Hana mengacak rambutnya dengan frustasi. Dokumen-dokumen yang dulu dikerjakan mendiang ayahnya cukup menyita perhatiannya.Sejak mendapatkan izin dari Ares untuknya mengakses dokumen ayahnya, Hana membawa sebagian dokumen milik ayahnya pulang untuk ia pelajari.Sebenarnya, ada satu nama perusahaan yang belakangan mengusik ingatan dan pikirannya, Global Investama. Sebuah perusahaan yang berdomisili di Malaysia dan belakangan ini getol mengajukan kerja sama dengan Cakrawangsa Group.Entah kenapa ingatan Hana seperti tersedot ke masa lalu. Ia ingat, ayahnya pernah mendiskusikan tentang perusahaan itu pada mamanya. Hana memang masih kecil saat kejadian itu terjadi, tapi Hana masih mengingatnya dengan jelas karena raut wajah ayahnya yang berubah saat membicarakan perusahaan itu.Namun, sejauh ini, dari beberapa odner yang diperiksanya, belum ia temukan nama Global Investama. Itulah yang membuatnya frustasi. Ia harus cepat menemukannya agar tahu apa yang sebenarnya ingin dilakukan perusahaa
"Van, Divisi Keuangan minta waktu sampe minggu depan buat proyek yang kita ajuin.” Hana baru selesai menghadiri meeting dengan Divisi Keuangan dan langsung menuju ruangan Evan untuk melaporkan hasil meeting-nya. Melihat Evan yang diam tanpa menjawabnya, membuat Hana berpikir ada yang salah dengan meeting yang dihadiri Evan dengan Ribka. “Gimana meeting-nya tadi, Van?" tanyanya kemudian.Evan mengangguk-angguk. "It's ok. Ada revisi dikit sama kontraknya tapi udah ditanganin bagian legal."Katakanlah Hana terlalu peka. Tapi nyatanya memang ia melihat sesuatu yang berbeda dari ekspresi Evan sejak ia masuk. "Aku keluar dulu ya," pamit Hana kemudian. Mungkin Evan butuh waktu untuk sendiri.Evan mengangguk. Ia baru mengangkat wajahnya dan menatap ke arah perginya Hana setelah Hana menutup pintu ruangannya.***“Hanaaa, maksi sama gue yuk. Kangen deh ngobrol sama lo,” ucap Ribka yang sebenarnya menyimpan misinya sendiri. “Oh, atau lo maksi sama bos ganteng? Yah gue sih ngalah kalo lo mau mak
Dua hari sudah Hana terbangun dengan bantuan alarm ponselnya, bukan bunyi bel pintu apartemennya. Artinya, dua hari sudah Evan tak lagi mengunjunginya di pagi hari, salah satu rutinitas yang Evan coba dalam fase pendekatan mereka.Hana tidak keberatan sebenarnya dengan hal itu, ia hanya sedikit bingung dengan perubahan mendadak yang terjadi di hidupnya.Mulai Evan yang mencoba masuk ke dalam hidupnya dan kini Evan yang kehadirannya antara ada dan tiada.Apa ada hubungannya dengan Melinda? Sejak pertemuan tidak sengaja mereka di mall usai makan siang, keduanya sama sekali tidak membahas tentang hubungan mereka atau hubungan Evan dengan Melinda. Seakan mereka masih bingung dengan perasaan masing-masing.Hana mengambil dua helai roti kemudian memanggangnya dan menjadikannya sandwich simple berisi telur, cheese, daging asap, serta mayonnaise. Alih-alih langsung memakannya, Hana memilih mengambil handuk dan mandi terlebih dulu.Karena kini kehidupannya kembali normal seperti sebelum Evan m
