Aku menatap gedung mencakar langit di hadapanku penuh haru. Syukur, masih ada kesempatan bagiku untuk menikmati keMaha baikan-Nya. Dua bulan tinggal di sini, sudah cukup membuatku tersiksa. Gedung megah namun mencekam. Tak ada tawa bahagia di dalamnya.
Aku menengadahkan kepala, kupejamkan mata sembari menghirup napas dalam sebelum mengembuskannya berulang-ulang. Meski udara panas dan sudah bercampur dengan polusi, namun ini lebih melegakan dari pada harus di dalam gedung itu. Setelah aku cukup puas, aku membalikkan badan, beranjak menjauh dari tempat itu. Langkahku terhenti kala seseorang memanggil namaku.
“Kak Dini...” sapaku melihat gadis berkerudung merah muda berlari dari dalam gedung mendekatiku. “Ada apa?”
Senyum mengembang dibibirnya, menunjukkan dua lekukan di pipi. “Aku antar ya, kebetulan aku istirahat,” tawarnya.
“Tidak usah, Kak. Aku naik bus saja nanti,” tolakku. Sudah banyak aku merepotkannya selama satu bulan ini. Rasanya aku tak enak hati jika terus saja bergantung padanya.
“Sudah.” Ia melirik jam yang melingkar di tangannya. Lalu menarik tanganku ke parkiran khusus pegawai rumah sakit.”Aku antar saja, masih cukup kok waktunya.”
Aku hanya terdiam. Sembari mengikutinya yang masih saja menarikku. “Maaf ya, selalu merepotkanmu,” ucapku. Setelah sampai di parkiran.
Ia menyodorkan helm untukku. “Aku sudah bilang. Kamu sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Tidak usah sungkan.”
Mendengar kata adik, hatiku menghangat, Aku teringat dengan Teh Anggi. Seseorang yang sangat menyayangiku tanpa syarat, namun seringkali kuabaikan. Apa masih ada rasa sayang untukku jika dia tahu kondisiku sekarang? Aku saja merasa malu untuk sekedar mengucap salam untuk mereka. Berulangkali panggilan dari kampung kuabaikan, aku hanya membalas pesan singkat sesekali. Karena aku tak ingin mereka tahu kondisiku saat ini.
Motor bebek yang kami kenderai perlahan melaju meninggalkan area parkir rumah sakit tempat ku di rawat dua bulan ini, Kak Dini- dia salah satu tenaga medis di sana. Ia baru saja menyelesaikan koas sebagai dokter anak, karena wabah yang menyerang hampir seluruh wilayah negeri ini, kak Dini menyerahkan dirinya untuk menjadi salah satu relawan, dan disangka kak Dini ditugaskan di rumah sakit tempat aku menjalani perawatan.
“Kamu mau mampir beli makan dulu?” lagi-lagi ia menawarkan kebaikan yang semakin membuatku tak enak hati.
“Tidak usah, Kak. Nanti aku beli di warung dekat kos saja,” jawabku setengah berteriak. Berusaha mengimbangkan suaraku dengan embusan angin serta suara kendaraan yang berlalu lalang.
Kak Dini tak menjawab lagi, sepertinya ia menyetujui ucapanku. Lima belas menit berlalu, sampailah kami di rumah yang aku tempati sejak pertama kali pindah di ibu kota. Rumah tiga lantai yang membetuk lorong panjang dengan banyak pintu itu terlihat sepi. Mungkin penghuninya masih di luar menjalankan aktivitas mereka.
Setelah mengantarkanku, kak Dini langsung pamit, karena waktu istirahatnya yang terbatas. Satu hal yang aku suka dari tempat ini adalah udaranya yang sejuk. Lahan kosong di belakang kos tumbuh berbagai macam tumbuhan rindang yang membuat tempat ini menjadi asri. Selalu dapat mengobati rasa rinduku dengan kampung halaman.
