Langit kelabu, sesekali menampakkan kilatan di jauh sana, setelahnya bunyi gelagar akan mengepung pendengaran. Walaupun hujan akan turun, tapi tidak meredam bunyi pantulan bola basket dan decitan sepatu yang dibawa kabur sana-sini di lapangan sekolah, larut bersama sorakan dari para pemain. Bau itu datang lagi, bau yang hadir di beberapa hari terakhir. Karena cuaca penghujan, bau selokan di samping bangku tunggu menguar ke seluruh penjuru.
Berjam-jam gadis itu menunggu jemputan, tapi tak kunjung datang, penyebabnya karena ia lupa tak membawa handphone. Converse-nya terus menari-nari, kepalanya terus menoleh ke kanan dan kiri, tapi tetap tak ada tanda-tanda seseorang menghampiri.
Benar saja, tak lama hujan turun. Para pemain basket ikut memenuhi bangku tunggu, gadis itu sedikit bergeser, memberi ruang untuk mereka. "Kok belum pulang, Dek?" Tanya salah satu cowok di sampingnya. Astaga, dia yang merupakan salah satu cowok yang masuk list most wanted, Eshar.
"Nunggu jemputan, Kak." Cowok itu hanya ber-oh-ria.
"Eh, ada degem. Jangan mau dideketin sama Eshar, pacarnya banyak tuh," ucap Reyhan, yang termasuk dalam anggota para cowok-cowok ganteng.
Satu botol kosong, mendarat tepat di kepala Reyhan, membuat sang empu mengaduh.
Cuaca dingin membuat gadis itu bolak-balik kamar mandi karena kebelet pipis. Seperti saat ini, ia melenggang pergi, meninggalkan barisan cowok-cowok ganteng.
Bruk!
"Akh!!" Teriak gadis itu ketika ada yang merasa ganjal, menyandung kakinya.
"Aduh, sorry." Cowok itu membantu bangkit. Namun naas, saat dilihat ke bawah, lututnya berdarah.
"Gue bantuin, kita ke UKS, ya emm?" Cowok itu mengulurkan tangannya.
"Vanessa, Kak. Panggil aja Vanes."
"Oke, Vanes."
Cowok itu memapah Vanessa sampai UKS. Jantung Vanessa seperti cacing kepanasan, bahkan rasa sakit di lututnya terasa nikmat bersama cowok di sebelahnya ini. Revan, seorang kapten basket, anggota Penshit Boys yang merupakan pentolan sekolah, pacar sejuta umat. Kini ada di sampingnya. Munafik jika ia mengatakan tidak suka Revan, walau sekedar suka seperti cewek kebanyakan. Belum sampai tahap cinta.
Revan membersihkan luka Vanessa dengan hati-hati, sesekali cewek itu menjerit.
"Kok lo belum pulang sih, Van?"
"Nunggu jemputan, Kak." Jawab Vanessa, menahan rasa sakitnya.
Revan bangkit lalu membantu Vanessa berjalan. "Gue anter pulang."
Vanessa terbelalak, "ha? Nggak usah, Kak."
"Jangan bikin gue ngerasa bersalah. Lo jatuh karena barang gue."
"Oke." Cicit Vanessa.
Saat mereka sampai di tempat parkir motor Revan, di mana lagi kalau bukan parkiran yang merangkap jadi basecamp anggota Penshit Boys, gerombolan cowok-cowok famous di SMA Pelita Malam. Hanya berjarak 100 meter dari area sekolah, sedikit masuk gang. Tatapan orang-orang yang berada di sana langsung terfokus pada Vanessa.
Reyhan yang merasa familiar dengan wajah gadis di samping Revan, memincingkan matanya. "Loh, dedek emes, kamu diapain sama Revan? Lututnya kenapa tuh?"
"Dia punya nama, Han." Jawab Revan sambil mengenakan helm-nya.
Reyhan tersenyum jahil. "Ciee..udah kenalan aja. Nyolong start, nih."
