"Selamat ya, Van. Atas jabatan barunya." Ucap Mila di sela mereka menikmati batagor. Vanessa tersenyum, lalu menyedot es jeruknya untuk membantu jalan batagor itu melewati tenggorokannya. "Tapi gue masih ragu, La. Secara gue bukan anak basket di sini."
"Sekarang emang enggak, tapi dulu lo pernah."
Vanessa berjalan buru-buru menuju ruang kesiswaan, setelah namanya terpanggil melalui speaker yang berada di setiap kelas. Ia membuka pintu perlahan. "Kamu yang namanya Vanessa?" Tanya Pak Budi, guru kesiswaan.
"Iya, Pak. Ada apa, ya, saya dipanggil?"
"Kamu tahu 'kan, sekarang sedang pencarian ketua tim basket putri?" Vanessa mengangguk.
"Jadi, kepala sekolah di sekolah kamu sebelumnya merekomendasikan kamu untuk menggantikan posisi Yuna. Kebetulan beliau kakak ipar saya, tidak sengaja saya cerita-cerita dan ternyata beliau tahu kamu. Kenapa kamu tidak lanjutkan dengan mengikuti ektra basket di sini?" Tanya Pak Budi. Vanessa seperti cacing kepanasan karena sudah tahu mau kemana arah pembicaraan ini.
"Soalnya saya mau jadi murid biasa aja, Pak. Sebelumnya, saya sudah tertinggal banyak materi pelajaran karena disibukkan dengan turnamen-turnamen," jawabnya spontan. Karena hanya itu jawaban yang paling logis.
"Tapi saya butuh kamu untuk menggantikan posisi Yuna. Kamu tahu sendiri, sekolah kita ini terkenal dengan basketnya."
"Aduh gimana, ya. Secara saya bukan anak basket, dan pasti banyak anak lainnya yang sudah mengikuti basket berharap bisa ada di posisi ini. Sedangakan saya, ikut ekstra saja tidak." Vanessa memainkan jarinya di bawah meja, berharap semoga mulutnya ini tidak salah ceplos.
"Baiklah, setelah pulang sekolah nanti, kamu akan saya tandingkan dengan Yuna, tentunya diawasi pelatih basket kita."
"Apa Kak Yuna mau?" Tanyanya hati-hati.
"Bapak rasa mau, jika hanya untuk melihat kemampuan kamu."
"Baik, Pak."
"Oke. Nanti kamu pulang dulu, ganti pakaian, lalu balik ke sini. Nggak keberatankan?" Vanessa mengangguk, lalu pamit undur diri.
"Ragu kenapa lagi sih, Van?"
"Lo tau, La, gimana sangarnya Yuki cs."
"Lo takut sama Kak Yuki?" Tanya Mila sambil melepas kacamatanya dan mengelap pelipisnya dengan tisu.
"Yang nggak mungkin 'lah. Jiwa bar-bar udah melekat di diri gue sejak masih jadi zygot, gue cuma males aja kalo sampe ada ajang jambak-jambakkan, nggak lucu. Kharisma gue turun. Gue yakin nih, setelah ini dia bakal labrak gue,"
Sore itu, setelah Revan pergi dari halaman rumahnya, Vanessa segera berganti jersey, jersey yang sudah lama ia museum-kan dalam almari, kini keluar lagi. Jersey kebanggaan pada masanya, dengan nomor punggung 61, di atasnya terukir nama 'Hillaby'. Cewek itu segera menuju lapangan basket yang di sana sudah ada Yuna sedang mengobrol sesekali tertawa bersama, Vanessa kira itu pelatih basket putri, dari pakaiannya sudah jelas. Ia masih muda, lumayan tampan, badannya apa lagi, bagus. Mereka segera bangkit setelah kedatangan Vanessa. "Hai, Kak." Sapanya ketika sudah berada di depan mereka.
"Hai, Van. Kenalin, ini Bang Lian. Pelatih basket putri." Vanessa menjabat tangan pelatih basket itu, dia tersenyum, ternyata dari dekat lebih tampan apalagi kalau senyum.
