Keanehan Mansa selama di sekolah membuatnya sering dianggap sebagai anak yang tidak normal. Sudah sering beredar isu tentangnya sebagai anak indigo. Namun tak sedikit yang berpikir bahwa dia hanya suka ngigau atau gejala skizofrenia.
Meskipun begitu ada juga yang sedikit percaya karena tak jarang Mansa bisa membantu orang-orang yang datang meminta pertolongan padanya.
Seperti pada suatu hari ada seorang siswi dari kelas sebelah mendatangi Mansa. Beberapa siswa yang ada di kelas hari itu menyadari bahwa akan ada sesuatu yang menarik sehingga mereka mengikuti siswi tersebut mengerubungi Mansa.
Mansa yang tahu apa yang sedang menhampirinya terlihat sedikit jengkel. “Sudah berapa kali kubilang, berhenti memperlakukanku seperti orang aneh”
Sedikit ragu-ragu, siswi itu langsung berbicara kepada Mansa. “Maaf, aku butuh bantuanmu,” ujarnya.
“Bantuan apa?” tanya Mansa singkat.
“Kucing kesayanganku hilang,” terangnya.
“Sumpah, bukan aku yang nyuri,” jawab Mansa menghindar. “Dan jangan coba-coba bilang maling ga bakalan mau ngaku,” gerutunya.
Sebenarnya Mansa tahu apa maksud dari kedatangan siswi itu. Hanya saja dia sengaja bersikap seperti itu untuk menghindarinya. “Kenal juga tidak, tiba-tiba datang bicara soal kucing hilang,” ketusnya setengah bergumam.
Siswi itu jadi sedikit kecewa dan siswa yang mengerubunginyapun bubar. Ketika siswi itu berbalik ingin meninggalkan Mansa, tiba-tiba Mansa memanggilnya.
“Tunggu sebentar,” seru Mansa mencegatnya. “Sudah berapa lama kucing tersebut ada di rumahmu?”
Mendengar pertanyaan Mansa, kembali muncul harapan dalam diri siswi itu dan dengan semangat diapun bercerita.
“Kucing itu sudah hilang sejak seminggu yang lalu,” ujarnya sebelum menjelaskan. “Biasanya hanya main di sekitar kompleks. Orang-orang di kompleks mengenali kucing itu. Tapi aku sudah bertanya pada semuanya tapi tak ada yang lihat.”
Kemudian dengan sedikit ragu-ragu dan polosnya siswi itu bertanya pada Mansa. “Apa, kamu tahu, di mana kucingku berada?” tanyanya terbata-bata.
Mendengar pertanyaan itu membuat Mansa semakin jengkel. Apa lagi hal yang ditanyakan Mansa sebelumnya sama sekali tidak dijawab oleh siswi itu.
“Mana aku tahu. Kamu pikir aku ini apa?!” jawab Mansa ketus.
“Tolong laah!” kembali siswi itu meminta sedikit memelas.
“Maaf, aku bukan dukun,” jawab Mansa sedikit jengkel. “Jangan harap tiba-tiba aku langsung tahu. Tapi aku tak berpikir kucingmu akan kembali. Lebih baik relakan saja kucingmu itu.”
Untuk kedua kalinya siswi itu kembali merasa kecewa. Tiba-tiba Rani muncul dari belakang hendak menuju tempat duduknya. Terdengar dia berbicara seperti bergumam.
“Bukan dukun, bukan dukun.”
“Tapi lagak tetap saja seperti dukun.”“Kucingnya hilang, enak saja bilang relakan.”Mendengar Rani berbicara seperti itu Mansa langsung berdiri dan sedikit kesal dia menarik bahu siswi tersebut dan membuat siswi itu berputar.
“Lihat foto yang yang ada di bagian belakang tasnya ini!” seru Mansa tegas. “Di situ ada seorang ibu mengendong bayi. Sebelahnya seorang yang sudah tua menggendong kucing. Besar kemungkinan bayi itu adalah dia, dan kucing itu...”
Siswi itu langsung berbalik memotong penjelasan Mansa untuk membenarkan tebakannya.
“Benar! Itu kucing kesayangan nenekku yang hilang. Dia satu-satunya temanku di rumah sejak nenek meninggal,” terangnya menjelaskan.
Mansa kembali mulai menjelaskan deduksinya. “Dilihat dari ukurannya, kucing itu sudah cukup besar. Jadi aku yakin sekarang dia pasti sudah sangat tua.”
“Ada mitos dikalangan pecinta kucing, kucing-kucing tua yang sekarat akan hilang menjauh sebelum mereka mati.”
“Tak jelas juga mitos itu benar atau tidak. Tapi sejauh ini, tidak ada yang menemukan bangkai kucing yang mati karena umur. Bisa saja ini bentuk perhatiannya pada orang yang merawatnya selama ini, agar mereka tidak begitu sedih atas kematiannya. Jadi besar kemungkinannya dia sengaja pergi diam-diam.”
“Tapi kamu bebas berharap jika dia masih hidup,” tutupnya.
Setelah mendengar penjelasan Mansa, akhirnya siswi itu pergi meninggalkan kelas tersebut. Sementara itu Rani masih menatapnya dengan penasaran.
“Apa?” tanya Mansa sedikit jengkel. “Sudah kubilang, aku ini bukan dukun.”
“Lalu bagaimana dengan dompet Rizky yang hilang?” tiba-tiba Rani mengungkit kejadian beberapa minggu yang telah lewat. “Waktu itu tiba-tiba bisa kamu tebak ada di mana.”
“Deduksi,” jawab Mansa singkat.
“Deduksi itu apa?!” tanya Rani polos.
“Semacam tenaga dalam itu, ya?” tanyanya dengan sedikit nada mengejek.Terlihat sedikit menghela nafas karena jengkel, Mansa mulai menjelaskan meski merasa repot.
“Aku hanya menebaknya. Kebetulan waktu itu aku ikut ke rumahnya membantu kelompok mereka menyusun presentasi. Aku ingat dompetnya tergeletak di dekat kami di bawah sofa.”
“Aku tanya ke dia kapan terakhir masih ingat soal dompet itu. Dia bilang ketika mentraktir kami milkshake. Aku ingat itu kejadiannya sebelum datang ke rumah dia untuk pengerjaan presentasi tersebut. Jadi bisa dikatakan dia tak sadar atau tidak ingat setelah itu.”
“Itu berarti ketika aku lihat dompet itu di dekat sofa, mungkin dia tidak sadar ada di situ. Dari situ aku memulai deduksi. Besar kemungkinan dompet itu tak sengaja terdorong ke bawah sofa dan tak ada yang tahu setelah itu.”
“Karena itu aku suruh dia coba cek di bawah sofa itu. Sialnya, dompet itu benar tak kemana-mana setelah itu. Jadi tebakanku benar, dan lagi-lagi kalian menganggapku indigo.”
“Coba kalau aku salah. Andai dompet itu sempat jalan-jalan...”
Mansa sedikit terhenti karena terpikirkan sesuatu. Namun setelahnya dia kembali terlihat jengkel dan berkata, “Yah, aku rasa kalian masih akan mengejekku dengan cara lain.”
Rani terdiam sesaat mencerna penjelasan Mansa. Tak lama, lagi-lagi dia mengungkit hal aneh lainnya.
“Lalu bagaimana soal bangku di sebelahmu itu?” tanyanya dengan ekspresi dingin. “Aku sudah lama sekelas denganmu.”
Untuk kali ini Mansa sama sekali tidak memberikan penjelasan. Terlihat dia sedikit melihat ke bangku kosong itu dan kembali menatap dingin ke arah Rani. Hal itu sempat membuat Rani sedikit merasa ngeri dan akhirnya memilih untuk memalingkan wajahnya mencoba mengabaikan Mansa.
Namun beberapa pasang mata di kelas itu masih memperhatikan Mansa. Mansa sadar mereka sedang membicarakannya. Dia pun menatap ke arah mereka seakan berkata bahwa dia tahu apa yang mereka bisikan. Hal itu berhasil membuat mereka risih dan akhirnya memilih membubarkan diri.
