Amara masih berkutat di dapur sederhananya, membuat makanan untuk sang adik dan ibu tercinta tanpa tahu ada yang memperhatikannya dari tadi.
Membuat mi instan diaduk dengan telur lalu digoreng menjadi menu utama untuk makan malam hari ini. Tambahan bubur ayam dan irisan bawang goreng untuk ibunya yang belum bisa makan makanan yang keras.
“Kalo kamu masak kayak begini terus perempuan itu tidak akan sembuh?!” Dengan mengentak mangkuk yang sudah selesai disajikan di meja makan. Membuat bubur itu sedikit tercecer di meja.
Amara yang sedang menggoreng seketika mematikan kompornya.
“Kak Guntur apa-apaan sih! Itu makanan, kenapa di banting-banting begitu.” Mengelap tumpahan bubur.
Tanpa mau adanya keributan ia mengambil bubur dan menaruhnya di samping kompor guna menjauhkan dari Guntur. Mara kembali mengerjakan pekerjaannya yang sempat tertunda, membiarkan Guntur dengan tingkah lakunya. Ia sedikit terkejut saat melihat kakaknya berada di rumah --lagi, tidak seperti biasa.
Guntur jarang pulang bahkan jarang memberikannya kabar lewat telepon. Bukan jarang tapi tidak pernah. Apalagi baru kemarin kakaknya pulang dan marah-marah dengan Cakra yang membuat bocah kecil itu merenungi kesalahan yang tak pernah ia lakukan.
“Mar, minta uang!” Dengan mulut yang masih mengepulkan asap rokok, membuat ruangan seketika pengap.
Untung saja tadi dirinya sudah menyingkirkan makanan buat ibu.
“Tidak ada.”
Balasan singkat itu membuat Guntur berdiri dari tempat duduknya hingga kursi yang dipakainya terjungkal.
“Setiap kakak minta duit pasti jawaban kamu tidak ada, tidak ada terus! Percuma kamu kerja sama mereka kalo hasil jerih payah saja sama sekali tidak ada hasilnya!” murka Guntur.
Amara mengepalkan tangannya masih memunggungi Guntur , untung saja pekerjaannya sudah selesai.
“Oh, atau karena gara-gara anak sialan itu gaji kamu habis, iya?!”
“Sudah cukup, ya, Kak! Aku sudah lelah dengan tingkah laku Kakak yang tidak ada berubahnya!” desis Amara dengan mata yang sudah memerah. Dirinya berbalik menatap badan besar Guntur yang juga sama terengah-engah seperti dirinya.
“Aku sudah sering katakan sama Kak Guntur untuk tidak memanggil Cakra dengan sebutan kasar!”
“Aku juga sudah sering bilang sama kamu, kalo anak pembawa sial itu yang hadir dan membuat ayah dan ibu berpisah! Kamu tidak usah membela dia dan berupaya jadi kakak yang baik. Karena suatu saat dia juga akan seperti ‘bapak kandungnya’ dan bertindak kriminal!” teriak Guntur menggebu.
“Seharusnya Kakak yang berkaca dengan diri sendiri jangan pernah melimpahkan kesalahan pada orang lain!”
Guntur dengan cepat menghampiri Amara dan menjambak rambut adiknya membuat Amara meringis dan memukul-mukul lengan Guntur. Walaupun, ukuran tubuh Amara kalah jauh dengan Guntur tak membuat ia menyerah apalagi kulit kepalanya seperti ingin lepas. Kepala Amara menengadah melihat wajah murka Guntur yang semakin memerah, ia sebenarnya takut untuk melawan apalagi Kakaknya selama ini mempunyai sifat temperamental.
“Aku kasih tahu kamu sekali lagi bahwa anak kecil yang kamu sayangi itu bukan anak kandung di keluarga ini melainkan ANAK Haram! Ingat, Mar. HARAM!” desis Guntur dengan penekanan di telinga Amara.
Amara meneteskan air matanya, saat melihat punggung Guntur yang sudah pergi meninggalkan ruang dapur. Pembicaraan ini tidak boleh sampai terdengar di telinga Cakra yang bahkan belum tahu apa pun.
