"Duduk dulu, nak. Tante ambilin minum," wanita dengan daster itu berbalik menuju dapur untuk mengambil minum.
"Jadi, kamu pacarnya Vanes?" Tanya ayah Vanessa mengintimidasi, maniknya menyorot lensa Revan tegas. Vanessa yang disebut-sebut, menggelengkan kepalanya kuat.
"Bukan, Om. Cuma teman aja. Ini dari papa," Revan menyerahkan rantang yang tadi ia bawa ke hadapan Hardi, ayah Vanessa. Lelaki itu segera membuka dan tersenyum melihat isinya.
"Jadi kamu Revan, anaknya Arief?"
Revan tersenyum canggung. "Iya, Om."
Vanessa membatin, apa-apaan sih ini?
"Ini adik kamu, siapa? Kerei?"
"Kirei, Om. Kalau susah panggil aja Rere." Jawab sang pemilik nama sambil mendengus. Revan menyenggol lengan adiknya dengan siku.
"Apaan, sih?" Geramnya setengah berbisik.
"Ini diminum, ya. Seadanya," ibu Vanessa mengalihkan sorot sengit kedua saudara itu.
"Makasih, Tante." Ucap Revan. Sedangkan yang satu, tanpa berterima kasih langsung mencomot cookies yang dihidangkan.
"Ya udah, kalian teman 'kan? Pasti saling kenal dong. Ngobrol aja dulu. Yuk Bun, lanjut yang tadi." Ucap ayah Vanessa menimbulkan gelagat malu-malu meow sang istri.
"Ihh, Ayah. Udah tua juga," tabokan manja di lengan, diiringi kekehan keduanya, sambil berlalu meninggalkan dua anak manusia, salah, tiga anak manusia yang diselimuti kecanggungan.
"Kak, itu yang di muka oli, ya?" Tanya Rere memecah suasana.
"Enggak. Ini masker," jawab Vanes hati-hati, takut maskernya yang setengah kering retak.
"Ohh, itu." Ucapnya terjeda saat menelan cookies yang dikunyahnya. "Bang Revan juga sering pake kayak gituan, tapi warnanya putih." Revan menyenggol lagi lengan adiknya
"Apaan, sih? Orang bener, kok. Waktu itu, Rere kebangun malem-malem, terus lihat Bang Revan lagi maskeran, matanya ditutupin timun."
"Oh, ya?" Vanessa mulai tertarik dengan topik pembicaraan. Rere mangangguk mantap. Vanessa pikir ia jutek, karena tidak ada feminimnya sama sekali. Rambut dikuncir kuda, kemeja lengan panjang yang kancingnya diceraikan melapisi kaos bertuliskan 'I Love, Yogyakarta', celana jeans pendek, sepatu kets. Menurut Vanessa, itu tidak ada lembut-lembutnya. Memang. Mereka asik membicarakan kebiasaan Revan. Sedangkan yang dibicarakan hanya pasrah.
Opo aku salah..
yen aku cerito opo anane..Samar-samar terdengar senandung kecil dari luar, semua terdiam, saling tatap, melihat pintu yang terbuka. Siapa gerangan yang datang.
"Assalamu'alaikum!" Ucapnya setengah teriak. Lalu yang di dalam, kompak menjawab.
Remaja tanggung dengan baju koko dan sarung yang melilit pinggangnya, lengkap dengan peci yang sudah diputar versi kabayan. Senandungnya terhenti ketika melihat di rumahnya ada tamu. "Rere?"
"Regan?" Ucap mereka bergantian.
"Kalian kenal?" Akhirnya Revan bersuara.
"Kenal. Dia temenku."
Vanessa menatap adiknya, lalu Regan mengangguk, menyetujui ucapan Rere. Regan terdiam di ambang pintu. "Sini masuk, ngapain di situ? Anak kecil nyanyinya lagu orang dewasa. Siapa yang ngajarin?" Omel Vanessa.
"Aku mau ke kamar," pamitnya.
"Ihh, nggak sopan."
"Bang, pulang yuk?" Ucap Rere tiba-tiba.