"Evan, senyum dong. Kamu kayak mau dibawa ke tiang gantungan," ucap mamanya berusaha mencairkan suasana tegang di kamar hotel itu.Hari ini, Evan harus mengubur semua mimpinya, meninggalkan usaha yang dirintisnya demi memenuhi permintaan orang tuanya untuk terjun ke dalam perusahaan keluarga ayahnya."Ma ...." Masih ada waktu, mungkin ia masih bisa meyakinkan mamanya untuk membatalkan permintaan mamanya itu."Evan, maafin Mama ya," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kalo aja ayahmu masih muda, Mama nggak akan minta kamu buat ngelakuin yang sebenernya nggak kamu suka. Maafin Mama ya, Van."Melihat sudut mata mamanya yang sudah basah, tangan Evan langsung menggenggam tangan mamanya. "Nggak apa-apa, Ma. Aku ... coba ngerti. Ini tanggung jawabku sebagai anak sulung."Evan mencoba tersenyum di depan mamanya, walau hatinya juga hancur."Hei, Van! Kamu apain Mama kamu sampe matanya berkaca-kaca?" tanya ayahnya panik begitu keluar dari kamar mandi."Posesif," ledek Evan saat melihat kebucinan
"Evan!" Hana menatap Evan yang bersandar pada dinding, berusaha untuk berdiri tegap walaupun kesulitan."Panggil ... aku 'Pak'!" ucap Evan dengan nada yang menyiratkan kalau dia sudah benar-benar mabuk."Kita udah di rumah, Van. Aku nggak perlu manggil kamu 'Pak'. Oh please, Van. Aku juga pusing banget gara-gara kamu paksa minum."Evan terkekeh, kemudian menatap Hana tanpa berkedip. "Bohong!""Aku mau balik ke kamarku," ucap Hana tegas. Kepalanya semakin berdenyut dan matanya hampir menutup karena kantuknya tidak tertahan lagi. Hana lantas melangkah, mengabaikan Evan dengan segala ucapannya yang mulai tidak masuk akal.Tapi lagi-lagi Evan menariknya, kali ini hingga ke arah kasur dan mendorong Hana dengan cukup keras.Hana menggeram kesal. Namun sepertinya Evan tidak memperhatikannya."Kamu asistenku," ucapnya sambil menyeringai dan menahan tangan Hana.Meskipun Evan sedang mabuk, tapi tenaganya nyatanya masih bisa untuk mendorong dan menahan Hana dengan posisi mengungkungnya di atas
Letta mematung di depan pintu, sebelum akhirnya berhasil menguasai diri dan berjalan ke arah kasur untuk menyeret anaknya agar bangun. Sementara Hana yang kini telah berdiri dengan hanya mengenakan kemeja Evan, menambah pemandangan yang membuat Letta menghela napas."Evan!" Letta memukul betis Evan yang sedang tengkurap, berkali-kali, karena hanya itu area yang bisa dijangkau Letta.Meskipun Evan sering berolah raga, terutama pergi ke gym, hingga otot-ototnya tidak perlu diragukan lagi bagaimana liatnya, pukulan mamanya yang merupakan pemegang sabuk hitam tae kwon do dan mantan atlet tae kwon do saat SMA tidak perlu ditanya lagi kekuatannya.Evan langsung berteriak pada pukulan kedua, dan masih terus berteriak karena mamanya belum berhenti memukulnya. Pada akhrinya, entah di pukulan yang ke berapa, Evan tidak kuat lagi dan bangkit dari posisinya. Ia berdiri di atas kasur mengambil jarak sejauh mungkin dari mamanya."Mama kenapa sih?" tanya Evan bersungut. Tidak biasanya mamanya memban
"Kak, ngerasa aneh nggak sih sama suasana makan tadi?" tanya Elga yang mengekori Elaksi menuju kamarnya usai sarapan."Aneh gimana?" Elaksi memang paling cuek di antara tiga bersaudara itu, karenanya ia tidak memperhatikan hal-hal detail seperti adiknya, Elga yang berbeda delapan tahun darinya itu."Mama sama Ayah kayak kelihatan tegang gitu. Trus Mas Evan kayak ketakutan gitu, nunduk terus. Apa Mas Evan ngelakuin kesalahan ya, Kak?""Ya ampun, El. Mas Evan udah sedewasa itu, bukan anak sekolahan lagi yang ketahuan nilainya jelek atau cabut dari sekolah. Kesalahan apa yang bisa bikin dia ketakutan kayak asumsimu? Tidur sama cewek?""Hush! Kakak ah. Ngomongnya itu loh."Elaksi terbahak melihat adiknya yang bergidik ngeri sambil merebahkan diri di kasurnya.Di keluarga Cakrawangsa, tidak mengenal istilah seks sebelum menikah. Ares dan Letta selalu mengajarkan kepada mereka untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Ares tahu hal itu sulit, di zaman sekarang yang serba bebas, apalagi jik
