"Mas Evan beneran deketin Hana?" tanya Elaksi yang sedang bersantai di gazebo yang ada di samping rumah bersama Evan dan Elga."Kenapa? Kamu nggak suka ya?"Evan bukannya tidak tahu kalau Elaksi memiliki rasa tidak suka pada Hana. Umur Elaksi dan Hana yang hanya selisih beberapa bulan harusnya bisa membuat hubungan mereka dekat, tetapi kenyataannya mereka berdua terlihat selalu menjaga jarak.Bukan tanpa alasan. Karena kondisi Hana yang berbeda—akibat PTSD yang dideritanya—saat itu Ares dan Letta terkesan lebih memperhatikan Hana dibanding Elaksi. Meski orang tuanya berusaha memberikan pengertian pada Elaksi, tetap saja saat itu usia Elaksi bukan lah usia yang bisa memahami dengan bijak keadaan yang terjadi.Dan kini, luka itu masih terpatri di hati Elaksi. Ingatannya saat semua orang lebih memperhatikan Hana dibanding dirinya, bahkan Evan juga saat itu lebih sering mengajak Hana bermain dibanding dengannya. Wajar kan kalau sekarang ia semakin merasa terancam dengan keinginan kakaknya
Hana mengacak rambutnya dengan frustasi. Dokumen-dokumen yang dulu dikerjakan mendiang ayahnya cukup menyita perhatiannya.Sejak mendapatkan izin dari Ares untuknya mengakses dokumen ayahnya, Hana membawa sebagian dokumen milik ayahnya pulang untuk ia pelajari.Sebenarnya, ada satu nama perusahaan yang belakangan mengusik ingatan dan pikirannya, Global Investama. Sebuah perusahaan yang berdomisili di Malaysia dan belakangan ini getol mengajukan kerja sama dengan Cakrawangsa Group.Entah kenapa ingatan Hana seperti tersedot ke masa lalu. Ia ingat, ayahnya pernah mendiskusikan tentang perusahaan itu pada mamanya. Hana memang masih kecil saat kejadian itu terjadi, tapi Hana masih mengingatnya dengan jelas karena raut wajah ayahnya yang berubah saat membicarakan perusahaan itu.Namun, sejauh ini, dari beberapa odner yang diperiksanya, belum ia temukan nama Global Investama. Itulah yang membuatnya frustasi. Ia harus cepat menemukannya agar tahu apa yang sebenarnya ingin dilakukan perusahaa
"Van, Divisi Keuangan minta waktu sampe minggu depan buat proyek yang kita ajuin.” Hana baru selesai menghadiri meeting dengan Divisi Keuangan dan langsung menuju ruangan Evan untuk melaporkan hasil meeting-nya. Melihat Evan yang diam tanpa menjawabnya, membuat Hana berpikir ada yang salah dengan meeting yang dihadiri Evan dengan Ribka. “Gimana meeting-nya tadi, Van?" tanyanya kemudian.Evan mengangguk-angguk. "It's ok. Ada revisi dikit sama kontraknya tapi udah ditanganin bagian legal."Katakanlah Hana terlalu peka. Tapi nyatanya memang ia melihat sesuatu yang berbeda dari ekspresi Evan sejak ia masuk. "Aku keluar dulu ya," pamit Hana kemudian. Mungkin Evan butuh waktu untuk sendiri.Evan mengangguk. Ia baru mengangkat wajahnya dan menatap ke arah perginya Hana setelah Hana menutup pintu ruangannya.***“Hanaaa, maksi sama gue yuk. Kangen deh ngobrol sama lo,” ucap Ribka yang sebenarnya menyimpan misinya sendiri. “Oh, atau lo maksi sama bos ganteng? Yah gue sih ngalah kalo lo mau mak
