Hana kembali menatap steak yang masih tersisa di piringnya. Ia tidak menaruh ekspektasi apa pun. Hanya ingin segera menyelesaikan makan siangnya dan pergi ke rumah sakit untuk menjaga Ilham.Sampai tiba-tiba ia mendengar derit kursi di depannya yang ditarik. Hana mendongak, dan mendapati Evan yang kembali duduk di kursi yang ada di depannya.Keduanya saling tatap sekitar tiga detik sebelum Hana akhirnya mengalihkan tatapannya.“Sorry,” ucap Evan. “Aku nggak jadi ke mana-mana.”Hana tidak berkata apa-apa lagi, memilih melanjutkan santap siangnya.Sementara Evan hanya diam menatap Hana. Sebagai seorang penggemar daging, tenderloin 200 gram bisa dihabiskannya dalam waktu sekejap. Karena itu, kini ia hanya menatap Hana yang masih mencoba menghabiskan makanannya.***“Kamu marah, Han?” tanya Evan saat melirik pada Hana yang memilih menatap ke jalanan di sisi kirinya sejak Evan melajukan mobilnya.“Marah kenapa?”“Karena tadi Melinda—”Hana adalah orang yang pandai menutupi perasaannya agar
Hana langsung mengemudikan mobilnya menuju rumah keluarga Vio setelah mendapat kabar kepulangan Vio dari acara seminarnya di Surabaya.Tidak ada orang tua Vio ketika Hana tiba di kediaman keluarga Wasesa. Setelah menyapa beberapa ART di rumah itu yang sudah mengenalnya, Hana langsung merangsek ke dalam kamar Vio.“Vioooo!”Vio mengabaikan panggilan Hana yang cukup memekakkan telinganya. Ia masih terlalu asyik membalas chat dari pacar barunya.“Vioooo ….”“Apa sih, Han? Elah, pagi-pagi udah rusuh aja. Gue masih balesin pesennya Ardi nih.”Hana merebahkan diri di atas ranjang Vio, memosisikan diri di samping Vio. “Ardi siapa?”“Pacar baru gue. Bentar, gue bilang dulu ke Ardi kalo gue mau ngobrol sama lo.” Vio mengetikkan sesuatu pada Ardi, kemudian meletakkan ponselnya setelah mendapat balasan dari Ardi yang membuatnya mengembangkan senyuman.“Kali ini kenal di mana?” Hana menatap Vio penuh tanya, karena seingatnya Vio mengambil seminar itu sebagai penyembuh sakit hatinya karena baru sa
"Mobilmu mana, Han?” tanya Evan yang melihat Hana masuk ke halaman rumahnya dengan berjalan kaki.“Di rumah Vio, mogok,” jawab Hana.“Trus gimana?”“Nggak gimana-gimana, nanti diurus sama Bang Ibra, paling senin nanti dianter ke kantor.”Evan berdecak kesal mendengar Hana menyebut dengan ringan nama Ibra, seakan dengan keberadaan Ibra semua masalahnya beres.“Kamu ngapain di luar? Tumben,” ledek Hana. Pasalnya tempat favorit Evan saat berada di rumah adalah kamar tidurnya.“Nunggu kamu, ada yang perlu kita omongin.”Hana mengangguk, mengikuti langkah Evan yang menelusuri bagian samping rumah, melewati taman dan gazebo tanpa perlu menginjakkan kaki di rumah depan agar kedua orang tuanya tidak menghentikan mereka dan menyidang mereka saat itu juga.Tanpa Evan dan Hana tahu, dua pasang mata tengah mengamati mereka dari perpustakaan dengan jendela yang berhadapan langsung dengan bagian samping rumah.“Mas, kayaknya kita salah desain rumah deh. Lihat tuh, anakmu diam-diam bawa cewek lewat
