"Han. Bangun." Evan mengusap pelan lengan Hana yang masih terlelap. "Ada yang mau ketemu.""Siapa?" tanyanya masih dengan tetap memejamkan mata."Tantemu."Ucapan Evan berhasil membuat Hana membuka mata. "Tante? Tante siapa? Tante Letta? Tante Rimbi?""Bukan, Tante Dian."Kini Hana membuka matanya dengan sempurna dan bergegas turun dari ranjang untuk memastikan pendengarannya tidak salah.Seorang wanita paruh baya tengah menunggunya di sofa ruang tamu sambil bersedekap, menunjukkan kekesalannya."Tante ...." Hana memeluk tubuh wanita itu dengan erat. Dia lah satu-satunya anggota keluarga terdekat yang memiliki hubungan darah dengannya. Dian adalah sepupu dari mamanya dan juga sahabat ayahnya.Dian mengusapi punggung keponakannya itu, berusaha menyalurkan kerinduan yang selama ini terpendam. Andai saja Hana mau diajaknya ke Eropa, tentu ia bisa merawat Hana hingga Hana dewasa.Ada rasa bersalah yang sangat besar bercokol di hatinya saat harus meninggalkan Hana di bawah pengawasan Ares
“Udah siap?”Pertanyaan itu menyapa Hana saat ia baru saja membukakan pintu apartemennya untuk seseorang yang sejak tadi memencet bel.Evan membeku di tempat saat melihat penampilan Hana yang mengenakan wrap dress berwarna beige yang kebetulan selaras dengan warna kemeja batik lengan panjang yang dikenakannya.Atas usul dari Letta, meskipun acara makan malam hanya akan melibatkan dua keluarga, tapi suasananya akan sedikit resmi (untuk menghargai keluarga Hana), walaupun Letta juga tidak berharap banyak. Biasanya juga kalau mereka sudah berkumpul, tidak ada lagi yang namanya keseriusan.“Kupikir kamu nggak jemput aku,” ucap Hana.“Ayo berangkat, keluargaku juga udah berangkat. Keluargamu lagi dijemput supir.”“Bentar, aku ambil tas dulu.” Hana melangkah, masuk ke kamar, membiarkan Evan menunggunya di depan pintu.Berulang kali Hana melirik Evan yang menyetir dalam diamnya. Hana yakin kalau Evan masih marah padanya. Ia tidak ingin suasana makan malam keluarga mereka terganggu karena kec
"Aku nggak nawarin masuk." Hana berusaha menahan pintu apartemennya agar Evan tidak bisa masuk. Bisikan Evan padanya di acara makan malam tadi membuatnya was-was dengan apa yang akan dilakukan Evan."Hana. Buka pintunya, nggak?" Evan menatap Hana serius dari balik pintu, tapi Hana masih bergeming."Nggak." Hana menggeleng-gelengkan kepala masih dengan badannya menahan pintu.Dari sisi luar, Evan juga menahan pintu agar tidak tertutup sempurna ketika Hana mendorongnya."Lagian kan kata Tante Letta kamu harus langsung pulang abis nganterin aku.""Tapi kan Mama nggak bilang nganterin sampe mana? Nganterin sampe parkiran, nganterin sampe lobby, nganterin sampe depan pintu apartemen, nganterin sampe kamar, atau ... nganterin sampe ke alam mimpi."“Dih, ngeles aja kayak bajaj.”Sudah sekitar lima menit mereka saling menahan pintu. Hana akhirnya menyerah, membiarkan Evan masuk ke dalam unit apartemennya.Evan mengangkat satu sudut bibirnya saat melihat Hana mengalah. Ia lantas menggiring Han
