Hana langsung mengemudikan mobilnya menuju rumah keluarga Vio setelah mendapat kabar kepulangan Vio dari acara seminarnya di Surabaya.Tidak ada orang tua Vio ketika Hana tiba di kediaman keluarga Wasesa. Setelah menyapa beberapa ART di rumah itu yang sudah mengenalnya, Hana langsung merangsek ke dalam kamar Vio.“Vioooo!”Vio mengabaikan panggilan Hana yang cukup memekakkan telinganya. Ia masih terlalu asyik membalas chat dari pacar barunya.“Vioooo ….”“Apa sih, Han? Elah, pagi-pagi udah rusuh aja. Gue masih balesin pesennya Ardi nih.”Hana merebahkan diri di atas ranjang Vio, memosisikan diri di samping Vio. “Ardi siapa?”“Pacar baru gue. Bentar, gue bilang dulu ke Ardi kalo gue mau ngobrol sama lo.” Vio mengetikkan sesuatu pada Ardi, kemudian meletakkan ponselnya setelah mendapat balasan dari Ardi yang membuatnya mengembangkan senyuman.“Kali ini kenal di mana?” Hana menatap Vio penuh tanya, karena seingatnya Vio mengambil seminar itu sebagai penyembuh sakit hatinya karena baru sa
"Mobilmu mana, Han?” tanya Evan yang melihat Hana masuk ke halaman rumahnya dengan berjalan kaki.“Di rumah Vio, mogok,” jawab Hana.“Trus gimana?”“Nggak gimana-gimana, nanti diurus sama Bang Ibra, paling senin nanti dianter ke kantor.”Evan berdecak kesal mendengar Hana menyebut dengan ringan nama Ibra, seakan dengan keberadaan Ibra semua masalahnya beres.“Kamu ngapain di luar? Tumben,” ledek Hana. Pasalnya tempat favorit Evan saat berada di rumah adalah kamar tidurnya.“Nunggu kamu, ada yang perlu kita omongin.”Hana mengangguk, mengikuti langkah Evan yang menelusuri bagian samping rumah, melewati taman dan gazebo tanpa perlu menginjakkan kaki di rumah depan agar kedua orang tuanya tidak menghentikan mereka dan menyidang mereka saat itu juga.Tanpa Evan dan Hana tahu, dua pasang mata tengah mengamati mereka dari perpustakaan dengan jendela yang berhadapan langsung dengan bagian samping rumah.“Mas, kayaknya kita salah desain rumah deh. Lihat tuh, anakmu diam-diam bawa cewek lewat
"Beneran, Ma?" Elga menatap kakaknya dan Hana yang juga sudah ia anggap seperti kakaknya sendiri dengan penuh tanya.Pagi itu, di meja makan, Ares dan Letta mengumumkan rencana pertunangan dan pernikahan Evan dan Hana di depan seluruh keluarga mereka. Sekaligus juga meminta tolong pada Elaksi yang mengelola sebuah Event Organizer untuk membantu persiapan acara Evan dan Hana.Elga terlihat paling senang dengan kabar itu. Sementara Elaksi terdiam tanpa kata. Ia hanya mengangguk ketika mamanya meminta bantuan untuk menyiapkan acara pertunangan kakaknya satu bulan lagi.Evan memperhatikan ekspresi Elaksi. Sepertinya ia perlu bicara dengan adiknya itu untuk menjelaskan kondisinya."Ciyeee yang udah hampir resmi," ledek Elga ketika ia melewati teras, menuju halaman rumah tempat mobil yang akan mengantarkannya ke sekolah terparkir. Pemandangan kakaknya yang sedang mendiskusikan sesuatu dengan Hana membuatnya ingin menggoda keduanya."Apaan sih, Dek?" Evan ingin melemparkan pulpen di tanganny
