“Mas kecapaian. Istirahatlah.” “Kamu belum jawab pertanyaan Mas, Nadya ...” ucap Pramono terdengar seperti tuntutan di telinga Nadya. Menjadikan relungnya semakin sesak. Sesak karena rindu selalu tentang penantian yang dibalut kesabaran dalam menunggu orang yang dicintai. Tapi apa yang Nadya lakukan? Dia bahkan tak menunggu. Dia melanggar batas suci ikatan pernikahan dengan mengizinkan laki-laki memasuki rumah suaminya dan bercumbu atas nama cinta? Benarkah itu cinta atau nafsu? Benarkah Ali yang dia cintai atau kenangan mereka? Pantaskah tali antara dia dan Pramono disebut rindu? Nadya yakin tidak. Bejat, kamu, Nad. Sampah, kamu. Dia menghardik diri sendiri. Jantung Nadya kembali berdengap. Menyumbat aliran napas ke paru-paru. Lalu mendadak pandangannya berputar. Dia nyaris jatuh ke lantai sebelum seseorang menangkapnya dari belakang. Ali—orang yang dia izinkan hadir lalu mengacaukan segalanya. Nadya menoleh pada laki-laki itu lalu menahan lengannya, untuk memberi jarak antara
Annisa mengulum senyum. “Mbak kenapa nggak bilang?” tanyanya di sela aktivitas mengaduk kopi yang sebenarnya hanyalah upaya untuk mengalihkan rasa gugup. Mendapati kenyataan dia hampir dijodohkan dengan laki-laki yang masih sangat mencintai perempuan lain, hatinya terasa ngilu. Nadya yang semula fokus pada gawai seketika mengangkat kepala. Annisa melihat ada kerutan di dahi wanita itu. “Bilang apa?” tanya Nadya tak mengerti. “Soal Mas Ali.” Mendengar jawaban Annisa, Nadya menatap skeptis kemudian menarik bibir. Dia menerka maksud Annisa adalah perasaan laki-laki itu terhadapnya. Lalu menggeleng di antara senyuman ketika menyadari secepat itu Ali membangun tembok antara dirinya dengan Annisa. Keras kepala. Dicintai sedalam itu, sebagai wanita Nadya merasa beruntung namun dalam kasus ini dia merasa terbebani juga merasa bersalah pada Ali yang masih melajang karena wanita yang dicintai menjadi milik laki-laki lain. Hati wanita mana yang tak terluka? Melihat laki-laki yang pernah sanga
“Thanks, ya ...” “Yoi.” “Gue pulang dulu.” Ali melangkah ke arah mobil setelah melambai pada lelaki yang berdiri di teras bengkel. Dia mengacungkan remote mobil. Namun, belum sampai tangannya menekan tombol, pandangannya tertuju ke lobi rumah sakit yang berada tepat di seberang bengkel milik saudaranya. Seorang perempuan mengenakan gaun pastel, terduduk menunduk kursi lobi. Walau tak melihat wajah itu dengan jelas, Ali yakin betul itu Nadya. Perempuan yang sangat dikenalnya. Mengurungkan niat pulang, Ali meraih ponsel di saku celana. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak, kemudian berhenti ketika menemukan sebuah nama: Nadya Arfianti. Sebuah ketukan pada tombol “call” dengan cepat mengubah keterangan “memanggil” menjadi “berdering”. Ali meletakkan ponsel itu di telinga sebelum pandangannya menatap jauh ke seberang jalan, tepat pada wanita yang menunduk di lobi gedung empat lantai tak jauh dari sana. Satu detik, dua detik, tak ada gerakan. Namun pada detik ke tiga perempua
