"Kenalin, Han. Ini timku di perusahaan rempeyek," ucak Evan sambil terkekeh.Hana menyapa dan bersalaman dengan kedua lelaki yang ada di depannya."Perusahaan rempeyek?" Hana terlihat bingung sementara ketiga lelaki itu tertawa terbahak.Gurauan yang sudah biasa didengar oleh Ndaru dan Fadil. Sebenarnya, Evan sedang membandingkan scope usaha yang dirintisnya dengan Cakrawangsa Group, karena itu ia menyebut perusahaannya perusahaan rempeyek, padahal perusahaannya merupakan salah satu travel agent yang sedang berkembang di Indonesia karena selain tempat wisata yang sudah terkenal, travel agent-nya juga menyasar tempat-tempat wisata anti mainstream."Ya buat perbandingan aja sama Cakrawangsa.""Oooh." Hana mengangguk-angguk setelah tahu kalau itu hanya gurauan mereka. "Aku cewek sendiri nih?" tanya Hana."Kenapa? Takut?" ledek Fadil.Evan terkekeh. "Ada aku, tenang aja, mereka nggak bakal berani ngapa-ngapain.""Ada juga lo yang mesti diwaspadai." Ndaru mendengkus kesal. Ia tahu siapa Ha
“Memangnya nyium calon istri sendiri itu sebuah kesalahan?” Evan dengan gemasnya mengetuk-ngetukkan tangannya di helm yang dikenakan Hana. “Lagian juga kamu ngebales kan.”Hana mencubit lengan Evan dengan keras saking kesalnya dengan ucapan Evan. Untung saja suara teriakan Evan masih kalah dengan suara air terjun. “Kok aku kayak pernah diceritain seseorang ya, yang katanya dapet gelang dari pasangannya pake bandul yang punya arti namanya, siapa ya, Vio?”“Mama,” jawab Evan. “Dulu Ayah ngasih Mama gelang yang make bandul elang sama bintang, simbol nama mereka berdua.”“Oh, iya, Tante Letta. Jadi kamu niru ayahmu?”“Nggak. Kan aku nggak ngasih bandul di gelang itu, soalnya aku bingung.”Ucapan polos dari Evan membuat Hana terkekeh. “Makasih ya, Van.”***Mereka baru keluar dari mulut gua setelah jarum jam menunjuk angka empat. Perjalanan kembali tidak sesulit saat berangkat. Mereka lebih sering diminta untuk terlentang di atas air, kemudian guide akan menarik mereka.Hanya dua atau tiga
"Hey, calon istriku marah?"Hana membuka pintu kamarnya dengan key card yang tadi diberikan resepsionis. "Nggak, Van," jawab Hana singkat dengan tangan yang terulur hendak mengambil tas ranselnya yang digendong Evan.Evan tidak membiarkan Hana mengambil tasnya, ia malah mendorong pintu kamar Hana sampai terbuka dan masuk ke dalamnya."Beneran nggak marah? Tadi dia cuma mau ngasih operational plan aja." Evan menjelaskan setelah meletakkan tas Hana di atas meja."Aku nggak marah. Belum juga kita tunangan, apa hakku buat marah?"Evan menghembuskan napas lega yang hanya bertahan beberapa detik karena Hana melanjutkan ucapannya."Tapi kamu nyadar dong kalo ada maksud lain di balik telepon dia barusan? Siapa juga yang ngomongin kerjaan di malam minggu kalo kerjaan itu nggak urgent banget?" Otak cerdas Hana sudah terbiasa menelaah segala permasalahan mulai dari latar belakang hingga langkah-langkah yang diambil lawannya.Lawan? Apakah Melinda lawannya? Jelas-jelas kalau Melinda kini adalah p