“Coba, jelasin ke aku, kenapa kamu nyari info tentang Global Investama, dan kenapa kamu harus minta tolong ke Ibra?”Keduanya tengah berada di ruang kerja Evan, setelah Evan menarik Hana untuk langsung kembali ke kantor usai makan siang. Meskipun bersungut-sungut karena tidak jadi membeli sepatu, Hana akhirnya hanya bisa menuruti keinginan Evan yang menggenggam tangannya sejak berpamitan dengan Ibra.“Kamu nguping apa yang kuomongin sama Bang Ibra?”“Kalian ngomong di ruang publik ya, kupingku aja terlalu tajam buat ngedenger semuanya.”Hana beranjak dari single seater sofa yang didudukinya dan beralih ke samping Evan yang duduk di two seater sofa.“Kamu tau dari mana kalo aku makan di sana?” tanya Hana yang kini jaraknya hanya beberapa jengkal di samping Evan.“Kebetulan, nggak usah kepedean.”Hana menatap lekat manik mata Evan yang berwarna brunette, mencoba memberikan aura intimidasinya kepada Evan agar laki-laki itu mengakui bahwa ia memang sengaja mengikutinya saat makan siang.“
"Boleh ya, Ma?"Sepanjang pagi Evan berusaha merayu mamanya agar mengizinkannya dan Hana pergi untuk survey lokasi yang akan menjadi salah satu destinasi wisata travel agent-nya.Ini adalah salah satu kesepakatan Evan dengan orang tuanya saat itu. Evan akan masuk ke perusahaan keluarga, tapi Evan juga tidak akan melepaskan begitu saja usaha yang dirintisnya bertahun-tahun."Mama takut kalian ngapa-ngapain di sana.""Astaga, Mama kok nggak percaya sama anak sendiri sih."Tangan Letta memukul lengan Evan agar anaknya itu menyadari tingkahnya. "Kamu dikasih kepercayaan malah tidur bareng lagi.""Tapi kan nggak ngapa-ngapain, Ma," kilah Evan."Ah nggak tau ah, kamu ini, jabatan udah Direktur tapi masih ngerengek aja.""Coba lihat nih, Ma." Evan mengeluarkan ponselnya, membuka file yang malam sebelumnya dikirim salah satu timnya. "Nih itinerary-nya. Coba Mama lihat, mana ada kesempatan buatku macem-macem. Lagian kan perginya nggak cuma berdua. Ada timku yang lain juga, Ma. Aku ke sana buat
Vio menghela napas dengan kasar kemudian berlalu menuju ruang tamu apartemen itu, agar tidak lagi menyaksikan sepasang anak manusia bermesraan di dapur.“Kok Vio bisa masuk?” tanya Evan lirih setelah melihat Vio menjauh.“Yang tau pin apartemen ini cuma Tante Letta, Tante Rimbi, sama Vio, sekarang ditambah kamu.”“Perlu diganti kalo gitu, biar nggak kepergok lagi,” ucap Evan menggoda Hana.“Ck! Udah, kamu pulang sana. Biar aku yang ngadepin Vio, pasti bakal lama ini urusannya.”“Beneran nggak perlu kubantu ngejelasin?”Hana menggeleng.Keduanya melangkah menuju ruang tamu di mana Vio menunggu. Demi kesopanan, Evan berpamitan pada Vio, lalu mencium Hana sekali lagi dengan singkat untuk melihat reaksi Hana dan Vio.“Evan!” ucap Hana sambil mengerang, melirik ke arah Vio yang bola matanya seperti hampir keluar.***Hana bergelung dalam selimut sambil menutup wajahnya. “Gue murahan banget ya, Vi?” tanya Hana setelah menjelaskan semua kejadian yang tadi disaksikan Vio dan rencana pernikaha
"Kenalin, Han. Ini timku di perusahaan rempeyek," ucak Evan sambil terkekeh.Hana menyapa dan bersalaman dengan kedua lelaki yang ada di depannya."Perusahaan rempeyek?" Hana terlihat bingung sementara ketiga lelaki itu tertawa terbahak.Gurauan yang sudah biasa didengar oleh Ndaru dan Fadil. Sebenarnya, Evan sedang membandingkan scope usaha yang dirintisnya dengan Cakrawangsa Group, karena itu ia menyebut perusahaannya perusahaan rempeyek, padahal perusahaannya merupakan salah satu travel agent yang sedang berkembang di Indonesia karena selain tempat wisata yang sudah terkenal, travel agent-nya juga menyasar tempat-tempat wisata anti mainstream."Ya buat perbandingan aja sama Cakrawangsa.""Oooh." Hana mengangguk-angguk setelah tahu kalau itu hanya gurauan mereka. "Aku cewek sendiri nih?" tanya Hana."Kenapa? Takut?" ledek Fadil.Evan terkekeh. "Ada aku, tenang aja, mereka nggak bakal berani ngapa-ngapain.""Ada juga lo yang mesti diwaspadai." Ndaru mendengkus kesal. Ia tahu siapa Ha