Nadya menoleh ke samping saat menyadari Ali menggedor pintu mobil, berupaya membuka dari luar. Sopir taksi memandang Nadya, mencari kejelasan. Kemudian menyalakan mesin mobil setelah mendengar Nadya memerintahnya, “Jalan, Pak!” Nadya tahu Ali pasti akan mengejar tapi tidak untuk sekarang. Dia butuh menenangkan diri agar bisa berpikir jernih tentang tindakan apa yang akan dia ambil selanjutnya. Ada bayi, dan Nadya tak ingin orang mengira anak dalam kandungannya adalah milik Ali. “Kemana, Mbak?” tanya sopir taksi itu. “Antar saya ke Tegalsari, Bapak.” “Baik.” Nadya kembali memandang ke layar ponsel di tangan saat sekali lagi terdengar dering panjang. Kali ini bukan Ali, melainkan Pramono. Melihat nama suaminya muncul di sana, entah bagaimana hatinya terasa hangat. Hangat karena menyadari tindakannya sudah benar. Nadya buru-buru menggeser tombol hijau lalu terdengar sapaan dari ujung sana. “Hai, Dek. Lagi apa?” tanya Pram dari ujung sana. Mengabaikan sosok Ali yang tertinggal ja
“Mama ...?” “Ma-maaaa ....” Antara sadar dan tidak, Nadya mendengar samar namanya dipanggil. “Mamaaa ...” panggil suara itu lagi. Nadya terperanjat. Jantungnya berpacu hebat saat menyadari dia tidur terlalu lama, masih di tempat yang sama dengan ketika dia datang tadi. Dan sebuah selimut kini menutupi kaki. Nadya mengusap wajah. Dia mengedar pandang dan mendapati sekeliling telah gelap. Tak benar-benar gelap memang. Hari menginjak sore. Pintu yang tertutup membuat ruangan menjadi remang meski jendela masih terbuka. Sepi, menyeret kembali beban berat yang serta merta terasa mengimpit. Bersamaan dengan hadirnya kesadaran tentang semunya kebahagiaan bersama Ali. Sebesar apa dia mencintai laki-laki itu, harapan bersatu jelas tak pernah ada. Nadya tak bisa jauh dari Tasya. Tidak tidak pula rela melihat gadis kecil itu terluka akibat perceraian. Setelah mengumpulkan kembali tenaganya, Nadya bangkit duduk. Pandangannya tertuju pada jam di dinding. Waktu menunjukkan pukul lima sore. Lak
Nadya dan Dinar saling memandang sebelum sama-sama tertuju pada Tasya di lantai. Nadya meletakkan cangkir di meja. “Dek, Uncle kan sibuk.” Nadya mengucapkan itu di antara ragu pandangan yang mengarah kepada sang ibu. Dia merasa, perempuan yang wajahnya berubah dingin di sofa seperti ingin melihat kredibilitasnya sebagai wanita yang dipanggil mama. Bagaimana caranya akan menjawab bocah yang belum genap lima tahun itu seakan menjadi hal penting untuk diperlihatkan demi mendapat kepercayaan lagi. Tasya mendengkus. “Papa sibuk. Uncle sibuk. Mama sibuk,” gerutu bocah itu. Sadar putrinya kesepian, Nadya menghela napas perlahan untuk mengurai sensasi berat di dada. Dia menduga itu akibat rasa bersalahnya pada Tasya. Lalu sebuah ide tiba-tiba muncul. Ide untuk menenangkan Tasa seperti waktu itu. Sampai Ali datang dan mengacaukan segalanya. “Hmm ... gimana kalau kita telepon papa?” usul perempuan muda berwajah lecek di sofa tamu. Mendengar itu, seketika Tasya menoleh. Tampak binar di mata
Di rumahnya Ali gelisah mendapati pesan yang dikirim tak kunjung dibalas oleh Nadya meski dua centang abu telah berubah menjadi biru. Dia sadar, terlalu tak tahu diri jika mengharapkan Nadya di tengah keadaannya saat ini. Sejak awal, dia mencintai perempuan bersuami. Ali membuang napas lelah. Ponsel di tangan belum juga dia letakkan kembali. Pandangannya masih tertuju pada layar di mana nama Nadya tersemat seakan tak ingin melewatkan apa pun yang akan masuk ke sana. Lebih dari itu, balasan pesan dari perempuan itu, meski setelah sekian jam berlalu harapan itu kian terkikis. Pandangan Ali kemudian tertuju pada ujung layar di mana jam menunjukkan pukul sembilan malam. Sunyi kian menyiksa kala hati menagih kembali perjumpaan yang tak seharusnya. Maka di sanalah dia berada sekarang. Bersandar pada pintu mobilnya, Ali berdiri memandang rumah minimalis berlantai dua yang berdiri megak di hadapannya. Rumah yang tampak berkilau mewah oleh hiasan lampu taman di tengah sepinya malam. Pramono