"Vanessa,"
"Lian,"
Bola basket berulang kali masuk ke dalam kandang, diiringi suara peluit yang nyaring. Lapangan yang sedikit basah karena gerimis, membuat sepatu mereka berdecit tapi tetap harus hati-hati. Yuna tidak banyak beraksi, ia hanya membuat Vanessa mengeluarkan triknya. Boleh juga. Kuncir kuda Vanessa menari kesana kemari, mengikuti gerak kakinya yang gesit. Gerimis tidak menyurutkan semangat keduanya.
"Yuna, hati-hati!" Teriak Lian. Yuna menoleh, lalu tersenyum dan segera merebut bola dari kendali Vanessa, mengagalkan ambisinya untuk menembak bola ke dalam ring.
Permainan selesai dalam waktu 45 menit dengan tiga kali istirahat. "Lo hebat, Kak. Kenapa bisa lengser?" Tanya Vanessa sambil membuka air mineralnya.
"Ada hal yang murid-murid lain nggak tau." Ucapnya tersenyum lalu menatap Lian, ia juga membalas dengan senyuman. Vanessa memincingkan matanya, ada yang nggak beres.
"Kecewa memang, sempat ada penyesalan juga di awal. Tapi lama kelamaan, gue mulai terbiasa. Btw, lo juga hebat. Gue aja kualahan." Vanessa hanya menyengir.
"Strategi lo mempertahankan bola bagus. Pertahankan." Ucap Lian, Vanessa hanya mengangguk.
"Kami balik dulu. Yuk, Na." Ucap Lian, menunggu Yuna yang membereskan barang-barangnya.
"Kalian bareng?" Tanya Vanessa polos.
"Searah." Jawab Yuna sambil melambaikan tangannya.
Brak!
Bunyi pintu dihempas secara kasar, membuat murid-murid di dalamnya cukup terkejut. "Mana yang namanya Vanessa?!"
"Di sini." Seperti dugaannya, Vanessa yang baru datang dari kantin langsung disambut Yuki. Mila menahan tangan Vanessa agar tidak meladeninya.
"Ada apa, Kak Yuki? Mau ngucapin selamat ke Vanessa, ya? Aduh, makasih. Terharu deh," ucap Vanessa yang ternyata menyulut emosi Yuki.
"Besar juga nyali, lo?" Vanessa memejamkan matanya saat Yuki ingin melayangkan tangannya ke pipi Vanessa. Tapi lengannya dicekal oleh seseorang.
"Stop, Kak!" Mila, gadis itu yang menahan lengan Yuki.
"Eh, si cupu. Kalian tuh friendship goals banget, ya? Sampe lo, cewek cupu, berani sama gue?!" Yuki menepis cekalan Mila kasar.
"Pasang telinga lo baik-baik ya, Kak Yuki. Walaupun Mila cupu, tapi dia punya akal, tau tatakrama, tau unggah-ungguh." Ucap Vanessa menggenggam tangan Mila.
"Tatakrama? Unggah-ungguh? Lo pikir kita hidup di lingkungan kraton?" Yuki tertawa remeh diikuti kedua temannya, Lisa dan Zila.
"Satu lagi, dia punya IQ tinggi. Nggak kayak lo, ndelosor! Ngesot, tuh." Semua mulai tertarik pada pertikaian Yuki dan Vanessa karena gadis itu berani melawan Yuki. Yuki menatap Vanessa tajam. "Pemenang sejati, akan lapang dada menerima kekalahannya. Sedangkan pecundang, apapun yang terjadi, tetap akan tertanam dendam di dadanya. Itu pepatah lama, dan lo nggak tau? Jangan-jangan lo nggak pernah baca buku, nggak pernah dapet wejangan, nggak pernah dapet siraman rohani, ya?"
"Van, udah." Ucap Mila berbisik. Memang Vanessa ada dendam kesumat dengan Yuki, sejak dulu masa orientasi. Tapi ia tidak mau cari masalah kalau tidak ada yang memulai duluan.