"Evan, senyum dong. Kamu kayak mau dibawa ke tiang gantungan," ucap mamanya berusaha mencairkan suasana tegang di kamar hotel itu.Hari ini, Evan harus mengubur semua mimpinya, meninggalkan usaha yang dirintisnya demi memenuhi permintaan orang tuanya untuk terjun ke dalam perusahaan keluarga ayahnya."Ma ...." Masih ada waktu, mungkin ia masih bisa meyakinkan mamanya untuk membatalkan permintaan mamanya itu."Evan, maafin Mama ya," ucapnya dengan mata berkaca-kaca. "Kalo aja ayahmu masih muda, Mama nggak akan minta kamu buat ngelakuin yang sebenernya nggak kamu suka. Maafin Mama ya, Van."Melihat sudut mata mamanya yang sudah basah, tangan Evan langsung menggenggam tangan mamanya. "Nggak apa-apa, Ma. Aku ... coba ngerti. Ini tanggung jawabku sebagai anak sulung."Evan mencoba tersenyum di depan mamanya, walau hatinya juga hancur."Hei, Van! Kamu apain Mama kamu sampe matanya berkaca-kaca?" tanya ayahnya panik begitu keluar dari kamar mandi."Posesif," ledek Evan saat melihat kebucinan
"Evan!" Hana menatap Evan yang bersandar pada dinding, berusaha untuk berdiri tegap walaupun kesulitan."Panggil ... aku 'Pak'!" ucap Evan dengan nada yang menyiratkan kalau dia sudah benar-benar mabuk."Kita udah di rumah, Van. Aku nggak perlu manggil kamu 'Pak'. Oh please, Van. Aku juga pusing banget gara-gara kamu paksa minum."Evan terkekeh, kemudian menatap Hana tanpa berkedip. "Bohong!""Aku mau balik ke kamarku," ucap Hana tegas. Kepalanya semakin berdenyut dan matanya hampir menutup karena kantuknya tidak tertahan lagi. Hana lantas melangkah, mengabaikan Evan dengan segala ucapannya yang mulai tidak masuk akal.Tapi lagi-lagi Evan menariknya, kali ini hingga ke arah kasur dan mendorong Hana dengan cukup keras.Hana menggeram kesal. Namun sepertinya Evan tidak memperhatikannya."Kamu asistenku," ucapnya sambil menyeringai dan menahan tangan Hana.Meskipun Evan sedang mabuk, tapi tenaganya nyatanya masih bisa untuk mendorong dan menahan Hana dengan posisi mengungkungnya di atas
Letta mematung di depan pintu, sebelum akhirnya berhasil menguasai diri dan berjalan ke arah kasur untuk menyeret anaknya agar bangun. Sementara Hana yang kini telah berdiri dengan hanya mengenakan kemeja Evan, menambah pemandangan yang membuat Letta menghela napas."Evan!" Letta memukul betis Evan yang sedang tengkurap, berkali-kali, karena hanya itu area yang bisa dijangkau Letta.Meskipun Evan sering berolah raga, terutama pergi ke gym, hingga otot-ototnya tidak perlu diragukan lagi bagaimana liatnya, pukulan mamanya yang merupakan pemegang sabuk hitam tae kwon do dan mantan atlet tae kwon do saat SMA tidak perlu ditanya lagi kekuatannya.Evan langsung berteriak pada pukulan kedua, dan masih terus berteriak karena mamanya belum berhenti memukulnya. Pada akhrinya, entah di pukulan yang ke berapa, Evan tidak kuat lagi dan bangkit dari posisinya. Ia berdiri di atas kasur mengambil jarak sejauh mungkin dari mamanya."Mama kenapa sih?" tanya Evan bersungut. Tidak biasanya mamanya memban
"Kak, ngerasa aneh nggak sih sama suasana makan tadi?" tanya Elga yang mengekori Elaksi menuju kamarnya usai sarapan."Aneh gimana?" Elaksi memang paling cuek di antara tiga bersaudara itu, karenanya ia tidak memperhatikan hal-hal detail seperti adiknya, Elga yang berbeda delapan tahun darinya itu."Mama sama Ayah kayak kelihatan tegang gitu. Trus Mas Evan kayak ketakutan gitu, nunduk terus. Apa Mas Evan ngelakuin kesalahan ya, Kak?""Ya ampun, El. Mas Evan udah sedewasa itu, bukan anak sekolahan lagi yang ketahuan nilainya jelek atau cabut dari sekolah. Kesalahan apa yang bisa bikin dia ketakutan kayak asumsimu? Tidur sama cewek?""Hush! Kakak ah. Ngomongnya itu loh."Elaksi terbahak melihat adiknya yang bergidik ngeri sambil merebahkan diri di kasurnya.Di keluarga Cakrawangsa, tidak mengenal istilah seks sebelum menikah. Ares dan Letta selalu mengajarkan kepada mereka untuk tidak melakukannya sebelum menikah. Ares tahu hal itu sulit, di zaman sekarang yang serba bebas, apalagi jik