Ali masih memandang ke arah dua orang yang berdebat di seberang jalan. Diam-diam mengamati tanpa berniat ikut campur, hanya untuk berjaga karena perdebatan tak selalu berakhir baik-baik saja. Tampak perempuan berjilbab jingga itu mengabaikan lelaki di sampingnya meski sang lelaki terus berbicara. Kemudian Ali terburu-buru bangkit ketika perdebatan sengit di ujung sana tak lagi bisa dia toleransi karena sang lelaki mencoba menarik paksa Annisa ke dalam mobilnya. “Woy, lepas!” Suara bariton memecah perdebatan sengit, mengalihkan kedua orang itu ke arah Ali. Lalu sama-sama mendelik, terkejut. “Mas Al—“ Annisa menjeda ucapan karena seseorang yang menggenggam pergelangannya menekan lebih kuat. Dia menoleh pada Annisa dengan ekspresi tak percaya. Laly kembali memandang Ali. “Kau siapa? Jangan ikut campur!” Sang lelaki menuding ke arah Ali bersamaan dengan tarikan pada tangan Annisa ke belakang tubuhnya. Gadis itu nyaris terjatuh, sampai Ali mempercepat langkah kemudian dengan tangan kiri
Usai makan malam, dan menidurkan Tasya di kamarnya, Nadya termenung di ujung ruang tamu. Remote di pangkuan. Televisi menyala di ujung ruangan. Namun, pikirannya melayang entah kemana. Ada hal yang membuat dia enggan dengan mudah menerima kebaikan Pramono. Salah satunya, dosa yang dia perbuat. Nadya malu. Dia merasa tak tahu diri jika menerima kebaikan Pramono begitu saja, sementara tangannya telah begitu jahat mencabik hati laki-laki baik itu. Hal yang juga sekali lagi akhirnya Nadya sesali, adanya lebam biru di pipi Tasya yang ternyata akibat ulah Ratna, wanita yang selama ini menampakkan wajah lembutnya di hadapan Pramono, yang seolah sanggup menggantikan kedudukan istri mana pun. Nadya menunduk. ‘Ini semua salahku. Andai aku tak menanggapi Ali. Andai aku tak menyerahkan kehormatanku begitu saja ... mungkin ini semua tak akan terjadi. Dan jika ada yang pantas dihukum, maka itu adalah aku,’ bisik Nadya dalam hati. Dia menangis dalam diam. “Apa yang kau pikirkan?” Dari arah dapur,
“Mas baik-baik saja?” tanya Annisa pada Pramono tepat ketika membuka pintu kamar rawatnya. Setelah sempat melirik sebentar, alih-alih menanggapi, laki-laki itu justru berpaling dari gadis yang mendekat ke arahnya. “Jadi Nadya bersamanya, sekarang?” tanya Pramono tak terkejut. Annisa mengedikkan bahu, seolah ada jawaban, ‘Begitulah’ pada gerakan itu. “Hanya untuk minta maaf. Tak ada yang lain,” jawabnya datar. Sontak laki-laki di bed menoleh. Dahinya berkerut begitu saja. “Minta maaf? Untuk?” “Mbak Nadya merasa apa yang menimpa Ali—kalian adalah salahnya.” Laki-laki itu menatap skeptis, lalu terkekeh pada detik berikutnya. Ekspresi wajahnya berubah begitu getir. “Korban sesungguhnya bukan dia,” ucapnya di antara geraham beradu. “Bukan dia yang seharusnya mendapatkan permintaan maaf itu, kau tahu bukan?” “Mas, Nisa pikir bukan itu maksud Mbak Nadya.” “Lalu apa?” Annisa menelan ludah sebelum mulai bicara, “Dia hanya merasa Ali tak perlu mendapat pukulan itu.” Kerutan di dahi Pra