"Pagi, Mbak Hana, ada yang mau ketemu Pak Evan dari pihak Wijaya, tapi belum buat janji."Ucapan resepsionis melalui sambungan telepon internal itu membuat Hana menghela napas. Ia tidak perlu bertanya siapa nama tamu yang dimaksud karena ia bisa dengan mudah menebaknya."Wait! Saya tanya ke Pak Evan dulu apa beliau berkenan bertemu."Hana menekan tombol yang langsung menghubungkannya ke telepon yang ada di ruangan Evan."Ya?" jawab Evan di seberang sambungan."Ada yang mau bertemu Pak Evan, perwakilan dari Wijaya.""Siapa, Han? Melinda?""Maaf saya lupa tanya ke resepsionis, tapi saya hampir yakin Bu Melinda yang ingin bertemu Pak Evan."Evan mengulum senyumnya mendengar nada bicara Hana."Ok, suruh naik aja.""Baik, Pak." Hana mendengkus kesal. "Cih!""Apa, Han?"Mata Hana terbelalak saat menyadari kalau ia belum memutus sambungan teleponnya dengan Evan. Dengan panik ia menekan tombol lain yang menghubungkannya ke meja resepsionis."Persilakan tamunya masuk."Hana kembali menekuri ko
"Han. kenapa deh kamu kayak kurang tidur?"Hana mengusap matanya berkali-kali dan hal itu membuat Evan menggeram kesal."Udah ih, cuci muka sana, itu mata, bukan baju. Nanti matamu merah kalo dikucek terus."Hana mengabaikan omelan pagi hari dari Evan. Ia memilih merebahkan diri di sofa sambil memandang kosong ke arah jendela apartemennya."Ada yang lagi kamu pikirin ya?" tebak Evan."Hmm.""Apa? Acara tunangan kita? Atau yang lain? Mau cerita ke aku? Siapa tau bebanmu sedikit berkurang."Hana belum siap menceritakan semuanya, di saat ia sama sekali belum mendapat kepastian tentang apa yang dihadapinya. Ia memilih menjawab pertanyaan Evan dengan gelengan. "Aku cuma nggak bisa tidur aja semalem."Evan tiba-tiba berdiri di sampingnya. Satu tangannya ditelusupkannya ke bawah tengkuk Hana dan satu tangannya yang lain meraih kaki Hana. Dengan mudahnya ia mengangkat Hana.“Van!”“Tidur di kamar, makin pegel semua badanmu kalo tidur di sofa. Masih ada waktu buat kamu tidur lagi bentar.”“Bis
Evan lantas meletakkan gelas kopinya agar tidak membahayakan, sebelum ia duduk di samping Hana dengan bersandar pada pintu.Tanpa bicara, Evan kembali merengkuh Hana ke dalam pelukannya. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ketika dia mencoba menyambungkan semua kejadian hari itu, kemungkinan besar apa yang terjadi pada Hana berhubungan dengan Vio.“Semuanya akan baik-baik aja, Han.”Evan menunggu sampai tangisan Hana reda kemudian menuntunnya ke kamar. Ia benar-benar tidak tahu apakah emosi Hana ini akan mendorong PTSD yang diderita Hana muncul.“Mau dibikinin teh?” tanya Evan yang masih dalam mode bingungnya.Hana menggeleng, memilih bergelung di dalam selimut sambil meredakan tangisnya.“Aku ambilin air putih aja ya kalo gitu?” Evan lantas keluar dan mengambil segelas air putih untuk Hana.Evan meminta Hana meminum air putih yang dibawakannya sembari ia mengusapi punggung Hana dengan sayang. Biarlah kalau Hana belum ingin menyampaikan apa pun padanya. Sekarang ia hanya
“Laki-laki tua bagka itu orang yang jahat, Han. Dia bisa melakukan apa aja buat nuntasin dendamnya. Andai nenekku tau dulu kelakuan dia kayak apa.” Ibra menahan geraman kesalnya.