"Gue cuma kasihan sama dia, La. Enggak ada orang yang memotivasi kayaknya, karena semua orang takut." Habis sudah kesabaran Yuki, ia menarik rambut Vanessa yang tergerai. Vanessa yang tak terima langsung membalas, semua murid yang ada di kelas itu bersorak, ada juga yang mengambil video.
"Aduh Vanessa udah, dong. Eh, Ahmad, ini bantuin. Ketua kelas gimana, sih?" Ahmad selaku ketua kelas langsung turun tangan, dengan terpaksa meninggalkan game onlinenya.
"Stop!" Revan datang seperti pahlawan kesiangan karena berhasil menghentikan acara jambak-jambakan antara Yuki dan Vanessa.
"Apaan, sih? Berantem kayak anak kecil."
"Dia dulu yang mulai, Van. Aku bela diri dong,"
Vanessa berdecih.
"Siapa yang mulai duluan?!" Tanya Revan kepada semua yang menyaksikan.
"Kak Yuki!" Jawab semuanya kompak.
"Yuki, lo tuh udah kelas 12. Seharusnya lo kasih contoh yang baik, bukan malah ngajak ribut kayak gini. Banyak-banyakin minta maaf ke adek kelas, biar mereka mau bantu doa kelancaran ujian kita." Yuki yang kena semprot Revan, malu setengah mati.
"Gue bakalan bilang ke papi." Ucapnya lalu meninggalkan kerumunan. Vanessa mengernyit, memang siapa ayahnya?
"Papinya pemilik restoran Deburo, bintang lima." Seolah tahu isi pikiran Vanessa, Mila berbisik.
"Apalah daya bokap gue yang cuma supir!" Teriak Vanessa, Yuki masih dapat mendengarnya. Jelas.
"Udah kalian bubar!" Usir Wisnu kepada anak-anak yang masih setia jadi penonton.
Vanessa merapikan rambutnya. Entah dorongan dari mana, Revan menyelipkan anak rambutnya sambil mendekat, dari samping terlihat seperti ia sedang mencium Vanessa, padahal tidak. "Gue tunggu pulang sekolah, di lapangan basket." Bisiknya.
Bukan Vanessa namanya kalau tidak menepati janji, walau tadi jantungnya hampir turun ke perut gara-gara sentuhan dan bisikan Revan, ia tetap mencoba biasa saja. Di lapangan sudah ada Revan dan teman-temannya, Vanessa segera menghampiri mereka. "Hebat juga lo, berani ngajak Yuki ribut." Ucap Revan mengawali percakapan."Gue nggak ngajak ribut. Dia duluan,""Gue mau ngomong sesuatu." Ucap Revan serius."Nggak mau ada mereka." Vanessa memandang teman-teman Revan."Buset, kita diusir? Kemaren, nih, pertama ketemu malu-malu kucing, lembut. Sekarang sangar gini, cuy." Ucap Reyhan sambil menepuk bahu Eshar. Sedangkan Wisnu, ia tak tahu apa-apa."Karena kemaren kebelet pipis," jawab Vanessa. Berdekatan dengan mereka terlalu sering, rasanya biasa saja. Lebih seru dulu, saat dia mengagumi mereka dari jauh.Revan mengibaskan tangannya, mengusir mereka."Siapa, sih?"