Dua hari sudah Hana terbangun dengan bantuan alarm ponselnya, bukan bunyi bel pintu apartemennya. Artinya, dua hari sudah Evan tak lagi mengunjunginya di pagi hari, salah satu rutinitas yang Evan coba dalam fase pendekatan mereka.Hana tidak keberatan sebenarnya dengan hal itu, ia hanya sedikit bingung dengan perubahan mendadak yang terjadi di hidupnya.Mulai Evan yang mencoba masuk ke dalam hidupnya dan kini Evan yang kehadirannya antara ada dan tiada.Apa ada hubungannya dengan Melinda? Sejak pertemuan tidak sengaja mereka di mall usai makan siang, keduanya sama sekali tidak membahas tentang hubungan mereka atau hubungan Evan dengan Melinda. Seakan mereka masih bingung dengan perasaan masing-masing.Hana mengambil dua helai roti kemudian memanggangnya dan menjadikannya sandwich simple berisi telur, cheese, daging asap, serta mayonnaise. Alih-alih langsung memakannya, Hana memilih mengambil handuk dan mandi terlebih dulu.Karena kini kehidupannya kembali normal seperti sebelum Evan m
Evan menjatuhkan diri di atas sofa apartemen Hana. Harusnya ia bisa mengambil kesempatan ini untuk melakukan apa yang biasanya ia lakukan secara diam-diam, mencari bukti apa pun yang bisa menjatuhkan Hana.Tapi kali ini, Evan benar-benar tidak bisa memikirkan hal itu. Pikirannya terlalu dipenuhi sosok Hana yang sampai saat ini belum ia tahu keberadaannya.Evan menatap nyalang pada langit-langit di mana ia berada. Kenapa ia begitu mengkhawatirkan Hana?Sebuah pesan yang masuk ke ponselnya membuat Evan dengan malas membukanya.Melinda: Van, jadi kita ketemu hari ini?Semula Evan ingin mengabaikan pesan itu, tapi ia tidak sanggup membayangkan Melinda resah menunggu jawabannya, seperti dirinya yang saat ini resah menunggu Hana.Evan: Sorry, aku nggak bisa.Melinda: Tapi kemarin kamu udah janji, Van.Melinda: Kamu bukan orang yang suka ingkar janji.Evan: Ada yang urgent. Sorry.Evan lantas meletakkan ponselnya di atas meja, tidak mengacuhkan ponselnya yang berkali-kali bergetar. Mungkin M
Setelah sarapan pagi dengan pembicaraan yang tidak jelas ke mana arahnya karena keduanya masih berkutat dengan keraguan dalam diri mereka sendiri, Evan meminta Hana untuk beristirahat. Kantung mata Hana yang tampak menghitam menjadi saksi betapa lelahnya perempuan itu.Hana pikir, ia tidak akan menemukan Evan saat ia terbangun. Nyatanya, Evan ada di ruang tengah apartemennya, sedang berbaring sambil menonton televisi.Menyadari Hana yang sudah bangun usai tidur beberapa jam, Evan langsung bangkit dan menepuk-nepuk sofa agar Hana duduk di sampingnya.“Aku harus ke rumah sakit lagi, Van. Gantian jaga sama Bu Ida. Kasihan Bu Ida kalo kecapekan.”"Kita makan siang dulu ya baru ke rumah sakit."“Kamu mau nganter aku?” tanya Hana bingung. Ia akan semakin kerepotan kalau tidak membawa mobilnya sendiri.“Kenapa? Kamu nggak mau kuanter?”“Bukan gitu. Tapi kayaknya aku bakal repot kalo nggak bawa mobil sendiri.”“Kutemenin di rumah sakit.”“Ini kan libur, Van. Harusnya kamu istirahat di rumah.
