06 Kenangan usang
Semilir angin pohon alpen yang bergoyang-goyang diterpa angin berhawa jingga. Paling syahdu memang menikmati senja menuju peradaban, di teras rumah. Memandang wajah-wajah kusam dan tawa riang bocah-bocah yang bajunya momot karena kelamaan berenang di kali. Mobil yang mengangkut Revan dan keluarganya baru saja memasuki pekarangan rumah joglo yang penuh pajangan barang antik. "Assalamuaikum, ibuk, bapak?" ucap ayah Revan mengetuk pintu yang tertutup sebelah.
Tak lama datang seorang pria yang jalan terbungkuk-bungkuk sambil menyincing sarung, membuat ketukan berirama yang dihasilkan tongkat reyot. "Tari! Suamimu sama cucuku dateng ini," lantas ketiganya segera menyalami tangan keriput nan gemetar itu.
"Ayo masuk-masuk, mamamu masih nyuapin mbah puteri."
"Udah besar putu lanang ini, ganteng tenan." Ucap kakek sambil menepuk-nepuk bahu Revan.
Revan tersenyum lalu merangkul pundak kakeknya. "Kakung jangan tua dulu, biar bisa lihat Revan nikah,"
"Ya semua tergantung Gusti, doakan saja semoga sehat selalu." Revan mengangguk .
Mereka meletakkan koper masing-masing di ruang tamu. Revan berjalan menghampiri nenek dan ibunya, lalu mencium tangan mereka. "Ini suapin dulu, Mama mau bikin minum buat kalian." Revan mengambil alih mangkok berisi bubur yang disiram sayur sup, asupan untuk neneknya.
"Mbah puteri sakit apa?" Tanya Revan sambil menyendokkan buburnya.
"Biasa, meriang." Jawabnya lemah.
"Nggak pernah dikelonin mbah kakung, ya?" Tanya Revan yang langsung mendapat tabokan dari ibunya.
"Kamu itu, sukanya godain aja." Ucap ibunya yang hanya dijawab kekehan oleh Revan.
"Emang papa mamamu, yang masih muda?"
Revan tak menjawab hanya tersenyum."Mbah puterimu itu, sekarang mana mau dikelonin," sahut kakeknya yang bermain catur dengan ayahnya di teras samping. Kamar ini memiliki dua pintu dan pintu yang satunya langsung terhubung dengan teras samping, yang kebetulan dibuka. Jadi, ayah dan kakek Revan dapat mendengar percakapannya dengan sang nenek.
"Bener, kenapa nggak mau?" Tanya Revan.
"Ah, kamu itu. Enggak usah ditanggepin. Lagian mbah puteri sama mbah kakungmu ini udah tua,"
"Tua juga masih butuh kehangatan." Revan terkekeh, sedangkan neneknya hanya geleng-geleng kepala.
"Sekali lagi, yuk. Udah habis ini." Ucap Revan menyuapkan sendok terakhir bubur.
Ibu Revan, Tari, meletakkan secangkir teh di meja samping ranjang sambil membuka beberapa tablet obat. "Tumbah habis, Buk? Biasanya sisa terus,"
"Berarti Mama nggak ahli nyuapin nenek jompo." Jawab Revan menyombongkan diri.
Nenek yang tidak terima langsung menapok pelan lengan Revan. "Enak aja kamu! Jompo gini jiwanya masih muda."
"Kangen berat itu sama kamu," sahut ibunya.
Dahi Revan berkerut geli. "Masa iya? Makanan kesukaan Revan apa hayo, masih ingat nggak?"
"Pepes ikan asin sama tahu putih, daun kemanginya dibanyakin." Jawab nenek penuh keyakinan.
"Iya, hehe. Besok masakin, ya?"
Nenek mengelus rambut Revan penuh kasih sayang. Usapan terlembut kedua setelah ibunya. "Pegang sendok aja tangannya gemeteran, makan disuapin. Gimana mau buatin kamu pepes?" Revan mengangguk mengerti.