“Memangnya nyium calon istri sendiri itu sebuah kesalahan?” Evan dengan gemasnya mengetuk-ngetukkan tangannya di helm yang dikenakan Hana. “Lagian juga kamu ngebales kan.”Hana mencubit lengan Evan dengan keras saking kesalnya dengan ucapan Evan. Untung saja suara teriakan Evan masih kalah dengan suara air terjun. “Kok aku kayak pernah diceritain seseorang ya, yang katanya dapet gelang dari pasangannya pake bandul yang punya arti namanya, siapa ya, Vio?”“Mama,” jawab Evan. “Dulu Ayah ngasih Mama gelang yang make bandul elang sama bintang, simbol nama mereka berdua.”“Oh, iya, Tante Letta. Jadi kamu niru ayahmu?”“Nggak. Kan aku nggak ngasih bandul di gelang itu, soalnya aku bingung.”Ucapan polos dari Evan membuat Hana terkekeh. “Makasih ya, Van.”***Mereka baru keluar dari mulut gua setelah jarum jam menunjuk angka empat. Perjalanan kembali tidak sesulit saat berangkat. Mereka lebih sering diminta untuk terlentang di atas air, kemudian guide akan menarik mereka.Hanya dua atau tiga
"Van, kamu lagi nyetir, mending matiin aja video call-nya. Bahaya.""Kamu nggak apa-apa? Kenapa nggak nelepon aku pas dia dateng tadi?""Kamu mau ketemu dia?""Bukan gitu, Sayang. Aku kan jadi nggak bisa ngelindungin kamu. Bentar ya, aku udah mau nyampe."Evan mematikan sambungan video call-nya, meninggalkan Hana yang bingung saat mendengar Evan hampir sampai di tujuan. 'Nggak mungkin udah sampe kantor kan? Cepet banget.'"Sayang."Hana menoleh dengan kaget ke arah pintu kamar yang baru saja dibuka."Kok balik?""Ya aku nggak bisa tenang lah. Tadi aku langsung puter balik pas dapet telepon dari Bibi. Tapi macet banget pas mau puter baliknya. Maaf ya, lama. Kamu nggak apa-apa?" Evan menarik Hana ke dalam pelukannya, mengusapi punggungnya pelan. "Nggak ada omongan dia yang bener. Jangan ada yang dimasukin ke hati ya.""Kamu denger semuanya?""Hmm. Aku makin cinta sama kamu. Rasanya pengen tepuk tangan waktu kamu bales semua omongan nggak benernya."***"Kamu yakin ngelakuin ini, Van?""
Hana tahu kalau tidak sopan langsung bertanya seperti itu kepada tamu yang datang ke rumahnya. Tapi boleh kan ia membuat pengecualian untuk wanita itu? Ini rumahnya, dia punya kuasa sebenarnya untuk menerima atau mengusir tamu.Wanita yang dengan tenang duduk di sofa itu menyunggingkan senyumannya. Di atas meja terlihat satu keranjang buah, entah dalam rangka apa dia membawanya, sebagai tanda empati atau sebaliknya, sebagai tanda berbahagia."Aku cuma mau jenguk, katanya kamu baru keluar dari rumah sakit.""Makasih, kalo tujuanmu buat bener-bener jenguk. Tapi aku udah sehat.""Kamu memang udah sehat, tapi ... sayang banget ya ... calon anak Evan--""Sebenernya tujuan kamu apa, Mel? Aku tau kamu ke sini bukan buat jenguk. Kalo kamu mau jenguk aku, bisa pas ada suamiku kan? Sekalian kalo kamu mau nyoba deketin dia lagi."Melinda tersenyum pongah. "Gimana rasanya kehilangan yang seharusnya jadi milik kamu?""Aku memang kehilangan calon bayiku dan Evan, tapi masih ada rasa bahagia, sengga
