Evan lantas meletakkan gelas kopinya agar tidak membahayakan, sebelum ia duduk di samping Hana dengan bersandar pada pintu.Tanpa bicara, Evan kembali merengkuh Hana ke dalam pelukannya. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi ketika dia mencoba menyambungkan semua kejadian hari itu, kemungkinan besar apa yang terjadi pada Hana berhubungan dengan Vio.“Semuanya akan baik-baik aja, Han.”Evan menunggu sampai tangisan Hana reda kemudian menuntunnya ke kamar. Ia benar-benar tidak tahu apakah emosi Hana ini akan mendorong PTSD yang diderita Hana muncul.“Mau dibikinin teh?” tanya Evan yang masih dalam mode bingungnya.Hana menggeleng, memilih bergelung di dalam selimut sambil meredakan tangisnya.“Aku ambilin air putih aja ya kalo gitu?” Evan lantas keluar dan mengambil segelas air putih untuk Hana.Evan meminta Hana meminum air putih yang dibawakannya sembari ia mengusapi punggung Hana dengan sayang. Biarlah kalau Hana belum ingin menyampaikan apa pun padanya. Sekarang ia hanya
“Laki-laki tua bagka itu orang yang jahat, Han. Dia bisa melakukan apa aja buat nuntasin dendamnya. Andai nenekku tau dulu kelakuan dia kayak apa.” Ibra menahan geraman kesalnya.“Dendam? Aku nggak ngerti, Bang. Bisa nggak jelasin pelan-pelan?”Cerita mulai bergulir dari mulut Ibra. Sebenarnya ia ingin menutupi cerita ini sampai kapan pun, siapa sangka Hana menyadarinya, dan ia tidak punya alasan lagi untuk membiarkan Hana dalam kegelapan.Semua bermula dari dendam bisnis, saat itu kakek Evan (generasi kedua Cakrawangsa) memang bersaing dengan Reza. Sampai ketika kakek Evan jatuh sakit dan Ares terpaksa mengambil alih operasional perusahaan, Reza berpikir kalau ia akan mudah mengalahkan Cakrawangsa. Tapi Reza salah. Ares menggandeng sahabat dekatnya yang bertangan dingin dan memiliki otak bisnis, Arya, ayah dari Hana.Kehabisan ide karena Arya layaknya filter pertama sebelum sebuah proposal proyek sampai ke tangan Ares, membuat Reza gelap mata.“Jadi, kecelakaan orang tuaku itu hasil
"Han. Bangun." Evan mengusap pelan lengan Hana yang masih terlelap. "Ada yang mau ketemu.""Siapa?" tanyanya masih dengan tetap memejamkan mata."Tantemu."Ucapan Evan berhasil membuat Hana membuka mata. "Tante? Tante siapa? Tante Letta? Tante Rimbi?""Bukan, Tante Dian."Kini Hana membuka matanya dengan sempurna dan bergegas turun dari ranjang untuk memastikan pendengarannya tidak salah.Seorang wanita paruh baya tengah menunggunya di sofa ruang tamu sambil bersedekap, menunjukkan kekesalannya."Tante ...." Hana memeluk tubuh wanita itu dengan erat. Dia lah satu-satunya anggota keluarga terdekat yang memiliki hubungan darah dengannya. Dian adalah sepupu dari mamanya dan juga sahabat ayahnya.Dian mengusapi punggung keponakannya itu, berusaha menyalurkan kerinduan yang selama ini terpendam. Andai saja Hana mau diajaknya ke Eropa, tentu ia bisa merawat Hana hingga Hana dewasa.Ada rasa bersalah yang sangat besar bercokol di hatinya saat harus meninggalkan Hana di bawah pengawasan Ares