"Nggak apa-apa, kapan-kapan aja. Mbah puteri cepet sehat, nanti ajarin istri Revan masak pepes terueenak." Neneknya tersenyum lalu mengecup kening Revan.
"Ngomong-ngomong, mana adikmu?"
"Nggak tau. Main di luar kayaknya,"
"Sana cari, suruh makan dulu."
Revan mencari keberadaan adiknya, cewek itu tak terlihat sejak tadi. Ia mencoba mencari ke belakang rumah, ia menemukan sepatu Rere, tapi di mana orangnya? Astaga! Baru sampai Jogja udah nangkring di atas pohon matoa. Senderan di dahan pohon sambil menikmati senja kian tenggelam. "Re, turun! Makan dulu,"
Rere melemparkan buah matoa pada Revan, ia membuka buah lokal yang kini sudah langka itu. Rasanya manis seperti kelengkeng tapi ukurannya lebih besar. "Ayo turun dulu."
Revan selalu memperhatikan tiap Rere turun dari pohon. Revan akui dirinya payah dalam hal ini. Berenang saja ia baru pandai setelah masuk SMA, sedangkankan Rere, ia sudah biasa meliuk-liuk dalam air sejak balita. Hap!
"Di sana tuh, masih banyak." Rere menunjuk segerompol buah yang sudah matang.
"Terus..mau manjat lagi?"
"Iya dong!"
Revan duduk di undakan teras setelah selesai sholat jamaah dengan ayahnya yang mengimami. Ia melipir keluar sementara yang lainnya asik mengobrol urusan orang dewasa. Si adik durhaka asik menguras isi kulkas yang didiami berbagai jenis jajanan pasar. Revan mengeluarkan isi ponselnya, beberapa kali mengumpat saat main game online, bukan karena kalah, tapi tidak ada sama sekali jaringan. Sore tadi lumayan, walau macet-macet minta dibanting, tapi sekarang blass.
Alhasil ia hanya duduk-duduk santai, daripada buka hp cuma bikin gerah bodi, ditemani krik-krik suara jangkrik dan nyanyian anak-anak yang bermain di bawah sinar rembulan.
Kring-kring bunyi bel sepeda onthel digayuh kuat mendekati Revan. Seorang cowok dengan baju koko dan peci yang setengah miring, menarik rem sepedanya berdecit di depan Revan. "Revan?"
Revan terkesiap, ia berdiri. "Jatmiko?" Cowok itu mengangguk. Lantas Revan segera menyerang dengan pelukan bertubi-tubi ala cowok. Jatmiko menyentakkan standar onthelnya lalu beringsut duduk di samping Revan.
"Gimana kabarmu?" Tanyanya.
"Gini-gini aja. Kamu gimana, masih pacaran sama kebo?" Revan tertawa geli.
"Masih, sekarang pacaran sama anaknya, emaknya udah wafat." Jawab Miko sedih.
"Turut berduka cita," Miko mengangguk.
"Kok tau aku kesini?" Tanya Revan.
"Tadi bapaku bilang katanya dia lihat mobil di rumahnya Mbah Darmo. Terus aku iseng ke sini, eh beneran ada kamu."
"Iya, tadi baru dateng. Udah lama ya, aku nggak ke sini?"
"Lama banget. Terakhir ketemu aja kamu masih ingusan," mereka tertawa menceritakan sepercik kenangan usang yang lama dipendam.
Jatmiko adalah sahabat kecil Revan. Revan pernah tinggal di sini selama 3 tahun saat SD. Karena keadaan ekonomi keluarganya memburuk waktu itu, terpaksa ibunya harus ikut merantau, membantu ayahnya. Ia dititipkan di sini untuk sementara waktu, saat itu Rere masih bayi dan nenek kakeknya masih sehat.
