Nah, Bagian ini nyambung sama bab pertama. Ingat, nggak?
“Siapa yang mengizinkan kamu melibatkan Annisa? Ha?” geramnya, “apa pilihanku melajang, membuat kamu rugi?” Sekali lagi pandangan mereka saling mengunci. Menyadari Ali begitu marah, Nadya berpaling. Namun, dia keliru jika mengira Ali akan membiarkannya begitu saja. Demi menahan perempuan itu tak berpaling, dengan tangan kanan Ali mencekal dagunya hingga buku jarinya memutih. “Aku tidak memaksa kamu menerimanya, bukan? Tidak sekali pun.” Ali mengatakan itu untuk dirinya sendiri. Berharap dengan begitu berhenti menyesal dan memulai hidup baru. Berharap dengan begitu dia pun sadar bahwa Nadya tak mungkin lagi dia miliki. “Bahkan ketika aku bisa saja membawa kamu lari, aku memilih membiarkan kamu menikah dengan Pram. Apa masalah kamu, ha?” Sekali lagi ... dia mengatakan itu pada dirinya sendiri. Pandangan mereka mengunci sekarang. Dengan hati kacau, Nadya berusaha mendorong laki-laki di depannya meski berakhir sia-sia karena Ali masih menahan dagu dan lengan kirinya. Nadya melangkah
Dan inilah akhirnya. Akhir dari semua cerita masa lalu yang belum selesai. Ketika hati gagal menahan diri, maka nafsu akan menguasai. Rindu menggebu yang lama terbendung akhirnya meluap dan terurai hingga melanggar batas. Di depan kamar Nadya, masih dengan bertelanjang dada, Ali terduduk dengan dua kaki terlipat. Waktu menunjukkan pukul delapan lima puluh malam saat terdengar dering panjang telepon dari kamar Nadya. Ali menoleh tanpa benar-benar melihat pintu yang tertutup itu. Menyadari siapa yang telepon, Ali menajamkan pendengaran demi mendengar apa pun suara di dalam, dan dia akhirnya tahu suara isak itu berhenti. Di kamar, menyadari ponselnya berdering, Nadya tersentak seperti tersangka yang tertangkap basah melakukan kejahatan. Dia yang semula berada di depan pintu, menyeret tubuh hingga ranjang untuk meraih ponsel. Nama Pramono muncul sebagai penelepon. Nadya berdeham. Dengan tangan gemetar menyeka sisa air mata di pipi. Sekuat hati berupaya menenangkan diri dan menampakkan
Mendengar suara panggilan, Nadya dan Ali terenyak. Keduanya memandang satu sama lain. “Ibu, Mas,” bisik Nadya. Ali tersenyum. Ditatapnya lekat perempuan dalam kuasanya itu. “Inilah salah satu hal yang kubilang kita hadapi bersama.” Lalu sebuah kecupan melayang di pipi Nadya. Rindu di hatinya belum juga lunas meski perempuan itu telah berada dalam dekapannya. Dalam pelukannya. “Nad!” panggilan itu kembali terdengar diiringi ketukan di pintu. Nadya gusar. Sebaliknya, Ali tak bergeming. Alih-alih berhenti, dia justru menjatuhkan diri, mengangkat Nadya ke atasnya. Nadya mengernyit. Kedua tangannya ke depan, menahan. “Tapi, itu ibu, Mas, aku harus buka,” bisiknya lagi. Kecemasan tampak jelas di wajahnya. Seperti tak ingin mendengar apa pun, Ali memejamkan mata. Kedua tangannya bergerak seirama. Nadya mendesis. “Mas!” Nadya menggeram pelan, berharap Ali mendengarkan. “Aku harus buka pintu!” Ali menghentikan gerakannya. “Lalu membiarkan ibumu tahu?” tanyanya menatap lekat wanita itu.
