika menyadari kemungkinan itu sangat kecil. Kerutan di dahinya semakin dalam karena benaknya dipenuhi tanya, ada urusan apa Ali sampai datang? Sudah kehilangan akalkah dia sampai berani datang ke rumah perempuan bersuami?
Detik berikutnya, terdengar seseorang mengucap salam. Belum sampai pintu dibuka, Tasya sudah berteriak, “Uncle ... !”
Nadya menepuk jidat dan mengumpat dalam hati.
To be continue ...
“Halo, Al,” Pramono menyapa Ali yang kedapatan tengah duduk sendirian di jajaran kursi tamu yang hampir kosong. Sebagian besar tamu sudah meninggalkan acara, menyisakan beberapa orang saja. Ali menoleh. “Yo.” “Sendirian aja?” Pram kembali bertanya. Lalu menyusul duduk di samping Ali setelah meraih satu gelas teh hangat di meja tak jauh dari mereka. Ali mengangguk. Di tangannya ponsel masih menyala. Dan segera dia masukkan ke saku. Pramono yakin dia sempat melihat foto seorang bocah bergaun putih dengan rambut terikat, yang diambil dari arah samping. Sekilas, tampak mirip Tasya. “Thanks, tadi sudah membawa Tasya main.” Pramono meletakkan teh yang baru disesapnya ke atas meja, “tak menyangka, Tasya akan secepat itu akrab dengan orang asing.” Ali mengangguk samar. “Bukan masalah. Tasya anak penurut, walaupun sedikit keras kepala.” Ali menarik sebelah bibirnya. “Persis seseorang.” Pramono sempat menangkap ekspresi itu. Dan itu sedikit mengganggunya. Tepatnya, pada kalimat, ‘persis
Pintu terbuka. Hal pertama yang terlihat adalah sorot teduh di bawah topi hitam. Dahi lebar. Alis tebal. Hidung mancung. Bibir tipis lengkap dengan senyumnya yang meski samar, namun Nadya bisa melihatnya dengan jelas. Rahang tegas dengan jenggot tipis yang terarsir, menambah gagah sosok Ali yang Nadya kenal dulu. Menawan. Terutama kedua mata yang hampir selalu menyipit saat tersenyum, namun entah bagaimana bagi Nadya justru bagai lautan dalam yang siap menenggelamkan kapan saja. Nadya berdengap. Dia nyaris kehabisan napas setiap kali memandang wajah itu, dulu. Dan, bagaimana mungkin hal yang sama terjadi lagi sekarang? “Uncle ...” Tasya memanggil. Ali menoleh. Nadya tergagap. Panggilan Tasya seketika memecah keheningan di antara mereka. Nadya nyaris lupa ada Tasya di antara mereka. Tak butuh waktu lama untuk Tasya berada dalam gendongan Ali. Sebuah kecupan mendarat di pipinya, bocah itu tergelak akibat rasa geli. Ali kembali memandang Nadya dengan senyum samar. Seakan pertemuan
“Jadi, apa boleh kubawa Tasya?” Nadya berpaling. Jelas saja tidak. Dan Ali tahu itu. “Aku dibayar untuk menjaga anakmu, suka atau tidak suka.” Nadya mendengkus. Dia bangkit. Mengabaikan pening yang berdenyut setiap kali melangkah, Nadya berjalan memasuki kamar dan duduk di tepian ranjang dengan kedua tangan mengepal. Hatinya geram menerka apa yang sebenarnya Pramono pikirkan. Membiarkan laki-laki lain datang saat istri sendirian di rumah, apa dia sudah gila? Nadya meraih ponsel yang tergeletak di atas meja rias, dan mulai menggulirkan ibu jari mencari nama kontak orang yang belum lama meneleponnya tadi. Nada sambung mendengung berkali-kali. Pramono tak kunjung mengangkatnya. Hingga pada putaran ke enam, terdengar sapaan salam di ujung sana. “Assalamualaikum, ada apa, Sayang. Mas lag—“ Belum selesai Pramono mengucap, Nadya memotongnya, “Apa Mas gila?” ucapnya ketus. Gerahamnya beradu. Debar jantungnya berkejaran. Begitu marah sampai tubuhnya bergetar. “Dek, kenapa kok tiba-tiba
Nadya tersentak bangun saat antara sadar dan tidak dia merasa seseorang baru saja keluar dari kamarnya. Seiring kesadaran yang mulai terkumpul, pandangannya mengedar. Tak ada siapa pun di sana. Artinya, itu hanya perasaannya saja. Namun prasangka itu segera lenyap, tepat ketika pandangannya tertuju pada pintu kamar. Dia yakin benar, tidak betul-betul menutupnya tadi. Lalu, benarkah ada seseorang? Siapa? Mas Pram kah? Nadya bertanya-tanya. Tepat ketika menurunkan kakinya dari ranjang, Nadya menyadari sebuah selimut telah menutupinya. Kini dia yakin, seseorang memang baru keluar dari kamarnya. Nadya mengusap wajah. Dia merasa, hanya terlelap sebentar. ‘Jam berapa sekarang?’ Gelisah, Nadya melangkah turun. Cahaya berdenyar, memenuhi ruangan sesaat setelah ditekannya sakelar lampu. Wajah yang semula sedikit segar, seketika berubah pias begitu menoleh ke dinding. Waktu menunjukkan pukul setengah enam sore. Dua jam sudah dia tertidur. Dan itu jelas bukan waktu yang singkat. ‘Astaga,