"Apaan, wong aku yang bantuin kamu. Megap-megap hanyut di kali, aku balapan sama arus yang deres banget. Untung nggak sampe ke sawah tuh," Miko tertawa mengingat kejadian saat Revan hanyut di sungai.
"Tau nggak? Habis itu perutku kembung, bolak-balik dikerokin mbah puteri sampe rasanya kulitku lecet." Tawa Miko meledak mendengar cerita Revan.
"Sekarang tambah ganteng, cewek banyak nih?" Miko menyenggol lengan Revan menggoda.
"Iya dong, masa tambah jelek. Kamu tuh, masih keriting aja. Dicatok kek,"
"Kurang ajar, dipuji malah ngenyek. Cariin cewek buatku bolehlah."
"Aku aja masih kosong melompong, kamu minta dicariin." Memang kenyataannya Revan masih jomblo, dari tadi sok-sok an ngomongin nikah.
"Halah, masa nggak ada satu aja yang nyangkut?"
"Emang layangan, nyangkut?!" Sungut Revan menggebu-gebu.
"Aku balik dulu. Jadwalnya nina bobo-in si kebo." Pamitnya, lalu meraih stang onthel dan menungganginya miring-miring karena sepedanya terlalu tinggi.
"Besok aku ke rumahmu, ya. Mau liat kebo. Rumahmu masih di sanakan?"
"Pindah ke pulau seribu!" Jawabnya sambli memacu sepeda onthelnya penuh tenaga.
"Jadi aku ditantang main basket sama kakak kelas yang nyebelin tapi ganteng itu.""Menurut kamu gimana, Jan?""Enggak apa-apa, sih, aku tenang bisa curhat." Beberapa pesan Vanessa kirim pada akun instagram dengan username; hujan sore-sore. Itu hanya sebagian pesan, di atas masih banyak lagi. Walaupun pemilik akun tidak pernah membalas, tapi ia selalu membaca setiap pesan Vanessa. Pemilik akun tersebut merupakan penulis yang hampir seluruh karyanya Vanessa punya. Karyanya selalu masuk jajaran best seller, tapi ia tidak pernah menampakkan diri.Seorang gadis dengan rambut yang digerai indah lengkap dengan kacamata minusnya baru saja sampai menggunakan sepeda. Vanessa membuka jendela, melihat siapa yang datang, sudah bisa ditebak kalau itu Mila. Ia segera melambaikan tangannya, mengizinkan Mila untuk segera masuk. Sudah biasa Mila keluar masuk rumah Vanessa, karena gadis itu sudah akrab dengan orang tua Vanessa.Berbeda dengan Vanes
Vanessa bangun dari tidurnya yang kurang nyenyak. Mereka, Vanessa dan Mila, baru tidur jam dua dini hari, tahulah apa yang mereka lakukan. Vanessa terbangun karena posisi tidur Mila yang tidak karuan, sehingga ia hanya memiliki sedikit ruang untuk tubuhnya. Rencananya sih, mau lari keliling taman, lihat-lihat cogan calon kopral, habis itu sarapan bubur ayam langganan. Tapi semuanya, bullshit! Malah ketukan pintu tak sabaran yang ia dapat. "Permisi, Mbak. Apa non Mila sudah sarapan?" Tanya seorang wanita yang sama seperti kemarin sore."Ini ada sarapan, tolong diberikan ya, Mbak." Lanjutnya. Menyerahkan rantang berlapis emas, entah murni atau hanya cat, tapi berkesan mewah."Iya, makasih." Setelah menerimanya, Vanessa segera menutup pintu, sedikit dibanting."Non, ini sarapannya. Bibi siapin di atas meja, ya?" Ujar Vanessa menggoda Mila."Iya. Taruh situ aja." Mila belum tersadar, masih terbawa hawa-hawa rumahnya. Setelahnya