"Hana, kamu cuti aja dulu."Hari masih pagi, Evan sedang berbaring di sofa ruang tamu apartemen Hana, selagi Hana menerima telepon dari Letta."Buat apa cuti, Tante?""Ya buat ngurus acara tunangan kamu. Meskipun udah diurusin sama Elaksi, tapi kan banyak yang mesti kamu lakuin, ke salon, perawatan, trus itu tantemu udah mencak-mencak karena kamu kerja terus, nggak nemenin dia jalan-jalan."Hana tersenyum mendengar ucapan wanita paruh baya yang akan menjadi mertuanya itu. "Iya, Tante. Nanti aku bilang ke Evan, aku boleh cuti apa nggak.""Bilang ke Tante kalo Evan nggak ngijinin kamu cuti. Bibit bucin dari ayahnya soalnya, pasti nggak mau jauh-jauhan."Kedua wanita itu sibuk membicarakan Evan, sementara yang digosipkan tertidur pulas di atas sofa.Hana mengusap pelan lengan Evan untuk membangunkannya. "Van. Bangun, sarapan dulu.""Ngg ...." Evan hanya menggeram pelan, tapi kelopak matanya sama sekali belum membuka."Vaaan. Sarapan. Ada meeting jam sembilan."Evan langsung membuka matan
Begitu turun dari mobil Evan, Hana berjalan dengan tergesa memasuki gedung kantornya. Sapaan dari karyawan lain yang mengenalnya, diabaikannya begitu saja.Dengan gelisah, ia menunggu lift sambil berkali-kali tangannya mengusap layar ponselnya."Han, kamu kenapa?"Hana melirik ke sekitar, di mana ada beberapa pegawai yang berpura-pura melakukan hal lain, tapi kupingnya mencuri dengar pembicaraan Evan dan Hana."Ada yang perlu saya bicarakan sama Pak Ares."Evan menunjuk lift khusus direksi yang berada di ujung, kemudian berjalan lebih dulu agar Hana mengikutinya."Lihat tangannya Mbak Hana sama Pak Evan nggak? Kok kayaknya cincin couple ya?" ucap seorang karyawan yang sebelumnya sedang menunggu lift dan mencuri dengar percakapan Evan dan Hana."Masa sih? Kamu salah lihat kali." Temannya mengedikkan bahu dengan rasa tidak percaya.Sementara di dalam lift, Hana terdiam sambil berkali-kali menghela napas. Ia bahkan tidak sadar kalau Evan menekan tombol lantai mereka, bukannya lantai temp
Hana dengan gelisah menghubungi Evan yang sejak pagi belum menampakkan batang hidungnya di apartemen Hana, pun begitu dengan panggilan telepon Hana yang tak kunjung diangkatnya. "Kok belom nyampe sini ya?"Hana melirik ke jam tangannya, pukul 08.07, biasanya Evan sudah sampai apartemennya sebelum pukul tujuh pagi."Kok nggak ngabarin ya kalo nggak bisa ke sini?"Hana merapikan barang-barangnya, memutuskan untuk berangkat sendiri, daripada menunggu Evan yang belum ada kabarnya.Saat Hana sedang mengenakan sepatunya, ponselnya yang berada di dalam tas bergetar dan berbunyi nyaring.Ia tersenyum saat akhirnya caller id Evan muncul di layar ponselnya."Van, kok belum nyampe sini?""Han, kamu di mana?""Masih di apartemen, dari tadi nungguin kamu. Ini aku mau berangkat sendiri karena kamu nggak dateng-dateng.""Sorry, aku nggak sempet ngabarin. Ini baru bisa pegang hp dan kepikiran kamu. Ayah masuk rumah sakit, Han," Terdengar helaan napas dari Evan sesaat setelah ia mengucapkannya."Keada
Hana dan Ibra menatap Vio dengan penuh pertanyaan."Apa maksudmu, Vi?" tanya Ibra yang tidak tahan lagi menunggu adiknya berbicara."Abang lupa kalo nenek ninggalin warisan kita berupa saham Global Investama?"Hana membungkam mulutnya dengan tangannya sendiri. Harapannya seketika muncul."Jangan ungkit itu, Vio. Kita nggak akan ngambil warisan itu. Kita nggak perlu. Apa yang dipunya keluarga Wasesa lebih dari cukup untuk masa depan kita."Vio menghela napas. Dalam hatinya, ia benar-benar ingin