"Udah gibahin kakaknya sendiri?" Tanya Revan datar, tapi tajam.
Rere meringis. "Udah. Udah kenyang juga,"
"Pulang dulu ya, Kak. Bye," pamit Rere diikuti Revan. Cowok itu tak mengucapkan apapun, padahal tadi bersikap manis di hadapan orang tua Vanessa. Sampai derum knalpot vespanya terdengar, ia tidak bersuara sama sekali. Justru malah Rere yang menyepatkan untuk melambaikan tangan.
Vanessa membanting pintu kamarnya, ia mendumal tidak jelas sampai masker yang ia gunakan retak-retak. "Berisik tau, Kak!" Teriak dari kamar sebelah. Tak lama suara gedabak-gedebuk terdengar, pintu kamarnya berderit.
"Tadi ngapain, Kak?" Vanessa mengamati gerak-gerik adiknya yang berguling di atas kasurnya.
"Siapa?" Tanya Vanes menatap adiknya dari pantulan cermin sambil menguliti maskernya.
"Rere sama kakaknya,"
"Bawa makanan buat ayah. Kenapa emang?"
"Nggak apa-apa. Aku mau tidur, jangan berisik, Kak. Ngedumel nggak jelas,"
"Udah-udah sana pergi, huss." Venessa mengibaskan tangannya, mengusir Regan.
Lalu, gadis itu mencuci muka dan beranjak tidur. Karena esok adalah hari yang menggemparkan di mana seluruh siswa menanti-nanti siapa yang akan menggantikan posisi ketua tim basket putri, setelah sebelumnya dipegang oleh Yuna yang terpaksa harus lengser kerena suatu hal yang tidak mengenakan.
Vanessa sudah tahu semuanya, karena sebelum adanya pemutusan di depan publik, ia sudah diberi tahu. Maka dari itu, ia menyiapkan semuanya serba rapi hari ini.
Hampir seluruh siswa perempuan berdiri di depan mading sambil bergosip ria. Bisa dilihat, di kelas Vanessa hanya ada dirinya dan Mila, si kutu buku yang tidak tertarik sama sekali dengan apa yang terjadi di luar sana. Si jenius yang kepintarannya melebihi rata-rata, sekaligus sahabat Vanessa.
Yuki, siswi kelas 12, kandidat yang digadang-gadang akan menggantikan posisi Yuna. Dia berjalan tegak menuju mading sekolah, matanya menatap depan lurus, diiringi kedua anteknya yang setia berada di samping Yuki. Mereka berjalan seolah, koridor ini milik nenek moyangnya.
"Gue sih, lebih setuju Yuna yang jadi kapten basket," pendapat Wisnu. Mereka, Revan cs sedang duduk di bawah pohon beringin yang sangat teduh, sambil menatap Yuki yang berjalan dengan sombongnya. Berbeda dengan Reyhan, cowok itu mengayunkan tubuhnya dengan berpegangan pada akar-akar beringin yang menjuntai.
"Menurut gue juga gitu." Ucap Reyhan.
"Alah monyet! Ikut-ikutan aja," sarkas Eshar, membully Reyhan habis-habisan.
"Ganteng gini kok, dibilang monyet."
"Gelantungan di pohon tuh, kalo bukan monyet apa?" Wisnu menambah tim pro untuk Eshar dalam rangka membully Reyhan. Yang dibully hanya diam, lantas mengangkat tubuhnya lagi. "Yuhuuu," teriaknya girang.
"Bilang aja iri! Mana bisa kalian gelantungan kayak gini. Jungkir balik, masuk koper juga gue jabanin," ucap Reyhan membela diri.
"Iyain biar fast. Sapu lidi mah beda,"
"Woi, Van! Diem-diem bae, sini main gelantungan sama aa' Reyhan." Reyhan mengayunkan kakinya, nyaris sepatu butut bau tai kebo itu mengenai wajah mulusnya.
"Idih, jijik!" Ucap Revan tepat di muka Reyhan lalu ia menepuk bokongnya yang terkena pasir dan berlalu. Eshar dan Wisnu terbahak tanpa ampun, lalu ikut beranjak mengejar Revan.