“Dendam? Aku nggak ngerti, Bang. Bisa nggak jelasin pelan-pelan?”Cerita mulai bergulir dari mulut Ibra. Sebenarnya ia ingin menutupi cerita ini sampai kapan pun, siapa sangka Hana menyadarinya, dan ia tidak punya alasan lagi untuk membiarkan Hana dalam kegelapan.Semua bermula dari dendam bisnis, saat itu kakek Evan (generasi kedua Cakrawangsa) memang bersaing dengan Reza. Sampai ketika kakek Evan jatuh sakit dan Ares terpaksa mengambil alih operasional perusahaan, Reza berpikir kalau ia akan mudah mengalahkan Cakrawangsa. Tapi Reza salah. Ares menggandeng sahabat dekatnya yang bertangan dingin dan memiliki otak bisnis, Arya, ayah dari Hana.Kehabisan ide karena Arya layaknya filter pertama sebelum sebuah proposal proyek sampai ke tangan Ares, membuat Reza gelap mata.“Jadi, kecelakaan orang tuaku itu hasil
"Han. Bangun." Evan mengusap pelan lengan Hana yang masih terlelap. "Ada yang mau ketemu.""Siapa?" tanyanya masih dengan tetap memejamkan mata."Tantemu."Ucapan Evan berhasil membuat Hana membuka mata. "Tante? Tante siapa? Tante Letta? Tante Rimbi?""Bukan, Tante Dian."Kini Hana membuka matanya dengan sempurna dan bergegas turun dari ranjang untuk memastikan pendengarannya tidak salah.Seorang wanita paruh baya tengah menunggunya di sofa ruang tamu sambil bersedekap, menunjukkan kekesalannya."Tante ...." Hana memeluk tubuh wanita itu dengan erat. Dia lah satu-satunya anggota keluarga terdekat yang memiliki hubungan darah dengannya. Dian adalah sepupu dari mamanya dan juga sahabat ayahnya.Dian mengusapi punggung keponakannya itu, berusaha menyalurkan kerinduan yang selama ini terpendam. Andai saja Hana mau diajaknya ke Eropa, tentu ia bisa merawat Hana hingga Hana dewasa.Ada rasa bersalah yang sangat besar bercokol di hatinya saat harus meninggalkan Hana di bawah pengawasan Ares
"Lucu banget siiih." Vio yang menggendong sesosok bayi kecil tidak bisa mengalihkan matanya dari bayi yang belum bisa membuka mata itu. "Boleh bawa pulang satu nggak? Kan masih ada satunya lagi.""Kalo dia laper, lo mau nyusuin?" Hana mendelik ke arah Vio."Ck! Lucu banget tau, Han." Vio dengan gemasnya mengecupi pipi bayi merah itu."Udah pengen ya?" tanya Hana menggoda Vio yang agak terlihat kaku menggendong bayi di tangannya.Vio mengedikkan bahu sebagai jawabannya.Saat keduanya tengah bermain-main dengan bayi kembar itu, Evan dan Azka masuk ke dalam kamar rawat dengan dua tote bag yang berlogokan salah satu minimarket. Hana memang meminta pada suaminya untuk dibelikan cemilan karena makanan dari rumah sakit hanya mampu mengganjal setengah ruangan di perutnya."Van, si twin siapa sih namanya? Astaga, udah setengah jam aku nanya ke Hana, katanya kamu yang bakal ngasih tau karena kamu ngelarang dia ngasih tau. Apaan coba?"Evan tersenyum pongah. Ia memang melarang Hana memberitahukan
Hana mengusap peluh yang mulai terasa di dahinya. Ia berusaha menahan rasa sakit yang mulai menyergapnya. Evan masih tertidur pulas di sebelahnya.Setelah mengatur napasnya beberapa saat dan sakit di perutnya tidak kunjung mereda, tangan Hana terpaksa menggapai suaminya untuk membangunkannya."Maaas.""Hmm?" Evan mendengar panggilan istrinya tapi matanya masih enggan untuk membuka."Mas, perutku mules."Barulah setelah mendengar itu, mata Evan membuka sempurna. "Kontraksi?"Hana hanya bisa kembali mengatur napasnya. Ini yang pertama untuknya, bagaimana ia bisa membedakan itu kontraksi palsu atau kontraksi yang sebenarnya."Aku bangunin Mama dulu ya."Sejak satu bulan sebelum Hari Perkiraan Lahir (HPL), semua anggota keluarga Evan sudah menginap di rumah Evan, mama papanya, termasuk Elga dan Elaksi. Euforia dan khawatir yang berlebihan adalah penyebabnya. Tapi Evan juga tidak memungkiri kalau ia membutuhkan kehadiran mamanya yang sudah berpengalaman menghadapi proses persalinan."Masih