membantu Hana, sahabatnya itu, yang sudah beberapa minggu marah dan mendiamkannya. Tapi benar yang abangnya katakan. Mereka sudah punya kesepakatan untuk tidak mengambil bagian warisan yang ditinggalkan nenek mereka."Tunggu! Aku masih belum ngerti deh." Hana menatap Vio dengan tajam. "Apa hubungannya kata-kata Vio tadi sama warisan.""Warisan buat Bang Ibra sama gue, yang berupa saham di Global Investama itu baru bisa dikasih ke kami, kalau ... Bang Ibra sudah punya pasangan.""Hah?" Hana benar
“Kamu yakin, Han? Ini nggak bakal gampang.”Hana terdiam. Malam sebelumnya ia sangat yakin mengambil langkah itu. Kini saat ia berada di hadapan Ibra, tiba-tiba keberaniannya menguap.Ibra menatap Hana dengan lekat. Bohong kalau dia bilang tidak mau memenuhi permintaan Hana. Bukan semata-mata karena ia ingin menolong Hana. Tapi ... perasaannya ternyata memang untuk Hana, dan bodohnya, ia baru menyadarinya setelah Hana dekat dengan Evan.Tepatnya ketika malam di mana ia makan bersama Hana dan Evan datang tiba-tiba.Ibra ingat bagaimana ia kebingungan usai Hana pergi dengan Evan kala itu.***-Malam saat Ibra akhirnya sadar dengan perasaannya-"Lah, Bang. Hana mana?" tanya Vio yang memang terlambat datang karena meeting-nya yang tidak selesai-selesai.Sedianya, mereka makan malam bertiga karena Hana merengek ingin lasagna. Tapi saat Vio tiba di cafe langganannya, hanya ada abangnya yang terlihat menatap risoto di depannya dengan tatapan kosong."Abang. Astaga! Adeknya nanya loh ini. Ma
"Lucu banget siiih." Vio yang menggendong sesosok bayi kecil tidak bisa mengalihkan matanya dari bayi yang belum bisa membuka mata itu. "Boleh bawa pulang satu nggak? Kan masih ada satunya lagi.""Kalo dia laper, lo mau nyusuin?" Hana mendelik ke arah Vio."Ck! Lucu banget tau, Han." Vio dengan gemasnya mengecupi pipi bayi merah itu."Udah pengen ya?" tanya Hana menggoda Vio yang agak terlihat kaku menggendong bayi di tangannya.Vio mengedikkan bahu sebagai jawabannya.Saat keduanya tengah bermain-main dengan bayi kembar itu, Evan dan Azka masuk ke dalam kamar rawat dengan dua tote bag yang berlogokan salah satu minimarket. Hana memang meminta pada suaminya untuk dibelikan cemilan karena makanan dari rumah sakit hanya mampu mengganjal setengah ruangan di perutnya."Van, si twin siapa sih namanya? Astaga, udah setengah jam aku nanya ke Hana, katanya kamu yang bakal ngasih tau karena kamu ngelarang dia ngasih tau. Apaan coba?"Evan tersenyum pongah. Ia memang melarang Hana memberitahukan
Hana mengusap peluh yang mulai terasa di dahinya. Ia berusaha menahan rasa sakit yang mulai menyergapnya. Evan masih tertidur pulas di sebelahnya.Setelah mengatur napasnya beberapa saat dan sakit di perutnya tidak kunjung mereda, tangan Hana terpaksa menggapai suaminya untuk membangunkannya."Maaas.""Hmm?" Evan mendengar panggilan istrinya tapi matanya masih enggan untuk membuka."Mas, perutku mules."Barulah setelah mendengar itu, mata Evan membuka sempurna. "Kontraksi?"Hana hanya bisa kembali mengatur napasnya. Ini yang pertama untuknya, bagaimana ia bisa membedakan itu kontraksi palsu atau kontraksi yang sebenarnya."Aku bangunin Mama dulu ya."Sejak satu bulan sebelum Hari Perkiraan Lahir (HPL), semua anggota keluarga Evan sudah menginap di rumah Evan, mama papanya, termasuk Elga dan Elaksi. Euforia dan khawatir yang berlebihan adalah penyebabnya. Tapi Evan juga tidak memungkiri kalau ia membutuhkan kehadiran mamanya yang sudah berpengalaman menghadapi proses persalinan."Masih