"Makannya lo berhenti deh, nyemilin garem. Gini 'kan jadinya. Jeglek sampe edan!" Lagi-lagi Eshar bersuara saat Reyhan sudah berada di sampingnya.
"Kata emak gue aja, waktu gue disapih, 'dot' nya dikasih garem sekilo. Gue pantang, tuh." Jawab Reyhan.
"Pantang menyerah maksud lo?" Imbuh Revan yang sedari tadi hanya menyimak.
"Beuh, kayak apa tuh rasanya? Yang originalnya manis-manis gurih jadi seasin air laut." Eshar yang dari dulu mulutnya kurang konten edukasi, memang selalu begitu, ditambah lagi filternya yang ambles.
Mereka segera mendekat saat ada ribut-ribut di depan mading. Ternyata Yuki yang mencak-mencak, kurang sajen mungkin. Semua siswa mengerubunginya seperti sedang menyaksikan pertunjukan barong di pulau dewata. "Dia bukan anak basket. Kok bisa?! Ayo jawab, nggak ada yang tau, hah?!" Semuanya menggeleng, Yuki makin menjadi.
Revan menerobos masuk kerumunan, ia melihat pengumuman yang tertera di mading. Ini toh, yang bikin Yuki kesetanan. Ia tidak terpilih menjadi ketua tim basket putri. Revan berbalik, tapi tak lama ia kembali lagi. Di sana tertera nama ketua tim basket putri yang baru, VANESSA RISNA HILLABY, Kelas XI MIPA 5.
Revan melotot. What, Vanessa?!
"Selamat ya, Van. Atas jabatan barunya." Ucap Mila di sela mereka menikmati batagor. Vanessa tersenyum, lalu menyedot es jeruknya untuk membantu jalan batagor itu melewati tenggorokannya. "Tapi gue masih ragu, La. Secara gue bukan anak basket di sini.""Sekarang emang enggak, tapi dulu lo pernah."Vanessa berjalan buru-buru menuju ruang kesiswaan, setelah namanya terpanggil melalui speaker yang berada di setiap kelas. Ia membuka pintu perlahan. "Kamu yang namanya Vanessa?" Tanya Pak Budi, guru kesiswaan. "Iya, Pak. Ada apa, ya, saya dipanggil?" "Kamu tahu 'kan, sekarang sedang pencarian ketua tim basket putri?" Vanessa mengangguk. "Jadi, kepala sekolah di sekolah kamu sebelumnya merekomendasikan kamu untuk menggantikan posisi Yuna. Kebetulan beliau kakak ipar saya, tidak sengaja saya cerita-cerita dan ternyata beliau tahu kamu. Kenapa kamu tidak lanjutkan
Bukan Vanessa namanya kalau tidak menepati janji, walau tadi jantungnya hampir turun ke perut gara-gara sentuhan dan bisikan Revan, ia tetap mencoba biasa saja. Di lapangan sudah ada Revan dan teman-temannya, Vanessa segera menghampiri mereka. "Hebat juga lo, berani ngajak Yuki ribut." Ucap Revan mengawali percakapan."Gue nggak ngajak ribut. Dia duluan,""Gue mau ngomong sesuatu." Ucap Revan serius."Nggak mau ada mereka." Vanessa memandang teman-teman Revan."Buset, kita diusir? Kemaren, nih, pertama ketemu malu-malu kucing, lembut. Sekarang sangar gini, cuy." Ucap Reyhan sambil menepuk bahu Eshar. Sedangkan Wisnu, ia tak tahu apa-apa."Karena kemaren kebelet pipis," jawab Vanessa. Berdekatan dengan mereka terlalu sering, rasanya biasa saja. Lebih seru dulu, saat dia mengagumi mereka dari jauh.Revan mengibaskan tangannya, mengusir mereka."Siapa, sih?"