“Udah siap?”Pertanyaan itu menyapa Hana saat ia baru saja membukakan pintu apartemennya untuk seseorang yang sejak tadi memencet bel.Evan membeku di tempat saat melihat penampilan Hana yang mengenakan wrap dress berwarna beige yang kebetulan selaras dengan warna kemeja batik lengan panjang yang dikenakannya.Atas usul dari Letta, meskipun acara makan malam hanya akan melibatkan dua keluarga, tapi suasananya akan sedikit resmi (untuk menghargai keluarga Hana), walaupun Letta juga tidak berharap banyak. Biasanya juga kalau mereka sudah berkumpul, tidak ada lagi yang namanya keseriusan.“Kupikir kamu nggak jemput aku,” ucap Hana.“Ayo berangkat, keluargaku juga udah berangkat. Keluargamu lagi dijemput supir.”“Bentar, aku ambil tas dulu.” Hana melangkah, masuk ke kamar, membiarkan Evan menunggunya di depan pintu.Berulang kali Hana melirik Evan yang menyetir dalam diamnya. Hana yakin kalau Evan masih marah padanya. Ia tidak ingin suasana makan malam keluarga mereka terganggu karena kec
"Aku nggak nawarin masuk." Hana berusaha menahan pintu apartemennya agar Evan tidak bisa masuk. Bisikan Evan padanya di acara makan malam tadi membuatnya was-was dengan apa yang akan dilakukan Evan."Hana. Buka pintunya, nggak?" Evan menatap Hana serius dari balik pintu, tapi Hana masih bergeming."Nggak." Hana menggeleng-gelengkan kepala masih dengan badannya menahan pintu.Dari sisi luar, Evan juga menahan pintu agar tidak tertutup sempurna ketika Hana mendorongnya."Lagian kan kata Tante Letta kamu harus langsung pulang abis nganterin aku.""Tapi kan Mama nggak bilang nganterin sampe mana? Nganterin sampe parkiran, nganterin sampe lobby, nganterin sampe depan pintu apartemen, nganterin sampe kamar, atau ... nganterin sampe ke alam mimpi."“Dih, ngeles aja kayak bajaj.”Sudah sekitar lima menit mereka saling menahan pintu. Hana akhirnya menyerah, membiarkan Evan masuk ke dalam unit apartemennya.Evan mengangkat satu sudut bibirnya saat melihat Hana mengalah. Ia lantas menggiring Han
"Hana, kamu cuti aja dulu."Hari masih pagi, Evan sedang berbaring di sofa ruang tamu apartemen Hana, selagi Hana menerima telepon dari Letta."Buat apa cuti, Tante?""Ya buat ngurus acara tunangan kamu. Meskipun udah diurusin sama Elaksi, tapi kan banyak yang mesti kamu lakuin, ke salon, perawatan, trus itu tantemu udah mencak-mencak karena kamu kerja terus, nggak nemenin dia jalan-jalan."Hana tersenyum mendengar ucapan wanita paruh baya yang akan menjadi mertuanya itu. "Iya, Tante. Nanti aku bilang ke Evan, aku boleh cuti apa nggak.""Bilang ke Tante kalo Evan nggak ngijinin kamu cuti. Bibit bucin dari ayahnya soalnya, pasti nggak mau jauh-jauhan."Kedua wanita itu sibuk membicarakan Evan, sementara yang digosipkan tertidur pulas di atas sofa.Hana mengusap pelan lengan Evan untuk membangunkannya. "Van. Bangun, sarapan dulu.""Ngg ...." Evan hanya menggeram pelan, tapi kelopak matanya sama sekali belum membuka."Vaaan. Sarapan. Ada meeting jam sembilan."Evan langsung membuka matan
Begitu turun dari mobil Evan, Hana berjalan dengan tergesa memasuki gedung kantornya. Sapaan dari karyawan lain yang mengenalnya, diabaikannya begitu saja.Dengan gelisah, ia menunggu lift sambil berkali-kali tangannya mengusap layar ponselnya."Han, kamu kenapa?"Hana melirik ke sekitar, di mana ada beberapa pegawai yang berpura-pura melakukan hal lain, tapi kupingnya mencuri dengar pembicaraan Evan dan Hana."Ada yang perlu saya bicarakan sama Pak Ares."Evan menunjuk lift khusus direksi yang berada di ujung, kemudian berjalan lebih dulu agar Hana mengikutinya."Lihat tangannya Mbak Hana sama Pak Evan nggak? Kok kayaknya cincin couple ya?" ucap seorang karyawan yang sebelumnya sedang menunggu lift dan mencuri dengar percakapan Evan dan Hana."Masa sih? Kamu salah lihat kali." Temannya mengedikkan bahu dengan rasa tidak percaya.Sementara di dalam lift, Hana terdiam sambil berkali-kali menghela napas. Ia bahkan tidak sadar kalau Evan menekan tombol lantai mereka, bukannya lantai temp