Dua cup boba menjadi saksi bisu panasnya persaingan antara Revan dan Vanessa, keduanya adu kebolehan dalam menembak bola. Beberapa kali gerakan Revan merebut bola dari Vanessa dengan posisi seperti memeluk dari belakang membuat Vanessa gagal fokus. Bisep Revan yang licin merengkuhnya, seirama dengan berontakan jantung yang ugal-ugalan ngajak tawuran. Licik juga. Dengan Wisnu sebagai wasit, membuat Vanessa tidak tenang, bisa saja Wisnu melebih-lebihkan poin Revan, tidak ada salahnya curiga, secara Wisnu sobat sepergerombolan.Prittt"Istirahat kedua." Intrupsi Wisnu membuat Revan membuang bola kecewa. Baru mau masuk ke daerah lawan, sudah istirahat lagi."Ini 'kan tandingnya pake jam pasir, nggak perlu istirahat berulang-ulang." Revan mengomel, setelahnya ia meraih asal minumnya. Kok red velvet?"Ya gue pake aturan yang biasa kita main aja," jawab Wisnu memelas.Revan tersentak. "Eh, ini ketuker?!" Ia meraih boba dari
Hari-hari terus berlalu, tidak ada hari tanpa pantulan bola basket. Hari ini di Pelita Malam mengadakan basketball cup yang diikuti beberapa sekolah lainnya. Kebetulan dari hasil undian, SMA Pelita Malam mendapat giliran dengan SMA sebelah yang merupakan musuh bebuyutan sejak generasi terdahulu. Entah karena apa masalahnya.Revan dan teman-temannya duduk di barisan paling depan kursi penonton karena mereka sudah tidak main, biar para junior yang menggantikan. Tabuhan drum band dari para suporter tak gentar dengan sorak-sorai yel-yel menyemangati mereka yang di lapangan. Revan duduk anteng sambil menikmati permainan, berbeda dengan Reyhan, yang ikut menyanyikan yel-yel dengan suara sumbangnya.Sedangkan Vanessa, cewek itu berdiri di depan pagar sekolah, menunggu jemputan. Ia tidak tertarik untuk menonton, jadi memilih pulang, lagi pula sekolah membebaskan untuk pulang atau menetap. Vanessa mengobrol dengan teman sekelasnya yang merupakan anggot
Atas semua kesialan yang menimpa Vanessa, Tuhan selalu berbaik hati mengirimkan seseorang untuk membantunya. Terbukti, sekarang ia diantar oleh Wisnu yang kebetulan mencegatnya di tengah jalan tadi. "Makasih ya, Kak-- eh, Wisnu."Yang kemudian dijawab dengan anggukan dan senyum manis. "Iya, sama-sama. Gue balik, ya?"Bisa-bisa Vanessa meleleh di tempat kalau begini. Terus-terusan disodori senyum semanis gulali dari gula tebu asli. "Hati-hati." Vanessa melambaikan tangannya.Untung ia sampai rumah sebelum petang. Kalau tidak ada Wisnu ia bisa menjadi sasaran empuk manusia buas di pinggir jalan. Semua gara-gara Revan! Yang mengacau jadwalnya.Vanessa bersiap untuk pergi malam ini. Sendiri. Karena memang tidak ingin ditemani, kadang seseorang memang perlu sendiri, bukan? Kalaupun ada yang menemani, jawabnya adalah Mila atau Regan, adiknya. Tapi Mila pasti ditemani pengasuhnya yang membuat Vanessa risih. Sedangkan Regan,
**Pihak Pertama**Thanks, buat yang tadi. Sorry juga udah ninggalin.**Pihak Kedua**Iya. Bye the way, rundingan apa sih sampe ninggalin gue?**Pihak Pertama**Masalak cowok. Mau tau?**Pihak Kedua**Baku hantam? Eh, Mantili. Lo punya janji ya sama gue. Nggak bakal berantem lagi, inget!**Pihak Pertama**Mantili?Kok lo perhatian gitu sih sama gue?