06 Kenangan usangSemilir angin pohon alpen yang bergoyang-goyang diterpa angin berhawa jingga. Paling syahdu memang menikmati senja menuju peradaban, di teras rumah. Memandang wajah-wajah kusam dan tawa riang bocah-bocah yang bajunya momot karena kelamaan berenang di kali. Mobil yang mengangkut Revan dan keluarganya baru saja memasuki pekarangan rumah joglo yang penuh pajangan barang antik. "Assalamuaikum, ibuk, bapak?" ucap ayah Revan mengetuk pintu yang tertutup sebelah.Tak lama datang seorang pria yang jalan terbungkuk-bungkuk sambil menyincing sarung, membuat ketukan berirama yang dihasilkan tongkat reyot. "Tari! Suamimu sama cucuku dateng ini," lantas ketiganya segera menyalami tangan keriput nan gemetar itu."Ayo masuk-masuk, mamamu masih nyuapin mbah puteri.""Udah besar putu lanang ini, ganteng tenan." Ucap kakek sambil menepuk-nepuk bahu Revan.Revan tersenyum lalu merangkul pundak kakeknya. "Kakung jangan tua dulu, bia
"Jadi aku ditantang main basket sama kakak kelas yang nyebelin tapi ganteng itu.""Menurut kamu gimana, Jan?""Enggak apa-apa, sih, aku tenang bisa curhat." Beberapa pesan Vanessa kirim pada akun instagram dengan username; hujan sore-sore. Itu hanya sebagian pesan, di atas masih banyak lagi. Walaupun pemilik akun tidak pernah membalas, tapi ia selalu membaca setiap pesan Vanessa. Pemilik akun tersebut merupakan penulis yang hampir seluruh karyanya Vanessa punya. Karyanya selalu masuk jajaran best seller, tapi ia tidak pernah menampakkan diri.Seorang gadis dengan rambut yang digerai indah lengkap dengan kacamata minusnya baru saja sampai menggunakan sepeda. Vanessa membuka jendela, melihat siapa yang datang, sudah bisa ditebak kalau itu Mila. Ia segera melambaikan tangannya, mengizinkan Mila untuk segera masuk. Sudah biasa Mila keluar masuk rumah Vanessa, karena gadis itu sudah akrab dengan orang tua Vanessa.Berbeda dengan Vanes
Vanessa bangun dari tidurnya yang kurang nyenyak. Mereka, Vanessa dan Mila, baru tidur jam dua dini hari, tahulah apa yang mereka lakukan. Vanessa terbangun karena posisi tidur Mila yang tidak karuan, sehingga ia hanya memiliki sedikit ruang untuk tubuhnya. Rencananya sih, mau lari keliling taman, lihat-lihat cogan calon kopral, habis itu sarapan bubur ayam langganan. Tapi semuanya, bullshit! Malah ketukan pintu tak sabaran yang ia dapat. "Permisi, Mbak. Apa non Mila sudah sarapan?" Tanya seorang wanita yang sama seperti kemarin sore."Ini ada sarapan, tolong diberikan ya, Mbak." Lanjutnya. Menyerahkan rantang berlapis emas, entah murni atau hanya cat, tapi berkesan mewah."Iya, makasih." Setelah menerimanya, Vanessa segera menutup pintu, sedikit dibanting."Non, ini sarapannya. Bibi siapin di atas meja, ya?" Ujar Vanessa menggoda Mila."Iya. Taruh situ aja." Mila belum tersadar, masih terbawa hawa-hawa rumahnya. Setelahnya
Dua cup boba menjadi saksi bisu panasnya persaingan antara Revan dan Vanessa, keduanya adu kebolehan dalam menembak bola. Beberapa kali gerakan Revan merebut bola dari Vanessa dengan posisi seperti memeluk dari belakang membuat Vanessa gagal fokus. Bisep Revan yang licin merengkuhnya, seirama dengan berontakan jantung yang ugal-ugalan ngajak tawuran. Licik juga. Dengan Wisnu sebagai wasit, membuat Vanessa tidak tenang, bisa saja Wisnu melebih-lebihkan poin Revan, tidak ada salahnya curiga, secara Wisnu sobat sepergerombolan.Prittt"Istirahat kedua." Intrupsi Wisnu membuat Revan membuang bola kecewa. Baru mau masuk ke daerah lawan, sudah istirahat lagi."Ini 'kan tandingnya pake jam pasir, nggak perlu istirahat berulang-ulang." Revan mengomel, setelahnya ia meraih asal minumnya. Kok red velvet?"Ya gue pake aturan yang biasa kita main aja," jawab Wisnu memelas.Revan tersentak. "Eh, ini ketuker?!" Ia meraih boba dari