Bukan salah ibu atau pun ayahnya yang menginginkan perpisahan. Perpisahan yang diartikan ayah benar-benar meninggalkan rumah ini tanpa mau tahu tumbuh kembang anak-anaknya. Tanpa memberikan kasih sayang maupun nafkah bagi mereka semua termasuk ibunya. Belum ada kata talak ataupun ketuk palu untuk mengakhiri, ayah hanya meninggalkan ... benar-benar meninggalkan.
Sebelas tahun lalu Dinarianti –Ibu Amara dikatakan positif hamil yang umurnya memasuki usia 38 tahun. Hal itu mengejutkan bagi Bagas Baskoro, menurutnya ia tak pernah menyentuh sang istri mengingat sudah hampir setengah tahun ia merantau untuk mencari sesuap nasi.
Dinar tak pernah menyangkal bahwa hal yang dituduhkan suaminya tak benar. Tapi ia sudah mencoba mempertahankan harga dirinya dari segala masa kelam nan buruk yang sudah ia hadapi.
Rudi Cahyo mantan kekasih sekaligus cinta pertama Dinar dulu. Pria itu tiba-tiba datang lagi di kehidupan Dinar dengan iming-iming ingin mencari pekerjaan. Bagas tidak mengetahui kedatangan Rudi dalam hidup istrinya, membuat Dinar diam saja toh Rudi hanya sekali bertemu dengannya dan itu juga tidak disengaja.
Singkat cerita sudah dua bulan Bagas meninggalkan keluarganya mencari pundi-pundi rupiah. Membuat Dinar yang mengurus kedua anaknya –Guntur dan Amara sedikit kewalahan. Guntur yang berusia empat belas tahun yang sedang duduk di bangku SMP juga Amara berumur sebelas tahun duduk di bangku sekolah dasar. Mereka sama-sama di akhir masa sekolah untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi.
Tepatnya pada hari Senin pagi selesai menyiapkan segala keperluan anaknya, Guntur yang sedang Ujian Nasional dan Amara yang sedang Latihan Ujian Nasional membuat Dinar yang seperti biasa di rumah sendirian. Ketukan dari depan rumah membuat ia yang sedang membuat makanan mematikan kompornya dan membukakan pintu. Matanya terbelalak saat melihat siapa yang datang, Rudi. Pria itu datang sendiri dengan senyum yang menawan tapi tak membuat hati Dinar bergetar seperti saat melihat suaminya. Ia sudah melupakan kenangan bersama pria itu.
Tidak melupakan norma dalam berumah tangga dan tidak ingin menjadi bahan gosip para tetangga Dinar mempersilahkan Rudi untuk duduk di bangku teras luar. Tapi itu tak diindahkan Rudi, Rudi mengaku akan berbicara sesuatu hal yang serius dengan Dinar dan tak ingin diketahui orang lain. Ia bimbang, tak mau di cap sebagai istri tukang selingkuh tapi ucapan Rudi sedikit membuatnya penasaran.
Dengan ragu ia mempersilahkan Rudi masuk dan pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman. Tanpa disangka, Rudi seperti harimau yang mengincarnya menutup semua akses jalan keluar dan membekap mulutnya hingga membelit seluruh tubuhnya dengan badan kekar. Ditambah dengan kata-kata cinta Rudi untuk dirinya dan ingin kembali bersama. Dinar meronta, ia tak ingin dilecehkan. Ia sudah menjadi istri yang mengabdi pada suami dan akan selalu seperti itu, tapi sepertinya status itu akan hilang sebentar lagi. Dan mulai sekarang ia tak menyukai hari ini, hari Senin.
Dinar malu akan dirinya yang sudah dinodai oleh orang lain, ia juga tak pernah memberi tahukan semua ini pada siapa pun termasuk suaminya. Saat hari di mana suaminya pulang dan melihat keadaan tubuh istrinya yang tidak normal apalagi selalu muntah berakhir pingsan membuat Dinar harus dibawa ke rumah sakit.
Bak disambar petir, dokter mengatakan bahwa istrinya mengandung memasuki usia lima belas minggu.
“Aku tak pernah menyangka kamu murahan seperti ini, Nar!” bentak Bagas saat sudah sampai di rumah.