"Kenapa kamu masih di kamarku?" tanya Hana yang mendapati Evan masih berada di dalam kamarnya."Ini gudang," balas Evan. "Mama bilang apa?"Hana terdiam, ia masih mengingat bagaimana raut wajah mama Evan saat memintanya menikah dengan Evan. Wanita itu bahkan memohon kepadanya, bukan hanya sekadar meminta.Kecelakaan yang dialami orang tuanya saat ia masih duduk di bangku kelas 2 SD membuatnya benar-benar terpuruk. Menjadi seorang anak yatim piatu tidak pernah ada dalam bayangannya. Sejak itu, Hana tinggal dengan kakek dari pihak ibunya, namun sekitar dua tahun kemudian, kakeknya juga meninggal karena sakit. Ia tidak bisa tinggal di keluarga ayahnya, karena ayahnya hanya punya saudara jauh, tidak ada keluarga inti yang bisa merawat Hana.Sejak itu, Ares dan Letta merawat Hana layaknya anak sendiri. Tidak pernah sekali pun Ares dan Letta membedakan perlakuan mereka terhadap anak kandung mereka dan Hana.Karena itu lah, Hana menyayangi dan menghormati Ares dan Letta layaknya orang tua se
"Mobilmu mana, Han?” tanya Evan yang melihat Hana masuk ke halaman rumahnya dengan berjalan kaki.“Di rumah Vio, mogok,” jawab Hana.“Trus gimana?”“Nggak gimana-gimana, nanti diurus sama Bang Ibra, paling senin nanti dianter ke kantor.”Evan berdecak kesal mendengar Hana menyebut dengan ringan nama Ibra, seakan dengan keberadaan Ibra semua masalahnya beres.“Kamu ngapain di luar? Tumben,” ledek Hana. Pasalnya tempat favorit Evan saat berada di rumah adalah kamar tidurnya.“Nunggu kamu, ada yang perlu kita omongin.”Hana mengangguk, mengikuti langkah Evan yang menelusuri bagian samping rumah, melewati taman dan gazebo tanpa perlu menginjakkan kaki di rumah depan agar kedua orang tuanya tidak menghentikan mereka dan menyidang mereka saat itu juga.Tanpa Evan dan Hana tahu, dua pasang mata tengah mengamati mereka dari perpustakaan dengan jendela yang berhadapan langsung dengan bagian samping rumah.“Mas, kayaknya kita salah desain rumah deh. Lihat tuh, anakmu diam-diam bawa cewek lewat
Hana langsung mengemudikan mobilnya menuju rumah keluarga Vio setelah mendapat kabar kepulangan Vio dari acara seminarnya di Surabaya.Tidak ada orang tua Vio ketika Hana tiba di kediaman keluarga Wasesa. Setelah menyapa beberapa ART di rumah itu yang sudah mengenalnya, Hana langsung merangsek ke dalam kamar Vio.“Vioooo!”Vio mengabaikan panggilan Hana yang cukup memekakkan telinganya. Ia masih terlalu asyik membalas chat dari pacar barunya.“Vioooo ….”“Apa sih, Han? Elah, pagi-pagi udah rusuh aja. Gue masih balesin pesennya Ardi nih.”Hana merebahkan diri di atas ranjang Vio, memosisikan diri di samping Vio. “Ardi siapa?”“Pacar baru gue. Bentar, gue bilang dulu ke Ardi kalo gue mau ngobrol sama lo.” Vio mengetikkan sesuatu pada Ardi, kemudian meletakkan ponselnya setelah mendapat balasan dari Ardi yang membuatnya mengembangkan senyuman.“Kali ini kenal di mana?” Hana menatap Vio penuh tanya, karena seingatnya Vio mengambil seminar itu sebagai penyembuh sakit hatinya karena baru sa