"Permisi, Pak." Ribka melongokkan kepala ke ruang atasannya setelah mendengar sahutan dari Evan yang mempersilakannya masuk."Kenapa, Rib?""Hana?"Evan hanya menunjuk dengan dagu posisi Hana yang sedang tidur di sofanya. Sejak kehamilan Hana, Evan sengaja mengganti set sofa di ruangannya dengan yang lebih besar agar Hana bisa tidur dengan nyaman.Apalagi kini kehamilan Hana menginjak tujuh bulan. Dengan perut sudah sebesar itu, sebenarnya Evan tidak tega membiarkan Hana masih bekerja, walau setengah hari kerja Hana hanya dihabiskan untuk tidur. Tapi ke-clingy-an Hana belum juga berkurang hingga Evan tidak mungkin membiarkannya di rumah sendiri."Kenapa nyari Hana?""Ada proposal yang nunggu approval Pak Evan. Dan belum di-review Hana. Tadi tim pengembangan 2 udah nanya hasilnya, Pak.""Langsung kirim ke saya aja, Rib. Biar saya periksa.""Nggak lewat Hana nggak apa-apa, Pak?""Lihat sendiri dia teler begitu." Evan terkekeh melihat Hana yang tertidur dengan nyaman tanpa merasa tergang
"Maaas, meluknya jangan kenceng-kenceng. Nanti dedeknya kegencet."Evan merenggangkan pelukannya meskipun rasanya masih belum rela."Gemes abisnya. Kamu jadi lebih enak dipeluk."Hana mendelik kesal. Pasti ada yang tersirat di balik ucapan suaminya itu. "Maksudnya aku gendutan? Jadinya empuk untuk dipeluk?""Ya ampun, jangan sensitif gitu dong, Han. Nanti kalo kamu kesel, baby-nya ikut kesel sama ayahnya gimana?"Hana mengerucutkan bibir karena kesal, tapi justru ditanggapi Evan sebagai kode untuk mencium bibir istrinya itu, yang semenjak kehamilannya sama sekali tidak pernah terpoles lipstik."Ya orang hamil memang gendutan, Sayang. Kalo nggak gendutan gimana lah, mesti kita periksain lagi ke dokter, apalagi kamu bawa dua baby di perut," ucap Evan setelah puas mengeksplorasi kelembutan bibir istrinya."Mas nggak akan ninggalin aku meskipun aku gendut kan?" tanya Hana tiba-tiba."Kok kamu jadi clingy banget sih sejak hamil?" tanya Evan sampai hampir terbahak. Tidak pernah terbayangkan
"Mbak Hana mikir apa?" tanya Bi Lastri yang memperhatikan Hana melamun sambil mengaduk lemon tea yang baru saja dibuatnya. "Jangan banyak pikiran, Mbak. Kasihan yang di perut."Hana tersenyum melihat kekhawatiran Bi Lastri padanya. Pasti mama mertuanya sudah mewanti-wanti ART di rumahnya untuk memperhatikannya.Ia memang sedang berpikir, tapi bukan masalahnya yang sedang menguasai pikirannya. Hari sebelumnya ia sempat mengobrol dengan Vio, dan curahan hati Vio tentang hubungannya benar-benar membuat Hana memutar otaknya.Dan inilah saatnya ia mencoba melakukan sesuatu untuk membantu hubungan sahabatnya."Bibi, minta tolong bawain minum sama cemilannya ke ruang tengah ya," ucap Hana, kemudian berlalu menyusul suaminya dan sepupu iparnya yang sedang mengobrol di ruang tengah."Mas, Arfindo udah punya cewek belum sih?" Kalimat pertanyaan pertama yang disampaikan Hana begitu menginjakkan kaki di ruang tengah membuat Evan mengernyitkan dahi."Ngapain nanyain Arfindo?"'Evan dan cemburunya.