Dinar hanya terisak dan meminta maaf pada suaminya, ia tak menyangka bahwa perutnya yang sedikit membesar juga mual yang selama ini diderita karena ia sedang mengandung. Mengandung benih seorang lelaki bajingan yang ia baru ketahui adalah penipu ulung dan statusnya sudah tertangkap polisi.
“Aku diperkosa, Mas,” isak lirih Dinarianti masih menundukkan kepalanya dan memegang kaki suami.
“Bagaimana bisa kamu diperkosa hingga menghasilkan seperti ini. Kamu menikmatinya kan, iya?! Jujur padaku!” Menendang tubuh yang masih bersimpuh di bawahnya tanpa peduli keadaan.
“Siapa yang berani menyentuh kamu?!” Menggenggam tangan Dinar kasar untuk menyeretnya berdiri. Dinar bungkam membuat Bagas semakin kecewa.
“Baiklah kalau begitu.” Bagas hendak pergi meninggalkan Dinar yang masih tersedu-sedu.
“Rudi ....”
“Rudi siapa?” tanya Bagas tidak sabar.
“Ru—rudi Cahyo.”
Perkataan istrinya membuat Bagas terdiam. Dengan cepat ia mengambil ponselnya dan memberikannya pada Dinar.
“Maksudmu yang ini?” Suara Bagas bergetar.
Mata Dinar membulat dan menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. “Dari mana Ma—“
“Brengsek!” Dengan menendang meja ruang tamu membuat kaca semakin berserakan, Bagas terduduk di sofa.
“Dia yang pernah menipuku hingga puluhan juta rupiah dan sekarang dengan berani ia meniduri istriku hingga menghasilkan anak. Dosa hamba apa, Tuhan!” lirih Bagas sambil memejamkan mata.
Ia tak tahu harus berbuat apa, hatinya hancur seketika. Mengingat uang hasil jerih payahnya selama ini yang ia kumpulkan dengan bertekad investasi malah hilang karena ditipu. Sekarang istrinya dihamili orang lain dan itu semua adalah orang yang sama.
Mendekati Bagas dengan cara merangkak, ia sudah lemas. Dia sedari tadi sudah memohon ampun juga berlutut tapi tak gubris oleh suami. Ia juga tak mau seperti ini tapi memang Rudi sangat kejam dan bertindak asusila padanya dan sekarang meninggalkan bukti cinta di rahimnya.
“Aku tak bisa seperti ini, begitu pun denganmu yang tak pernah mengadukan ini padaku—suamimu sendiri. Kamu anggap aku apa?” ucap Bagas menyeka air matanya.
“Tolong Mas jangan tinggalkan aku,” isak Dinar semakin menjadi saat melihat Bagas yang berdiri dari tempatnya.
“Sekarang terserah padamu, mau kamu lakukan apa untuk anak itu. Aku tidak akan ikut campur mulai sekarang. Aku tak ingin menyentuh istriku lagi terlebih istri yang berani bermain serong di belakang suaminya,” tandas Bagas meninggalkan Dinar yang tergugu.
Tak tahan lagi melihat ayahnya sudah menjauhi rumah, Guntur yang sedari tadi mengintip bersama sang adik akhirnya berhambur ke luar ruangan diikuti Amara.
Amara melihat Guntur yang memeluk sang ayah mengisyaratkan jangan pergi karena mereka baru saja berjumpa. Amara juga ingin memeluk ayahnya mengucapkan banyak kata tapi ibunya di belakang sana yang masih meringkuk menangis membuat Amara tak bisa bergerak. Ia belum terlalu paham apa yang terjadi, tapi yang ia tahu setelah kejadian ini hidupnya tak akan sama.
Dengan menyender di kusen pintu, Amara yang melihat Kak Guntur juga ayahnya masih berpelukan ditambah iringan ibunya yang menangis, Amara juga menangis sambil melihat awan yang sudah menghitam tapi hujan tak kunjung turun. Amara ingin dipeluk, tapi ia tak tahu harus ke mana.
Setelah kejadian yang menimpa keluarga, Amara tak pernah melihat lagi sosok sang ayah. Pertama kali bertemu setelah sekian tahun lamanya saat sang ayah sedang menggandeng anak perempuan yang berkisar antara lima atau enam tahun. Penampilan ayahnya pun sudah jauh berbeda dari pada saat masih tinggal bersama keluarga ini. Ayahnya yang memang memiliki tampang rupawan semakin terlihat berkarisma saat memakai jas beserta dasi cokelat.