"Kenapa kamu masih di kamarku?" tanya Hana yang mendapati Evan masih berada di dalam kamarnya."Ini gudang," balas Evan. "Mama bilang apa?"Hana terdiam, ia masih mengingat bagaimana raut wajah mama Evan saat memintanya menikah dengan Evan. Wanita itu bahkan memohon kepadanya, bukan hanya sekadar meminta.Kecelakaan yang dialami orang tuanya saat ia masih duduk di bangku kelas 2 SD membuatnya benar-benar terpuruk. Menjadi seorang anak yatim piatu tidak pernah ada dalam bayangannya. Sejak itu, Hana tinggal dengan kakek dari pihak ibunya, namun sekitar dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal karena sakit. Ia tidak bisa tinggal di keluarga ayahnya, karena ayahnya hanya punya saudara jauh, tidak ada keluarga inti yang bisa merawat Hana.Sejak itu, Ares dan Letta merawat Hana layaknya anak sendiri. Tidak pernah sekali pun Ares dan Letta membedakan perlakuan mereka terhadap anak kandung mereka dan Hana.Karena itu lah, Hana menyayangi dan menghormati Ares dan Letta layaknya orang tua se
Dua hari sudah Hana terbangun dengan bantuan alarm ponselnya, bukan bunyi bel pintu apartemennya. Artinya, dua hari sudah Evan tak lagi mengunjunginya di pagi hari, salah satu rutinitas yang Evan coba dalam fase pendekatan mereka.Hana tidak keberatan sebenarnya dengan hal itu, ia hanya sedikit bingung dengan perubahan mendadak yang terjadi di hidupnya.Mulai Evan yang mencoba masuk ke dalam hidupnya dan kini Evan yang kehadirannya antara ada dan tiada.Apa ada hubungannya dengan Melinda? Sejak pertemuan tidak sengaja mereka di mall usai makan siang, keduanya sama sekali tidak membahas tentang hubungan mereka atau hubungan Evan dengan Melinda. Seakan mereka masih bingung dengan perasaan masing-masing.Hana mengambil dua helai roti kemudian memanggangnya dan menjadikannya sandwich simple berisi telur, cheese, daging asap, serta mayonnaise. Alih-alih langsung memakannya, Hana memilih mengambil handuk dan mandi terlebih dulu.Karena kini kehidupannya kembali normal seperti sebelum Evan m
"Van, Divisi Keuangan minta waktu sampe minggu depan buat proyek yang kita ajuin.” Hana baru selesai menghadiri meeting dengan Divisi Keuangan dan langsung menuju ruangan Evan untuk melaporkan hasil meeting-nya. Melihat Evan yang diam tanpa menjawabnya, membuat Hana berpikir ada yang salah dengan meeting yang dihadiri Evan dengan Ribka. “Gimana meeting-nya tadi, Van?" tanyanya kemudian.Evan mengangguk-angguk. "It's ok. Ada revisi dikit sama kontraknya tapi udah ditanganin bagian legal."Katakanlah Hana terlalu peka. Tapi nyatanya memang ia melihat sesuatu yang berbeda dari ekspresi Evan sejak ia masuk. "Aku keluar dulu ya," pamit Hana kemudian. Mungkin Evan butuh waktu untuk sendiri.Evan mengangguk. Ia baru mengangkat wajahnya dan menatap ke arah perginya Hana setelah Hana menutup pintu ruangannya.***“Hanaaa, maksi sama gue yuk. Kangen deh ngobrol sama lo,” ucap Ribka yang sebenarnya menyimpan misinya sendiri. “Oh, atau lo maksi sama bos ganteng? Yah gue sih ngalah kalo lo mau mak