"Permisi, Pak." Ribka melongokkan kepala ke ruang atasannya setelah mendengar sahutan dari Evan yang mempersilakannya masuk."Kenapa, Rib?""Hana?"Evan hanya menunjuk dengan dagu posisi Hana yang sedang tidur di sofanya. Sejak kehamilan Hana, Evan sengaja mengganti set sofa di ruangannya dengan yang lebih besar agar Hana bisa tidur dengan nyaman.Apalagi kini kehamilan Hana menginjak tujuh bulan. Dengan perut sudah sebesar itu, sebenarnya Evan tidak tega membiarkan Hana masih bekerja, walau setengah hari kerja Hana hanya dihabiskan untuk tidur. Tapi ke-clingy-an Hana belum juga berkurang hingga Evan tidak mungkin membiarkannya di rumah sendiri."Kenapa nyari Hana?""Ada proposal yang nunggu approval Pak Evan. Dan belum di-review Hana. Tadi tim pengembangan 2 udah nanya hasilnya, Pak.""Langsung kirim ke saya aja, Rib. Biar saya periksa.""Nggak lewat Hana nggak apa-apa, Pak?""Lihat sendiri dia teler begitu." Evan terkekeh melihat Hana yang tertidur dengan nyaman tanpa merasa tergang
"Maaas, meluknya jangan kenceng-kenceng. Nanti dedeknya kegencet."Evan merenggangkan pelukannya meskipun rasanya masih belum rela."Gemes abisnya. Kamu jadi lebih enak dipeluk."Hana mendelik kesal. Pasti ada yang tersirat di balik ucapan suaminya itu. "Maksudnya aku gendutan? Jadinya empuk untuk dipeluk?""Ya ampun, jangan sensitif gitu dong, Han. Nanti kalo kamu kesel, baby-nya ikut kesel sama ayahnya gimana?"Hana mengerucutkan bibir karena kesal, tapi justru ditanggapi Evan sebagai kode untuk mencium bibir istrinya itu, yang semenjak kehamilannya sama sekali tidak pernah terpoles lipstik."Ya orang hamil memang gendutan, Sayang. Kalo nggak gendutan gimana lah, mesti kita periksain lagi ke dokter, apalagi kamu bawa dua baby di perut," ucap Evan setelah puas mengeksplorasi kelembutan bibir istrinya."Mas nggak akan ninggalin aku meskipun aku gendut kan?" tanya Hana tiba-tiba."Kok kamu jadi clingy banget sih sejak hamil?" tanya Evan sampai hampir terbahak. Tidak pernah terbayangkan
"Mbak Hana mikir apa?" tanya Bi Lastri yang memperhatikan Hana melamun sambil mengaduk lemon tea yang baru saja dibuatnya. "Jangan banyak pikiran, Mbak. Kasihan yang di perut."Hana tersenyum melihat kekhawatiran Bi Lastri padanya. Pasti mama mertuanya sudah mewanti-wanti ART di rumahnya untuk memperhatikannya.Ia memang sedang berpikir, tapi bukan masalahnya yang sedang menguasai pikirannya. Hari sebelumnya ia sempat mengobrol dengan Vio, dan curahan hati Vio tentang hubungannya benar-benar membuat Hana memutar otaknya.Dan inilah saatnya ia mencoba melakukan sesuatu untuk membantu hubungan sahabatnya."Bibi, minta tolong bawain minum sama cemilannya ke ruang tengah ya," ucap Hana, kemudian berlalu menyusul suaminya dan sepupu iparnya yang sedang mengobrol di ruang tengah."Mas, Arfindo udah punya cewek belum sih?" Kalimat pertanyaan pertama yang disampaikan Hana begitu menginjakkan kaki di ruang tengah membuat Evan mengernyitkan dahi."Ngapain nanyain Arfindo?"'Evan dan cemburunya.