"Sayang, udah tiga hari kita di sini, nggak mau balik ke rumah kita?" tanya Evan saat Hana merapikan dasinya sebelum berangkat ke kantor.Hana masih belum banyak bicara pada Evan, walau tetap menjawab apa yang Evan tanyakan. Tidur mereka pun masih terpisah, hanya kadang Hana masuk ke kamar Evan jika memang ada sesuatu yang harus diurusnya seperti merapikan pakaian kerja Evan atau mencari barang yang tidak bisa ditemukan Evan."Ya udah, nanti malem kita balik ke rumah.""Beneran? Nggak apa-apa? Kalo kamu masih mau di sini dulu nggak apa-apa juga kok.""Iya, nanti malem pulang aja."Beberapa hari ini Hana memperhatikan keluarga Evan yang masih memberikan silent treatment pada Evan. Semakin lama, rasanya semakin tidak tega melihatnya. Lagipula ia tidak mau mengumbar hubungan rumah tangganya lebih lama lagi. Sepertinya orang tua Evan pun mulai gelisah karena ia dan Evan masih seperti berada di dunia yang berbeda."Nanti abis makan malem kalo gitu ya."Hana mengangguk samar. "Aku ... kapan
Baru kali ini Evan mengalami makan malam tanpa suara obrolan.Keluarganya bukannya tidak tahu adab dengan banyak bicara saat prosesi makan berlangsung. Tapi karena kesibukan masing-masing anggota keluarganya, makan bersama tidak pernah diisi dengan keheningan. Minimal ada Elga yang selalu mengoceh, menceritakan apa saja yang menarik menurutnya.Namun malam itu, semua orang sepertinya sedang sakit gigi atau sariawan. Hanya terdengar dentingan sendok dan garpu dalam ruang makan yang luasnya bisa untuk dijadikan lapangan futsal itu.Ia pun tidak berani memulai percakapan, melihat mama dan ayahnya yang masih jelas-jelas memendam kemarahan padanya."Makan yang banyak, Han." Kalimat pertama yang terucap di ruang makan itu keluar dari Letta yang gelisah melihat Hana hanya mengaduk makanan di piringnya."Iya, Ma." Hana mulai memakan makanan di atas piringnya karena tidak ingin melihat tatapan cemas dari yang lainnya."Mau makan di kamar aja? Nanti aku anter ke kamar," ujar Evan lirih.Sebelum
"Sayang, kamu ngomong apa sih?""Mungkin kalo Melinda yang jadi istrimu—""Hana!" sela Evan yang kini memejamkan matanya, berusaha untuk mengatur emosinya. "Han, apa yang kamu lihat waktu itu nggak seperti yang kamu pikirin. Please, sekarang yang penting kamu sehat dulu. Nggak usah mikir yang nggak-nggak."Hana ingin menyahuti Evan, tapi pintu ruang rawat inapnya terbuka. Ayah mertuanya masuk sambil menyunggingkan senyumannya."Gimana, Han? Perlu Ayah panggilin dokter? Kata Mama dokter belum ngecek lagi ke sini setelah kamu bangun?"Hana membalas perhatian ayah mertuanya dengan sebuah senyuman, meski sangat sulit rasanya untuk tersenyum di kondisinya saat ini. "Nggak apa-apa kok, Yah. Biar nunggu jadwalnya dokter visit aja."Ares melirik Evan dengan tatapan yang sama sejak ia menampar anaknya itu. "Kamu sehat dulu ya, Han. Kalo udah sehat, kamu boleh minta penjelasan ke Evan, kamu boleh marah sama Evan, bahkan kalau kamu mau minta cerai pun, ayah nggak akan menghalangi. Di keluarga Ca
Hening.Tidak ada yang berbicara selama perjalanan dari rumah Evan ke rumah sakit.Ares memang marah pada anaknya, tapi sifat kebapakannya tidak juga luntur. Nyatanya ia menunggu Evan di dalam mobil, setelah memberi tahu kalau Hana berada di rumah sakit."Yah, kondisi Hana ...?" Evan melirik ayahnya yang fokus menyetir, menatapnya beberapa detik dan tidak mampu melanjutkan kalimatnya."Nanti kamu tanya sendiri. Itu juga kalo Hana mau nemuin kamu."***"Han." Letta memanggil Hana yang baru saja membuka matanya. Sudah beberapa jam ini ia tertidur di bawah kontrol obat penenang. "Ada yang terasa sakit? Mama panggilin dokter ya."Hana menggeleng pelan. "Nggak usah, Ma."Melihat gerakan Hana yang seperti ingin duduk, Letta bergegas membantunya. "Tiduran aja, Han. Ranjangnya otomatis kok.""Oh, iya, Ma." Hana kembali merebahkan diri dan tak lama kemudian bagian atas ranjangnya terasa bergerak naik setelah Letta menekan beberapa tombol di samping ranjang."Kak Azka mana, Ma?""Lagi ke kantin