Sudah hampir tiga tahun Mansa menjalani kehidupan sebagai siswa SMP dengan identitas yang dipaksakan oleh sosial pada dirinya sebagai anak indigo. Meski begitu, Mansa cukup pandai beradaptasi dan menjaga diri untuk tidak terlalu menjadi sasaran bully.Hingga pada satu kejadian kecil yang memicu rentetan masalah dalam kehidupannya, membuatnya tak lagi bisa menjalani kehidupan sebagai seorang anak SMP normal pada umumnya.Suatu ketika, Mansa meminta izin untuk keluar dari kelas karena panggilan alam. Efektivitas dari sistem ekskresinya membuatnya tak kuasa berlama-lama mengikuti presentasi yang sedang berlangsung. Dia pun bergegas ke toilet untuk memenuhi hajatnya.Tak lama setelah Mansa keluar dari kelas, Danu dan dua orang temannya mengikuti Mansa keluar sementara guru yang mengajar di kelas saat itu seperti tak peduli dengan mereka.Ketika tiga orang siswa tersebut baru sampai di toilet, Mansa baru saja selesai menyetor jatah pengeluaran hariannya dan hendak bergegas kembali ke kelas.
Masalahnya, hanya tiga hari anak-anak bandel itu tidak masuk. Di hari ke empat mereka bertiga seperti kompak kembali datang ke sekolah. Kebetulan saja, guru yang sebelumnya memberikan skors pada mereka tidak mengajar di kelas tersebut. Sementara guru yang lain tidak tahu-menahu soal skrosing itu. Tak seperti biasanya, Danu, Eri dan Dodi hanya diam saja sejak awal mereka masuk sampai habis jam pelajaran. Mereka sama sekali tidak mengobrol, tidak terlihat juga saling sapa. Tak sekalipun mereka bertingkah usil menggoda cewek-cewek yang ada di dekat mereka seperti yang sering mereka lakukan. Setelah pelajaran hari itu habis, hampir semua murid-murid pergi meninggalkan kelas. Mereka bertiga masih tetap diam di tempat duduknya. Entah alasan apa, Mansa pun juga sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya. Seakan dia tahu mereka sengaja menunggu kelas kosong untuk berurusan dengannya, dan Mansa seperti tak ada niat untuk menghindar. Hingga Danu mulai berdiri dan berjalan menenteng tasny
Tak seorang pun yang tahu kondisi dua orang siswa tersebut selepas Dodi pergi meninggalkan kelas. Bahkan di hari-hari berikutnya, tak satupun dari mereka yang kembali masuk ke sekolah. Sementara Mansa sendiri tetap mengikuti pelajaran seperti biasanya seperti tak pernah terjadi apa-apa. Lagi pula, sedari awal ketiga anak itu memang sedang menjalani skorsing selama tiga minggu sehingga tak ada yang mempertanyakan perihal mereka. Namun ketika masa skorsing itu telah lewat, Danu dan Eri masih saja tidak masuk ke sekolah. Dodi sendiri sudah kembali masuk menjadi murid patuh dan pendiam selama beberapa hari itu. Kebetulan saat itu yang mengajar adalah Pak Syamsudin, guru geografi yang dulu memberikan skorsing pada tiga siswa bermasalah tersebut. Karena ingat masa skorsing tiga anak itu seharusnya sudah lewat, guru tersebut menanyakan keadaan Danu dan Eri yang tidak masuk kepada Dodi. “Dodi Permana, ada apa dengan Danu dan Eri?” tanya guru tersebut. Dodi hanya diam terlihat ragu-ragu un
Tak banyak yang berubah setelah seminggu Mansa tak lagi masuk. Tak sedikit yang berpikir bahwa dia adalah dukun sakti yang entah bagaimana caranya, bisa menggunakan kemampuan itu untuk bisa lulus pada seleksi yang diikutinya. Namun rumor tetaplah rumor. Setelah itu, semua kembali pada kehidupan mereka masing-masing, menjalani masa-masa sekolah seperti biasanya. Tapi tidak bagi Rani. Baginya, Mansa sudah seperti sebuah novel misteri dalam kehidupan remajanya. Sudah tiga tahun dia sekelas dengan Mansa, dan dia sengaja memilih duduk dekat dengannya karena satu alasan khusus. Rani yang kepo dan penasaran, sementara Mansa yang misterius, membuatnya seperti terperangkap dalam lumpur hisap yang dia sendiri tak ingin terbebas darinya. Namun sekarang Mansa tak lagi ada di tempat duduk itu. Bangku itu kosong namun pikiran Rani tidak. Saat ini pikirannya masih sibuk mengulang-ulang kembali segala hal yang pernah sempat terlintas perihal novel misteri yang berjudul Mansa tersebut. “Oh, bukank