Hari-hari terus berlalu, tidak ada hari tanpa pantulan bola basket. Hari ini di Pelita Malam mengadakan basketball cup yang diikuti beberapa sekolah lainnya. Kebetulan dari hasil undian, SMA Pelita Malam mendapat giliran dengan SMA sebelah yang merupakan musuh bebuyutan sejak generasi terdahulu. Entah karena apa masalahnya.Revan dan teman-temannya duduk di barisan paling depan kursi penonton karena mereka sudah tidak main, biar para junior yang menggantikan. Tabuhan drum band dari para suporter tak gentar dengan sorak-sorai yel-yel menyemangati mereka yang di lapangan. Revan duduk anteng sambil menikmati permainan, berbeda dengan Reyhan, yang ikut menyanyikan yel-yel dengan suara sumbangnya.Sedangkan Vanessa, cewek itu berdiri di depan pagar sekolah, menunggu jemputan. Ia tidak tertarik untuk menonton, jadi memilih pulang, lagi pula sekolah membebaskan untuk pulang atau menetap. Vanessa mengobrol dengan teman sekelasnya yang merupakan anggot
Atas semua kesialan yang menimpa Vanessa, Tuhan selalu berbaik hati mengirimkan seseorang untuk membantunya. Terbukti, sekarang ia diantar oleh Wisnu yang kebetulan mencegatnya di tengah jalan tadi. "Makasih ya, Kak-- eh, Wisnu."Yang kemudian dijawab dengan anggukan dan senyum manis. "Iya, sama-sama. Gue balik, ya?"Bisa-bisa Vanessa meleleh di tempat kalau begini. Terus-terusan disodori senyum semanis gulali dari gula tebu asli. "Hati-hati." Vanessa melambaikan tangannya.Untung ia sampai rumah sebelum petang. Kalau tidak ada Wisnu ia bisa menjadi sasaran empuk manusia buas di pinggir jalan. Semua gara-gara Revan! Yang mengacau jadwalnya.Vanessa bersiap untuk pergi malam ini. Sendiri. Karena memang tidak ingin ditemani, kadang seseorang memang perlu sendiri, bukan? Kalaupun ada yang menemani, jawabnya adalah Mila atau Regan, adiknya. Tapi Mila pasti ditemani pengasuhnya yang membuat Vanessa risih. Sedangkan Regan,
Untuk orang yang tidak bisa diam, suasana seperti ini sangat Vanessa hindari sebenarnya. Mau memulai obrolanpun rasanya wajah Revan tidak bersahabat sama sekali, dari tadi datar tidak ada ekspresi, sampai-sampai ia tidak berani berpegangan pada jaket Revan dan menjadikan jok pertahanannya."Turun," ucapnya datar setelah sampai di depan pagar rumah Revan. Pertama kalinya Vanessa diajak main ke sini."Iya, tau.""Bukain!" kalau bukan dalam rangka meminta maaf, tidak semudah itu menuruti perintah Revan. Yang Vanessa hentak-hentakkan conversnya berjalan menuju pagar. Membersilahkan si kuda besi antik dan tuannya masuk."Revan pulang!" Vanessa mengikut saja di belakang."Kebiasaan deh, ka