06 Kenangan usangSemilir angin pohon alpen yang bergoyang-goyang diterpa angin berhawa jingga. Paling syahdu memang menikmati senja menuju peradaban, di teras rumah. Memandang wajah-wajah kusam dan tawa riang bocah-bocah yang bajunya momot karena kelamaan berenang di kali. Mobil yang mengangkut Revan dan keluarganya baru saja memasuki pekarangan rumah joglo yang penuh pajangan barang antik. "Assalamuaikum, ibuk, bapak?" ucap ayah Revan mengetuk pintu yang tertutup sebelah.Tak lama datang seorang pria yang jalan terbungkuk-bungkuk sambil menyincing sarung, membuat ketukan berirama yang dihasilkan tongkat reyot. "Tari! Suamimu sama cucuku dateng ini," lantas ketiganya segera menyalami tangan keriput nan gemetar itu."Ayo masuk-masuk, mamamu masih nyuapin mbah puteri.""Udah besar putu lanang ini, ganteng tenan." Ucap kakek sambil menepuk-nepuk bahu Revan.Revan tersenyum lalu merangkul pundak kakeknya. "Kakung jangan tua dulu, bia
"Jadi aku ditantang main basket sama kakak kelas yang nyebelin tapi ganteng itu.""Menurut kamu gimana, Jan?""Enggak apa-apa, sih, aku tenang bisa curhat." Beberapa pesan Vanessa kirim pada akun instagram dengan username; hujan sore-sore. Itu hanya sebagian pesan, di atas masih banyak lagi. Walaupun pemilik akun tidak pernah membalas, tapi ia selalu membaca setiap pesan Vanessa. Pemilik akun tersebut merupakan penulis yang hampir seluruh karyanya Vanessa punya. Karyanya selalu masuk jajaran best seller, tapi ia tidak pernah menampakkan diri.Seorang gadis dengan rambut yang digerai indah lengkap dengan kacamata minusnya baru saja sampai menggunakan sepeda. Vanessa membuka jendela, melihat siapa yang datang, sudah bisa ditebak kalau itu Mila. Ia segera melambaikan tangannya, mengizinkan Mila untuk segera masuk. Sudah biasa Mila keluar masuk rumah Vanessa, karena gadis itu sudah akrab dengan orang tua Vanessa.Berbeda dengan Vanes
Vanessa bangun dari tidurnya yang kurang nyenyak. Mereka, Vanessa dan Mila, baru tidur jam dua dini hari, tahulah apa yang mereka lakukan. Vanessa terbangun karena posisi tidur Mila yang tidak karuan, sehingga ia hanya memiliki sedikit ruang untuk tubuhnya. Rencananya sih, mau lari keliling taman, lihat-lihat cogan calon kopral, habis itu sarapan bubur ayam langganan. Tapi semuanya, bullshit! Malah ketukan pintu tak sabaran yang ia dapat. "Permisi, Mbak. Apa non Mila sudah sarapan?" Tanya seorang wanita yang sama seperti kemarin sore."Ini ada sarapan, tolong diberikan ya, Mbak." Lanjutnya. Menyerahkan rantang berlapis emas, entah murni atau hanya cat, tapi berkesan mewah."Iya, makasih." Setelah menerimanya, Vanessa segera menutup pintu, sedikit dibanting."Non, ini sarapannya. Bibi siapin di atas meja, ya?" Ujar Vanessa menggoda Mila."Iya. Taruh situ aja." Mila belum tersadar, masih terbawa hawa-hawa rumahnya. Setelahnya
Dua cup boba menjadi saksi bisu panasnya persaingan antara Revan dan Vanessa, keduanya adu kebolehan dalam menembak bola. Beberapa kali gerakan Revan merebut bola dari Vanessa dengan posisi seperti memeluk dari belakang membuat Vanessa gagal fokus. Bisep Revan yang licin merengkuhnya, seirama dengan berontakan jantung yang ugal-ugalan ngajak tawuran. Licik juga. Dengan Wisnu sebagai wasit, membuat Vanessa tidak tenang, bisa saja Wisnu melebih-lebihkan poin Revan, tidak ada salahnya curiga, secara Wisnu sobat sepergerombolan.Prittt"Istirahat kedua." Intrupsi Wisnu membuat Revan membuang bola kecewa. Baru mau masuk ke daerah lawan, sudah istirahat lagi."Ini 'kan tandingnya pake jam pasir, nggak perlu istirahat berulang-ulang." Revan mengomel, setelahnya ia meraih asal minumnya. Kok red velvet?"Ya gue pake aturan yang biasa kita main aja," jawab Wisnu memelas.Revan tersentak. "Eh, ini ketuker?!" Ia meraih boba dari