Vanessa mengeledah isi kotak yang diberikan Revan, ia tuangkan seluruh isinya di atas sprei. "Ada gitu cowok kayak dia," gumamnya sambil menatap berbagai macam jajanan jaman ia SD. Permen kelapa yang dibungkus kertas warna warni, permen karet yang di dalamnya ada tato, mie kremes yang dulu harganya 500 rupiah dapat dua, dan banyak lagi.Vanessa mengambil satu permen kelapa. Rasa manisnya menarik dalam kilas balik jaman uang sakunya Rp 1.000,- bisa untuk seminggu. Sudah lama ia tak makan makanan jadul ini, karena memang sudah jarang ditemui. Vanessa membuka kotak itu lagi, ada sepucuk surat yang tersembunyi; Butuh cemilan, tapi males keluar? Kotak ini jawabnya. Awet. Bisa tahan sampai satu periode. Vanessa tak bisa menahan senyumnya, bukan bualan kuno atau rayuan alay, cenderung seperti slogan iklan.Seperti biasa, kantin selalu sumpek di jam istiharat. Vanessa harus berdesak-desakan demi semangkuk soto. "Barang panas, barang panas!" Seru Reyhan yang
Vespa biru muda berhenti di depan gerobak bertuliskan LEGEND yang sebagian huruf sudah luntur digerus kerasnya jalanan. Vanessa mengikuti Revan seperti buntut. Setalah memesan, mereka duduk di kursi plastik yang disediakan. Harus mengantri dengan anak-anak bimbel yang berebut minta duluan sambil menyodorkan duit.Vanessa masih bingung dengan perangai Revan yang tidak konsisten. Cowok yang kini duduk di sebelahnya sambil bersenandung kecil. Sembribit angin yang dibawa angkot putih lusuh, pelit oksigen. Benar-benar kental polusi yang mengharuskan Vanessa menutup hidung dan mulut, sesekali terbatuk karena kepulan asap hitam menyergap rongga hidung tanpa permisi melalui celah jari."Emang gini keadaannya, Dek. Sekarang banyak cafe modern, kenapa mau mampir ke sini?" Vanessa dan Revan saling tatap. "Yang dicari kesannya, Pak. Bukan mewahnya." Jawab Revan."Kesannya apa sih, Dek? Cuma kayak gini doang." Ucap bapak itu sambil men
Untuk orang yang tidak bisa diam, suasana seperti ini sangat Vanessa hindari sebenarnya. Mau memulai obrolanpun rasanya wajah Revan tidak bersahabat sama sekali, dari tadi datar tidak ada ekspresi, sampai-sampai ia tidak berani berpegangan pada jaket Revan dan menjadikan jok pertahanannya."Turun," ucapnya datar setelah sampai di depan pagar rumah Revan. Pertama kalinya Vanessa diajak main ke sini."Iya, tau.""Bukain!" kalau bukan dalam rangka meminta maaf, tidak semudah itu menuruti perintah Revan. Yang Vanessa hentak-hentakkan conversnya berjalan menuju pagar. Membersilahkan si kuda besi antik dan tuannya masuk."Revan pulang!" Vanessa mengikut saja di belakang."Kebiasaan deh, ka
Biasanya Vanessa akan pulang bersama Revan, tapi kali ini ia harus berjalan kaki menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh. Revan benar-benar marah padanya, sampai senyuman Vanessa tidak diindahkan sama sekali. Bahkan, ia terang-terangan melewati Vanessa yang berjalan di pinggir jalan. Semarah itukah? Padahal hanya 1 minggu."Papa benar-benar kecewa sama kamu, Revan. Apa cowok yang pandai berkelahi menurut kamu hebat? Memang hebat, tapi lebih hebat cowok berkelahi pakai otak, bukan otot," suasana ruang tengah rumah Revan sangat tidak bersahabat. Tidak ada yang berani menyela saat ayahnya sedang marah, apalagi beliau tidak pernah marah kecuali ada sesuatu yang sudah keterlaluan."Papa nggak pernah mengajarkan kamu jadi sok jagoan, Papa membebaskan apapun hobi kamu selagi itu positif. Papa nggak mau apa yang Papa alami menimpa kamu.""Papa yang pemberontak baru merasakan akibatnya setelah berkeluarga. Mengorbankan mama kamu untuk ikut banting tulang, men