Letta berlari di sepanjang koridor rumah sakit setelah mendengar kabar dari Azka. Suaminya juga sedang dalam perjalanan ke rumah sakit tapi terjebak kemacetan demonstran yang terjadi di depan salah satu kantor kementerian."Gimana, Ka?" tanya Letta yang melihat Azka duduk lemas di salah satu kursi ruang tunggu."Dokter belum keluar, Tan.""Kamu udah berhasil hubungin Evan? Nomor hpnya nggak aktif." Letta benar-benar bingung dengan situasi yang terjadi. Mengapa Hana ada di Jakarta dan Evan masih di Lombok? Belum lagi ponsel Evan yang tidak bisa dihubungi sejak Letta mendapat kabar kondisi Hana dari Azka.Beruntung Azka datang ke rumah Hana pagi itu, kalau tidak, Letta tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Hana. Hanya ada dua ART di rumah itu dan semuanya perempuan. Siapa yang bisa membawa Hana ke rumah sakit dalam keadaan merintih kesakitan. Menunggu ambulance atau pertolongan dari kelaurganya tentu saja membutuhkan waktu lebih lama lagi."Masih nggak aktif hpnya, Tan," jawab A
Dante Coffee, hanya tempat itu yang kini menarik perhatian Hana. Tempatnya tidak terlalu luas, ada beberapa pengunjung di dalam dan masih ada tempat kosong di sudut coffee shop itu.Ia melangkah masuk, memesan minuman hangat selagi menunggu jadwal penerbangannya.Jangan tanyakan perasaannya saat ini.Hampa.Bahkan air mata tak kunjung ingin keluar dari sudut matanya. Padahal ia membayangkan kelegaannya jika air matanya bisa keluar saat itu juga.Hana berjalan menuju counter saat namanya dipanggil. Di tangannya kini ada secangkir cappuccino yang mengepul. Lumayan untuk Hana menghangatkan telapak tangannya yang mulai kedinginan, pasalnya ia hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana jeans, tanpa sempat berpikir mengambil cardigan dari dalam koper. Biasanya ia tidak memerlukan cardigan karena selalu ada Evan yang siap memeluknya.Lagi-lagi Hana tersenyum nanar, lelaki yang tiba-tiba saja muncul dipikirkannya saat ini, nyatanya tengah memeluk wanita lain. Apa yang bisa ia harapkan?Se
Hana mengerjap pelan, kepalanya berat, dan kakinya masih pegal, rasanya seperti ia baru saja selesai latihan tae kwon do. Ia meraba-raba sisi kasur di sebelahnya, namun tidak menemukan keberadaan suaminya.'Mungkin di kamar mandi,' pikirnya.Ia kembali memejamkan mata, dan terlelap.Entah pukul berapa saat itu, yang jelas suara telepon internal di dalam kamar yang berbunyi nyaring membuat Hana terbangun. Ia mencoba meraih gagang telepon yang ada di atas nakas."Halo," jawabnya dengan suara serak khas orang bangun tidur."Han, lo tidur? Sorry, sorry.""Ada apa, Fin?" tanya Hana setelah yakin kalau suara di seberang sambungan telepon adalah suara Arfindo."Lo sama Evan nggak mau jalan-jalan gitu, lihat sunset mungkin? Gue gabut nih di kamar sendirian, nggak apa-apa deh gue jadi obat nyamuk kalian. Nggak enak banget sumpah, masa sampe Lombok cuma ngerem di kamar.""Hah? Lihat sunset?" Padahal Hana kira saat itu sudah pagi, tapi Arfindo mengajaknya melihat sunset? Ia lantas mengecek ponsel