Kamarku ada di lantai satu, di ujung lorong yang dekat taman bunga milik Bu Luluk- pemilik kos Nirwana ini. Aku merogoh kunci dari saku celanaku. Lalu, memasukkannya dalam lubang kunci.
“Mey ...” panggil seseorang dari belakang, menghentikan tanganku yang hendak memutar handle pintu.
Aku memutar tubuh mengikuti sumber suara, “Bu...” balasku begitu menemukan sosok Bu Luluk di belakangku.
“Nanti ke rumah Ibu sebentar ya, ada titipan untukmu,” ujarnya, wajahnya datar. Namun masih tersirat rasa iba di wajahnya. Aku tak tahu gosib apa yang menyebar setelah aku menghilang satu bulan ini. Aku harap masih tak mempersulit hidupku ke depannya. Cukup beasiswaku di cabut dari kampus dan aku akan tetap melanjutkan hidupku di sini. Bu Luluk pergi setelah mendapat persetujuan dariku.
***
“Ini ada titipan untukmu,” ujar bu Luluk sambil menyerahkan amplop coklat untukku. Ia kembali ke dalam, lalu kembali lagi dengan dua gelas minuman dingin.
“Minum dulu,” ucapnya sambil meletakkan dua gelas minuman di meja. Lalu duduk di kursi kayu tepat di hadapanku.
“Terima kasih, Bu,” jawabku. Kebetulan tenggorokanku memang terasa kering, beruntung sekali, bu Luluk cukup mengerti. Aku meneguk es lemon yang ada di depanku.
Aku menatap amplop itu lekat, lalu membuka segelnya. “Seorang wanita mengantarkan ini beberapa hari yang lalu, ia mencoba menghubungimu, namun tidak bisa,”ujar bu Luluk.
Hatiku berdebar, apalagi melihat tulisan tangan yang tercantum dalam amplop coklat itu. Perlahan aku mengeluarkan selembar kertas yang ada di dalam. Hatiku berdenyut, rasa khawatir tiba-tiba menyergap mengusik isi kepalaku. Apa mungkin Teh Anggi mengetahui semuanya?
“Kenapa Mey? Kamu terlihat gelisah,” tanya bu Luluk.
“Tidak ada apa-apa, Bu. Ini dari Teteh,” jawabku gugup.
Bu Luluk mengangguk, pertanda ia paham dan tidak perlu lagi bertanya lebih banyak. “Memang kamu ke mana saja?” tanya bu Luluk. Beliau jarang sekali di rumah, karena selain kontrakan, bu Luluk juga mengelola restoran peninggalan suaminya.
“Oh ya, kamu tahu. Angel sudah tiada? Kemarin keluarganya mengambil barang-barangnya di sini,” ujar bu Luluk. Mengingatkanku kembali pada sosok Angel, bahkan melihat wajahnya di akhir hayatpun tak ada kesempatan untuk melihatnya terakhir kali.
“Kasian sekali dia Mey, keluarganya sangat terpukul mendengarnya kepergiannya yang tiba-tiba,” ujar bu Luluk. Bukan cuma Angel yang berjuang keras melawan penyakit mengerikan itu tapi juga aku.
Aku dan Angel tertangkap di club, sebenarnya waktu itu sudah ada peringatan untuk tutup, tapi diam-diam Angel dan dua teman lainnya membuka layanan panggilan, yang mana akan bersedia datang ketika ada orderan dari pelanggan. Aku termasuk dalam bagian mereka. Sampai akhirnya ada penggrebekan tiba-tiba dan kami semua tertangkap. Awalnya aku biasa saja selama beberapa hari di sana tak ada tanda-tanda yang menunjukkan pertumbuhan virus itu di tubuhku. Namun aku tak bisa membohongi diriku sendiri bahwa aku takut. Sampai akhirnya, pemeriksaan menyatakan bahwa aku positif dan harus isolasi sementara di rumah sakit.
