Masalahnya, hanya tiga hari anak-anak bandel itu tidak masuk. Di hari ke empat mereka bertiga seperti kompak kembali datang ke sekolah. Kebetulan saja, guru yang sebelumnya memberikan skors pada mereka tidak mengajar di kelas tersebut. Sementara guru yang lain tidak tahu-menahu soal skrosing itu.
Tak seperti biasanya, Danu, Eri dan Dodi hanya diam saja sejak awal mereka masuk sampai habis jam pelajaran. Mereka sama sekali tidak mengobrol, tidak terlihat juga saling sapa. Tak sekalipun mereka bertingkah usil menggoda cewek-cewek yang ada di dekat mereka seperti yang sering mereka lakukan.
Setelah pelajaran hari itu habis, hampir semua murid-murid pergi meninggalkan kelas. Mereka bertiga masih tetap diam di tempat duduknya. Entah alasan apa, Mansa pun juga sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya.
Seakan dia tahu mereka sengaja menunggu kelas kosong untuk berurusan dengannya, dan Mansa seperti tak ada niat untuk menghindar. Hingga Danu mulai berdiri dan berjalan menenteng tasnya menghampiri Mansa.
“Tak seperti biasanya,” ujar Danu mulai berbicara
“Akhir-akhir ini kau sudah mulai berani cari gara-gara dengan kami.”Mansa masih saja diam tidak memberikan tanggapan.
“Bahkan sekarang pun kau sama sekali tak menghindar,” ujar Danu mulai menatap ke arah Mansa dengan begitu serius.
Tidak juga ada respon dari Mansa tiba-tiba Danu melempar tasnya ke arah Mansa sekeras-kerasnya.
Mansa hanya menggeser kepalanya sedikit untuk menghindari tas tersebut. Dia tetap tenang di tempat duduk, menatap ke arah Danu tanpa reaksi apa pun di wajahnya.
Reaksi Mansa yang dingin seperti itu membuat Danu sedikit ragu. Hari ini Mansa seperti orang yang benar-benar berbeda.
Dua orang teman Danu pun menghampirinya.
“Lain kali saja kita cari kesempatan di luar,” bujuk Dodi mengajak Danu untuk pergi.
Melihat reaksi tiga orang tersebut, senyum kecut tersunging di bibir Mansa. “Apa kalian pikir ada kesempatan yang lebih baik dari hari ini?” tanyanya beretorika. “Lihatlah sekeliling kalian. Sama sekali tidak ada siapa-siapa di sini.”
Anehnya Mansa malah memprovokasi tiga anak bandel tersebut. Sekonyong-konyong, Eri menerobos dari belakang Danu dan melayangkan pukulan telak ke arah pipi Mansa.
“Sok berani kau, ha?” teriaknya.
Wajahnya Mansa sedikit terhuyung ke kanan menerima bogem mentah dari Eri. Dia kembali menoleh ke arah mereka dengan ujung matanya yang sebelah kiri tertutup. Pelipis matanya sedikit membengkak karena pukulan Eri.
Lagi-lagi Mansa tersenyum dan terlihat sedikit menyeringai. Seringai itu berubah menjadi tawa.
“Hah haa!!! Gitu kan enak. Sudah bertahun-tahun kalian menggangguku. Kenapa baru sekarang berani memukul?”
Melihat reaksi Mansa yang seperti itu membuat tiga orang tersebut tidak habis pikir.
“Tenang, sudah kubilang kalau aku bukan indigo. Ayolah, kenapa tidak coba pukul sekali lagi?” kembali Mansa memprovokasi mereka.
Mansa pun berdiri seraya memancing tiga orang tersebut untuk memukulnya. Sontak Danu menghujamkan kakinya ke arah perut Mansa yang membuatnya tertekuk lutut menahan rasa sakit.
Terlihat sesaat Mansa seperti kesulitan untuk bernafas. Meski begitu, dia tetap mengusahakan diri untuk berdiri.