Hana kembali menatap steak yang masih tersisa di piringnya. Ia tidak menaruh ekspektasi apa pun. Hanya ingin segera menyelesaikan makan siangnya dan pergi ke rumah sakit untuk menjaga Ilham.Sampai tiba-tiba ia mendengar derit kursi di depannya yang ditarik. Hana mendongak, dan mendapati Evan yang kembali duduk di kursi yang ada di depannya.Keduanya saling tatap sekitar tiga detik sebelum Hana akhirnya mengalihkan tatapannya.“Sorry,” ucap Evan. “Aku nggak jadi ke mana-mana.”Hana tidak berkata apa-apa lagi, memilih melanjutkan santap siangnya.Sementara Evan hanya diam menatap Hana. Sebagai seorang penggemar daging, tenderloin 200 gram bisa dihabiskannya dalam waktu sekejap. Karena itu, kini ia hanya menatap Hana yang masih mencoba menghabiskan makanannya.***“Kamu marah, Han?” tanya Evan saat melirik pada Hana yang memilih menatap ke jalanan di sisi kirinya sejak Evan melajukan mobilnya.“Marah kenapa?”“Karena tadi Melinda—”Hana adalah orang yang pandai menutupi perasaannya agar
Setelah sarapan pagi dengan pembicaraan yang tidak jelas ke mana arahnya karena keduanya masih berkutat dengan keraguan dalam diri mereka sendiri, Evan meminta Hana untuk beristirahat. Kantung mata Hana yang tampak menghitam menjadi saksi betapa lelahnya perempuan itu.Hana pikir, ia tidak akan menemukan Evan saat ia terbangun. Nyatanya, Evan ada di ruang tengah apartemennya, sedang berbaring sambil menonton televisi.Menyadari Hana yang sudah bangun usai tidur beberapa jam, Evan langsung bangkit dan menepuk-nepuk sofa agar Hana duduk di sampingnya.“Aku harus ke rumah sakit lagi, Van. Gantian jaga sama Bu Ida. Kasihan Bu Ida kalo kecapekan.”"Kita makan siang dulu ya baru ke rumah sakit."“Kamu mau nganter aku?” tanya Hana bingung. Ia akan semakin kerepotan kalau tidak membawa mobilnya sendiri.“Kenapa? Kamu nggak mau kuanter?”“Bukan gitu. Tapi kayaknya aku bakal repot kalo nggak bawa mobil sendiri.”“Kutemenin di rumah sakit.”“Ini kan libur, Van. Harusnya kamu istirahat di rumah.
Evan menjatuhkan diri di atas sofa apartemen Hana. Harusnya ia bisa mengambil kesempatan ini untuk melakukan apa yang biasanya ia lakukan secara diam-diam, mencari bukti apa pun yang bisa menjatuhkan Hana.Tapi kali ini, Evan benar-benar tidak bisa memikirkan hal itu. Pikirannya terlalu dipenuhi sosok Hana yang sampai saat ini belum ia tahu keberadaannya.Evan menatap nyalang pada langit-langit di mana ia berada. Kenapa ia begitu mengkhawatirkan Hana?Sebuah pesan yang masuk ke ponselnya membuat Evan dengan malas membukanya.Melinda: Van, jadi kita ketemu hari ini?Semula Evan ingin mengabaikan pesan itu, tapi ia tidak sanggup membayangkan Melinda resah menunggu jawabannya, seperti dirinya yang saat ini resah menunggu Hana.Evan: Sorry, aku nggak bisa.Melinda: Tapi kemarin kamu udah janji, Van.Melinda: Kamu bukan orang yang suka ingkar janji.Evan: Ada yang urgent. Sorry.Evan lantas meletakkan ponselnya di atas meja, tidak mengacuhkan ponselnya yang berkali-kali bergetar. Mungkin M
Dua hari sudah Hana terbangun dengan bantuan alarm ponselnya, bukan bunyi bel pintu apartemennya. Artinya, dua hari sudah Evan tak lagi mengunjunginya di pagi hari, salah satu rutinitas yang Evan coba dalam fase pendekatan mereka.Hana tidak keberatan sebenarnya dengan hal itu, ia hanya sedikit bingung dengan perubahan mendadak yang terjadi di hidupnya.Mulai Evan yang mencoba masuk ke dalam hidupnya dan kini Evan yang kehadirannya antara ada dan tiada.Apa ada hubungannya dengan Melinda? Sejak pertemuan tidak sengaja mereka di mall usai makan siang, keduanya sama sekali tidak membahas tentang hubungan mereka atau hubungan Evan dengan Melinda. Seakan mereka masih bingung dengan perasaan masing-masing.Hana mengambil dua helai roti kemudian memanggangnya dan menjadikannya sandwich simple berisi telur, cheese, daging asap, serta mayonnaise. Alih-alih langsung memakannya, Hana memilih mengambil handuk dan mandi terlebih dulu.Karena kini kehidupannya kembali normal seperti sebelum Evan m