Vanessa hanya diam, perasaannya sabar, bar-bar, ambyar di waktu yang bersamaan. Mungkin rasa ambyar lebih dominan, siapa yang bisa menolak pesona Revan, wajahnya saja tetap menawan meskipun penuh keringat.
"Ayo naik," deruman motornya menyadarkan lamunan Vanessa. Ia segera naik, bukan, bukan motor ninja atau sport keluaran terbaru, melainkan vespa klasik yang berbadan kinclong seperti wajah pemiliknya.
Vespa tua itu berdecit, rem ditarik mendadak karena aba-aba yang mendadak juga. Vanessa segera turun dan merapikan rok-nya. "Mau masuk dulu, Kak?"
"Nggak perlu," jawab Revan datar. "Ingat. Gue nganterin lo atas dasar kemanusiaan, jangan anggep lebih." Lanjutnya. Cowok itu langsung memutar stang vespanya tanpa pamitan.
Vanessa yang tadi sudah terbang, dijatuhkan begitu saja. Ia kira, Revan benar-benar baik, ya walaupun seantero sekolah juga tahu sifatnya yang urakan dan cuek. "Gila! Siapa juga yang baper sama situ. Tampang lebih dikit aja sombongnya selangit. Ihh, sebel." Vanessa menghentakkan kakinya, membuka pagar rumahnya kasar. Entah kenapa itu menusuk dan membuat sakit hati. Mungkin karena dirinya yang belum pernah berpengalaman soal cinta.
Vanessa masuk ke dalam kamarnya yang penuh poster-poster bintang Korea. Ia berlari ke arah jendelanya yang terbuka lebar, mengakibatkan gordennya sedikit basah karena air hujan. "Hujannya nggak mau terus terang, sih." Gerutunya. Meletakkan tasnya di meja belajar lalu menghampiri satu-satunya poster terbesar, seorang laki-laki tampan yang berpose menopang dagu, seolah menatapnya. Ini dipasang untuk memenuhi kebutuhan halunya. Ia juga ikut menopang dagu seolah mereka duduk berhadapan.
"Halo, Jae. Udah makan siang belum? Sama aku juga belum, nanti kita lunch bareng, deh." Seolah poster itu berbica, ini sudah biasa.
"Tahu nggak sih, Jae? Tadi aku pulang sama Kak Revan, aku kira dia baik, eh tapi ucapannya yang nggak seberapa itu kayak dicabe-in. Pedesnya ngalahin sambal matah buatan bunda. Bener kata kamu, aku kudu hati-hati sama cowok yang terkenal urakan kayak gitu. Iya-iya, Jae. Aku minta maaf. Gantengan juga kamu kemana-mana, makasih kamu udah balikin moodku. Ihh, gemes deh." Ia beranjak sambil seolah mencubit pipi 2 dimensi lelaki itu, kadang gilanya berlebihan. Ia bisa lebih gila lagi kalau terus memikirkan manisnya perlakuan cowok itu beberapa jam yang lalu. Kembali tersadar, itu semua atas dasar 'kemanusiaan'. Atas dasar kemanusiaannya itu ternyata membuat sial, ia berdiri berkacak pinggang sambil memperhatikan vespa kesayangannya itu.
"Sial, bensinnya abis lagi." Gumamnya sebal. Karena jarak basecamp sudah dekat, ia memutuskan untuk medorong saja.
Jersey dalam balut jaket yang sudah basah, tambah basah lagi karena gerimis yang dari tadi tidak berhenti, tidak juga hujan. "Wahh, kenapa tuh si vespa, Van?" Tanya Eshar. Revan menyentakkan standar motornya dan melepas helm-nya.
"Biasa, dehidrasi." Jawabnya singkat.
"Uda, bensin full, ya?" Pesan Revan pada Uda Rusli, pemilik warung nasi padang sekaligus tempat mereka nongkrong.
"Siap!" Jawabnya sambil mengacungkan jempol.
"Degem lo udah pulang, Van, nggak lo apa-apain kan?" Tanya Reyhan mengintimidasi Revan yang sedang meneguk air mineralnya.
"Gue buang ke rawa-rawa,"
"Astaga, Van! Tobat, anak orang tuh. Kalo mati gimana? Shar, susulin yuk. Kita pungut,"
"Gila lo, ya kali beneran dibuang ke rawa. Apaan lagi dipungut-pungut, kena pasal nanti lo, pungli!" Eshar yang tak habis pikir dengan temannya ini.
"Jadi mana sih yang bener? Bingung gue,"
"Kalo bukan temen gue, udah musnah lo dari bumi!"
Revan hanya geleng-geleng kepala mendengar perbedatan teman-temannya.
"Halo guys, sorry ya gue jarang posting foto, soalnya lagi sibuk. Next time, kalo gue sama curut-curut ini liburan, gue bakal update, kok." Wisnu datang dengan celotehannya yang sedang melakukan live i*******m untuk mengobati kerinduan fans-fansnya, dan mengarahkan kamera ponselnya pada Revan cs.
"Apaan sih, lo?" Revan yang merasa terganggu dengan datangnya kamera Wisnu yang mengarah ke wajahnya.
"Gue bacaan nih, komen mereka," Wisnu menjeda ucapannya. "Ihh, ganteng-ganteng gitu masa dibilang curut?"
"Hahaha." Eshar tertawa paksa.
"Gue mau balik." Ujar Revan, beranjak dari tempatnya.
"Yah, si kapten pulang nih guys. Nggak seru banget 'kan dia? Ya udah lanjut besok lagi, ya, love you all." Wisnu mengakhiri livenya dengan kecup jauh.
"Bicit!"
"Revan pulang!" Suara Revan menggema ke seluruh sudut rumahnya. Ia menengok beberapa ruangan tapi tidak menemukan siapapun."Maaf, mas. Bapak sama ibu lagi keluar." Muncullah Mbak Hesti, orang yang membantu ibu Revan membersihkan rumah."Kemana, Mbak?""Saya nggak tahu, tapi tadi buru-buru." Jawab wanita berambut hitam legam itu.Revan mengangguk."Ya udah, Mas. Saya pulang dulu," pamit Mbak Hesti. Ia memang tidak tidur di rumah orang tua Revan, karena jarak rumahnya yang dekat dan anaknya masih kecil. Ibu Revan juga memberi kebebasan, jika pekerjaannya sudah selesai, ia boleh pulang.Revan berjalan menuju kamarnya, hendak melepas jersey tapi,Plak!Biji rambutan berhasil lolos menerobos jendela, ia menengok ke luar jendela. "Papa nganter mama ke Jogja," ucap seseorang yang nangkring manis di dahan pohon ramputan yang letaknya tep
"Duduk dulu, nak. Tante ambilin minum," wanita dengan daster itu berbalik menuju dapur untuk mengambil minum."Jadi, kamu pacarnya Vanes?" Tanya ayah Vanessa mengintimidasi, maniknya menyorot lensa Revan tegas. Vanessa yang disebut-sebut, menggelengkan kepalanya kuat."Bukan, Om. Cuma teman aja. Ini dari papa," Revan menyerahkan rantang yang tadi ia bawa ke hadapan Hardi, ayah Vanessa. Lelaki itu segera membuka dan tersenyum melihat isinya."Jadi kamu Revan, anaknya Arief?"Revan tersenyum canggung. "Iya, Om."Vanessa membatin, apa-apaan sih ini?"Ini adik kamu, siapa? Kerei?""Kirei, Om. Kalau susah panggil aja Rere." Jawab sang pemilik nama sambil mendengus. Revan menyenggol lengan adiknya dengan siku."Apaan, sih?" Geramnya setengah berbisik."Ini diminum, ya. Seadanya," ibu Vanessa mengalihkan sorot sengit kedua saudar
"Selamat ya, Van. Atas jabatan barunya." Ucap Mila di sela mereka menikmati batagor. Vanessa tersenyum, lalu menyedot es jeruknya untuk membantu jalan batagor itu melewati tenggorokannya. "Tapi gue masih ragu, La. Secara gue bukan anak basket di sini.""Sekarang emang enggak, tapi dulu lo pernah."Vanessa berjalan buru-buru menuju ruang kesiswaan, setelah namanya terpanggil melalui speaker yang berada di setiap kelas. Ia membuka pintu perlahan. "Kamu yang namanya Vanessa?" Tanya Pak Budi, guru kesiswaan. "Iya, Pak. Ada apa, ya, saya dipanggil?" "Kamu tahu 'kan, sekarang sedang pencarian ketua tim basket putri?" Vanessa mengangguk. "Jadi, kepala sekolah di sekolah kamu sebelumnya merekomendasikan kamu untuk menggantikan posisi Yuna. Kebetulan beliau kakak ipar saya, tidak sengaja saya cerita-cerita dan ternyata beliau tahu kamu. Kenapa kamu tidak lanjutkan
Bukan Vanessa namanya kalau tidak menepati janji, walau tadi jantungnya hampir turun ke perut gara-gara sentuhan dan bisikan Revan, ia tetap mencoba biasa saja. Di lapangan sudah ada Revan dan teman-temannya, Vanessa segera menghampiri mereka. "Hebat juga lo, berani ngajak Yuki ribut." Ucap Revan mengawali percakapan."Gue nggak ngajak ribut. Dia duluan,""Gue mau ngomong sesuatu." Ucap Revan serius."Nggak mau ada mereka." Vanessa memandang teman-teman Revan."Buset, kita diusir? Kemaren, nih, pertama ketemu malu-malu kucing, lembut. Sekarang sangar gini, cuy." Ucap Reyhan sambil menepuk bahu Eshar. Sedangkan Wisnu, ia tak tahu apa-apa."Karena kemaren kebelet pipis," jawab Vanessa. Berdekatan dengan mereka terlalu sering, rasanya biasa saja. Lebih seru dulu, saat dia mengagumi mereka dari jauh.Revan mengibaskan tangannya, mengusir mereka."Siapa, sih?"
06 Kenangan usangSemilir angin pohon alpen yang bergoyang-goyang diterpa angin berhawa jingga. Paling syahdu memang menikmati senja menuju peradaban, di teras rumah. Memandang wajah-wajah kusam dan tawa riang bocah-bocah yang bajunya momot karena kelamaan berenang di kali. Mobil yang mengangkut Revan dan keluarganya baru saja memasuki pekarangan rumah joglo yang penuh pajangan barang antik. "Assalamuaikum, ibuk, bapak?" ucap ayah Revan mengetuk pintu yang tertutup sebelah.Tak lama datang seorang pria yang jalan terbungkuk-bungkuk sambil menyincing sarung, membuat ketukan berirama yang dihasilkan tongkat reyot. "Tari! Suamimu sama cucuku dateng ini," lantas ketiganya segera menyalami tangan keriput nan gemetar itu."Ayo masuk-masuk, mamamu masih nyuapin mbah puteri.""Udah besar putu lanang ini, ganteng tenan." Ucap kakek sambil menepuk-nepuk bahu Revan.Revan tersenyum lalu merangkul pundak kakeknya. "Kakung jangan tua dulu, bia
"Jadi aku ditantang main basket sama kakak kelas yang nyebelin tapi ganteng itu.""Menurut kamu gimana, Jan?""Enggak apa-apa, sih, aku tenang bisa curhat." Beberapa pesan Vanessa kirim pada akun instagram dengan username; hujan sore-sore. Itu hanya sebagian pesan, di atas masih banyak lagi. Walaupun pemilik akun tidak pernah membalas, tapi ia selalu membaca setiap pesan Vanessa. Pemilik akun tersebut merupakan penulis yang hampir seluruh karyanya Vanessa punya. Karyanya selalu masuk jajaran best seller, tapi ia tidak pernah menampakkan diri.Seorang gadis dengan rambut yang digerai indah lengkap dengan kacamata minusnya baru saja sampai menggunakan sepeda. Vanessa membuka jendela, melihat siapa yang datang, sudah bisa ditebak kalau itu Mila. Ia segera melambaikan tangannya, mengizinkan Mila untuk segera masuk. Sudah biasa Mila keluar masuk rumah Vanessa, karena gadis itu sudah akrab dengan orang tua Vanessa.Berbeda dengan Vanes
Vanessa bangun dari tidurnya yang kurang nyenyak. Mereka, Vanessa dan Mila, baru tidur jam dua dini hari, tahulah apa yang mereka lakukan. Vanessa terbangun karena posisi tidur Mila yang tidak karuan, sehingga ia hanya memiliki sedikit ruang untuk tubuhnya. Rencananya sih, mau lari keliling taman, lihat-lihat cogan calon kopral, habis itu sarapan bubur ayam langganan. Tapi semuanya, bullshit! Malah ketukan pintu tak sabaran yang ia dapat. "Permisi, Mbak. Apa non Mila sudah sarapan?" Tanya seorang wanita yang sama seperti kemarin sore."Ini ada sarapan, tolong diberikan ya, Mbak." Lanjutnya. Menyerahkan rantang berlapis emas, entah murni atau hanya cat, tapi berkesan mewah."Iya, makasih." Setelah menerimanya, Vanessa segera menutup pintu, sedikit dibanting."Non, ini sarapannya. Bibi siapin di atas meja, ya?" Ujar Vanessa menggoda Mila."Iya. Taruh situ aja." Mila belum tersadar, masih terbawa hawa-hawa rumahnya. Setelahnya
Dua cup boba menjadi saksi bisu panasnya persaingan antara Revan dan Vanessa, keduanya adu kebolehan dalam menembak bola. Beberapa kali gerakan Revan merebut bola dari Vanessa dengan posisi seperti memeluk dari belakang membuat Vanessa gagal fokus. Bisep Revan yang licin merengkuhnya, seirama dengan berontakan jantung yang ugal-ugalan ngajak tawuran. Licik juga. Dengan Wisnu sebagai wasit, membuat Vanessa tidak tenang, bisa saja Wisnu melebih-lebihkan poin Revan, tidak ada salahnya curiga, secara Wisnu sobat sepergerombolan.Prittt"Istirahat kedua." Intrupsi Wisnu membuat Revan membuang bola kecewa. Baru mau masuk ke daerah lawan, sudah istirahat lagi."Ini 'kan tandingnya pake jam pasir, nggak perlu istirahat berulang-ulang." Revan mengomel, setelahnya ia meraih asal minumnya. Kok red velvet?"Ya gue pake aturan yang biasa kita main aja," jawab Wisnu memelas.Revan tersentak. "Eh, ini ketuker?!" Ia meraih boba dari
Untuk orang yang tidak bisa diam, suasana seperti ini sangat Vanessa hindari sebenarnya. Mau memulai obrolanpun rasanya wajah Revan tidak bersahabat sama sekali, dari tadi datar tidak ada ekspresi, sampai-sampai ia tidak berani berpegangan pada jaket Revan dan menjadikan jok pertahanannya."Turun," ucapnya datar setelah sampai di depan pagar rumah Revan. Pertama kalinya Vanessa diajak main ke sini."Iya, tau.""Bukain!" kalau bukan dalam rangka meminta maaf, tidak semudah itu menuruti perintah Revan. Yang Vanessa hentak-hentakkan conversnya berjalan menuju pagar. Membersilahkan si kuda besi antik dan tuannya masuk."Revan pulang!" Vanessa mengikut saja di belakang."Kebiasaan deh, ka
Biasanya Vanessa akan pulang bersama Revan, tapi kali ini ia harus berjalan kaki menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh. Revan benar-benar marah padanya, sampai senyuman Vanessa tidak diindahkan sama sekali. Bahkan, ia terang-terangan melewati Vanessa yang berjalan di pinggir jalan. Semarah itukah? Padahal hanya 1 minggu."Papa benar-benar kecewa sama kamu, Revan. Apa cowok yang pandai berkelahi menurut kamu hebat? Memang hebat, tapi lebih hebat cowok berkelahi pakai otak, bukan otot," suasana ruang tengah rumah Revan sangat tidak bersahabat. Tidak ada yang berani menyela saat ayahnya sedang marah, apalagi beliau tidak pernah marah kecuali ada sesuatu yang sudah keterlaluan."Papa nggak pernah mengajarkan kamu jadi sok jagoan, Papa membebaskan apapun hobi kamu selagi itu positif. Papa nggak mau apa yang Papa alami menimpa kamu.""Papa yang pemberontak baru merasakan akibatnya setelah berkeluarga. Mengorbankan mama kamu untuk ikut banting tulang, men
Vanessa berjalan sambil bersenandung kecil, membawa kantong plastik putih berisi dua bungkus nasi goreng. Menuruti keinginan Regan yang aneh-aneh, ngidam nasi goreng. Paling ngeri sebenarnya jika melewati tembok bicara. Saat semua ungkapan lisan tidak diindahkan, tindakan para begajulan mencoret-coret tembok sengketa, meluapkan isi pikirannya. Macam bentuk grafiti dan kata misuh-misuh diabadikan dengan pilox berbagai warna. Memperburuk pemandangan. Tak jauh dari tempat itu, bunyi rusuh terdengar di seberang sana. Vanessa mendekat, mendapati sepeda motor yang terparkir awuran. Vanessa makin mendekat saat menemukan motor yang tidak asing. Itu vespa Revan! Di waktu yang bersamaan, ia melihat Revan sedang adu jotos entah dengan siapa. Vanessa menjatuhkan kreseknya lalu menerobos kerumunan. "Stop!!!" "Vanessa!" Tepat setelah itu Vanessa memejamkan mata, seseorang mendekapnya erat dari belakang. "Cabut, woi!" Setelah sese
Revan hengkang dari rumah Eshar bersama yang lainnya. Ingin cepat-cepat sampai kasurnya sendiri dan rebahan sampai siang, karena semalam tidurnya tidak aturan, disebabkan polah dua cecunguk yang tidak karuan. Tahu begitu, mending ia tidur di kasur yang ditempati Reyhan. Nyaman, tidak ada yang mengganggu, buktinya Reyhan bangun paling akhir, padahal bawah hidungnya sudah diolesi balsem. Memang dasar kebo.Tapi semua angan Revan gagal setelah mendapat kiriman pesan dari Bimo, teman sekelasnya.Karena weekend, kegiatan Vanessa setelah berbenah, hanya rebahan. Kalau sudah bosan kuadrat, paling nongkrong di depan televisi yang isinya dari pagi kartun. Karena mau nonton yang lainpun tidak bisa, tv selalu dalam kuasa Regan yang menonton tokoh kartun kelinci yang hanya bicara bwabwabwabwaa, tapi auranya menghantar Regan sampai gulingan di karpet.Vanessa memilih keluar rumah, sekedar cari angin menggunakan sepeda Regan. Semburat menguning yang muncul dari ufuk tim
Malam ini Revan cs sudah mengumpul di rumah Eshar. Para bujangga pencari cinta itu berencana menginap di rumah Eshar karena si playboy di rumah sendiri, maklum anak tunggal. Orang tuanya sibuk urusan bisnis.Karena Wisnu yang gila tenar, padahal sudah cukup tenar. Ia membelikan teman-temannya piyama yang didapat dari hasil endors di instagram, sekalian iklan katanya. Untuk pertama kalinya, malam ini Wisnu akan membuat channel youtube dengan konten pertama PESTA PIYAMA dan bintang tamu Revan, Eshar, dan Reyhan. Sebagai anak-anak most wanted mereka sudah terbiasa disorot banyak orang, walau tadi sempat ada perdebatan dengan Revan yang tidak mau gabung, tapi akhirnya dia menurut juga atas iming-iming Wisnu. Jadi konten malam ini tidak ada unsur paksaan. Semua suka rela.Mereka sudah duduk lesehan di karpet bulu kamar Eshar, menggunakan piyama masing-masing lengkap dengan penutup mata. "Van, lo nggak pake ini?" Tanya Eshar yang memakai penutup mata tapi