Keesokan harinya, kekhawatiran yang diceritakan Rani benar-benar datang menghampiri rumah Mansa. Ketika Mansa baru keluar dari hutan, terlihat tiga orang berstelan kemeja hitam sedang berbicara dengan ibunya. Satu orang dengan seragam polisi masih duduk di dalam mobil menatap ke arah Mansa. “Mansa, sepertinya bapak-bapak ini ada perlu dengan kamu.”“Cukup lama beliau menunggu di sini” “Ada perlu apa, ya?!” tanya Mansa singkat.” “Sebenarnya bukan kami yang ada keperluan di sini”, jawab salah seorang dari pria itu. Tak berselang lama, pria berseragam polisi yang sedari tadi masih di dalam mobil datang menghampiri mereka dari belakang. “Ehm.. “ petugas tersebut memotong permbicaraan.“Maaf jika kedatangan kami mengganggu.”“Sebelumnya perkenalkan saya Handoko dan kebetulan pamannya Danu”. Mendengar nama Danu, Mansa langsung bisa membaca alas
Mansa mulai sadar mobil yang membawanya pergi sudah lewat dari Polsek kecamatan di mana seharusnya menjadi tujuan mereka. Namun mobil tersebut masih tetap melaju sementara Mansa masih bersikap tenang seakan tak menyadari apa-apa. Terlihat salah seorang dari pria berjas hitam yang duduk di sebelah kirinya mulai mengeluarkan rokok dan mencoba menyalakannya. Hal tersebut membuat pria yang satunya lagi yang sedang duduk di depan di sebelah Pak Handoko yang menyetir mobil menjadi rewel. “Sudah kubilang jangan merokok di dalam mobil, Ded!!!” bentaknya mengingatkan rekannya yang sedang mencoba menyalakan rokok. Pria tersebut terlihat cuek dan akhirnya rokok itu pun berhasil dibakarnya. Dihisapnya rokok begitu dalam. Terlihat sepertinya dia begitu lega akhirnya bisa merokok, sesuatu yang sudah beberapa jam dia tahan. Begitu nikmat dihisapnya rokok itu dalam dan begitu dia menghembuskannya, asap rokok mengepul memenuhi ruangan di
Dalam kekalutan, tiba-tiba Mansa mampu memutus ikatan tali rifet yang mengikat kedua tangannya secara paksa. Ketika lepas, satu tangannya tak sengaja terpental ke samping. Satu pria di sebelah kanannya terkena tepat di bagian pelipis dan kepalanya terdorong keras hingga membuatnya pingsan tak sadarkan diri. Mansa semakin kehilangan kontrol dan membuat pria di sebelah kiri yang sedari tadi menertawakannya mulai khawatir. Pria itu masih berusaha keras menahan sapu tangan tersebut berharap Mansa segera pingsan oleh gas cloroform yang ada di sapu tangan tersebut. Mansa menggigit sapu tangan itu sementara tangan kirinya berusaha mencekik leher pria tersebut secara brutal. Pak Handoko yang sedari awal fokus menyetir mobil mulai ikutan panik dengan kemelut di dalam mobil tersebut. “Hei, apa kau tak bisa mengendalikan seorang bocah SMP?!” teriak Handoko sambil sesekali menoleh ke belakang. “Yusron, apa kau baik-baik saja...
Malam itu, tak berapa lama sehabis menghantarkan Mansa pulang setelah peristiwa kecelakaan mobil, pikiran Mike langsung disibukkan oleh berbagai hal. Dia sesegera mungkin berusaha menggali informasi lebih jauh sebelum kecelakaan tersebut menjadi konsumsi publik. Setelah merasa cukup dekat dengan tujuannya, Mike memarkir SUV nya di bawah sebuah pohon besar dan berniat untuk meneruskannya dengan berjalan kaki. Di sebuah lampu jalan Mike sempat terpikir dengan penampilannya yang mungkin akan mengundang kecurigaan orang lain. Setelah melepas kaca mata dan menyesuaikan kondisi matanya, Mike melonggarkan dasi dan melepas kancing jas hitamnya agar terlihat lebih santai sebelum mendekati sebuah toko kelontong. Dengan sikap santainya yang alamiah seperti biasa, Mike datang menyapa pemilik toko kelontong. “Malam, Pak!” sapanya. “Waah, masih sibuk saja tokonya di jam segini ya?” tanya Mike sekadar basa-basi. “Ooh, iya lumayan,” jawab penjaga toko itu. “Biasa, anak-anak muda dekat sini masih