"Jadi Evan nerima lo lagi?"Sudah beberapa minggu sejak keluarga Evan akhirnya tahu apa yang dilakukan Hana untuk menyelamatkan perusahaan. Hana sedang sibuk mempersiapkan pernikahannya dengan Evan yang disangka Vio tidak akan terjadi.Hana mengedikkan bahu, karena dia sendiri juga bingung dengan apa yang diinginkan Evan. "Lo sama Kak Azka gimana?""Loh kok jadi ngomongin gue?""Ayolah Vi, gue butuh hiburan kisah cinta orang lain daripada kisah cinta gue.""Nggak ada apa-apa, Han. Jadi nggak ada yang perlu gue ceritain.""Hah? Serius? Waaah, Kak Azka mesti didorong nih."Hana meraih ponselnya dari dalam tas kemudian sibuk mengirim pesan pada Azka, sementara Vio menatap makan siang di depannya dengan malas padahal dia yang sejak pagi mendesak Hana untuk menemaninya makan siang di salah satu restoran kesukaannya.Keduanya larut dalam obrolan sampai Hana tidak sadar kalau makanannya sudah habis sementara makanan Vio bisa dibilang masih utuh."Makan yang bener, Vi.""Lo kayak nggak pernah
"See? Dia udah nggak ada perlu lagi, makanya nggak ngehubungin." Vio menatap ponselnya dengan kesal. "Emang dia nggak ada rasa. Sadar dong, Vio!" Vio berusaha meyakinkan diri sendiri kalau perasaannya tak berbalas.'Telepon duluan aja!' Entah sisi hatinya yang mana yang sedang berbisik."Dih, nggak ada ceritanya seorang Vio ngehubungin laki-laki duluan." Sambil menggeram kesal, Vio menjauhkan ponselnya, kemudian mencoba larut dalam berkas gugatan yang baru saja dikirimkan stafnya melalui e-mail.Sepanjang hari Vio berusaha menyibukkan diri sendiri, dan jika mode Vio yang seperti ini sedang kumat, maka yang menjadi buklan-bulanannya adalah para staf dan junior pengacara di law firm itu. Vio bisa saja bekerja seakan besok hari kiamat, dan hari itu juga semua berkas perkara atau pledoi yang sedang mereka siapkan harus selesai."Kenapa sih Mbak Vio?" bisik Indri pada Laras."Putus cinta kali, kayak biasanya. Masih kaku aja, tau sendiri kita rutin ngalamin hal ini beberapa bulan sekali.""
Vio mengerjap pelan, diiringi dengan suara terkikik pelan dari resepsionis yang mendengarkan ucapan Azka yang hanya berjarak tidak lebih lima meter darinya."Hmm ... Mas, bukannya aku sok sibuk. Tapi aku ngecek jadwalku dulu ya—"'Dan kesiapanku.' batin Vio. Andai ia bisa mengutarakannya. Tapi tidak lama kemudian ia sadar kalau Azka dan mamanya berurusan dengannya hanya demi Hana, tidak ada niat lain. Ia hampir tertawa kalau tidak ingat Azka masih berada di depannya."Ya udah, jangan dipaksain kalo gitu, nanti aku whatsapp lagi ya, kamu bisa atau nggak-nya."Vio mengangguk mengiakan. Sebenarnya ia lebih senang ditelepon, paling tidak ia bisa mendengar suara berat Azka, tapi tidak mungkin diungkapkannya kan."Aku ... berangkat kerja dulu ya."Kali ini suara terkikik Achi semakin keras dan baru berhenti setelah Vio memelototinya."Mbak Vio kayak lagi main rumah-rumahan deh."Kalau saja wanita itu tidak lebih tua dari Vio, mungkin Vio akan memarahinya habis-habisan. "Main rumah-rumahan?
"Ma, Pa, aku nggak sarapan di rumah ya." Azka bergegas merapikan barangnya ke dalam tas ransel sambil berpamitan pada kedua orang tuanya yang sedang duduk menyantap sarapan."Ke mana, Ka? Pagi banget?""Jemput Vio, Ma. Semalem dia kuanter pulang, pagi ini dia naik apa kalo mobilnya di kantor?"Rimbi terbengong mendengar jawaban Azka. Sementara Ferdi menahan tawanya."Demi dapet alamat Hana. Pergi dulu Ma, Pa." Azka mencium tangan kedua orang tuanya lantas berlalu pergi.Setelah Azka hilang dari pandangan mereka, barulah Ferdi berani meledakkan tawanya. "Udah, kamu aja yang turun tangan. Nungguin hasil dari Azka pasti lama.""Emangnya Azka ...?" Rimbi menatap suaminya dengan bingung."Kali ini Azka dapet lawan yang sepadan, kayaknya kamu yang mesti turun tangan."***Azka melajukan mobilnya ke sebuah perumahan elit. Jelas Azka tahu di mana Vio tinggal karena sudah beberapa kali mengantar Hana ke rumah itu, dan malam sebelumnya pun ia mengantar Vio sampai depan gerbang rumahnya. Akan te