Hari-hari terus berlalu, tidak ada hari tanpa pantulan bola basket. Hari ini di Pelita Malam mengadakan basketball cup yang diikuti beberapa sekolah lainnya. Kebetulan dari hasil undian, SMA Pelita Malam mendapat giliran dengan SMA sebelah yang merupakan musuh bebuyutan sejak generasi terdahulu. Entah karena apa masalahnya.Revan dan teman-temannya duduk di barisan paling depan kursi penonton karena mereka sudah tidak main, biar para junior yang menggantikan. Tabuhan drum band dari para suporter tak gentar dengan sorak-sorai yel-yel menyemangati mereka yang di lapangan. Revan duduk anteng sambil menikmati permainan, berbeda dengan Reyhan, yang ikut menyanyikan yel-yel dengan suara sumbangnya.Sedangkan Vanessa, cewek itu berdiri di depan pagar sekolah, menunggu jemputan. Ia tidak tertarik untuk menonton, jadi memilih pulang, lagi pula sekolah membebaskan untuk pulang atau menetap. Vanessa mengobrol dengan teman sekelasnya yang merupakan anggot
Atas semua kesialan yang menimpa Vanessa, Tuhan selalu berbaik hati mengirimkan seseorang untuk membantunya. Terbukti, sekarang ia diantar oleh Wisnu yang kebetulan mencegatnya di tengah jalan tadi. "Makasih ya, Kak-- eh, Wisnu."Yang kemudian dijawab dengan anggukan dan senyum manis. "Iya, sama-sama. Gue balik, ya?"Bisa-bisa Vanessa meleleh di tempat kalau begini. Terus-terusan disodori senyum semanis gulali dari gula tebu asli. "Hati-hati." Vanessa melambaikan tangannya.Untung ia sampai rumah sebelum petang. Kalau tidak ada Wisnu ia bisa menjadi sasaran empuk manusia buas di pinggir jalan. Semua gara-gara Revan! Yang mengacau jadwalnya.Vanessa bersiap untuk pergi malam ini. Sendiri. Karena memang tidak ingin ditemani, kadang seseorang memang perlu sendiri, bukan? Kalaupun ada yang menemani, jawabnya adalah Mila atau Regan, adiknya. Tapi Mila pasti ditemani pengasuhnya yang membuat Vanessa risih. Sedangkan Regan,
**Pihak Pertama**Thanks, buat yang tadi. Sorry juga udah ninggalin.**Pihak Kedua**Iya. Bye the way, rundingan apa sih sampe ninggalin gue?**Pihak Pertama**Masalak cowok. Mau tau?**Pihak Kedua**Baku hantam? Eh, Mantili. Lo punya janji ya sama gue. Nggak bakal berantem lagi, inget!**Pihak Pertama**Mantili?Kok lo perhatian gitu sih sama gue?
Untuk orang yang tidak bisa diam, suasana seperti ini sangat Vanessa hindari sebenarnya. Mau memulai obrolanpun rasanya wajah Revan tidak bersahabat sama sekali, dari tadi datar tidak ada ekspresi, sampai-sampai ia tidak berani berpegangan pada jaket Revan dan menjadikan jok pertahanannya."Turun," ucapnya datar setelah sampai di depan pagar rumah Revan. Pertama kalinya Vanessa diajak main ke sini."Iya, tau.""Bukain!" kalau bukan dalam rangka meminta maaf, tidak semudah itu menuruti perintah Revan. Yang Vanessa hentak-hentakkan conversnya berjalan menuju pagar. Membersilahkan si kuda besi antik dan tuannya masuk."Revan pulang!" Vanessa mengikut saja di belakang."Kebiasaan deh, ka