“Asya mau ikut Uncle.” Ali mengulum senyum saat terlintas lagi bayangan Tasya yang merengek meminta ikut dengannya. Bagaimana bahagianya diinginkan seorang anak mendadak memenuhi hati, menagih rasa untuk juga memiliki. Bagaimana bisa dia jatuh cinta pada anak yang bukan darah dagingnya? Apa karena ada bagian dari Nadya di sana? Ali memarkirkan mobilnya. Tepat setelah dia melangkah keluar dan berbelok menuju, seorang wanita muncul di depannya. “Dari mana, Al?” Andini. Langkah Ali terhenti. Pandangannya memindai wanita itu sesaat sebelum mencoba melewatinya. “Aku menunggumu hampir satu jam.” Wanita itu menahan lengan Ali. Ali menghela membuang napas kasar. “Tak ada yang menyuruhmu menunggu, bukan?” “Ibu yang nyuruh,” sahut Roro dari arah pintu. “Bukan kebiasaanmu pulang terlambat. Dari mana kamu, Al?” “Ada urusan, Bu.” Ali menarik lengannya dari cekalan Andini dan melanjutkan langkah masuk. Namun, langkahnya kembali terhenti saat mendengar ibunya bertanya: “Jadi baby sitter Tas
Waktu menunjukkan pukul setengah lima sore dan belum ada tanda-tanda tamu undangan Nadya akan datang. Dilihatnya deretan makanan di meja yang sengaja dipesan delivery agar lebih praktis dan hemat waktu. Lagi pula, daripada jamuan, sepertinya, Nadya lebih butuh persiapan mental untuk menghadapi apa pun yang mungkin terjadi. Bersatunya dua hati, mungkin. Nadya menghela napas dalam sekali lagi. Serakah, barangkali itulah sebutan yang tepat ditujukan padanya, saat satu sisi hatinya tak rela dengan niat mengenalkan Ali pada Annisa. Tapi di sisi lain, dia tak ingin rumah tangganya berantakan hanya karena pikiran dan hati yang kini mulai memihak. Tak peduli kalau pun ada alat pengukur kadar cinta dan cintanya lebih besar pada Ali, fakta bahwa Pramono adalah suaminya dan di rumah tangga mereka ada Tasya yang harus dia prioritaskan dengan segenap kesadaran, tidak bisa diabaikan. Tok-tok! Suara ketukan seketika mengalihkan perhatian Nadya pada gadis kecil dengan lego di depannya. Ternyata Ta
Andai ada aku yang lain, aku pun tak rela menyerahkanmu pada yang lain. -Nadya Arfianti — Ali menenggak minuman bersoda di depannya seperti orang kehausan. Lalu meletakkannya kembali dengan sedikit tekanan. Annisa tersentak kaget, dan menatap bingung laki-laki itu dan Nadya bergantian. “Baiklah, ayo, Sa.” Ali bangkit. “Ya? K—kemana?” tanya gadis itu. “Kemana pun, mewujudkan keinginan kakakmu itu.” Ali menatap Nadya dingin bersamaan dengan tatapan bingung Annisa pada orang yang sama. Nadya mengangguk, isyarat agar Annisa setuju. “Uncle, Uncle, Asya ikut,” rengek bocah di sebelah Ali yang diam-diam menguping mereka. Ali memandang Tasya sesaat lalu menarik bibirnya samar. “Boleh.” Diraihnya bocah empat setengah tahun itu. Sebuah kecupan mesra mendarat di pipinya. Ali melangkah keluar membawa serta Tasya dalam dekapan. Nadya berpaling pada Annisa, menggenggam tangannya erat. “Gih, Sa. Tolong jaga Tasya.” “Tapi, Mbak ...” “Ali laki-laki baik. Kamu lihat sikapnya ke Tasya, ‘kan
“Siapa yang mengizinkan kamu melibatkan Annisa? Ha?” geramnya, “apa pilihanku melajang, membuat kamu rugi?” Sekali lagi pandangan mereka saling mengunci. Menyadari Ali begitu marah, Nadya berpaling. Namun, dia keliru jika mengira Ali akan membiarkannya begitu saja. Demi menahan perempuan itu tak berpaling, dengan tangan kanan Ali mencekal dagunya hingga buku jarinya memutih. “Aku tidak memaksa kamu menerimanya, bukan? Tidak sekali pun.” Ali mengatakan itu untuk dirinya sendiri. Berharap dengan begitu berhenti menyesal dan memulai hidup baru. Berharap dengan begitu dia pun sadar bahwa Nadya tak mungkin lagi dia miliki. “Bahkan ketika aku bisa saja membawa kamu lari, aku memilih membiarkan kamu menikah dengan Pram. Apa masalah kamu, ha?” Sekali lagi ... dia mengatakan itu pada dirinya sendiri. Pandangan mereka mengunci sekarang. Dengan hati kacau, Nadya berusaha mendorong laki-laki di depannya meski berakhir sia-sia karena Ali masih menahan dagu dan lengan kirinya. Nadya melangkah
Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,
“Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra
Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j
“Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem
“Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru
Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan