Angkasa memarkirkan mobilnya saat sudah sampai depan rumah. Ia sempat melihat mobil hitam yang sudah terparkir juga di sebelahnya.
Jantungnya berdegup kencang saat tahu mobil siapa itu. Alarm waspada sudah berbunyi di kepalanya, matanya melihat arloji. Hampir jam tujuh malam.
Amara masih tidak yakin bahwa ia akan bekerja di salah satu perusahaan bonafid. Saat tes wawancara dengan kepala HRD langsung, ia menciutkan nyalinya. Apa yang semua Pak Abra katakan benar, ia hanya lulusan SMA dan jarang sekali ada yang ingin menerima. Namun sekarang bunga tidur yang sering Amara bayangkan menjadi kenyataan. Bak durian runtuh ia mendapat ini semua dari Engkoh Lim yang sudah terlalu baik. Setidaknya jika finansial Amara tercukupi salah satu yang ia inginkan adalah mengobati ibunya. Sampai sekarang Amara tak tega melihat ibunya yang tertatih-tatih saat berjalan dan
Sudah hampir seminggu bekerja di Venus Foods akhirnya membuat Amara mengerti. Bekerja di divisi marketing dengan banyak orang beserta pemikiran yang berbeda menjadi tolak ukur ia memahami karakter. Seperti saat ini, mereka yang sibuk karena salah satu model yang ditunjuk sebagai pemeran utama dalam iklan produk terbaru malah membatalkan kontraknya secara tiba-tiba. Padahal pemotretan tinggal dua hari lagi dan mereka belum ada kandidat yang cocok untuk menggantikan.
Sejak saat itu, setelah Hanum dan Dewo menikah mau tak mau Angkasa yang bernotabene sebagai teman dekat sekaligus--teman tapi tak menikah Hanum--dekat dengan adiknya, Della. Angkasa juga baru tahu bahwa selama ini Dellandra Aniva memiliki perasaan khusus terhadapnya. Perjodohan yang bermula karena omong kosong Hanum akhirnya disetujui langsung oleh kedua orang tua belah pihak. Dan belum sampai di situ, ternyata tanpa diduga Angkasa kedua orang tua me
Guntur melihat Amara yang sedang turun dari angkutan umum. Meniti tubuh adiknya dari atas ke bawah. "Kamu benar kerja, Mar?" tanya Guntur. “Aku kira tidak bakal ada perusahaan yang mau terima lulusan sekolah menengah atas!” Amara diam, tak menyahuti. Membiarkan Guntur dengan segala apa yang diinginkan pria itu lakukan. Bahkan jika hanya menjawab pertanyaan pun Amara sudah malas menanggapi. &nbs
Tanpa memperlama proses penasaran akhirnya Dina tersadar dari keterkejutannya. Ia dengan cepat mengambil sendok yang terjatuh di lantai dan menaruhnya di sisi kiri meja. "Loh, bapak sudah kenal dengan Amara?" sela Dina yang sedikit berbisik menimbulkan anggukan pada Yessi. Karena ia yakin bahwa Amara tak pernah berinteraksi dengan pimpinannya. A
"Kenapa lancang sekali memotong pembicaraan saya?" Pria itu menghardik keras. "Sekalinya orang miskin tetaplah miskin, mereka tidak ada tempat di dunia ini. Apalagi berhubungan langsung pada kita, jangan pernah! Jadi jangan buang-buang waktu berharga kita untuk meladeni mereka. Baju dan sepatumu bisa Papa belikan lagi nanti, tapi untuk acara kita tidak bisa ditunda." Amara semakin tak mengerti kenapa orang-orang kaya banyak yang terlalu merendahkan manusia lainnya. Bukankah semua terlihat sama saja di mata Tuhan? Apa yang membuat mereka berbeda?
Minggu berganti. Saatnya perusahaan mengeluarkan event puncaknya saat ini. Launching produk baru. Semua karyawan bahkan tamu undangan sangat antusias dengan apa yang di keluarkan oleh Venus Foods. Karena mereka tahu, dari proses panjang yang di kerjakan tak main-main untuk membuat sesuatu produk yang mempunyai nilai tinggi nantinya. Divisi pemasaran yang memang berencana memakai pakaian seragam membuat mereka terlih
Angkasa yang semula melihat kejadian di tengah-tengah prosesi acara langsung turun tangan. Ia tak mau acara yang memang sudah dikatakan nyaris sempurna berujung pada kekecewaan para tamu karena sesuatu kejadian yang tak diinginkan. Bukan serta merta ia memihak Bagas apalagi melihat keluarga pria itu menyudutkan salah satu karyawan yang tak sengaja menyenggolnya. Ya, Amara Lania menjadi sorotan bagi semua tamu.
"Sayang, bangun ...."Tepukan pelan di pipinya membuat Amara mengerang. Ia langsung membuka matanya dengan napas yang terengah-engah. Banyak bulir keringat yang keluar sampai membasahi bantal."Kamu mimpi buruk?" Suara itu memecahkan lamunan Amara. Ia melihat sekeliling ruangan yang dihiasi warna hitam dan juga putih.
"Hai, Om. Tumben datang ke kantor pagi-pagi sekali, apa ada jadwal dengan papa?" Sambutan itu seperti tak biasa. Angkasa sebenarnya tak terkejut karena Om Bagas sudah berada di ruangannya padahalinimasih menunjukkan angka delapan pagi. Bahkan karyawan kantorpunbelumseluruhnyamasuk. Kedua tangan Bagas mengetuk-ketuk satu sama lain menandakan jika ada hal yang mampu membuatnya banyak pikiran. "Tidak, Om hanya ingin berkunjung di tempatmu saja."
Angkasa memutar-mutar pena yang berada di tangannya. Semua sudah ia lakukan dengan baik. Pertama,ia sudah meyakinkan kedua orang tuanya untuk bisa menerima Amara,terlebih papanya yang masih saja marah terhadapnya. Yang kedua, dia akan meminta bantuan Antariksa untuk sedikit memberikanpengertian pada Nikenagar mengetahui berita ini. Dan BOOM!
"Mas Kasa!" teriak Riksa saat mendapati Angkasa yang berkutat di depan laptopnya. Entah apa yang pria itu kerjakan sedari tadi sampai tak tahu jika sang adik sudah jengkel setengah mati karena panggilannya tidak di jawab. "Astagadragon! Aku dari tadi teriak-teriak tidak tahunya Mas di sini pacaran sama laptop?!" Riksa memukul bahu Angkasa sampai sang empunya mengaduh kesakitan.
Amara sungguh malu, di saat ia sedang berada di titik rendah, di saat itu pula Angkasa melihat semuanya. Ia tak tahu seberapa banyak pria itu mengetahui hal rahasia antara dirinya dan ayahnya. Ia tak tahu bagaimana tanggapan yang Angkasa berikan saat mengetahui semua ini. "Lan ...," ucap pria itu dengan wajah yang tidak bisa diartikan. Pria yang sedari tadi hanya diam dan menunggu Amara tenang dengan keadaannya. "Y--ya?" Amara hanya memandang ke samp
Sampai di kantor, ia tak terkejut karena teman-temansedivisimencarinya. Tapi tidak untuk Babe, pria tua itu seakan tahu apa yang akan Amara lakukan hari ini. Ini adalah hari terakhirnya untuk menginjakkan kaki di Venus. Amara mengulum bibirnya yang sedikit pucat, bukan karena polesan yang tidak ia pakai, melainkan kurang tidur yang membuat ia seperti mayat hidup.
Semua kesedihan danketerpurukansudah tak bisa dibendung lagi. Amara yakin ini adalah titik terendahnya dalam hidup. Semua berakhir seperti ini. Haruskah Tuhan mempermainkan hidupnya di saat ia sudah memiliki sandaran hidup lagi? Kak Guntur sudah berubah dan seharusnya mereka merayakan kebahagiaan itu. Bukan malah menangis dengan air mata kepiluan seperti ini. Ibusudahtidak ada. Ralat! Ada, tapi dalam bayang kenangan sekara
“CUKUP, DELLA!” Teriakan Angkasa membuat Della yangsudah diambang kewarasan langsung tergugu.Hingga pada akhirnya air mata itu mengalir juga, bak air bah yang sudah tak bisa ditampung, Della meraung hingga membuat siapa saja miris mendengarnya. “Ka—kamu melakukan semua inisa—sama aku, Mas? Jahat kamu ...,” lirih Della sambil&nbs
Ponsel Amara terus bergetar sedari tadi. Tapi ia memang sengaja mengabaikannya, bukan karena apa. Ini adalah caranya untuk tidak terlalu dekat lagi dengan pria itu. Amara ingin menyendiri untuk beberapa hari belakang. Sebenarnya tadi pagi dia sudah berhasil untuk tidak bersama Angkasa, dan mungkin sudah membuat pria itu uring-uringan. Ia tak mau Angkasa tahu masalahnya di kantor. Apalagi ini termasuk fitnah yang sangat keji.