Biasanya Vanessa akan pulang bersama Revan, tapi kali ini ia harus berjalan kaki menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh. Revan benar-benar marah padanya, sampai senyuman Vanessa tidak diindahkan sama sekali. Bahkan, ia terang-terangan melewati Vanessa yang berjalan di pinggir jalan. Semarah itukah? Padahal hanya 1 minggu."Papa benar-benar kecewa sama kamu, Revan. Apa cowok yang pandai berkelahi menurut kamu hebat? Memang hebat, tapi lebih hebat cowok berkelahi pakai otak, bukan otot," suasana ruang tengah rumah Revan sangat tidak bersahabat. Tidak ada yang berani menyela saat ayahnya sedang marah, apalagi beliau tidak pernah marah kecuali ada sesuatu yang sudah keterlaluan."Papa nggak pernah mengajarkan kamu jadi sok jagoan, Papa membebaskan apapun hobi kamu selagi itu positif. Papa nggak mau apa yang Papa alami menimpa kamu.""Papa yang pemberontak baru merasakan akibatnya setelah berkeluarga. Mengorbankan mama kamu untuk ikut banting tulang, men
Vanessa berjalan sambil bersenandung kecil, membawa kantong plastik putih berisi dua bungkus nasi goreng. Menuruti keinginan Regan yang aneh-aneh, ngidam nasi goreng. Paling ngeri sebenarnya jika melewati tembok bicara. Saat semua ungkapan lisan tidak diindahkan, tindakan para begajulan mencoret-coret tembok sengketa, meluapkan isi pikirannya. Macam bentuk grafiti dan kata misuh-misuh diabadikan dengan pilox berbagai warna. Memperburuk pemandangan. Tak jauh dari tempat itu, bunyi rusuh terdengar di seberang sana. Vanessa mendekat, mendapati sepeda motor yang terparkir awuran. Vanessa makin mendekat saat menemukan motor yang tidak asing. Itu vespa Revan! Di waktu yang bersamaan, ia melihat Revan sedang adu jotos entah dengan siapa. Vanessa menjatuhkan kreseknya lalu menerobos kerumunan. "Stop!!!" "Vanessa!" Tepat setelah itu Vanessa memejamkan mata, seseorang mendekapnya erat dari belakang. "Cabut, woi!" Setelah sese
Revan hengkang dari rumah Eshar bersama yang lainnya. Ingin cepat-cepat sampai kasurnya sendiri dan rebahan sampai siang, karena semalam tidurnya tidak aturan, disebabkan polah dua cecunguk yang tidak karuan. Tahu begitu, mending ia tidur di kasur yang ditempati Reyhan. Nyaman, tidak ada yang mengganggu, buktinya Reyhan bangun paling akhir, padahal bawah hidungnya sudah diolesi balsem. Memang dasar kebo.Tapi semua angan Revan gagal setelah mendapat kiriman pesan dari Bimo, teman sekelasnya.Karena weekend, kegiatan Vanessa setelah berbenah, hanya rebahan. Kalau sudah bosan kuadrat, paling nongkrong di depan televisi yang isinya dari pagi kartun. Karena mau nonton yang lainpun tidak bisa, tv selalu dalam kuasa Regan yang menonton tokoh kartun kelinci yang hanya bicara bwabwabwabwaa, tapi auranya menghantar Regan sampai gulingan di karpet.Vanessa memilih keluar rumah, sekedar cari angin menggunakan sepeda Regan. Semburat menguning yang muncul dari ufuk tim
Malam ini Revan cs sudah mengumpul di rumah Eshar. Para bujangga pencari cinta itu berencana menginap di rumah Eshar karena si playboy di rumah sendiri, maklum anak tunggal. Orang tuanya sibuk urusan bisnis.Karena Wisnu yang gila tenar, padahal sudah cukup tenar. Ia membelikan teman-temannya piyama yang didapat dari hasil endors di instagram, sekalian iklan katanya. Untuk pertama kalinya, malam ini Wisnu akan membuat channel youtube dengan konten pertama PESTA PIYAMA dan bintang tamu Revan, Eshar, dan Reyhan. Sebagai anak-anak most wanted mereka sudah terbiasa disorot banyak orang, walau tadi sempat ada perdebatan dengan Revan yang tidak mau gabung, tapi akhirnya dia menurut juga atas iming-iming Wisnu. Jadi konten malam ini tidak ada unsur paksaan. Semua suka rela.Mereka sudah duduk lesehan di karpet bulu kamar Eshar, menggunakan piyama masing-masing lengkap dengan penutup mata. "Van, lo nggak pake ini?" Tanya Eshar yang memakai penutup mata tapi