Hana kembali menatap steak yang masih tersisa di piringnya. Ia tidak menaruh ekspektasi apa pun. Hanya ingin segera menyelesaikan makan siangnya dan pergi ke rumah sakit untuk menjaga Ilham.Sampai tiba-tiba ia mendengar derit kursi di depannya yang ditarik. Hana mendongak, dan mendapati Evan yang kembali duduk di kursi yang ada di depannya.Keduanya saling tatap sekitar tiga detik sebelum Hana akhirnya mengalihkan tatapannya.“Sorry,” ucap Evan. “Aku nggak jadi ke mana-mana.”Hana tidak berkata apa-apa lagi, memilih melanjutkan santap siangnya.Sementara Evan hanya diam menatap Hana. Sebagai seorang penggemar daging, tenderloin 200 gram bisa dihabiskannya dalam waktu sekejap. Karena itu, kini ia hanya menatap Hana yang masih mencoba menghabiskan makanannya.***“Kamu marah, Han?” tanya Evan saat melirik pada Hana yang memilih menatap ke jalanan di sisi kirinya sejak Evan melajukan mobilnya.“Marah kenapa?”“Karena tadi Melinda—”Hana adalah orang yang pandai menutupi perasaannya agar
Hana langsung mengemudikan mobilnya menuju rumah keluarga Vio setelah mendapat kabar kepulangan Vio dari acara seminarnya di Surabaya.Tidak ada orang tua Vio ketika Hana tiba di kediaman keluarga Wasesa. Setelah menyapa beberapa ART di rumah itu yang sudah mengenalnya, Hana langsung merangsek ke dalam kamar Vio.“Vioooo!”Vio mengabaikan panggilan Hana yang cukup memekakkan telinganya. Ia masih terlalu asyik membalas chat dari pacar barunya.“Vioooo ….”“Apa sih, Han? Elah, pagi-pagi udah rusuh aja. Gue masih balesin pesennya Ardi nih.”Hana merebahkan diri di atas ranjang Vio, memosisikan diri di samping Vio. “Ardi siapa?”“Pacar baru gue. Bentar, gue bilang dulu ke Ardi kalo gue mau ngobrol sama lo.” Vio mengetikkan sesuatu pada Ardi, kemudian meletakkan ponselnya setelah mendapat balasan dari Ardi yang membuatnya mengembangkan senyuman.“Kali ini kenal di mana?” Hana menatap Vio penuh tanya, karena seingatnya Vio mengambil seminar itu sebagai penyembuh sakit hatinya karena baru sa
"Van, kamu lagi nyetir, mending matiin aja video call-nya. Bahaya.""Kamu nggak apa-apa? Kenapa nggak nelepon aku pas dia dateng tadi?""Kamu mau ketemu dia?""Bukan gitu, Sayang. Aku kan jadi nggak bisa ngelindungin kamu. Bentar ya, aku udah mau nyampe."Evan mematikan sambungan video call-nya, meninggalkan Hana yang bingung saat mendengar Evan hampir sampai di tujuan. 'Nggak mungkin udah sampe kantor kan? Cepet banget.'"Sayang."Hana menoleh dengan kaget ke arah pintu kamar yang baru saja dibuka."Kok balik?""Ya aku nggak bisa tenang lah. Tadi aku langsung puter balik pas dapet telepon dari Bibi. Tapi macet banget pas mau puter baliknya. Maaf ya, lama. Kamu nggak apa-apa?" Evan menarik Hana ke dalam pelukannya, mengusapi punggungnya pelan. "Nggak ada omongan dia yang bener. Jangan ada yang dimasukin ke hati ya.""Kamu denger semuanya?""Hmm. Aku makin cinta sama kamu. Rasanya pengen tepuk tangan waktu kamu bales semua omongan nggak benernya."***"Kamu yakin ngelakuin ini, Van?""
Hana tahu kalau tidak sopan langsung bertanya seperti itu kepada tamu yang datang ke rumahnya. Tapi boleh kan ia membuat pengecualian untuk wanita itu? Ini rumahnya, dia punya kuasa sebenarnya untuk menerima atau mengusir tamu.Wanita yang dengan tenang duduk di sofa itu menyunggingkan senyumannya. Di atas meja terlihat satu keranjang buah, entah dalam rangka apa dia membawanya, sebagai tanda empati atau sebaliknya, sebagai tanda berbahagia."Aku cuma mau jenguk, katanya kamu baru keluar dari rumah sakit.""Makasih, kalo tujuanmu buat bener-bener jenguk. Tapi aku udah sehat.""Kamu memang udah sehat, tapi ... sayang banget ya ... calon anak Evan--""Sebenernya tujuan kamu apa, Mel? Aku tau kamu ke sini bukan buat jenguk. Kalo kamu mau jenguk aku, bisa pas ada suamiku kan? Sekalian kalo kamu mau nyoba deketin dia lagi."Melinda tersenyum pongah. "Gimana rasanya kehilangan yang seharusnya jadi milik kamu?""Aku memang kehilangan calon bayiku dan Evan, tapi masih ada rasa bahagia, sengga
"Sayang, udah tiga hari kita di sini, nggak mau balik ke rumah kita?" tanya Evan saat Hana merapikan dasinya sebelum berangkat ke kantor.Hana masih belum banyak bicara pada Evan, walau tetap menjawab apa yang Evan tanyakan. Tidur mereka pun masih terpisah, hanya kadang Hana masuk ke kamar Evan jika memang ada sesuatu yang harus diurusnya seperti merapikan pakaian kerja Evan atau mencari barang yang tidak bisa ditemukan Evan."Ya udah, nanti malem kita balik ke rumah.""Beneran? Nggak apa-apa? Kalo kamu masih mau di sini dulu nggak apa-apa juga kok.""Iya, nanti malem pulang aja."Beberapa hari ini Hana memperhatikan keluarga Evan yang masih memberikan silent treatment pada Evan. Semakin lama, rasanya semakin tidak tega melihatnya. Lagipula ia tidak mau mengumbar hubungan rumah tangganya lebih lama lagi. Sepertinya orang tua Evan pun mulai gelisah karena ia dan Evan masih seperti berada di dunia yang berbeda."Nanti abis makan malem kalo gitu ya."Hana mengangguk samar. "Aku ... kapan
Baru kali ini Evan mengalami makan malam tanpa suara obrolan.Keluarganya bukannya tidak tahu adab dengan banyak bicara saat prosesi makan berlangsung. Tapi karena kesibukan masing-masing anggota keluarganya, makan bersama tidak pernah diisi dengan keheningan. Minimal ada Elga yang selalu mengoceh, menceritakan apa saja yang menarik menurutnya.Namun malam itu, semua orang sepertinya sedang sakit gigi atau sariawan. Hanya terdengar dentingan sendok dan garpu dalam ruang makan yang luasnya bisa untuk dijadikan lapangan futsal itu.Ia pun tidak berani memulai percakapan, melihat mama dan ayahnya yang masih jelas-jelas memendam kemarahan padanya."Makan yang banyak, Han." Kalimat pertama yang terucap di ruang makan itu keluar dari Letta yang gelisah melihat Hana hanya mengaduk makanan di piringnya."Iya, Ma." Hana mulai memakan makanan di atas piringnya karena tidak ingin melihat tatapan cemas dari yang lainnya."Mau makan di kamar aja? Nanti aku anter ke kamar," ujar Evan lirih.Sebelum
"Sayang, kamu ngomong apa sih?""Mungkin kalo Melinda yang jadi istrimu—""Hana!" sela Evan yang kini memejamkan matanya, berusaha untuk mengatur emosinya. "Han, apa yang kamu lihat waktu itu nggak seperti yang kamu pikirin. Please, sekarang yang penting kamu sehat dulu. Nggak usah mikir yang nggak-nggak."Hana ingin menyahuti Evan, tapi pintu ruang rawat inapnya terbuka. Ayah mertuanya masuk sambil menyunggingkan senyumannya."Gimana, Han? Perlu Ayah panggilin dokter? Kata Mama dokter belum ngecek lagi ke sini setelah kamu bangun?"Hana membalas perhatian ayah mertuanya dengan sebuah senyuman, meski sangat sulit rasanya untuk tersenyum di kondisinya saat ini. "Nggak apa-apa kok, Yah. Biar nunggu jadwalnya dokter visit aja."Ares melirik Evan dengan tatapan yang sama sejak ia menampar anaknya itu. "Kamu sehat dulu ya, Han. Kalo udah sehat, kamu boleh minta penjelasan ke Evan, kamu boleh marah sama Evan, bahkan kalau kamu mau minta cerai pun, ayah nggak akan menghalangi. Di keluarga Ca