Beberapan bulan kenal dengan Angel, akhirnya aku baru tahu pekerjaan sampingan yang ia jalani di tengah kesibukannnya sebagai mahasiswa. Sampai sekarang aku enggak habis pikir kenapa aku sampai tergiur dengan kehidupan malam itu. Padahal uang dari kampung yang selalu Teh Anggi kirim untukku itu lebih dari cukup. Belum lagi ada lima puluh persen beasiswa untukku dari kampus.
“Kamu pengen terlihat gaul ‘kan? udah ikut aja. Kamu enggak jual diri juga, cuma nyanyi sama nemenin minum,” bujuk Angel waktu itu.
Aku tak langsung menerimanya. Hingga satu kalimat keluar dari mulut Angel. “Kamu bisa lihat-lihat dulu di sana, kalau tidak suka tidak usah lanjut,” ucapnya. Akhirnya aku tergiur, bermula dari coba-coba, akhirnya aku benar-benar masuk bagian dari mereka. Empat bulan aku melaksanakan kegiatan itu, aku semakin mengenal dunia fashion dari teman-teman seprofesi, hingga beredar sebuah foto dan di ketahui oleh rektor.
Aku memang salah. Tapi haruskah aku di keluarkan begitu saja tanpa harus mendengarkan pembelaan dariku? Meskipun memang satu pembelaan dariku itupun bukan alasan yang mungkin saja bisa di terima. Bukan taubat, aku semakin menjadi, kecewa, tapi aku tidak tahu harus memperbaikinya mulai dari mana.
Aku memutar-mutar ponsel di genggamanku. Sambil berusaha menerawang kata apa yang pantas untuk kukatakan ketika berbicara dengan Teh Anggi. Dari pesan singkat yang ia titipkan pada bu Luluk, sudah pasti Teh Anggi sudah mengetahui semuanya. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa marahnya Teh Anggi. Sembilan belas tahun hidup bersama dengannya, tak pernah ia marah padaku. Selalu saja mengalah dengan sikapku yang suka seenaknya. Namun kesalahanku kali ini beda, bukan hanya menyangkut diriku tapi juga hati abah dan ambu. Membayangkan bagaimana kecewanya mereka saja aku tak mampu. Aku takut hal itu terjadi.Aku mengganti sim card yang sengaja satu bulan ini aku abaikan. Selain untuk menghindar dari abah dan ambu, rasanya sudah tidak ada hubungan penting lagi di nomor itu. Palingan teman-teman kampus yang menanyakan keberadaanku, atau sengaja julid atas gosib tentangku yang beredar di kampus.Setelah sim card terpasang aku instal ke
Aku melempar kaleng minum bekas minumku ke dalam tempat sampah di sudut kamarku. Tempat sampah berbahan plastik itu hampir penuh dengan plastik-plastik bekas snack. Sudah tiga hari kubiarkan menumpuk di sudut ruang. Jika kak Dini melihatnya sudah pasti dia akan mengelus dada. Sebenarnya aku bukan orang sejorok itu. Aku hanya malas saja.Aku masih di tempat tidur dengan selimut yang menggulung di tubuhku. Sambil melihat stand up comedy dari Ytube. Ah, heran aku. Apa coba yang lucu sampai mereka tertawa terpingkal-pingkal seperti itu. Yah, meskipun memang ada sebagian ucapan sarkas mereka yang menggelitik.Ketukan pintu menghentikan aktifitasku. Aku bergegas bangun. Berjalan mendekati pintu kamar kos. “Pagi banget sih, Kak,” rengekku.“Assalamualaikum,” sapanya. Saking tidak bersemangatnya, aku lupa belum mengucapkan salam.“Waalaikum salam,” jawabku.Tak terpikir, kak Dini akan tiba sepagi ini. Dia tak sendi