Vanessa berjalan sambil bersenandung kecil, membawa kantong plastik putih berisi dua bungkus nasi goreng. Menuruti keinginan Regan yang aneh-aneh, ngidam nasi goreng. Paling ngeri sebenarnya jika melewati tembok bicara. Saat semua ungkapan lisan tidak diindahkan, tindakan para begajulan mencoret-coret tembok sengketa, meluapkan isi pikirannya. Macam bentuk grafiti dan kata misuh-misuh diabadikan dengan pilox berbagai warna. Memperburuk pemandangan. Tak jauh dari tempat itu, bunyi rusuh terdengar di seberang sana. Vanessa mendekat, mendapati sepeda motor yang terparkir awuran. Vanessa makin mendekat saat menemukan motor yang tidak asing. Itu vespa Revan! Di waktu yang bersamaan, ia melihat Revan sedang adu jotos entah dengan siapa. Vanessa menjatuhkan kreseknya lalu menerobos kerumunan. "Stop!!!" "Vanessa!" Tepat setelah itu Vanessa memejamkan mata, seseorang mendekapnya erat dari belakang. "Cabut, woi!" Setelah sese
Revan hengkang dari rumah Eshar bersama yang lainnya. Ingin cepat-cepat sampai kasurnya sendiri dan rebahan sampai siang, karena semalam tidurnya tidak aturan, disebabkan polah dua cecunguk yang tidak karuan. Tahu begitu, mending ia tidur di kasur yang ditempati Reyhan. Nyaman, tidak ada yang mengganggu, buktinya Reyhan bangun paling akhir, padahal bawah hidungnya sudah diolesi balsem. Memang dasar kebo.Tapi semua angan Revan gagal setelah mendapat kiriman pesan dari Bimo, teman sekelasnya.Karena weekend, kegiatan Vanessa setelah berbenah, hanya rebahan. Kalau sudah bosan kuadrat, paling nongkrong di depan televisi yang isinya dari pagi kartun. Karena mau nonton yang lainpun tidak bisa, tv selalu dalam kuasa Regan yang menonton tokoh kartun kelinci yang hanya bicara bwabwabwabwaa, tapi auranya menghantar Regan sampai gulingan di karpet.Vanessa memilih keluar rumah, sekedar cari angin menggunakan sepeda Regan. Semburat menguning yang muncul dari ufuk tim
Malam ini Revan cs sudah mengumpul di rumah Eshar. Para bujangga pencari cinta itu berencana menginap di rumah Eshar karena si playboy di rumah sendiri, maklum anak tunggal. Orang tuanya sibuk urusan bisnis.Karena Wisnu yang gila tenar, padahal sudah cukup tenar. Ia membelikan teman-temannya piyama yang didapat dari hasil endors di instagram, sekalian iklan katanya. Untuk pertama kalinya, malam ini Wisnu akan membuat channel youtube dengan konten pertama PESTA PIYAMA dan bintang tamu Revan, Eshar, dan Reyhan. Sebagai anak-anak most wanted mereka sudah terbiasa disorot banyak orang, walau tadi sempat ada perdebatan dengan Revan yang tidak mau gabung, tapi akhirnya dia menurut juga atas iming-iming Wisnu. Jadi konten malam ini tidak ada unsur paksaan. Semua suka rela.Mereka sudah duduk lesehan di karpet bulu kamar Eshar, menggunakan piyama masing-masing lengkap dengan penutup mata. "Van, lo nggak pake ini?" Tanya Eshar yang memakai penutup mata tapi