Vespa biru muda berhenti di depan gerobak bertuliskan LEGEND yang sebagian huruf sudah luntur digerus kerasnya jalanan. Vanessa mengikuti Revan seperti buntut. Setalah memesan, mereka duduk di kursi plastik yang disediakan. Harus mengantri dengan anak-anak bimbel yang berebut minta duluan sambil menyodorkan duit.Vanessa masih bingung dengan perangai Revan yang tidak konsisten. Cowok yang kini duduk di sebelahnya sambil bersenandung kecil. Sembribit angin yang dibawa angkot putih lusuh, pelit oksigen. Benar-benar kental polusi yang mengharuskan Vanessa menutup hidung dan mulut, sesekali terbatuk karena kepulan asap hitam menyergap rongga hidung tanpa permisi melalui celah jari."Emang gini keadaannya, Dek. Sekarang banyak cafe modern, kenapa mau mampir ke sini?" Vanessa dan Revan saling tatap. "Yang dicari kesannya, Pak. Bukan mewahnya." Jawab Revan."Kesannya apa sih, Dek? Cuma kayak gini doang." Ucap bapak itu sambil men
Vanessa mengeledah isi kotak yang diberikan Revan, ia tuangkan seluruh isinya di atas sprei. "Ada gitu cowok kayak dia," gumamnya sambil menatap berbagai macam jajanan jaman ia SD. Permen kelapa yang dibungkus kertas warna warni, permen karet yang di dalamnya ada tato, mie kremes yang dulu harganya 500 rupiah dapat dua, dan banyak lagi.Vanessa mengambil satu permen kelapa. Rasa manisnya menarik dalam kilas balik jaman uang sakunya Rp 1.000,- bisa untuk seminggu. Sudah lama ia tak makan makanan jadul ini, karena memang sudah jarang ditemui. Vanessa membuka kotak itu lagi, ada sepucuk surat yang tersembunyi; Butuh cemilan, tapi males keluar? Kotak ini jawabnya. Awet. Bisa tahan sampai satu periode. Vanessa tak bisa menahan senyumnya, bukan bualan kuno atau rayuan alay, cenderung seperti slogan iklan.Seperti biasa, kantin selalu sumpek di jam istiharat. Vanessa harus berdesak-desakan demi semangkuk soto. "Barang panas, barang panas!" Seru Reyhan yang
**Pihak Pertama**Thanks, buat yang tadi. Sorry juga udah ninggalin.**Pihak Kedua**Iya. Bye the way, rundingan apa sih sampe ninggalin gue?**Pihak Pertama**Masalak cowok. Mau tau?**Pihak Kedua**Baku hantam? Eh, Mantili. Lo punya janji ya sama gue. Nggak bakal berantem lagi, inget!**Pihak Pertama**Mantili?Kok lo perhatian gitu sih sama gue?
Atas semua kesialan yang menimpa Vanessa, Tuhan selalu berbaik hati mengirimkan seseorang untuk membantunya. Terbukti, sekarang ia diantar oleh Wisnu yang kebetulan mencegatnya di tengah jalan tadi. "Makasih ya, Kak-- eh, Wisnu."Yang kemudian dijawab dengan anggukan dan senyum manis. "Iya, sama-sama. Gue balik, ya?"Bisa-bisa Vanessa meleleh di tempat kalau begini. Terus-terusan disodori senyum semanis gulali dari gula tebu asli. "Hati-hati." Vanessa melambaikan tangannya.Untung ia sampai rumah sebelum petang. Kalau tidak ada Wisnu ia bisa menjadi sasaran empuk manusia buas di pinggir jalan. Semua gara-gara Revan! Yang mengacau jadwalnya.Vanessa bersiap untuk pergi malam ini. Sendiri. Karena memang tidak ingin ditemani, kadang seseorang memang perlu sendiri, bukan? Kalaupun ada yang menemani, jawabnya adalah Mila atau Regan, adiknya. Tapi Mila pasti ditemani pengasuhnya yang membuat Vanessa risih. Sedangkan Regan,