Hana mengacak rambutnya dengan frustasi. Dokumen-dokumen yang dulu dikerjakan mendiang ayahnya cukup menyita perhatiannya.Sejak mendapatkan izin dari Ares untuknya mengakses dokumen ayahnya, Hana membawa sebagian dokumen milik ayahnya pulang untuk ia pelajari.Sebenarnya, ada satu nama perusahaan yang belakangan mengusik ingatan dan pikirannya, Global Investama. Sebuah perusahaan yang berdomisili di Malaysia dan belakangan ini getol mengajukan kerja sama dengan Cakrawangsa Group.Entah kenapa ingatan Hana seperti tersedot ke masa lalu. Ia ingat, ayahnya pernah mendiskusikan tentang perusahaan itu pada mamanya. Hana memang masih kecil saat kejadian itu terjadi, tapi Hana masih mengingatnya dengan jelas karena raut wajah ayahnya yang berubah saat membicarakan perusahaan itu.Namun, sejauh ini, dari beberapa odner yang diperiksanya, belum ia temukan nama Global Investama. Itulah yang membuatnya frustasi. Ia harus cepat menemukannya agar tahu apa yang sebenarnya ingin dilakukan perusahaa
"Mas Evan beneran deketin Hana?" tanya Elaksi yang sedang bersantai di gazebo yang ada di samping rumah bersama Evan dan Elga."Kenapa? Kamu nggak suka ya?"Evan bukannya tidak tahu kalau Elaksi memiliki rasa tidak suka pada Hana. Umur Elaksi dan Hana yang hanya selisih beberapa bulan harusnya bisa membuat hubungan mereka dekat, tetapi kenyataannya mereka berdua terlihat selalu menjaga jarak.Bukan tanpa alasan. Karena kondisi Hana yang berbeda—akibat PTSD yang dideritanya—saat itu Ares dan Letta terkesan lebih memperhatikan Hana dibanding Elaksi. Meski orang tuanya berusaha memberikan pengertian pada Elaksi, tetap saja saat itu usia Elaksi bukan lah usia yang bisa memahami dengan bijak keadaan yang terjadi.Dan kini, luka itu masih terpatri di hati Elaksi. Ingatannya saat semua orang lebih memperhatikan Hana dibanding dirinya, bahkan Evan juga saat itu lebih sering mengajak Hana bermain dibanding dengannya. Wajar kan kalau sekarang ia semakin merasa terancam dengan keinginan kakaknya
"Ribka, Hana ke mana?"Melinda baru saja pergi dari ruangannya dan entah mengapa rasanya Evan ingin menjelaskan pada Hana agar wanita itu tidak salah paham.Tapi saat Evan melewati meja kerja Hana, tidak tampak keberadaan Hana. Justru Ribka yang terlihat menempati meja kerja Hana.Ribka mengulum senyumnya, mengingat bagaimana ia memergoki Evan mengecup kening Hana beberapa saat lalu. "Ke ruangan Pak Ares, Pak," jawab Ribka."Ngapain?""Kurang tau, Pak. Hana cuma minta tolong saya buat gantiin sebentar."Evan mengernyit bingung, ingin menyusul Hana ke ruangan ayahnya, tapi masih ada pekerjaan yang harus diselesaikannya.***Hana mengetuk pintu ruangan Ares beberapa kali sebelum lelaki paruh baya itu memerintahkannya untuk masuk."Pagi, Om.""Eh, Han. Kamu bukan ke sini pagi-pagi karena mau ngadu tentang tingkahnya Evan kan?"Hana tersenyum. Sudut matanya yang ikut terangkat saat tersenyum membuat Ares teringat akan mendiang sahabatnya. "Nggak kok, Om.""Itu, si Evan beneran ke aparteme
"Astagaaa!" Hana yang sedang membuat coklat panas di dapur, menggeram kesal saat bel apartemennya berbunyi nyaring.Walau tidak terlalu yakin, ia bisa mengerucutkan beberapa kemungkinan. Pertama, Vio. Kedua, siapa lagi kalau bukan Evan. Langkah malasnya menjadi tanda betapa dia enggan membukakan pintu untuk seseorang yang mengganggu pagi harinya dan memencet bel unitnya dengan ribut."Pagi, Han," sapa Evan tanpa merasa bersalah.Hana membiarkan pintunya agar Evan bisa masuk. "Bukannya udah kubilang kalo aku mau bawa mobil sendiri?""Tapi kan kamu nggak bilang kalo aku nggak boleh ke sini pagi-pagi."'Evan dan egonya,' batin Hana. Ia memijat pelipisnya, pening mendengar bantahan Evan di saat matahari baru saja terbit.Evan meletakkan paper bag yang tadi dibawakan mamanya di atas kabinet dapur. "Masakan Mama belum mateng tadi. Jadi Mama cuma bawain bahan-bahan buat bikin french toast di sini.""Ya ini memang masih kepagian, Van. Wajar lah kalo masakan Tante belum mateng. Jangan ngerepot