Hana dengan gelisah menghubungi Evan yang sejak pagi belum menampakkan batang hidungnya di apartemen Hana, pun begitu dengan panggilan telepon Hana yang tak kunjung diangkatnya. "Kok belom nyampe sini ya?"Hana melirik ke jam tangannya, pukul 08.07, biasanya Evan sudah sampai apartemennya sebelum pukul tujuh pagi."Kok nggak ngabarin ya kalo nggak bisa ke sini?"Hana merapikan barang-barangnya, memutuskan untuk berangkat sendiri, daripada menunggu Evan yang belum ada kabarnya.Saat Hana sedang mengenakan sepatunya, ponselnya yang berada di dalam tas bergetar dan berbunyi nyaring.Ia tersenyum saat akhirnya caller id Evan muncul di layar ponselnya."Van, kok belum nyampe sini?""Han, kamu di mana?""Masih di apartemen, dari tadi nungguin kamu. Ini aku mau berangkat sendiri karena kamu nggak dateng-dateng.""Sorry, aku nggak sempet ngabarin. Ini baru bisa pegang hp dan kepikiran kamu. Ayah masuk rumah sakit, Han," Terdengar helaan napas dari Evan sesaat setelah ia mengucapkannya."Keada
Mata Hana menatap satu per satu keempat orang yang berdiri di depan pintu kamarnya dengan bingung.Azka mengacak rambut Hana karena kesal telah membuatnya repot berhari-hari mencari alamatnya pindah."Sorry." Vio menggerakkan mulutnya tanpa suara. Di sampingnya berdiri seorang wanita yang mampu mengintimidasinya untuk mengantarkannya langsung ke unit apartemen Hana.Padahal Vio berhasil bertahan dari bujukan Azka selama beberapa hari belakangan untuk membocorkan di mana Hana tinggal. Tapi siang tadi, Azka menghubungi Vio untuk bertemu dan mengajak mamanya yang hanya dalam waktu beberapa menit mampu mengintimidasi Vio, hingga kini mereka semua berdiri di depan pintu apartemen Hana.Hana sendiri tidak kaget kalau akhirnya Vio membocorkan alamatnya. Bagaimana pun juga Rimbi memang hampir selalu bisa mengintimidasi orang lain. Tapi yang Hana bingung adalah keberadaan Evan yang berdiri di belakang Rimbi. Bukankah tadi ia meninggalkan Evan di parkiran mall? Jadi, Evan membuntutinya sampai k
"Ya menurut lo siapa lagi? Pasti ada andil dia lah. Lo tau kan betapa susahnya nyari investor dalam keadaan perusahaan yang hampir collapse gini. Kalo Melinda nggak ikut campur, mana mau PT Wijaya nanemin investasinya." Ribka dengan penuh emosi menceritakan kejadian-kejadian di dalam perusahaan semenjak Hana resign.Siang itu, mereka sengaja mengatur janji temu untuk makan siang bersama demi berbagi cerita."Lo baik-baik aja, Han?"Hana mengangguk sambil mencoba melemparkan senyum (sok) tegarnya. Mana mungkin ia mengatakan kalau ia tidak baik-baik saja, walau kenyataannya hidupnya kini tanpa tujuan, dan benar-benar tidak ada keluarga atau orang lain yang bisa dianggap keluarga setelah kejadian itu. Tidak mungkin kan keluarga Cakrawangsa masih menganggapnya keluarga?"Bos ganteng kayaknya nggak baik-baik aja deh, Han. Dia tuh kayak ngalihin stresnya dia ke kerjaan. Mana mukanya sepet banget setiap hari." Ribka memandang Hana penuh harap. "Nggak bisa ya lo balik jadi asistennya? Bisa gi