Vespa biru muda berhenti di depan gerobak bertuliskan LEGEND yang sebagian huruf sudah luntur digerus kerasnya jalanan. Vanessa mengikuti Revan seperti buntut. Setalah memesan, mereka duduk di kursi plastik yang disediakan. Harus mengantri dengan anak-anak bimbel yang berebut minta duluan sambil menyodorkan duit.Vanessa masih bingung dengan perangai Revan yang tidak konsisten. Cowok yang kini duduk di sebelahnya sambil bersenandung kecil. Sembribit angin yang dibawa angkot putih lusuh, pelit oksigen. Benar-benar kental polusi yang mengharuskan Vanessa menutup hidung dan mulut, sesekali terbatuk karena kepulan asap hitam menyergap rongga hidung tanpa permisi melalui celah jari."Emang gini keadaannya, Dek. Sekarang banyak cafe modern, kenapa mau mampir ke sini?" Vanessa dan Revan saling tatap. "Yang dicari kesannya, Pak. Bukan mewahnya." Jawab Revan."Kesannya apa sih, Dek? Cuma kayak gini doang." Ucap bapak itu sambil men
Vanessa mengeledah isi kotak yang diberikan Revan, ia tuangkan seluruh isinya di atas sprei. "Ada gitu cowok kayak dia," gumamnya sambil menatap berbagai macam jajanan jaman ia SD. Permen kelapa yang dibungkus kertas warna warni, permen karet yang di dalamnya ada tato, mie kremes yang dulu harganya 500 rupiah dapat dua, dan banyak lagi.Vanessa mengambil satu permen kelapa. Rasa manisnya menarik dalam kilas balik jaman uang sakunya Rp 1.000,- bisa untuk seminggu. Sudah lama ia tak makan makanan jadul ini, karena memang sudah jarang ditemui. Vanessa membuka kotak itu lagi, ada sepucuk surat yang tersembunyi; Butuh cemilan, tapi males keluar? Kotak ini jawabnya. Awet. Bisa tahan sampai satu periode. Vanessa tak bisa menahan senyumnya, bukan bualan kuno atau rayuan alay, cenderung seperti slogan iklan.Seperti biasa, kantin selalu sumpek di jam istiharat. Vanessa harus berdesak-desakan demi semangkuk soto. "Barang panas, barang panas!" Seru Reyhan yang
**Pihak Pertama**Thanks, buat yang tadi. Sorry juga udah ninggalin.**Pihak Kedua**Iya. Bye the way, rundingan apa sih sampe ninggalin gue?**Pihak Pertama**Masalak cowok. Mau tau?**Pihak Kedua**Baku hantam? Eh, Mantili. Lo punya janji ya sama gue. Nggak bakal berantem lagi, inget!**Pihak Pertama**Mantili?Kok lo perhatian gitu sih sama gue?
Atas semua kesialan yang menimpa Vanessa, Tuhan selalu berbaik hati mengirimkan seseorang untuk membantunya. Terbukti, sekarang ia diantar oleh Wisnu yang kebetulan mencegatnya di tengah jalan tadi. "Makasih ya, Kak-- eh, Wisnu."Yang kemudian dijawab dengan anggukan dan senyum manis. "Iya, sama-sama. Gue balik, ya?"Bisa-bisa Vanessa meleleh di tempat kalau begini. Terus-terusan disodori senyum semanis gulali dari gula tebu asli. "Hati-hati." Vanessa melambaikan tangannya.Untung ia sampai rumah sebelum petang. Kalau tidak ada Wisnu ia bisa menjadi sasaran empuk manusia buas di pinggir jalan. Semua gara-gara Revan! Yang mengacau jadwalnya.Vanessa bersiap untuk pergi malam ini. Sendiri. Karena memang tidak ingin ditemani, kadang seseorang memang perlu sendiri, bukan? Kalaupun ada yang menemani, jawabnya adalah Mila atau Regan, adiknya. Tapi Mila pasti ditemani pengasuhnya yang membuat Vanessa risih. Sedangkan Regan,