Biasanya Vanessa akan pulang bersama Revan, tapi kali ini ia harus berjalan kaki menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh. Revan benar-benar marah padanya, sampai senyuman Vanessa tidak diindahkan sama sekali. Bahkan, ia terang-terangan melewati Vanessa yang berjalan di pinggir jalan. Semarah itukah? Padahal hanya 1 minggu."Papa benar-benar kecewa sama kamu, Revan. Apa cowok yang pandai berkelahi menurut kamu hebat? Memang hebat, tapi lebih hebat cowok berkelahi pakai otak, bukan otot," suasana ruang tengah rumah Revan sangat tidak bersahabat. Tidak ada yang berani menyela saat ayahnya sedang marah, apalagi beliau tidak pernah marah kecuali ada sesuatu yang sudah keterlaluan."Papa nggak pernah mengajarkan kamu jadi sok jagoan, Papa membebaskan apapun hobi kamu selagi itu positif. Papa nggak mau apa yang Papa alami menimpa kamu.""Papa yang pemberontak baru merasakan akibatnya setelah berkeluarga. Mengorbankan mama kamu untuk ikut banting tulang, men
Vanessa berjalan sambil bersenandung kecil, membawa kantong plastik putih berisi dua bungkus nasi goreng. Menuruti keinginan Regan yang aneh-aneh, ngidam nasi goreng. Paling ngeri sebenarnya jika melewati tembok bicara. Saat semua ungkapan lisan tidak diindahkan, tindakan para begajulan mencoret-coret tembok sengketa, meluapkan isi pikirannya. Macam bentuk grafiti dan kata misuh-misuh diabadikan dengan pilox berbagai warna. Memperburuk pemandangan. Tak jauh dari tempat itu, bunyi rusuh terdengar di seberang sana. Vanessa mendekat, mendapati sepeda motor yang terparkir awuran. Vanessa makin mendekat saat menemukan motor yang tidak asing. Itu vespa Revan! Di waktu yang bersamaan, ia melihat Revan sedang adu jotos entah dengan siapa. Vanessa menjatuhkan kreseknya lalu menerobos kerumunan. "Stop!!!" "Vanessa!" Tepat setelah itu Vanessa memejamkan mata, seseorang mendekapnya erat dari belakang. "Cabut, woi!" Setelah sese
Revan hengkang dari rumah Eshar bersama yang lainnya. Ingin cepat-cepat sampai kasurnya sendiri dan rebahan sampai siang, karena semalam tidurnya tidak aturan, disebabkan polah dua cecunguk yang tidak karuan. Tahu begitu, mending ia tidur di kasur yang ditempati Reyhan. Nyaman, tidak ada yang mengganggu, buktinya Reyhan bangun paling akhir, padahal bawah hidungnya sudah diolesi balsem. Memang dasar kebo.Tapi semua angan Revan gagal setelah mendapat kiriman pesan dari Bimo, teman sekelasnya.Karena weekend, kegiatan Vanessa setelah berbenah, hanya rebahan. Kalau sudah bosan kuadrat, paling nongkrong di depan televisi yang isinya dari pagi kartun. Karena mau nonton yang lainpun tidak bisa, tv selalu dalam kuasa Regan yang menonton tokoh kartun kelinci yang hanya bicara bwabwabwabwaa, tapi auranya menghantar Regan sampai gulingan di karpet.Vanessa memilih keluar rumah, sekedar cari angin menggunakan sepeda Regan. Semburat menguning yang muncul dari ufuk tim
Malam ini Revan cs sudah mengumpul di rumah Eshar. Para bujangga pencari cinta itu berencana menginap di rumah Eshar karena si playboy di rumah sendiri, maklum anak tunggal. Orang tuanya sibuk urusan bisnis.Karena Wisnu yang gila tenar, padahal sudah cukup tenar. Ia membelikan teman-temannya piyama yang didapat dari hasil endors di instagram, sekalian iklan katanya. Untuk pertama kalinya, malam ini Wisnu akan membuat channel youtube dengan konten pertama PESTA PIYAMA dan bintang tamu Revan, Eshar, dan Reyhan. Sebagai anak-anak most wanted mereka sudah terbiasa disorot banyak orang, walau tadi sempat ada perdebatan dengan Revan yang tidak mau gabung, tapi akhirnya dia menurut juga atas iming-iming Wisnu. Jadi konten malam ini tidak ada unsur paksaan. Semua suka rela.Mereka sudah duduk lesehan di karpet bulu kamar Eshar, menggunakan piyama masing-masing lengkap dengan penutup mata. "Van, lo nggak pake ini?" Tanya Eshar yang memakai penutup mata tapi