Hana baru saja selesai bersiap, dan bunyi bel kamarnya membuatnya bergegas untuk membukakan pintu."Bang, sekarang?" tanya Hana begitu melihat sosok Ibra di depan pintu kamarnya."Kamu udah siap?"Hana mengangguk kemudian kembali masuk ke dalam kamar untuk mengambil tas serta mengenakan sepatu. Keduanya tengah menginap di Four Seasons Hotel, Kuala Lumpur, demi membuktikan hubungan mereka pada Frans, pengacara yang mengurus harta warisan untuk Ibra."Ayo, Bang," ajak Hana.Ibra mengulum senyumnya. Tidak biasanya Hana terlihat kaku selama dekat dengannya. "Santai, Han. Inget rencana kita. Kita mau pura-pura liburan berdua dan nggak sengaja ketemu Om Frans."Hana mengangguk-angguk sambil menghela napas."Om Frans bakal percaya nggak ya, Bang?""Kalo kamu setegang ini, ya ... mungkin Om Frans nggak bakal percaya. Makanya rileks." Ibra lantas mengulurkan tangannya sebagai kode kepada Hana untuk menggenggam tangannya. "Suruhan Om Frans bisa jadi ngikutin kita. Jadi begitu keluar dari kamar
"Pagi-pagi banget joging-nya, Van?" tanya Ares yang melihat putranya masuk ke halaman rumah dengan keringat yang tercetak jelas di kaos yang ia kenakan."Iya, Yah. Tadi nggak bisa tidur lagi jadi mendingan nyari keringet aja," jawab Evan.Ares menghela napas. Sebenarnya ia tahu kalau Evan sedang berusaha menghentikan kebiasaan yang selama ini dilakukannya, yaitu bangun pagi, bersiap, dan pergi ke apartemen Hana bahkan saat matahari masih mengintip malu.Sejak istrinya memberitahunya perihal hubungan Evan dan Hana yang berakhir, Ares mencoba sebisa mungkin untuk tidak membicarakan tentang Hana. Pun begitu, perintahnya pada semua orang yang ada di rumah."Van, nanti malam ada undangan gala dinner. Kamu udah dijadwalin kan sama sekretarismu?""Udah, Yah.""Dateng bareng Ayah sama Mama aja."Evan mengangguk. Lagipula dia harus datang bersama siapa lagi kalau bukan dengan kedua orang tuanya?Meski Evan sebenarnya sangat malas menghadiri acara semacam itu, tapi ia sadar kalau di acara-acara
Evan terbangun di ruang tamu apartemen Hana. Di lantai, tapi dengan bantal sofa yang sudah menyangga kepalanya dan selimut yang menutupi tubuhnya. Kepalanya masih terasa berat. Seperti sebelumnya saat ia mabuk, ia tidak ingat apa yang terjadi.“Shit! Ngapain gue di sini?” Evan lantas angkat kaki dari apartemen itu dan setelah malam itu, ia bersumpah tidak akan menginjakkan kaki lagi di sana.“Nginep di mana semalem kamu, Van?”Evan baru saja melangkahkan kaki masuk ke dalam rumahnya dan suara dari seseorang yang paling disayangnya membuatnya berhenti seketika.“Di apartemen Kevin, Ma,” dustanya.“Kamu minum?” tebak Letta. Matanya sudah membulat sempurna, bersiap untuk memberikan kuliah empat SKS untuk anak laki-lakinya yang selalu berulah itu.“Aku ke kamar dulu ya, Ma.” Tanpa menjawab pertanyaan mamanya, Evan memilih berlalu. Ia pun tidak bisa berbohong di depan mamanya. Biarlah omelan mamanya ia terima nanti ketika kesadarannya sudah kembali seutuhnya.Letta menghela napas berat. N
Evan mendorong kasar tubuh Hana hingga terpelanting ke atas kasur. "Tolong bilang kalau apa yang kulihat salah, Han!" bentaknya. Ia masih berusaha sekuat tenaga untuk meredam amarahnya."Apa yang barusan kamu lakuin? Jawab, Han!" Evan mencengkeram lengan bagian atas Hana dan mengguncang tubuh Hana karena wanita itu sama sekali tidak menjawab pertanyaannya. Jangankan menjawab, wanita di depannya itu tidak mengeluarkan ekspresi sama sekali, menangis pun tidak."Ada hubungan apa kamu sama dia?"Melihat Hana yang masih teguh pada pendiriannya untuk tidak menjawab, membuat Evan yakin kalau Hana memang memiliki hubungan dengan Ibra.Tanpa berkata apa-apa lagi, Evan melepas cincin tunangan di jari manisnya dan melemparkannya ke sembarang arah.Brak!Suara pintu yang dibanting itu membuat Hana kembali ke kesadarannya, Evan telah pergi meninggalkannya."Hana, kamu nggak apa-apa?" Suara itu, suara yang familiar sekaligus asing baginya. Bukan Evan lagi kini yang menanyakan keadaannya.Ibra berjo