Vespa biru muda berhenti di depan gerobak bertuliskan LEGEND yang sebagian huruf sudah luntur digerus kerasnya jalanan. Vanessa mengikuti Revan seperti buntut. Setalah memesan, mereka duduk di kursi plastik yang disediakan. Harus mengantri dengan anak-anak bimbel yang berebut minta duluan sambil menyodorkan duit.Vanessa masih bingung dengan perangai Revan yang tidak konsisten. Cowok yang kini duduk di sebelahnya sambil bersenandung kecil. Sembribit angin yang dibawa angkot putih lusuh, pelit oksigen. Benar-benar kental polusi yang mengharuskan Vanessa menutup hidung dan mulut, sesekali terbatuk karena kepulan asap hitam menyergap rongga hidung tanpa permisi melalui celah jari."Emang gini keadaannya, Dek. Sekarang banyak cafe modern, kenapa mau mampir ke sini?" Vanessa dan Revan saling tatap. "Yang dicari kesannya, Pak. Bukan mewahnya." Jawab Revan."Kesannya apa sih, Dek? Cuma kayak gini doang." Ucap bapak itu sambil men
Vanessa mengeledah isi kotak yang diberikan Revan, ia tuangkan seluruh isinya di atas sprei. "Ada gitu cowok kayak dia," gumamnya sambil menatap berbagai macam jajanan jaman ia SD. Permen kelapa yang dibungkus kertas warna warni, permen karet yang di dalamnya ada tato, mie kremes yang dulu harganya 500 rupiah dapat dua, dan banyak lagi.Vanessa mengambil satu permen kelapa. Rasa manisnya menarik dalam kilas balik jaman uang sakunya Rp 1.000,- bisa untuk seminggu. Sudah lama ia tak makan makanan jadul ini, karena memang sudah jarang ditemui. Vanessa membuka kotak itu lagi, ada sepucuk surat yang tersembunyi; Butuh cemilan, tapi males keluar? Kotak ini jawabnya. Awet. Bisa tahan sampai satu periode. Vanessa tak bisa menahan senyumnya, bukan bualan kuno atau rayuan alay, cenderung seperti slogan iklan.Seperti biasa, kantin selalu sumpek di jam istiharat. Vanessa harus berdesak-desakan demi semangkuk soto. "Barang panas, barang panas!" Seru Reyhan yang
**Pihak Pertama**Thanks, buat yang tadi. Sorry juga udah ninggalin.**Pihak Kedua**Iya. Bye the way, rundingan apa sih sampe ninggalin gue?**Pihak Pertama**Masalak cowok. Mau tau?**Pihak Kedua**Baku hantam? Eh, Mantili. Lo punya janji ya sama gue. Nggak bakal berantem lagi, inget!**Pihak Pertama**Mantili?Kok lo perhatian gitu sih sama gue?
Atas semua kesialan yang menimpa Vanessa, Tuhan selalu berbaik hati mengirimkan seseorang untuk membantunya. Terbukti, sekarang ia diantar oleh Wisnu yang kebetulan mencegatnya di tengah jalan tadi. "Makasih ya, Kak-- eh, Wisnu."Yang kemudian dijawab dengan anggukan dan senyum manis. "Iya, sama-sama. Gue balik, ya?"Bisa-bisa Vanessa meleleh di tempat kalau begini. Terus-terusan disodori senyum semanis gulali dari gula tebu asli. "Hati-hati." Vanessa melambaikan tangannya.Untung ia sampai rumah sebelum petang. Kalau tidak ada Wisnu ia bisa menjadi sasaran empuk manusia buas di pinggir jalan. Semua gara-gara Revan! Yang mengacau jadwalnya.Vanessa bersiap untuk pergi malam ini. Sendiri. Karena memang tidak ingin ditemani, kadang seseorang memang perlu sendiri, bukan? Kalaupun ada yang menemani, jawabnya adalah Mila atau Regan, adiknya. Tapi Mila pasti ditemani pengasuhnya yang membuat Vanessa risih. Sedangkan Regan,