Berniat pulang lebih awal, pukul tiga sore Pramono keluar dari ruangannya. Melewati meja Hana, berbelok kiri, dia melangkah menuju ruang editor untuk menemui Nadya dan bermaksud mengajaknya pulang bersama. Namun, Pramono harus kecewa karena wanita itu tidak ada di mejanya. Laki-laki itu berbalik. “Kau tahu di mana Nadya, Hana?” Sontak Hana mendongak. Pandangannya sempat melirik ke ruangan sebelah di mana Nadya biasanya berada, sebelum kembali pada sang bos yang berdiri dengan tatapan dingin, menunggu jawaban. “Tidak, Pak. Saya kira tadi sudah izin sama Bapak.” Pramono memicing. Artinya dia pergi? “Sejak kapan?” “Mungkin satu jam yang lalu.” Laki-laki itu meninggalkan meja Hana dan keluar dari ruang editor dengan langkah panjang. Satu tangannya menyelip ke dalam saku kanan celana, lalu keluar dengan ponsel dalam genggaman dan mulai menggulirkan ibu jari. “Kau di mana?” tanyanya pada seseorang di ujung sana setelah nada sambung terputus. “Aku di rumah.” “Rumah yang mana?” “Yang
“Sebenarnya apa yang ingin kau katakan?” tanya Pramono berusaha menutupi kemarahannya. Laki-laki di hadapannya berdeham pelan. Detik berikutnya punggung dan menatap dingin ke arah Pramono. “Aku ingin mengatakan, mari kita bersaing secara sehat,” jawabnya tenang. “Aku tahu, meski Anda begitu marah, jauh dalam lubuk hati Anda, Anda masih sangat mengharapkan Nadya—demi putri kalian. Dan mungkin, masih ada sedikit cinta untuk dia di dalam sana. Benar? Kupastikan, aku akan mencintainya dengan baik. Jika Anda tidak yakin bisa memaafkannya dengan ikhlas, sebaiknya menyerah lah dari sekarang.” ‘Astaga ...’ Pramono meraup wajah lelah. Gigi geraham bergemeletuk. Menoleh ke kanan, diraihnya ponsel yang tergeletak di meja. Ibu jarinya bergulir menelusuri daftar kontak. Pada nama Annisa dia berhenti dan menekan tombol call. “Ya, Mas?” sapa Annisa tepat setelah bunyi dengung di telinganya terputus. “Sa, aku bisa minta tolong?” “Ya. Minta tolong apa?” *** Sepulang dari kantor Pramono, Edwin
Beberapa menit yang lalu. “Nah, begini kan cantik.” Shofwa mengulum senyum. “Coba Teteh lihat. Cantik, ‘kan?” tanya Shofwa pada wanita di sampingnya. Dipandanginya wajah itu dari pantulan kaca di depan mereka. Tak menyahut, Nadya memandang seraut wajah di cermin. Dia hampir tak mengenali dirinya sendiri yang kini dibalut jilbab panjang. Tak ada yang terlihat lagi melainkan wajah bersih dengan mata coklat dalam dan bibir yang dipulas dengan warna lembut, khas dirinya. Gadis di samping Nadya mengulum senyum. Kedua matanya menyipit. Menampakkan ekspresi kebahagiaan yang tak dibuat-buat. “Bahkan ... masih secantik itu setelah Teteh pakai jilbab. Maha Kuasa Allah menciptakan wanita dengan kecantikannya yang sempurna.” ‘Cantik?’ Nadya menatap ragu pada dirinya sebelum menunduk. ‘Apakah itu anugerah, atau musibah?’ Dia bahkan mengira kecantikannya adalah petaka yang berakhir dengan terlukanya hati banyak orang. Kini, bahkan keluarga dan orang tuanya juga. Nadya merasakan hangat merebak
“Mama masih di sini?” tanya Tasya saat menuruni anak tangga dan melihat ada sang ibu di dapur. Wanita yang masih mengenakan pakaian yang sama sejak kemarin siang, memandang ke arah bocah yang mendekat. Selarik senyum dia suguhkan seolah tak ada beban apa pun di hatinya. “Mama harus masak dulu. Terus antar Tasya ke Sekolah, terus berangkat kerja,” jawabnya. “Tapi ... tapi ... mama pulang lagi, kan?” Gerakan tangan Nadya melambat. Piring berisi nasi itu sempat mengambang sebelum diletakkannya ke meja, lalu memandang bocah di ujung meja dengan tatapan teduh. Dia bisa melihat dengan jelas ketakutan di wajah bocah itu. Nadya menoleh pada laki-laki yang kini siap dengan kemeja putihnya. Tak ikut campur, namun dia yakin Pramono menyimak pembicaraan itu, dan ingin tahu apa jawabannya. Tak berselang lama, wanita yang berdiri di ujung meja mengangguk. “Iya, Sayang. Mama akan datang lagi,” jawabnya seiring tatapan ke arah Pramono. Pandangan mereka beradu. Pramono sadar dia belum mendapat j