Ibra: Udah dapet apartemen Han?Hana: UdahIbra: Harus banget pindah apartemen juga?Hana: Apartemen ini kan punya Om AresHana: Nggak mungkin aku tinggal di sini, Evan bisa setiap saat ke siniIbra: Kapan pindah? Butuh bantuan?Hana: Dalam waktu dekat. Setelah aku ngomong ke EvanIbra: Belum ngomong juga?Hana:BelumIbra: Aku ke apartemenmu ya besok. Ada beberapa hal yang mesti aku omongin dan lusa aku ke luar kotaHana: OkSetelah bertukar pesan dengan Ibra, Hana yang semula berbaring di atas tempat tidurnya memilih keluar dari kamar. Ia mengedarkan pandangan ke setiap sudut apartemen itu, apartemen yang telah ditinggalinya sejak ia mulai kuliah hingga kini dia bekerja di Cakrawangsa Group. Ares dan Letta sempat keberatan saat Hana mengutarakan ingin pindah dari kediaman mereka, tapi akhirnya mereka mengiakan dengan syarat Hana menempati salah satu apartemen milik Ares, agar mereka masih bisa memantau keadaan Hana.Hana menurut, walau sebenarnya ia ingin hidup di kost atau sewa rum
“Kamu yakin, Han? Ini nggak bakal gampang.”Hana terdiam. Malam sebelumnya ia sangat yakin mengambil langkah itu. Kini saat ia berada di hadapan Ibra, tiba-tiba keberaniannya menguap.Ibra menatap Hana dengan lekat. Bohong kalau dia bilang tidak mau memenuhi permintaan Hana. Bukan semata-mata karena ia ingin menolong Hana. Tapi ... perasaannya ternyata memang untuk Hana, dan bodohnya, ia baru menyadarinya setelah Hana dekat dengan Evan.Tepatnya ketika malam di mana ia makan bersama Hana dan Evan datang tiba-tiba.Ibra ingat bagaimana ia kebingungan usai Hana pergi dengan Evan kala itu.***-Malam saat Ibra akhirnya sadar dengan perasaannya-"Lah, Bang. Hana mana?" tanya Vio yang memang terlambat datang karena meeting-nya yang tidak selesai-selesai.Sedianya, mereka makan malam bertiga karena Hana merengek ingin lasagna. Tapi saat Vio tiba di cafe langganannya, hanya ada abangnya yang terlihat menatap risoto di depannya dengan tatapan kosong."Abang. Astaga! Adeknya nanya loh ini. Ma
Hana dan Ibra menatap Vio dengan penuh pertanyaan."Apa maksudmu, Vi?" tanya Ibra yang tidak tahan lagi menunggu adiknya berbicara."Abang lupa kalo nenek ninggalin warisan kita berupa saham Global Investama?"Hana membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri. Harapannya seketika muncul."Jangan ungkit itu, Vio. Kita nggak akan ngambil warisan itu. Kita nggak perlu. Apa yang dipunya keluarga Wasesa lebih dari cukup untuk masa depan kita."Vio menghela napas. Dalam hatinya, ia benar-benar ingin membantu Hana, sahabatnya itu, yang sudah beberapa minggu marah dan mendiamkannya. Tapi benar yang abangnya katakan. Mereka sudah punya kesepakatan untuk tidak mengambil bagian warisan yang ditinggalkan nenek mereka."Tunggu! Aku masih belum ngerti deh." Hana menatap Vio dengan tajam. "Apa hubungannya kata-kata Vio tadi sama warisan.""Warisan buat Bang Ibra sama gue, yang berupa saham di Global Investama itu baru bisa dikasih ke kami, kalau ... Bang Ibra sudah punya pasangan.""Hah?" Hana benar