"Jadi Evan nerima lo lagi?"Sudah beberapa minggu sejak keluarga Evan akhirnya tahu apa yang dilakukan Hana untuk menyelamatkan perusahaan. Hana sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Evan yang disangka Vio tidak akan terjadi.Hana mengedikkan bahu, karena dia sendiri juga bingung dengan apa yang diinginkan Evan. "Lo sama Kak Azka gimana?""Loh kok jadi ngomongin gue?""Ayolah Vi, gue butuh hiburan kisah cinta orang lain daripada kisah cinta gue.""Nggak ada apa-apa, Han. Jadi nggak ada yang perlu gue ceritain.""Hah? Serius? Waaah, Kak Azka mesti didorong nih."Hana meraih ponselnya dari dalam tas kemudian sibuk mengirim pesan pada Azka, sementara Vio menatap makan siang di depannya dengan malas padahal dia yang sejak pagi mendesak Hana untuk menemaninya makan siang di salah satu restoran kesukaannya.Keduanya larut dalam obrolan sampai Hana tidak sadar kalau makanannya sudah habis sementara makanan Vio bisa dibilang masih utuh."Makan yang bener, Vi.""Lo kayak nggak pernah
"See? Dia udah nggak ada perlu lagi, makanya nggak ngehubungin." Vio menatap ponselnya dengan kesal. "Emang dia nggak ada rasa. Sadar dong, Vio!" Vio berusaha meyakinkan diri sendiri kalau perasaannya tak berbalas.'Telepon duluan aja!' Entah sisi hatinya yang mana yang sedang berbisik."Dih, nggak ada ceritanya seorang Vio ngehubungin laki-laki duluan." Sambil menggeram kesal, Vio menjauhkan ponselnya, kemudian mencoba larut dalam berkas gugatan yang baru saja dikirimkan stafnya melalui e-mail.Sepanjang hari Vio berusaha menyibukkan diri sendiri, dan jika mode Vio yang seperti ini sedang kumat, maka yang menjadi buklan-bulanannya adalah para staf dan junior pengacara di law firm itu. Vio bisa saja bekerja seakan besok hari kiamat, dan hari itu juga semua berkas perkara atau pledoi yang sedang mereka siapkan harus selesai."Kenapa sih Mbak Vio?" bisik Indri pada Laras."Putus cinta kali, kayak biasanya. Masih kaku aja, tau sendiri kita rutin ngalamin hal ini beberapa bulan sekali.""
Vio mengerjap pelan, diiringi dengan suara terkikik pelan dari resepsionis yang mendengarkan ucapan Azka yang hanya berjarak tidak lebih lima meter darinya."Hmm ... Mas, bukannya aku sok sibuk. Tapi aku ngecek jadwalku dulu ya—"'Dan kesiapanku.' batin Vio. Andai ia bisa mengutarakannya. Tapi tidak lama kemudian ia sadar kalau Azka dan mamanya berurusan dengannya hanya demi Hana, tidak ada niat lain. Ia hampir tertawa kalau tidak ingat Azka masih berada di depannya."Ya udah, jangan dipaksain kalo gitu, nanti aku whatsapp lagi ya, kamu bisa atau nggak-nya."Vio mengangguk mengiakan. Sebenarnya ia lebih senang ditelepon, paling tidak ia bisa mendengar suara berat Azka, tapi tidak mungkin diungkapkannya kan."Aku ... berangkat kerja dulu ya."Kali ini suara terkikik Achi semakin keras dan baru berhenti setelah Vio memelototinya."Mbak Vio kayak lagi main rumah-rumahan deh."Kalau saja wanita itu tidak lebih tua dari Vio, mungkin Vio akan memarahinya habis-habisan. "Main rumah-rumahan?
"Ma, Pa, aku nggak sarapan di rumah ya." Azka bergegas merapikan barangnya ke dalam tas ransel sambil berpamitan pada kedua orang tuanya yang sedang duduk menyantap sarapan."Ke mana, Ka? Pagi banget?""Jemput Vio, Ma. Semalem dia kuanter pulang, pagi ini dia naik apa kalo mobilnya di kantor?"Rimbi terbengong mendengar jawaban Azka. Sementara Ferdi menahan tawanya."Demi dapet alamat Hana. Pergi dulu Ma, Pa." Azka mencium tangan kedua orang tuanya lantas berlalu pergi.Setelah Azka hilang dari pandangan mereka, barulah Ferdi berani meledakkan tawanya. "Udah, kamu aja yang turun tangan. Nungguin hasil dari Azka pasti lama.""Emangnya Azka ...?" Rimbi menatap suaminya dengan bingung."Kali ini Azka dapet lawan yang sepadan, kayaknya kamu yang mesti turun tangan."***Azka melajukan mobilnya ke sebuah perumahan elit. Jelas Azka tahu di mana Vio tinggal karena sudah beberapa kali mengantar Hana ke rumah itu, dan malam sebelumnya pun ia mengantar Vio sampai depan gerbang rumahnya. Akan te