Aku memijit pelipis yang terasa berdenyut. Sudah beberapa hari menunggu, namun tak ada satupun jawaban dari teman-teman terdekatku tentang lowongan pekerjaan yang aku cari. Jangankan menjawab ada juga yang hanya me-read pesan dariku. Kuletakkan kembali dompet yang hanya tersisa dua lembaran hijau di dalamnya. “Duh, gimana? mana cukup untuk satu bulan ke depan,” gerutunya dalam hati, padahal hilal pekerjaan pun belum juga tampak. Sedangkan uang kiriman dari kampung, ia hendak menggunakannya untuk mendaftar kuliah bulan agustus nanti.“Sepertinya harus benar-benar berhemat, sebelum punya pekerjaan pasti,” ucapku. Sebenarnya bisa saja aku menggunakan uang di rekeningnya. Tapi, bimbang, khawatir saat nanti benar-benar butuh tapi uangnya belum ada.Aku membuka almari plastik yang ada di samping meja belajar. Biasanya aku selalu menyimpan makanan-makanan instan atau snack di sana. Untunglah masih ada beberapa bungkus mie instan yang bisa meng
Aku mengusap peluh yang membahasi kening dengan punggung tanganku. Sudah hampir tengah hari, namun belum juga ada satupun perusahaan yang menerimaku. Apalagi hanya dengan ijazah SMA tanpa embel-embel sertifikat ketrampilan.Aku duduk di samping taman, salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Dan ini adalah perusahaan ke-10 yang aku datangi. Aku meneguk sebotol air mineral yang kubeli dari pedagang keliling saat di halte tadi. Dinginnya air mineral mampu menyiram tenggorokanku yang kering. Sekering harapanku saat ini. Ternyata memang tak mudah hidup jauh dari orang tua.Aku kembali beranjak. Kembali menulusuri trotoar mencoba mencari keberuntungan pada setiap jengkal yang kulalui. Mataku menyapu setiap gedung yang kulalui berharap ada harapan yang bisa kugantungkan di sana. Aku menoleh kearah restoran Jepang di depanku. Dulu tempat ini bisa saja dengan mudah kukunjungi hampir tiap malam. Tapi, sekarang ... Ah, rasanya mustahil. Jangankan untuk duduk sambil makan
Aku duduk di lantai, meluruskan kaki sambil menyandarkan punggung di dinding teras kosku. Seharian penuh keliling kota Jakarta, membuat kaki terasa kaku, belum lagi lecet di kaki karena terhimpit flatshoes yang kupakai tanpa kaus kaki. Meskipun begitu, belum juga ada hasil yang memuaskan. Rasanya aku hampir putus asa. Apa benar kata Chris? Apa mungkin aku harus kembali ke sana? Seklebat pemikiran itu muncul kembali di pikiranku, membuatku mengingat kembali betapa berjayanya aku kala itu. Uang cukup, apapun yang kuinginkan terpenuhi, dan semua kulakukan tanpa embel-embel orang tua. Suatu hal yang menurutku sebuah prestasi membanggakan waktu itu. Karena buktinya aku tetap bisa hidup mandiri tanpa uang orang tuaku.“Mey, baru pulang?” Aku mendongak. Menatap sosok Silvi yang sudah berdiri di hadapanku. Dilihat dari penampilannya, gadis itu baru saja pulang dari majlisan. Terbukti ada dua kotak nasi di tangannya. Silvi sering mengikuti majlis
Entah kenapa netraku tak bisa berhenti membidik sosok jangkung di hadapanku. Wajahnya begitu tenang menatap buku ditangannya. Ia terlihat asyik bergumul dengan dunia yang ia ciptakan sendiri. tak peduli betapa riuhnya jalanan yang ia lalui.Laki-laki itu tiba-tiba menutup bukunya. Membuatku terkejut karena tiba-tiba dia menegakkan kepalanya. Pandangan kami bertemu sesaat. Aku yang gugup buru-buru membuang muka ke arah lain. Bisa memalukan kalau sampai dia menyadarinya.“Rumah sakit kiri, Bang,” seru laki-laki itu.Aku mengembuskan napas kasar. Ada rasa kesal juga lega yang datang bersamaan. Duh, kenapa lagi sih kamu, Mey?“Permisi,” ucapnya ketika melewatiku yang duduk tepat di samping pintu angkot.“Eh, iya,” jawabku gugup.Laki-laki itu turun. Lalu, menyerahkan beberapa lembar uang pada supit angkot. “Mungkin dia kerja di sini,” batinku. Angkot biru muda yang aku tumpangi pun melaju kem