Evan masih berada di dalam ruangannya meski jarum jam sudah menunjuk angka enam. Hana sudah pulang sejak tadi. Sebenarnya ia merasa bersalah menolak ajakan Hana, tapi telepon dari Kevin benar-benar mengganggu pikirannya. Dan entah mengapa dia langsung berkata kepada Hana kalau ia memiliki janji. Padahal ia sendiri masih belum yakin untuk bertemu dengan Melinda.Pukul 19.15, Evan tidak lagi sanggup untuk membagi pikirannya antara Melinda yang sedang menunggunya, berkas yang menggunung di mejanya, dan proposal tempat wisata baru yang akan digarap oleh travel agent-nya.“Damn it!” Evan mengacak rambutnya, lalu mengambil kunci mobilnya yang ia simpan di laci meja.Mungkin ia terlambat. Mungkin saja Melinda sudah pergi. Tapi dia kenal siapa Melinda. Wanita itu pasti masih menunggunya. Itu lah yang membuatnya resah. Melinda bisa saja tetap menunggunya sampai café itu tutup.“Ok, dengerin aja dulu dia mau ngomong apa. Ini yang terakhir kalinya,” gumamnya sambil melajukan mobilnya menuju caf
“Han!” Tanpa pikir panjang, Evan membuka pintu kamar Hana yang tidak terkunci.Mata Evan membelalak saat melihat pecahan kaca dari beberapa botol yang berserakan di lantai, diiringi dengan aroma wangi yang menguar. Di dekat pecahan itu, Hana sedang berjongkok meringkuk memeluk lututnya.Melihat reaksi Hana, Evan bisa melihat kalau Hana sedang berjuang melawan PTSD-nya yang sedang muncul, walaupun tidak separah saat ia melihat kecelakaan dari dalam mobil. Evan berjalan sambil menghindari pecahan kaca di lantai, sampai ia bisa menjangkau Hana dan membawanya ke dalam pelukannya."Nggak apa-apa, Han. Nggak apa-apa," ucap Evan sambil mengusapi punggung Hana dengan pelan. "Ada aku, Han. Tenang ya."Berangsur, Evan merasakan tubuh Hana yang mulai melemas, tidak sekaku saat pertama ia memeluknya. Dengan berhati-hati ia menggendong Hana ke atas kasurnya yang hanya berjarak beberapa meter. "Aku bersihin dulu ya. Kamu di situ dulu." Evan kembali berjalan hati-hati keluar dari kamar Hana setelah
Hana berjalan keluar dari kamarnya sambil mengusap mata saat bel apartemennya berbunyi nyaring. Dengan malas ia membuka pintu apartemennya, bahkan lupa bertanya siapa yang ada di depan pintu dan mengusik tidurnya.“Baru bangun?”Hana membelalakkan mata saat menatap Evan yang sudah rapi berdiri santai di depan pintu unit apartemennya. Oh, ralat, apartemen Ares, ayahnya Evan sendiri.“Kamu ngapain ke sini pagi-pagi?”“Disuruh Mama nganterin sarapan buat kamu sekalian sarapan bareng.”Hana masih berbicara dengan Evan dari sela pintu, belum memberikan akses lebih agar Evan bisa masuk. “Jangan ngada-ngada ah.”Evan lantas mengangkat tote bag berisi beberapa kotak makan yang memang tadi disiapkan mamanya. “Telepon Mama aja kalo nggak percaya.”Melihat raut wajah Evan yang sepertinya tidak berbohong, Hana membuka pintu lebih lebar, memberikan ruang agar Evan bisa masuk ke dalam apartemen.Hana tidak mengacuhkan keberadaan Evan dan memilih duduk di sofa. Sepertinya nyawanya belum benar-benar