Tak sedikit banyak yang Amara tangkap dari pembicaraan Engkoh Lim dan priaber-jas hitam yang memakai kacamata. Yang Amara lihat dari siluet atasannya itu adalah mengangguk hormat juga sopan bahkan tak segan-segan membuatkan minuman untuk sang tamu yang saat ini berada di dalam ruangan Engkoh Lim. Lewat pintu kaca bagaimana interaksi kedua orang itu, Engkoh Lim yang semringah bahagia seperti mendapat durian runtuh. Apakah pria itu yang akan membeli toko ini?
Padahal baru minggu lalu surat lamaran kerja ia berikan pada Engkoh Lim untuk melamar di salah satu perusahaan yang pria itu rekomendasikan. Tapi hari ini ia sudah bisa menginjakkan kaki di Venus Foods. Perusahaan yang mempunyai area yang sangat luas dan ada beberapa gedung di dalamnya. Namun, ada satu gedung yang menjadi utamanya, gedung bertingkat empat yang sangat mewah. Wajar saja jika perusahaan ini mempunyai area yang luas karena kantor dan produksinya menjadi satu wilayah.
Angkasa memarkirkan mobilnya saat sudah sampai depan rumah. Ia sempat melihat mobil hitam yang sudah terparkir juga di sebelahnya. Jantungnya berdegup kencang saat tahu mobil siapa itu. Alarm waspada sudah berbunyi di kepalanya, matanya melihat arloji. Hampir jam tujuh malam.
Amara masih tidak yakin bahwa ia akan bekerja di salah satu perusahaan bonafid. Saat tes wawancara dengan kepala HRD langsung, ia menciutkan nyalinya. Apa yang semua Pak Abra katakan benar, ia hanya lulusan SMA dan jarang sekali ada yang ingin menerima. Namun sekarang bunga tidur yang sering Amara bayangkan menjadi kenyataan. Bak durian runtuh ia mendapat ini semua dari Engkoh Lim yang sudah terlalu baik. Setidaknya jika finansial Amara tercukupi salah satu yang ia inginkan adalah mengobati ibunya. Sampai sekarang Amara tak tega melihat ibunya yang tertatih-tatih saat berjalan dan
Sudah hampir seminggu bekerja di Venus Foods akhirnya membuat Amara mengerti. Bekerja di divisi marketing dengan banyak orang beserta pemikiran yang berbeda menjadi tolak ukur ia memahami karakter. Seperti saat ini, mereka yang sibuk karena salah satu model yang ditunjuk sebagai pemeran utama dalam iklan produk terbaru malah membatalkan kontraknya secara tiba-tiba. Padahal pemotretan tinggal dua hari lagi dan mereka belum ada kandidat yang cocok untuk menggantikan.
Sejak saat itu, setelah Hanum dan Dewo menikah mau tak mau Angkasa yang bernotabene sebagai teman dekat sekaligus--teman tapi tak menikah Hanum--dekat dengan adiknya, Della. Angkasa juga baru tahu bahwa selama ini Dellandra Aniva memiliki perasaan khusus terhadapnya. Perjodohan yang bermula karena omong kosong Hanum akhirnya disetujui langsung oleh kedua orang tua belah pihak. Dan belum sampai di situ, ternyata tanpa diduga Angkasa kedua orang tua me
Guntur melihat Amara yang sedang turun dari angkutan umum. Meniti tubuh adiknya dari atas ke bawah. "Kamu benar kerja, Mar?" tanya Guntur. “Aku kira tidak bakal ada perusahaan yang mau terima lulusan sekolah menengah atas!” Amara diam, tak menyahuti. Membiarkan Guntur dengan segala apa yang diinginkan pria itu lakukan. Bahkan jika hanya menjawab pertanyaan pun Amara sudah malas menanggapi. &nbs
"Sayang, bangun ...."Tepukan pelan di pipinya membuat Amara mengerang. Ia langsung membuka matanya dengan napas yang terengah-engah. Banyak bulir keringat yang keluar sampai membasahi bantal."Kamu mimpi buruk?" Suara itu memecahkan lamunan Amara. Ia melihat sekeliling ruangan yang dihiasi warna hitam dan juga putih.