“Terima kasih. Tidak akan.”Aku beranjak dari kursi, lalu menarik amplop yang sudah kuletakkan di meja. Sial! Belum sampai kakiku menyentuh bibir pintu aku dikejutkan dengan reaksi laki-laki itu yang tiba-tiba menarik lenganku dan mendorong pintu dengan begitu keras.“Lepaskan!” teriakku. Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang membuat lenganku terasa panas.“Kamu pikir bisa dengan mudah keluar dari sini? Kamu harus membayar apa yang telah kamu lakukan, Mey,” seringainya membuatku semakin merindung.“Tanggung jawab? Sepertinya Anda butuh bantuan untuk mengingat kembali apa yang telah Anda lakukan,” jawabku. Aku meringis kesakitan, tapi laki-laki di hadapanku seakan buta dan tak mau tahu rintihanku.Laki-laki itu kembali tersenyum sinis. Sambil memperlihatkan gigi-giginya yang berjajar rapi. “Siapa kamu beraninya berkata seperti itu?” kini tangan yang semula menahan pintu beralih me
Hallo Fellas... Terima kasih banyak sudah menemani terbitnya karya ini dari bab pertama sampai sekarang. Kehadiran kalian adalah semangat untukku. Jangan sungkan untuk memberikan kritik dan sarannya ya, Dear... aku akan senang banget jika ada yang berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan sarannya pada beberapa bab yang sudah terpublish pada karyaku ini. Jika menemukan kesalahan penulisan dan lainnya, silakan tandai langsung saja di sana. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan jika berkenan bintang limanya juga. hhhe nglunjak banget ya. Oh ya, jika ingin review balik bisa kok. Biar bisa tumbuh sama-sama. Sekali lagi terima kasih. Salam kenal dariku gadis imut suka halu yang ingin sukses.
Hari kian menua. Berulang kali aku melihat jam tua yang terpampang di dinding. Namun, tak ada tanda-tanda bagi segera datang. Ingin rasanya aku terpejam beberapa saat tapi pikiranku melayang entah kemana. Bayangan pesan singkat juga foto yang masuk dalam ponselku siang tadi sukses mengusik pikiranku. Kenapa harus datang lagi? Aku benar-benar ingin bertaubat. Tak ingin berurusan dengan dunia malam itu lagi.Kesal tak kunjung bisa terlelap, aku memutuskan untuk keluar kamar berbekal senter ponsel. Sengaja aku tidak menghidupkan lampu karena masih terlalu larut untuk bangun. Aku menunju dapur yang berada di lantai satu belakang ruang tamu. Bingung tidak ada yang bisa kukerjakan, aku memutuskan untuk membuat secangkir teh untuk menghangatkan tubuh.“Kenapa aku harus khawatir? Ini masa lalu, kan? Semua orang punya kesempatan untuk berubah kan?” ucapku lirih. Mencoba mengusir kerisauan yang merasuk isi kepala.Dalam keheningan, sayup-sayup terdengar gemerincing
"Bagus, kamu jago juga merangkai bunga," puji Bu Wini setelah perdebatan panjang pagi ini. Satu vas dengan rangkaian bunga segar sudah tertata indah dan siap untuk mengisi ruang. Kini mereka melanjutkan vas berikutnya. Selain hobi mengoleksi lukisan, bu Wini juga menyukai bunga. Tiga minggu sekali biasanya ada kurir yang mengantar bunga untuk bu Wini. Wanita itu juga hobi berkebun. Memanfaatkan sebagian kecil pekarangan rumah untuk menanam berbagai macam jenis bunga. "Terima kasih, Bu." Satu minggu kami selalu menghabiskan waktu bersama, membuatku bisa melihat sisi hangat bu Wini. Ternyata bu Wini tak segalak yang kubayangkan waktu pertama kali bertemu. Bu Wini yang awalnya begitu menutup diri dari jangkauanku, perlahan menunjukkan kepedulian terhadapku. "Kapan mulai kuliah?" tanya Bu Wini. "Mulai minggu depan, Bu." Ekor mataku menangkap anggukan kepala Bu Wini. Tangannya masih terampil menata bunga di vas yang lain. Sedang matanya fokus dengan