“Lagi?!” seru Mansa beretorika masih menyeringai memancing mereka.
Kepalan tangan tiga orang tersebut terlihat bergemetaran seperti hendak memukul Mansa. Anehnya, mereka tak kunjung melayangkan satu pukulan pun. Sementara Mansa berjalan perlahan mendekat dengan satu tangannya masih mengelus-elus perutnya.
Mansa menepuk-nepuk pipi Danu dan kembali memprovokasinya untuk kembali memukul
“Lagi?!”
Setelah itu dia juga mendekat menghampiri Dodi yang sedari tadi belum melakukan apa-apa. Mansa menarik-narik baju seragam Dodi dan menyemangatinya untuk ikutan memukul.
“Ayo dong! Ga niat ikutan?!” pancing Mansa pada Dodi.
Melihat tiga orang tersebut kebingungan, seringai Mansa semakin lebar. Dia pun tertawa keras.
“Haah, memang kalian tipe kepala batu ternyata. Kalian selalu membantah apapun yang dikatakan orang pada kalian. Aku tahu selama ini kalian ingin memukulku. Sekarang aku suruh memukul, kalian malah menolak.”
Mendengar Mansa berkata seperti itu membuat emosi Danu semakin tersulut. Tak ayal dia pun mendorong Mansa dengan kakinya seraya bertariak dipompa amarah.
Kakinya naik cukup tinggi tepat dibagian dada Mansa dan membuatnya kembali duduk tersandar di bangku. Mansa sedikit terengah-engah. Kepalanya dia tundukkan pada meja menahan rasa sakit.
Dalam kondisi seperti itu, Danu dan teman-temannya melihat keanehan lain dari Mansa. Mereka baru sadar kalau tangan kanan Mansa sedari tadi seperti sedang mencoba menahan sesuatu.
Bahkan sekarang ketika tubuhnya terduduk di kursi dengan kepala tertunduk di atas meja menahan sakit, tangan kanan itu masih merentang seperti sedang menahan sesuatu. Dengan kondisi itu, suara tawa dan celutukan Mansa diselingi batuk-batuk kecil masih saja terdengar.
“Kalian tahu....”
Terlihat Mansa berusaha menegakkan kepala dan kembali bersandar pada bangku sementara lengan kanannya masih terlihat seperti itu.
“Kalian tahu, aku sudah sampai pada tahap akhir KTPTN, lho!” celotehnya berlagak membanggakan diri.
Danu pun mengernyitkan dahi keheranan. Begitu juga dengan kedua orang temannya.
KT-PTN adalah singkatan untuk Kualifikasi Terbuka Perguruan Tinggi Negeri. Pemerintah membuat kebijakan untuk memberikan peluang setara untuk seluruh masyarakat, dari segala kalangan tanpa batasan usia dan latar pendidikan, untuk bisa mengikuti seleksi memasuki perguruan tinggi negeri.
Semua bisa ikut, selama mereka bisa bersaing dan memperebutkan quota 25 bangku untuk tiap jurusan di semua perguruan tinggi negeri. Seleksi tersebut diadakan empat tahap dalam satu tahun, dan tahun ini adalah tahun ketiga setelah seleksi tersebut pertama kali diadakan sejak tahun 2030.
Bagi seorang siswa SMP seperti Mansa, untuk bisa melanjutkan hingga ke tahap akhir sudah merupakan pencapaian yang luar biasa.
Setelah membanggakan diri seperti itu, Mansa kemudian menyilangkan satu kakinya dan terlihat begitu santai duduk bersandar di bangku.
“Ya, aku berpeluang jadi anak SMP pertama yang bisa masuk langsung ke perguruan tinggi. Sebenarnya aku sudah tak peduli dengan sekolah ini.”
“Bagaimana dengan kalian?!”
Setelah berbicara seperti itu tangan kiri Mansa merogoh laci meja dan menarik tasnya keluar. Dia berdiri sambil menyandangkan tasnya tersebut di bahu bagian kiri.