“Kuingin kau menemui Tasya barang semenit. Dia membutuhkan ibunya.” Terngiang kembali kalimat Pramono kemarin. Nadya meremas jemarinya gugup. Di depan sana Playground tempat Tasya bermain sudah terlihat. “Kau gugup?” tanya Pramono. Nadya memilih tak menanggapi. Mobil berhenti. Tak langsung keluar, Nadya justru sibuk mengatur napas. Mempersiapkan diri pada apa pun yang mungkin terjadi nanti. Penolakan, misalnya. Saat marah, anak itu sering menolak sang ibu. Dan besar kesalahannya, membuat Nadya merasa pantas mendapat kemarahan dari Tasya, bahkan mungkin bukan kata maafnya. Sementara dalam pandangan Pramono, sikap itu tampak seperti seseorang yang menunggu dibukakan pintu. Maka laki-laki yang telah berada di luar itu lalu mendekat ke pintu, membukanya. Satu tangannya lalu terulur ke arah Nadya. Wanita itu terenyak. Sempat dipandangnya tangan itu, lalu ragu-ragu menerimanya. “Tasya pasti senang melihat kau datang,” ucap Pramono sembari menutup pintu. Sebaliknya, keraguan justru mem
“Mas, di sini.” Annisa melambai pada laki-laki yang mengedar pandang di tepi alun-alun kota Bandung. Topi hitam di kepala. Jam di tangan kirinya. Laki-laki berkemeja putih itu menoleh. Lalu tersenyum. Dia melangkah mendekat. Namun perempuan dari arah sebaliknya melangkah lebih cepat. Gadis itu berhenti ketika jarak mereka hanya tersisa beberapa senti. Dengan teliti, dipandanginya wajah itu. Binar kebahagiaan terpancar jelas di matanya. Senyum jujur yang dibalut rasa malu. Satu lagi ... rasa yang sama. Annisa hampir tak percaya bisa melihat laki-laki itu datang begitu jauh hanya untuk menemuinya. Annisa melangkah maju dengan kedua tangan terbuka, dan merengkuh erat tubuh laki-laki itu. “Aku kangen, sama Mas.” Ragu, laki-laki itu mundur selangkah. Kedua tangannya sempat akan mengurai dekapan Annisa, namun akhirnya memilih membiarkan ketika dekapan itu terasa lebih erat. *** “Ratna!” Mendengar namanya dipanggil, wanita di pintu keluar bandara menoleh. Wajah yang semula sendu, beru
Beberapa menit sebelumnya. “Mas sarapanlah dulu.” Ratna meletakkan mangkuk sayur di meja. Satu piring dia ambil dan meletakkannya di depan Pramono. Di atasnya, nasi lengkap dengan sayuran telah tersaji. “Terima kasih,” jawab Pramono melirik wanita di seberang meja sebentar. Tampak sembab di wajah itu. Dia yakin, Ratna menangis belum lama tadi. Beralih ke piring, laki-laki itu meraih sendok di atasnya. “Kau baik-baik saja?” Ratna tertawa datar. “Apa ada yang baik-baik saja, setelah diceraikan suaminya?” Butuh waktu bagi Ratna untuk mendengar tanggapan laki-laki di depan meja. Wajahnya menunduk ke arah makanan di hadapan. “Aku hanya tak ingin membebanimu, Ratna,” ucap Pramono dengan nada begitu rendah. “Aku tahu.” Wanita itu mengangguk. “Itulah kenapa kuminta Kak Syarif datang untuk menjemput ke sini.” “Syarif? Asisten Ayah?” “Ya.” Pramono manggut-manggut. Kabari aku saat dia datang. Aku harus ke kantor sebentar. *** Usai mengantar Tasya ke sekolah, Pramono bergegas menuju kan