"Van, Divisi Keuangan minta waktu sampe minggu depan buat proyek yang kita ajuin.” Hana baru selesai menghadiri meeting dengan Divisi Keuangan dan langsung menuju ruangan Evan untuk melaporkan hasil meeting-nya. Melihat Evan yang diam tanpa menjawabnya, membuat Hana berpikir ada yang salah dengan meeting yang dihadiri Evan dengan Ribka. “Gimana meeting-nya tadi, Van?" tanyanya kemudian.Evan mengangguk-angguk. "It's ok. Ada revisi dikit sama kontraknya tapi udah ditanganin bagian legal."Katakanlah Hana terlalu peka. Tapi nyatanya memang ia melihat sesuatu yang berbeda dari ekspresi Evan sejak ia masuk. "Aku keluar dulu ya," pamit Hana kemudian. Mungkin Evan butuh waktu untuk sendiri.Evan mengangguk. Ia baru mengangkat wajahnya dan menatap ke arah perginya Hana setelah Hana menutup pintu ruangannya.***“Hanaaa, maksi sama gue yuk. Kangen deh ngobrol sama lo,” ucap Ribka yang sebenarnya menyimpan misinya sendiri. “Oh, atau lo maksi sama bos ganteng? Yah gue sih ngalah kalo lo mau mak
Hana mengacak rambutnya dengan frustasi. Dokumen-dokumen yang dulu dikerjakan mendiang ayahnya cukup menyita perhatiannya.Sejak mendapatkan izin dari Ares untuknya mengakses dokumen ayahnya, Hana membawa sebagian dokumen milik ayahnya pulang untuk ia pelajari.Sebenarnya, ada satu nama perusahaan yang belakangan mengusik ingatan dan pikirannya, Global Investama. Sebuah perusahaan yang berdomisili di Malaysia dan belakangan ini getol mengajukan kerja sama dengan Cakrawangsa Group.Entah kenapa ingatan Hana seperti tersedot ke masa lalu. Ia ingat, ayahnya pernah mendiskusikan tentang perusahaan itu pada mamanya. Hana memang masih kecil saat kejadian itu terjadi, tapi Hana masih mengingatnya dengan jelas karena raut wajah ayahnya yang berubah saat membicarakan perusahaan itu.Namun, sejauh ini, dari beberapa odner yang diperiksanya, belum ia temukan nama Global Investama. Itulah yang membuatnya frustasi. Ia harus cepat menemukannya agar tahu apa yang sebenarnya ingin dilakukan perusahaa
"Mas Evan beneran deketin Hana?" tanya Elaksi yang sedang bersantai di gazebo yang ada di samping rumah bersama Evan dan Elga."Kenapa? Kamu nggak suka ya?"Evan bukannya tidak tahu kalau Elaksi memiliki rasa tidak suka pada Hana. Umur Elaksi dan Hana yang hanya selisih beberapa bulan harusnya bisa membuat hubungan mereka dekat, tetapi kenyataannya mereka berdua terlihat selalu menjaga jarak.Bukan tanpa alasan. Karena kondisi Hana yang berbeda—akibat PTSD yang dideritanya—saat itu Ares dan Letta terkesan lebih memperhatikan Hana dibanding Elaksi. Meski orang tuanya berusaha memberikan pengertian pada Elaksi, tetap saja saat itu usia Elaksi bukan lah usia yang bisa memahami dengan bijak keadaan yang terjadi.Dan kini, luka itu masih terpatri di hati Elaksi. Ingatannya saat semua orang lebih memperhatikan Hana dibanding dirinya, bahkan Evan juga saat itu lebih sering mengajak Hana bermain dibanding dengannya. Wajar kan kalau sekarang ia semakin merasa terancam dengan keinginan kakaknya