“Selama ini aku sudah berusaha meyakinkan orang bahwa aku adalah orang yang normal. Sebisa mungkin menjauh dari perhatian. Tapi sekarang ceritanya sudah berbeda.”
Baru setelah berkata seperti itu, Mansa menurunkan lengan kanannya tersebut. Seketika, Danu yang saat itu berada paling dekat dengannya, terlihat seperti merintih kesakitan sambil memegang perutnya.
Dia terlihat sulit bernafas dan sesekali berusaha untuk memuntahkan sesuatu. Tak lama, tangannya bergemetaran dan meregang seperti orang yang sedang begitu emosi. Dia pun menghempas-hempaskan dua tangannya ke meja seperti orang yang sedang kerasukan.
Dodi dan Eri kebingungan tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan Danu.
“Ada apa, Danu? Kenapa kau bertingkah aneh seperti itu?” tanya Dodi khawatir.
Ketika mereka mencoba mendakati Danu untuk memeriksa keadaannya, Danu malah seperti kehilangan kendali. Tangan kirinya melayang begitu cepat sehingga punggung kepalan tangannya mengenai kepala Eri.
Setelah itu dia mendorong Dodi hingga membuatnya terjungkal. Eri berdiri berusaha menahan Danu namun Danu malah semakin menggila mencoba menarik-narik baju Eri. Entah dari mana kekuatan itu muncul, dengan mudah Danu merobek pakaian seragam Eri.
Dalam kekalutan tersebut Mansa hanya bediri sambil bersandar di dinding. Matanya tertuju begitu dingin ke arah Dodi yang saat ini tergeletak di lantai. Sementara itu Danu dan Eri berjibaku saling hantam.
Dodi yang kebetulan menangkap tatapan Mansa menjadi begitu ketakutan. Dia pun tergopoh-gopoh berusaha berdiri dan menjauh sementara Mansa berjalan pelan ke arahnya.
“Aah, ibuuuu...,” isaknya ketakutan.
Entah karena begitu ketakutan, Dodi kembali tergeletak di lantai. Anehnya Mansa hanya terus berjalan hingga melangkahinya. Dia pun pergi meninggalkan mereka dan sama sekali tak menghiraukan Dodi yang ketakutan.
Tak lama setelah itu Dodi lari sambil berteriak histeris meninggalkan ruangan kelas tersebut mendahului Mansa. Sementara itu, Eri lumat dihajar Danu di pojok kelas.
Tak seorang pun yang tahu kondisi dua orang siswa tersebut selepas Dodi pergi meninggalkan kelas. Bahkan di hari-hari berikutnya, tak satupun dari mereka yang kembali masuk ke sekolah. Sementara Mansa sendiri tetap mengikuti pelajaran seperti biasanya seperti tak pernah terjadi apa-apa. Lagi pula, sedari awal ketiga anak itu memang sedang menjalani skorsing selama tiga minggu sehingga tak ada yang mempertanyakan perihal mereka. Namun ketika masa skorsing itu telah lewat, Danu dan Eri masih saja tidak masuk ke sekolah. Dodi sendiri sudah kembali masuk menjadi murid patuh dan pendiam selama beberapa hari itu. Kebetulan saat itu yang mengajar adalah Pak Syamsudin, guru geografi yang dulu memberikan skorsing pada tiga siswa bermasalah tersebut. Karena ingat masa skorsing tiga anak itu seharusnya sudah lewat, guru tersebut menanyakan keadaan Danu dan Eri yang tidak masuk kepada Dodi. “Dodi Permana, ada apa dengan Danu dan Eri?” tanya guru tersebut. Dodi hanya diam terlihat ragu-ragu un