Hening.Tidak ada yang berbicara selama perjalanan dari rumah Evan ke rumah sakit.Ares memang marah pada anaknya, tapi sifat kebapakannya tidak juga luntur. Nyatanya ia menunggu Evan di dalam mobil, setelah memberi tahu kalau Hana berada di rumah sakit."Yah, kondisi Hana ...?" Evan melirik ayahnya yang fokus menyetir, menatapnya beberapa detik dan tidak mampu melanjutkan kalimatnya."Nanti kamu tanya sendiri. Itu juga kalo Hana mau nemuin kamu."***"Han." Letta memanggil Hana yang baru saja membuka matanya. Sudah beberapa jam ini ia tertidur di bawah kontrol obat penenang. "Ada yang terasa sakit? Mama panggilin dokter ya."Hana menggeleng pelan. "Nggak usah, Ma."Melihat gerakan Hana yang seperti ingin duduk, Letta bergegas membantunya. "Tiduran aja, Han. Ranjangnya otomatis kok.""Oh, iya, Ma." Hana kembali merebahkan diri dan tak lama kemudian bagian atas ranjangnya terasa bergerak naik setelah Letta menekan beberapa tombol di samping ranjang."Kak Azka mana, Ma?""Lagi ke kantin
Letta berlari di sepanjang koridor rumah sakit setelah mendengar kabar dari Azka. Suaminya juga sedang dalam perjalanan ke rumah sakit tapi terjebak kemacetan demonstran yang terjadi di depan salah satu kantor kementerian."Gimana, Ka?" tanya Letta yang melihat Azka duduk lemas di salah satu kursi ruang tunggu."Dokter belum keluar, Tan.""Kamu udah berhasil hubungin Evan? Nomor hpnya nggak aktif." Letta benar-benar bingung dengan situasi yang terjadi. Mengapa Hana ada di Jakarta dan Evan masih di Lombok? Belum lagi ponsel Evan yang tidak bisa dihubungi sejak Letta mendapat kabar kondisi Hana dari Azka.Beruntung Azka datang ke rumah Hana pagi itu, kalau tidak, Letta tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada Hana. Hanya ada dua ART di rumah itu dan semuanya perempuan. Siapa yang bisa membawa Hana ke rumah sakit dalam keadaan merintih kesakitan. Menunggu ambulance atau pertolongan dari kelaurganya tentu saja membutuhkan waktu lebih lama lagi."Masih nggak aktif hpnya, Tan," jawab A
Dante Coffee, hanya tempat itu yang kini menarik perhatian Hana. Tempatnya tidak terlalu luas, ada beberapa pengunjung di dalam dan masih ada tempat kosong di sudut coffee shop itu.Ia melangkah masuk, memesan minuman hangat selagi menunggu jadwal penerbangannya.Jangan tanyakan perasaannya saat ini.Hampa.Bahkan air mata tak kunjung ingin keluar dari sudut matanya. Padahal ia membayangkan kelegaannya jika air matanya bisa keluar saat itu juga.Hana berjalan menuju counter saat namanya dipanggil. Di tangannya kini ada secangkir cappuccino yang mengepul. Lumayan untuk Hana menghangatkan telapak tangannya yang mulai kedinginan, pasalnya ia hanya mengenakan kaos lengan pendek dan celana jeans, tanpa sempat berpikir mengambil cardigan dari dalam koper. Biasanya ia tidak memerlukan cardigan karena selalu ada Evan yang siap memeluknya.Lagi-lagi Hana tersenyum nanar, lelaki yang tiba-tiba saja muncul dipikirkannya saat ini, nyatanya tengah memeluk wanita lain. Apa yang bisa ia harapkan?Se
Hana mengerjap pelan, kepalanya berat, dan kakinya masih pegal, rasanya seperti ia baru saja selesai latihan tae kwon do. Ia meraba-raba sisi kasur di sebelahnya, namun tidak menemukan keberadaan suaminya.'Mungkin di kamar mandi,' pikirnya.Ia kembali memejamkan mata, dan terlelap.Entah pukul berapa saat itu, yang jelas suara telepon internal di dalam kamar yang berbunyi nyaring membuat Hana terbangun. Ia mencoba meraih gagang telepon yang ada di atas nakas."Halo," jawabnya dengan suara serak khas orang bangun tidur."Han, lo tidur? Sorry, sorry.""Ada apa, Fin?" tanya Hana setelah yakin kalau suara di seberang sambungan telepon adalah suara Arfindo."Lo sama Evan nggak mau jalan-jalan gitu, lihat sunset mungkin? Gue gabut nih di kamar sendirian, nggak apa-apa deh gue jadi obat nyamuk kalian. Nggak enak banget sumpah, masa sampe Lombok cuma ngerem di kamar.""Hah? Lihat sunset?" Padahal Hana kira saat itu sudah pagi, tapi Arfindo mengajaknya melihat sunset? Ia lantas mengecek ponsel