"Oh ya, Mas. Soal pengasuh buat ibu, alhadulillah sudah dapet." Anita mengambil jas dan tas dari tangan laki-laki di depannya yang baru memasuki rumah dengan koper di tangan kirinya."Oh, baguslah. Terima kasih ya," jawab laki-laki itu."Iya, sama-sama. Sudah seharusnya, Pa.""Icha sudah tidur?""Sudah. Dia keliatannya seneng banget dengan pengasuhnya ibu. Dari sore tadi sejak dia datang, Icha main di rumah ibu.""Oh, ya? Tumben, biasanya Icha kan enggak mudah akrab sama sembarang orang," ujar Erik. Ia sedikit heran."Iya, itu. Anaknya menyenangkan kelihatannya. Semoga saja ibu cocok sama dia."Erik mwnganggukkan kepala. "Amin, oh ya anak Papa satu ini rewel tidak?" Erik beralih menatap istrinya. Dieluanya perut Anita yang sudah membuncit."Enggak, Pa. Dede cuma lagi kangen sama Papa. Papa kapan punya waktu buat kita?" ucap Anita dengan menirukan suara anak kecil.Erik masih mengelus perut Anita. Ia membungkukkan tubuhnya, hingga wa
“Ibu juga minta maaf, selama kamu tinggal di sini baik perkataan ataupun perbuatan ibu sengaja atau itu menyakiti perasaanmu. Ibu doakan semoga harapanmu tercapai ya,” ucap Bu Luluk saat aku berpamitan dengannya.“Sama-sama, Bu. Saya yang terima kasih, Ibu sudah bersedia menampung Mey selama ini. Saya permisi dulu. Ini kuncinya.” Aku menyerahkan kunci kamar pada Bu Luluk. Setelah itu aku pergi meninggalkan rumah lantai dua yang terletak di samping kos yang aku tempati.Langkahku terhenti begitu sampai di samping pagar. Aku membalikkan badan, menatap kembali bangunan bercat abu-abu yang sudah menjadi rumah bagiku selama lebih dari satu tahun ini. Meskipun singkat, tapi di sinilah aku belajar tentang hidup. Bahwa hidup tak hanya berpusat dengan duniaku. Bukan hanya aku yang menderita selama ini, bukan hanya aku yang merasa terikat selama ini. Semua orang punya beban hidup yang berbeda-beda. Dan di sini aku melihat banyak orang de
“Hai...” sapaku sambil melambaikan tangan. Gadis kecil itu tak membalas. Ia mendongak ke arah Mbak Nelly.“Icha... ini Mbak Mey temannya Mbak,” ucap Mbak Nelly lembut. Gadis itu beralih menatapku lalu melambaikan tangan. “Hallo, Mbak... Aku Icha.”“Cha... sudah dibilangin, kalau habis main diberesin.” Suara wanita terdengar nyaring terdengar. Aku dan Mbak Nelly menoleh ke arah sumber suara, melihat seorang wanita di balik dinding pembatas menenteng keranjang plastik sambil memunguti mainan yang berceceran. Wanita itu belum menyadari kedatangan kami.Mbak Nelly menunduk menatap gadis mungil yang berdiri di depannya. “Kak Icha nakal ya?” Mbak Nelly berbisik. Gadis itu meletakkan telunjuk di depan bibir mungilnya. Memberi isyarat agar lawan bicaranya diam.“Sana bantuin Mama, kasian adik bayi di perut, lho.” Icha menekuk wajah, ia berbalik meninggalkan tempatnya berdiri. Aku dan Mb