Tak banyak yang berubah setelah seminggu Mansa tak lagi masuk. Tak sedikit yang berpikir bahwa dia adalah dukun sakti yang entah bagaimana caranya, bisa menggunakan kemampuan itu untuk bisa lulus pada seleksi yang diikutinya. Namun rumor tetaplah rumor. Setelah itu, semua kembali pada kehidupan mereka masing-masing, menjalani masa-masa sekolah seperti biasanya. Tapi tidak bagi Rani. Baginya, Mansa sudah seperti sebuah novel misteri dalam kehidupan remajanya. Sudah tiga tahun dia sekelas dengan Mansa, dan dia sengaja memilih duduk dekat dengannya karena satu alasan khusus. Rani yang kepo dan penasaran, sementara Mansa yang misterius, membuatnya seperti terperangkap dalam lumpur hisap yang dia sendiri tak ingin terbebas darinya. Namun sekarang Mansa tak lagi ada di tempat duduk itu. Bangku itu kosong namun pikiran Rani tidak. Saat ini pikirannya masih sibuk mengulang-ulang kembali segala hal yang pernah sempat terlintas perihal novel misteri yang berjudul Mansa tersebut. “Oh, bukank
Keesokan harinya, kekhawatiran yang diceritakan Rani benar-benar datang menghampiri rumah Mansa. Ketika Mansa baru keluar dari hutan, terlihat tiga orang berstelan kemeja hitam sedang berbicara dengan ibunya. Satu orang dengan seragam polisi masih duduk di dalam mobil menatap ke arah Mansa. “Mansa, sepertinya bapak-bapak ini ada perlu dengan kamu.”“Cukup lama beliau menunggu di sini” “Ada perlu apa, ya?!” tanya Mansa singkat.” “Sebenarnya bukan kami yang ada keperluan di sini”, jawab salah seorang dari pria itu. Tak berselang lama, pria berseragam polisi yang sedari tadi masih di dalam mobil datang menghampiri mereka dari belakang. “Ehm.. “ petugas tersebut memotong permbicaraan.“Maaf jika kedatangan kami mengganggu.”“Sebelumnya perkenalkan saya Handoko dan kebetulan pamannya Danu”. Mendengar nama Danu, Mansa langsung bisa membaca alas
Mansa mulai sadar mobil yang membawanya pergi sudah lewat dari Polsek kecamatan di mana seharusnya menjadi tujuan mereka. Namun mobil tersebut masih tetap melaju sementara Mansa masih bersikap tenang seakan tak menyadari apa-apa. Terlihat salah seorang dari pria berjas hitam yang duduk di sebelah kirinya mulai mengeluarkan rokok dan mencoba menyalakannya. Hal tersebut membuat pria yang satunya lagi yang sedang duduk di depan di sebelah Pak Handoko yang menyetir mobil menjadi rewel. “Sudah kubilang jangan merokok di dalam mobil, Ded!!!” bentaknya mengingatkan rekannya yang sedang mencoba menyalakan rokok. Pria tersebut terlihat cuek dan akhirnya rokok itu pun berhasil dibakarnya. Dihisapnya rokok begitu dalam. Terlihat sepertinya dia begitu lega akhirnya bisa merokok, sesuatu yang sudah beberapa jam dia tahan. Begitu nikmat dihisapnya rokok itu dalam dan begitu dia menghembuskannya, asap rokok mengepul memenuhi ruangan di
Dalam kekalutan, tiba-tiba Mansa mampu memutus ikatan tali rifet yang mengikat kedua tangannya secara paksa. Ketika lepas, satu tangannya tak sengaja terpental ke samping. Satu pria di sebelah kanannya terkena tepat di bagian pelipis dan kepalanya terdorong keras hingga membuatnya pingsan tak sadarkan diri. Mansa semakin kehilangan kontrol dan membuat pria di sebelah kiri yang sedari tadi menertawakannya mulai khawatir. Pria itu masih berusaha keras menahan sapu tangan tersebut berharap Mansa segera pingsan oleh gas cloroform yang ada di sapu tangan tersebut. Mansa menggigit sapu tangan itu sementara tangan kirinya berusaha mencekik leher pria tersebut secara brutal. Pak Handoko yang sedari awal fokus menyetir mobil mulai ikutan panik dengan kemelut di dalam mobil tersebut. “Hei, apa kau tak bisa mengendalikan seorang bocah SMP?!” teriak Handoko sambil sesekali menoleh ke belakang. “Yusron, apa kau baik-baik saja...