Vespa biru muda berhenti di depan gerobak bertuliskan LEGEND yang sebagian huruf sudah luntur digerus kerasnya jalanan. Vanessa mengikuti Revan seperti buntut. Setalah memesan, mereka duduk di kursi plastik yang disediakan. Harus mengantri dengan anak-anak bimbel yang berebut minta duluan sambil menyodorkan duit.Vanessa masih bingung dengan perangai Revan yang tidak konsisten. Cowok yang kini duduk di sebelahnya sambil bersenandung kecil. Sembribit angin yang dibawa angkot putih lusuh, pelit oksigen. Benar-benar kental polusi yang mengharuskan Vanessa menutup hidung dan mulut, sesekali terbatuk karena kepulan asap hitam menyergap rongga hidung tanpa permisi melalui celah jari."Emang gini keadaannya, Dek. Sekarang banyak cafe modern, kenapa mau mampir ke sini?" Vanessa dan Revan saling tatap. "Yang dicari kesannya, Pak. Bukan mewahnya." Jawab Revan."Kesannya apa sih, Dek? Cuma kayak gini doang." Ucap bapak itu sambil men
Vanessa mengeledah isi kotak yang diberikan Revan, ia tuangkan seluruh isinya di atas sprei. "Ada gitu cowok kayak dia," gumamnya sambil menatap berbagai macam jajanan jaman ia SD. Permen kelapa yang dibungkus kertas warna warni, permen karet yang di dalamnya ada tato, mie kremes yang dulu harganya 500 rupiah dapat dua, dan banyak lagi.Vanessa mengambil satu permen kelapa. Rasa manisnya menarik dalam kilas balik jaman uang sakunya Rp 1.000,- bisa untuk seminggu. Sudah lama ia tak makan makanan jadul ini, karena memang sudah jarang ditemui. Vanessa membuka kotak itu lagi, ada sepucuk surat yang tersembunyi; Butuh cemilan, tapi males keluar? Kotak ini jawabnya. Awet. Bisa tahan sampai satu periode. Vanessa tak bisa menahan senyumnya, bukan bualan kuno atau rayuan alay, cenderung seperti slogan iklan.Seperti biasa, kantin selalu sumpek di jam istiharat. Vanessa harus berdesak-desakan demi semangkuk soto. "Barang panas, barang panas!" Seru Reyhan yang
**Pihak Pertama**Thanks, buat yang tadi. Sorry juga udah ninggalin.**Pihak Kedua**Iya. Bye the way, rundingan apa sih sampe ninggalin gue?**Pihak Pertama**Masalak cowok. Mau tau?**Pihak Kedua**Baku hantam? Eh, Mantili. Lo punya janji ya sama gue. Nggak bakal berantem lagi, inget!**Pihak Pertama**Mantili?Kok lo perhatian gitu sih sama gue?
Atas semua kesialan yang menimpa Vanessa, Tuhan selalu berbaik hati mengirimkan seseorang untuk membantunya. Terbukti, sekarang ia diantar oleh Wisnu yang kebetulan mencegatnya di tengah jalan tadi. "Makasih ya, Kak-- eh, Wisnu."Yang kemudian dijawab dengan anggukan dan senyum manis. "Iya, sama-sama. Gue balik, ya?"Bisa-bisa Vanessa meleleh di tempat kalau begini. Terus-terusan disodori senyum semanis gulali dari gula tebu asli. "Hati-hati." Vanessa melambaikan tangannya.Untung ia sampai rumah sebelum petang. Kalau tidak ada Wisnu ia bisa menjadi sasaran empuk manusia buas di pinggir jalan. Semua gara-gara Revan! Yang mengacau jadwalnya.Vanessa bersiap untuk pergi malam ini. Sendiri. Karena memang tidak ingin ditemani, kadang seseorang memang perlu sendiri, bukan? Kalaupun ada yang menemani, jawabnya adalah Mila atau Regan, adiknya. Tapi Mila pasti ditemani pengasuhnya yang membuat Vanessa risih. Sedangkan Regan,