Kemeja berlengan panjang berpadu dengan rok plisket di bawah lutut membalut tubuh rampingku. Aku mengoleskan sedikit make-up untuk menjaga penampilanku agar tampak fresh. Sesuai kesepakatan, mbak Nelly akan mengajakku ke rumah majikannya itu. Makanya, aku ingin memberikan kesan terbaik agar bisa diterima nanti. Setelah memastikan penampilanku, aku beranjak dari depan cermin. Mengambil tas slempang di rak tas, kemudian sepatu flat warna putih, senada dengan rok yang kupakai.“Pagi sekali, Mey?” tanya seorang perempuan dari arah belakangku ketika aku mengunci pintu kamar kos. Terlihat bu Luluk mendekat dengan menenteng kranjang belanja di tangannya.“Iya, Bu. Mau interview kerja,” jawabku membuat hatiku tergelitik. Terlihat keren membayangkan kata interview, yah- walaupun cuma interview jadi pembantu.Bu Luluk mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar jawabanku yang terlihat keren itu. “Sukses ya. Semoga dit
“Ngelamun terus Mbaknya,” ucap tukang es cendol. “Enggak kok,” jawabku. Penjual es yang masih terlihat muda itu merapikan gelas-gelas yang sudah di rapikan dalam gerobak setelah mencuci dan mengelapnya bersih. Rasanya ia memperhatikanku sedari tadi. Nemun, ia membuang muka saat sesekali pandangan mata kami bertemu. “Mbak, sedang cari kerja?” Aku meneguk cairan es yang ada di tenggorokanku sebelum menjawab pertanyaannya. “Iya, Bang, Tapi bekum dapat juga, efek pandemi mungkin ya.” Laki-laki mengangguk-angguk mendengarkan penjelasanku. Terlihat ia telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan menghampiriku, lalu mengambil kursi plastik dan duduk di dekatku. “Cari kerjaan memang susah, Mbak. Ini saja usaha kecil-kecilan saya ikut dapat imbas dari pandemi.” Laki-laki itu mengibas-kibaskan handuk yang tersampir di lehernya untuk mengusir hawa panas yang melingkupi udara di sekitarnya. “Saya ada info lowongan kerja sih, Mbak. Tapi, apa Mbaknya
Hallo Fellas... Terima kasih banyak sudah menemani terbitnya karya ini dari bab pertama sampai sekarang. Kehadiran kalian adalah semangat untukku. Jangan sungkan untuk memberikan kritik dan sarannya ya, Dear... aku akan senang banget jika ada yang berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan sarannya pada beberapa bab yang sudah terpublish pada karyaku ini. Jika menemukan kesalahan penulisan dan lainnya, silakan tandai langsung saja di sana. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan jika berkenan bintang limanya juga. hhhe nglunjak banget ya. Oh ya, jika ingin review balik bisa kok. Biar bisa tumbuh sama-sama. Sekali lagi terima kasih. Salam kenal dariku gadis imut suka halu yang ingin sukses.
“Terima kasih. Tidak akan.”Aku beranjak dari kursi, lalu menarik amplop yang sudah kuletakkan di meja. Sial! Belum sampai kakiku menyentuh bibir pintu aku dikejutkan dengan reaksi laki-laki itu yang tiba-tiba menarik lenganku dan mendorong pintu dengan begitu keras.“Lepaskan!” teriakku. Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang membuat lenganku terasa panas.“Kamu pikir bisa dengan mudah keluar dari sini? Kamu harus membayar apa yang telah kamu lakukan, Mey,” seringainya membuatku semakin merindung.“Tanggung jawab? Sepertinya Anda butuh bantuan untuk mengingat kembali apa yang telah Anda lakukan,” jawabku. Aku meringis kesakitan, tapi laki-laki di hadapanku seakan buta dan tak mau tahu rintihanku.Laki-laki itu kembali tersenyum sinis. Sambil memperlihatkan gigi-giginya yang berjajar rapi. “Siapa kamu beraninya berkata seperti itu?” kini tangan yang semula menahan pintu beralih me