Malam itu, tak berapa lama sehabis menghantarkan Mansa pulang setelah peristiwa kecelakaan mobil, pikiran Mike langsung disibukkan oleh berbagai hal. Dia sesegera mungkin berusaha menggali informasi lebih jauh sebelum kecelakaan tersebut menjadi konsumsi publik. Setelah merasa cukup dekat dengan tujuannya, Mike memarkir SUV nya di bawah sebuah pohon besar dan berniat untuk meneruskannya dengan berjalan kaki. Di sebuah lampu jalan Mike sempat terpikir dengan penampilannya yang mungkin akan mengundang kecurigaan orang lain. Setelah melepas kaca mata dan menyesuaikan kondisi matanya, Mike melonggarkan dasi dan melepas kancing jas hitamnya agar terlihat lebih santai sebelum mendekati sebuah toko kelontong. Dengan sikap santainya yang alamiah seperti biasa, Mike datang menyapa pemilik toko kelontong. “Malam, Pak!” sapanya. “Waah, masih sibuk saja tokonya di jam segini ya?” tanya Mike sekadar basa-basi. “Ooh, iya lumayan,” jawab penjaga toko itu. “Biasa, anak-anak muda dekat sini masih
Merasa cukup, Mike langsung memeriksa nomor telepon dari akun Any dan mencatatnya. Setelah itu dia uninstall kembali aplikasi emulator yang baru saja dipasangnya di komputer Handoko dan segera men-shutdown komputer tersebut begitu proses uninstal selesai. Tak lupa juga dia menghapus folder instalasi aplikasi tersebut untuk menghilangkan jejak. Setelah itu, Mike segera melakukan panggilan sambil bergegas menuju pintu keluar. “Agus, aku baru saja mengirimkan sebuah nomor.” “Tolong periksa, dan segera kabari aku jika kamu memperoleh sesuatu” Secara diam-diam Mike melompati pagar dan apesnya dia tak sengaja membuat pagar besi tersebut sedikit bergetar dan menyebabkan bunyi yang cukup gaduh. Tanpa berpikir lama-lama, dengan berlagak seperti orang yang sedikit panik Mike setengah barlari menghampiri toko kelontong tadi. “Pak, maaf!” seru Mike. “Bapak tahu keluarga Pak Handoko yang bisa dihubungi?”
Sesampainya di tempat penginapan, Mike langsung mengejar tempat tidur. Mike langsung tertidur pulas dengan sepatu yang masih terpasang. Sudah dua hari dia belum tidur. Esok harinya menjelang sore, Mike terbangun oleh suara mesin faximili di ruang sebelah. Tanpa cuci muka, Mike menghampiri faximili yang kebetulan telah selesai mencetak beberapa lembar artikel. Diambilnya kertas-kertas tersebut, dan di tempat itu juga Mike langsung melakukan peregangan. Sekarang dia duduk dengan posisi kaki merentang nyaris 180° sambil membaca-baca artikel yang baru saja diterimanya tersebut secara sekilas. “Sepertinya dugaanku tak terlalu jauh meleset,” gumamnya saat membaca artikel tersebut. Sebelumnya dia sudah mencoba memperkirakan apa maksud dari pesan Handoko serta balasan dari orang dengan nama akun “Any” sebelumnya. Sekarang, berkas yang baru saja dterimanya dari Agus seperti memastikan dugaannya. “Handoko mengirim pesan, IndieCaped dan IndieDeted.” “Deted bisa saja singkatan untuk Detected