"Hai, Om. Tumben datang ke kantor pagi-pagi sekali, apa ada jadwal dengan papa?" Sambutan itu seperti tak biasa. Angkasa sebenarnya tak terkejut karena Om Bagas sudah berada di ruangannya padahalinimasih menunjukkan angka delapan pagi. Bahkan karyawan kantorpunbelumseluruhnyamasuk. Kedua tangan Bagas mengetuk-ketuk satu sama lain menandakan jika ada hal yang mampu membuatnya banyak pikiran. "Tidak, Om hanya ingin berkunjung di tempatmu saja."
Angkasa memutar-mutar pena yang berada di tangannya. Semua sudah ia lakukan dengan baik. Pertama,ia sudah meyakinkan kedua orang tuanya untuk bisa menerima Amara,terlebih papanya yang masih saja marah terhadapnya. Yang kedua, dia akan meminta bantuan Antariksa untuk sedikit memberikanpengertian pada Nikenagar mengetahui berita ini. Dan BOOM!
"Mas Kasa!" teriak Riksa saat mendapati Angkasa yang berkutat di depan laptopnya. Entah apa yang pria itu kerjakan sedari tadi sampai tak tahu jika sang adik sudah jengkel setengah mati karena panggilannya tidak di jawab. "Astagadragon! Aku dari tadi teriak-teriak tidak tahunya Mas di sini pacaran sama laptop?!" Riksa memukul bahu Angkasa sampai sang empunya mengaduh kesakitan.
Amara sungguh malu, di saat ia sedang berada di titik rendah, di saat itu pula Angkasa melihat semuanya. Ia tak tahu seberapa banyak pria itu mengetahui hal rahasia antara dirinya dan ayahnya. Ia tak tahu bagaimana tanggapan yang Angkasa berikan saat mengetahui semua ini. "Lan ...," ucap pria itu dengan wajah yang tidak bisa diartikan. Pria yang sedari tadi hanya diam dan menunggu Amara tenang dengan keadaannya. "Y--ya?" Amara hanya memandang ke samp
Sampai di kantor, ia tak terkejut karena teman-temansedivisimencarinya. Tapi tidak untuk Babe, pria tua itu seakan tahu apa yang akan Amara lakukan hari ini. Ini adalah hari terakhirnya untuk menginjakkan kaki di Venus. Amara mengulum bibirnya yang sedikit pucat, bukan karena polesan yang tidak ia pakai, melainkan kurang tidur yang membuat ia seperti mayat hidup.
Semua kesedihan danketerpurukansudah tak bisa dibendung lagi. Amara yakin ini adalah titik terendahnya dalam hidup. Semua berakhir seperti ini. Haruskah Tuhan mempermainkan hidupnya di saat ia sudah memiliki sandaran hidup lagi? Kak Guntur sudah berubah dan seharusnya mereka merayakan kebahagiaan itu. Bukan malah menangis dengan air mata kepiluan seperti ini. Ibusudahtidak ada. Ralat! Ada, tapi dalam bayang kenangan sekara
“CUKUP, DELLA!” Teriakan Angkasa membuat Della yangsudah diambang kewarasan langsung tergugu.Hingga pada akhirnya air mata itu mengalir juga, bak air bah yang sudah tak bisa ditampung, Della meraung hingga membuat siapa saja miris mendengarnya. “Ka—kamu melakukan semua inisa—sama aku, Mas? Jahat kamu ...,” lirih Della sambil&nbs
Ponsel Amara terus bergetar sedari tadi. Tapi ia memang sengaja mengabaikannya, bukan karena apa. Ini adalah caranya untuk tidak terlalu dekat lagi dengan pria itu. Amara ingin menyendiri untuk beberapa hari belakang. Sebenarnya tadi pagi dia sudah berhasil untuk tidak bersama Angkasa, dan mungkin sudah membuat pria itu uring-uringan. Ia tak mau Angkasa tahu masalahnya di kantor. Apalagi ini termasuk fitnah yang sangat keji.