Pukul sembilan pagi, setelah malamnya gagal menemui sang putri, Dinar kembali datang. Berbeda dengan semalam, paginya Terios hitam tidak lagi di halaman. Dinar yakin betul itu bukan milik menantunya. Lalu milik siapa? Dia kerap melihat itu di halaman rumah Ali saat mengunjungi mertuanya. Sialnya Dia tak cukup awas untuk meneliti pelat mobilnya. Sampai malam tadi. Dinar sadar betapa pentingnya dia tahu hal itu. Tapi, terlalu jauh jika harus berpikir sampai ke sana. Nadya sudah bahagia dengan Pramono walau akhir-akhir ini kedekatan dengan Ali mulai membuatnya cemas. Dinar takut Ali ... mungkin lebih tepatnya perasaan Nadya yang merusak semuanya. “Assalamualaikum, Nad?” sapaan salam terucap. Dan belum ada jawaban. Rumah itu lumayan besar, wajar suara lirihnya tidak terdengar dari dalam. Dinar meraih knop dan menyelip masuk setelah sukses membukanya. Dia tahu putrinya di rumah. Terdengar dari peralatan dapur yang beradu di ujung ruangan yang tertutup tirai. “Belum matengan, Nduk?” ta
Waktu menunjukkan pukul sepuluh pagi saat terdengar dering singkat dari ponselnya Nadya. Pandangannya yang semula tertuju pada laptop, kemudian teralih pada benda di atas meja. Nama Annisa muncul di bar notifikasi. Nadya membukanya cepat lalu tampak kerutan dalam di dahi sesaat setelah membaca isinya. Tak yakin, dibacanya sekali lagi pesan itu dengan setengah berbisik hanya demi memastikan apa yang dia baca tidak salah. ‘Mbak, kapan kita bisa ngobrol lagi? Aku mau bahas sesuatu sama Mbak Nadya,’ tulis Annisa membuat kerutan di dahi Nadya semakin dalam. ‘Tumben,’ pikirnya. Setelah memastikan jawabannya, Nadya mulai mengetik, ‘Mbak menyesuaikan jadwal kamu,’ balasnya. ‘Mau bahas apa? Tumben?’ timpanya lagi. ‘Ada, deh ...’ balas Annisa. Nadya mengulum senyum. Jemarinya kembali mengetik. Lalu meletakkannya kembali setelah mengetuk panah hijau. ‘Tumben ngajak ketemuan duluan? Bahas apa?’ Meski penasaran, Nadya memilih mengabaikan. Dia akan tahu setelah mereka bertemu nanti. Pandang
“Ayo kita lari.” Suara Nadya di kafe sore itu kembali terngiang di benak Ali. Dengan tegas, laki-laki itu menolak ide Nadya yang dengan wajah frustrasi meminta dibawa lari. Dengan alasan pernikahan tak bahagia tanpa restu orang tua Ali menolak mentah-mentah meski akhirnya menyakiti hati wanita yang dicintai. Pun jantungnya pula, ketika Ikhsan tetap pada keputusannya. Ali hancur. Dia yang berprinsip cara terbaik mencintai wanita adalah dengan menikahinya, nyatanya sekarang justru merusak kesuciannya. Lihat apa yang terjadi sekarang? Lari jelas lebih baik dibanding mencuri milik orang lain, bukan. Andai saat itu dia terpikir untuk bernegosiasi. Menemui Pramono dan membicarakannya baik-baik, kira-kira akan berakhir seperti apa sekarang? Mengabaikan map laporan penjualan mebel bulan ini, Ali mengusap ujung dagunya. Diraihnya ponsel di meja, dan mulai mengetik pesan. **** Melihat nama Ali muncul di bar notifikasi. Nadya mengulum senyum. Dia buru-buru membuka lalu meletakkan kembali
Setelah paginya sang ibu dan malamnya Pramono, Nadya semakin sadar, dilihat dari sudut mana pun, meski hati saling mencintai—dalihnya—hubungan dua manusia di luar pernikahan tetaplah salah. Bukan cinta namanya jika harus ada yang dikhianati sebab cinta salalunya adalah pemberian yang penuh kasih dan tanpa pamrih. Dengan wajah tertegun dan senyum getir, pandangan Nadya kembali tertuju pada dua cangkir kopi yang bersanding di meja. Andai keadaan semudah dua gelas itu. Alangkah bahagianya. Bukan hanya tentang niat menjodohkan Annisa, sesaat Nadya bahkan lupa pada suami, anak, dan keluarga yang pasti sangat kecewa—andai semua perbuatan bejat mereka sampai terbongkar. Nadya meletakkan gawai yang semula dia genggam ke atas meja sebelum duduk dengan kedua tangan mengusap letih wajahnya. Entah akibat tekanan yang baru diterima atau akibat kelelahan, Nadya merasa kepayahan menghadapi perasaannya sendiri. Detik berikutnya, perempuan itu menoleh pada Ali saat terdengar sebuah pertanyaan, “Jad
Layar televisi di depan sana masih menyala saat Nadya membuka mata. Di sofa, dengan berbantal lengan Ali, dia tertidur, tepat menghadap televisi. Seiring terkumpulnya kembali kesadaran, syaraf di tubuh perempuan itu juga mulai aktif. Nadya merasakan sesuatu yang melekat di punggungnya. Sensasi hangatnya memenuhi hampir seluruh bagian tubuh belakang. Perhatian Nadya beralih pada jemari kanan yang terpaut dengan tangan Ali. Genggaman hangat dan sebuah remasan halus dia rasakan. Sementara tangan kiri laki-laki itu bergerak menekan tombol remote dengan sesekali terangkat, mengarahkannya pada lampu sensor. Pandangan Nadya kemudian beralih pada bulatan putih di dinding. Jarumnya bergerak merambat menuju angka sebelas. Nadya menarik napas dalam. ‘Apa yang kulakukan?’ bisiknya dalam hati. Rasa nyeri seketika memenuhi dadanya. Jantungnya terasa berdengap setiap kali pertanyaan itu muncul. Tepatnya ketika mengingat apa yang dia lakukan di rumah Pramono dengan laki-laki lain. Diam-diam mele
Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,
“Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra
Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j
“Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem
“Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru
Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan