Aku melempar kaleng minum bekas minumku ke dalam tempat sampah di sudut kamarku. Tempat sampah berbahan plastik itu hampir penuh dengan plastik-plastik bekas snack. Sudah tiga hari kubiarkan menumpuk di sudut ruang. Jika kak Dini melihatnya sudah pasti dia akan mengelus dada. Sebenarnya aku bukan orang sejorok itu. Aku hanya malas saja.
Aku masih di tempat tidur dengan selimut yang menggulung di tubuhku. Sambil melihat stand up comedy dari Ytube. Ah, heran aku. Apa coba yang lucu sampai mereka tertawa terpingkal-pingkal seperti itu. Yah, meskipun memang ada sebagian ucapan sarkas mereka yang menggelitik.
Ketukan pintu menghentikan aktifitasku. Aku bergegas bangun. Berjalan mendekati pintu kamar kos. “Pagi banget sih, Kak,” rengekku.
“Assalamualaikum,” sapanya. Saking tidak bersemangatnya, aku lupa belum mengucapkan salam.
“Waalaikum salam,” jawabku.
Tak terpikir, kak Dini akan tiba sepagi ini. Dia tak sendiri, laki-laki muda yang seumuran dengannya berdiri di belakangnya. Ia mengedarkan pandangannya di sekitar kos.
“Ayo masuk dulu.” Habislah, aku belum membersihkan sisa-sisa kebobrokanku yang berserakan. ‘Kenapa Kak Dini tidak bilang sih kalau datangnya sepagi ini. Sama temannya lagi,” gerutuku dalam hati. Untung saja aku sudah mandi subuh tadi, sekalian bersuci setelah tamu bulananku pergi.
“Ya Allah, Mey... Ngapain aja sih seminggu.” Mulai kan Teh Anggi KW dua mulai berkomentar. Aku nyengir kuda mendengar keluhannya. Ia langsung duduk di karpet. Sedangkan aku buru-buru memunguti sampai yang berceceran dan mengikat plastik yang membungkus tempat sampah lalu membuangnya ke luar.
“Maaf ya, Kak. Aku sibuk banget akhir-akhir ini,” elakku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal.
“Alah, alesan,” sarkas kak Dini. Aku menggerutu dalam hati, tak bisakah membuatku terlihat baik sebentar saja di depan temannya. Tapi, ya sudahlah memang apa yang aku harapkan.
“Ya sudah, Din. Cepet yuk!” ujar laki-laki di sampingnya. Aku menatap wajah ganteng itu, kulit kuning langsat, hidungnya yang tinggi, sorot matanya yang teduh, serta alis tebal yang hampir menyatu. Satu kata untuknya ‘sempurna’. Arkan Suryanto- nama yang tertera pada name tag yang menggantung di lehernya.
“Iya, Ar...” jawab Kak Dini lembut. Aku mendengus, kenapa dua hamba Tuhan ini terlihat cocok sekali, membuat rasa iri menelusup hatiku.
“Buru-buru?” tanyaku.
“Iya, aku ada tugas lain. Ini aku mampir sini dulu,” jawab kak Dini. Tetap dengan nada lembutnya.
Aku duduk di ranjang. Lalu, mendengakkan kepala. Kemudian kak Dini berdiri di depanku. ia memasukkan alat berbentuk cutton bud dengan tangkai yang panjang ke dalam hidung, disapukann dan diputar hingga bagian dalam beberapa detik. Setelah mendapatkan apa yang ia inginkan, ia memasukkan cutton bud itu ke dalam wadah yang sudah disiapkan oleh Arkan.
“Semoga hasilnya negatif, ya,” ujar kak Dini yang aku aminkan.
Setelah selesai menjalankan tes, kak Dini pamit. Aku mengantarkan mereka sampai di depan pintu utama. Menunggunya hingga mobil sedan yang mereka kendarai melesat dari halaman kos.
Aku kembali ke kamar. Langkahku terhenti di depan pintu kamarku, pandanganku tertuju pada kantong plastik merah yang teronggok di lantai. Itu sampah dari kamarku tadi, sebelum bu Luluk datang, aku bertundak lebih dulu. Aku mengambilnya, lalu membawanya ke halaman samping. Tempat pembuangan sampah terakhir. Di sana sampah akan dipisahkan antara sampah organik dan anorganik.
Setelah semua beres, aku membersihkan diri. Mandi, kemudian melaksanakan sholat asyar. Aku memang bukan seorang muslimah yang taat. Bahkan aku pernah melakukan kesalahan yang fatal. Namun aku tahu kewajibanku sebagai muslimah walaupun memang masih setengah-setengah.
****
Jam di atas meja menunjukkan pukul 09.00 malam. Karena ini akhir pekan, kos-kosan nampak sepi. Aku di dalam kamar seorang diri duduk di samping jendela menikmati embusan angin yang menerebos dari celah jendela kaca yang ku buka sedikit. Tempat ini menjadi tempat favoritku selama beberapa hari ini. Duduk santai menatap pekatnya langit yang bertabur bintang atau baca novel, begitulah aktifitasku sebelum tidur.
Dering ponsel membuyarkan konsentrasiku saat membaca novel online dari salah satu penulis famous indonesia melalui aplikasi oranye. Sebenarnya aku lebih suka baca buku fisik dari pada online, namun budget yang terbatas jadilah aku menghabiskan waktuku untuk baca novel online. Toh, banyak juga karya mereka yang berkualiatas.
Aku menggeser lencana biru yang bergerak-gerak dari tadi. “Assalamualaikum...” kupasang senyum termanis yang aku miliki begitu dua orang yang aku sayangi terlihat di layar ponsel.
“Waalaikum salam, Neng... Apa kabar sehat?” tanya ambu antusias. Sedang pria di sampingnya hanya diam dengan lengkungan tipis berbentuk bulan sabit di bibirnya.
Akupun membalas senyuman itu. Rasa bahagia yang membuncah tak mampu aku gambarkan. Dua pahlawan yang aku rindukan kini bisa kutatap senyumnya walau hanya lewat video. “Alhamdulillah, Neng baik-baik saja di sini Ambu, Abah. Abah dan Ambu sehat ‘kan?” tanyaku.
“Alhamdulillah, kami semua sehat.” Melihat senyumnya tak ada yang berbeda. Mungkin Teh Anggi benar-benar tak membocorkannya Aku harus berterima kasih banyak pada Teh Anggi nanti.
“Kuliahnya gimana, Neng?” Hatiku berdetak tak berirama dengan tiba-tiba. Bagaimana aku harus menjelaskannya. Aku berusaha tersenyum, tak ingin menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.
“Neng, lancar ’kan?” tanya Ambu mengulangi pertanyaannya lagi, karena aku yang masih terdiam.
“Alhamudlillah, Ambu-Abah, semua lancar,” dustaku. Tak apa kali ini aku harus berbohong, tapi aku berjanji, suatu hari nanti aku pasti bisa memberi yang terbaik yang untuk mereka.
“Alhamdulillah, kami di sini khawatir, Neng. Apalagi setelah dengar berita yang menakutkan seperti itu. Di kampung saja sepi. Kemarin pasar sempat di tutup juga untuk dilakukn penyemprotan.” Aku tersenyum melihat bibir mungil ambu yang bercerita penuh antusias, sosok panutanku yang menjadi madrasah pertama bagiku.
“Neng, kemana saja baru bisa di hubungi?” tanya abah. Aku melihat ambu menyenggol lengan abah berkali-kali.
Abah menoleh ke arah ambu. Tak mengerti dengan kode yang ambu berikan. Memang dasar abah terlalu kaku, namun ia begitu tanggung jawab dan mengayomi kami sekeluarga.
“Kita harus tahu, Dia anak perempuan kita, lho,” ujar Abah.
Ambu hanya mengiyakan alasan abah. Tak ingin berdebat terlalu lama.
“Maaf Ambu, Abah. Sudah membuat kalian khawatir. Neng di rawat di rumah sakit. Tapi, alhamdulillah. Sekarang sudah membaik. Neng sudah bisa pulang ke kos,” ucapku meyakinkan mereka agar tak khawatir.
“Ya-Allah, Neng,,, kenapa tidak bilang?” ujar ambu lirih sekali. Aku bisa menebak, hatinya terluka saat ini karena perbuatanku.
“Bener,, Neng sudah baik-baik saja. Jangan khawatir ya, doakan saja Neng dari rumah,” jawabku.
Kami bercerita cukup banyak. Mengurai tabungan rindu yang begitu menggunung. Kami mengakhiri panggilan sampai hampir tengah malam. Karena ambu yang baru sembuh dari sakit harus segera istirahat. Ternyata ikatan batinku dan ambu begitu kuat, hingga saat aku terpurukpun abah dan ambu bisa merasakannya, Maafkan aku ambu – abah bisikku dalam diam.
Aku memijit pelipis yang terasa berdenyut. Sudah beberapa hari menunggu, namun tak ada satupun jawaban dari teman-teman terdekatku tentang lowongan pekerjaan yang aku cari. Jangankan menjawab ada juga yang hanya me-read pesan dariku. Kuletakkan kembali dompet yang hanya tersisa dua lembaran hijau di dalamnya. “Duh, gimana? mana cukup untuk satu bulan ke depan,” gerutunya dalam hati, padahal hilal pekerjaan pun belum juga tampak. Sedangkan uang kiriman dari kampung, ia hendak menggunakannya untuk mendaftar kuliah bulan agustus nanti.“Sepertinya harus benar-benar berhemat, sebelum punya pekerjaan pasti,” ucapku. Sebenarnya bisa saja aku menggunakan uang di rekeningnya. Tapi, bimbang, khawatir saat nanti benar-benar butuh tapi uangnya belum ada.Aku membuka almari plastik yang ada di samping meja belajar. Biasanya aku selalu menyimpan makanan-makanan instan atau snack di sana. Untunglah masih ada beberapa bungkus mie instan yang bisa meng
Aku mengusap peluh yang membahasi kening dengan punggung tanganku. Sudah hampir tengah hari, namun belum juga ada satupun perusahaan yang menerimaku. Apalagi hanya dengan ijazah SMA tanpa embel-embel sertifikat ketrampilan.Aku duduk di samping taman, salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Dan ini adalah perusahaan ke-10 yang aku datangi. Aku meneguk sebotol air mineral yang kubeli dari pedagang keliling saat di halte tadi. Dinginnya air mineral mampu menyiram tenggorokanku yang kering. Sekering harapanku saat ini. Ternyata memang tak mudah hidup jauh dari orang tua.Aku kembali beranjak. Kembali menulusuri trotoar mencoba mencari keberuntungan pada setiap jengkal yang kulalui. Mataku menyapu setiap gedung yang kulalui berharap ada harapan yang bisa kugantungkan di sana. Aku menoleh kearah restoran Jepang di depanku. Dulu tempat ini bisa saja dengan mudah kukunjungi hampir tiap malam. Tapi, sekarang ... Ah, rasanya mustahil. Jangankan untuk duduk sambil makan
Aku duduk di lantai, meluruskan kaki sambil menyandarkan punggung di dinding teras kosku. Seharian penuh keliling kota Jakarta, membuat kaki terasa kaku, belum lagi lecet di kaki karena terhimpit flatshoes yang kupakai tanpa kaus kaki. Meskipun begitu, belum juga ada hasil yang memuaskan. Rasanya aku hampir putus asa. Apa benar kata Chris? Apa mungkin aku harus kembali ke sana? Seklebat pemikiran itu muncul kembali di pikiranku, membuatku mengingat kembali betapa berjayanya aku kala itu. Uang cukup, apapun yang kuinginkan terpenuhi, dan semua kulakukan tanpa embel-embel orang tua. Suatu hal yang menurutku sebuah prestasi membanggakan waktu itu. Karena buktinya aku tetap bisa hidup mandiri tanpa uang orang tuaku.“Mey, baru pulang?” Aku mendongak. Menatap sosok Silvi yang sudah berdiri di hadapanku. Dilihat dari penampilannya, gadis itu baru saja pulang dari majlisan. Terbukti ada dua kotak nasi di tangannya. Silvi sering mengikuti majlis
Entah kenapa netraku tak bisa berhenti membidik sosok jangkung di hadapanku. Wajahnya begitu tenang menatap buku ditangannya. Ia terlihat asyik bergumul dengan dunia yang ia ciptakan sendiri. tak peduli betapa riuhnya jalanan yang ia lalui.Laki-laki itu tiba-tiba menutup bukunya. Membuatku terkejut karena tiba-tiba dia menegakkan kepalanya. Pandangan kami bertemu sesaat. Aku yang gugup buru-buru membuang muka ke arah lain. Bisa memalukan kalau sampai dia menyadarinya.“Rumah sakit kiri, Bang,” seru laki-laki itu.Aku mengembuskan napas kasar. Ada rasa kesal juga lega yang datang bersamaan. Duh, kenapa lagi sih kamu, Mey?“Permisi,” ucapnya ketika melewatiku yang duduk tepat di samping pintu angkot.“Eh, iya,” jawabku gugup.Laki-laki itu turun. Lalu, menyerahkan beberapa lembar uang pada supit angkot. “Mungkin dia kerja di sini,” batinku. Angkot biru muda yang aku tumpangi pun melaju kem
“Terima kasih. Tidak akan.”Aku beranjak dari kursi, lalu menarik amplop yang sudah kuletakkan di meja. Sial! Belum sampai kakiku menyentuh bibir pintu aku dikejutkan dengan reaksi laki-laki itu yang tiba-tiba menarik lenganku dan mendorong pintu dengan begitu keras.“Lepaskan!” teriakku. Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang membuat lenganku terasa panas.“Kamu pikir bisa dengan mudah keluar dari sini? Kamu harus membayar apa yang telah kamu lakukan, Mey,” seringainya membuatku semakin merindung.“Tanggung jawab? Sepertinya Anda butuh bantuan untuk mengingat kembali apa yang telah Anda lakukan,” jawabku. Aku meringis kesakitan, tapi laki-laki di hadapanku seakan buta dan tak mau tahu rintihanku.Laki-laki itu kembali tersenyum sinis. Sambil memperlihatkan gigi-giginya yang berjajar rapi. “Siapa kamu beraninya berkata seperti itu?” kini tangan yang semula menahan pintu beralih me
Hallo Fellas... Terima kasih banyak sudah menemani terbitnya karya ini dari bab pertama sampai sekarang. Kehadiran kalian adalah semangat untukku. Jangan sungkan untuk memberikan kritik dan sarannya ya, Dear... aku akan senang banget jika ada yang berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan sarannya pada beberapa bab yang sudah terpublish pada karyaku ini. Jika menemukan kesalahan penulisan dan lainnya, silakan tandai langsung saja di sana. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan jika berkenan bintang limanya juga. hhhe nglunjak banget ya. Oh ya, jika ingin review balik bisa kok. Biar bisa tumbuh sama-sama. Sekali lagi terima kasih. Salam kenal dariku gadis imut suka halu yang ingin sukses.
“Ngelamun terus Mbaknya,” ucap tukang es cendol. “Enggak kok,” jawabku. Penjual es yang masih terlihat muda itu merapikan gelas-gelas yang sudah di rapikan dalam gerobak setelah mencuci dan mengelapnya bersih. Rasanya ia memperhatikanku sedari tadi. Nemun, ia membuang muka saat sesekali pandangan mata kami bertemu. “Mbak, sedang cari kerja?” Aku meneguk cairan es yang ada di tenggorokanku sebelum menjawab pertanyaannya. “Iya, Bang, Tapi bekum dapat juga, efek pandemi mungkin ya.” Laki-laki mengangguk-angguk mendengarkan penjelasanku. Terlihat ia telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan menghampiriku, lalu mengambil kursi plastik dan duduk di dekatku. “Cari kerjaan memang susah, Mbak. Ini saja usaha kecil-kecilan saya ikut dapat imbas dari pandemi.” Laki-laki itu mengibas-kibaskan handuk yang tersampir di lehernya untuk mengusir hawa panas yang melingkupi udara di sekitarnya. “Saya ada info lowongan kerja sih, Mbak. Tapi, apa Mbaknya
Kemeja berlengan panjang berpadu dengan rok plisket di bawah lutut membalut tubuh rampingku. Aku mengoleskan sedikit make-up untuk menjaga penampilanku agar tampak fresh. Sesuai kesepakatan, mbak Nelly akan mengajakku ke rumah majikannya itu. Makanya, aku ingin memberikan kesan terbaik agar bisa diterima nanti. Setelah memastikan penampilanku, aku beranjak dari depan cermin. Mengambil tas slempang di rak tas, kemudian sepatu flat warna putih, senada dengan rok yang kupakai.“Pagi sekali, Mey?” tanya seorang perempuan dari arah belakangku ketika aku mengunci pintu kamar kos. Terlihat bu Luluk mendekat dengan menenteng kranjang belanja di tangannya.“Iya, Bu. Mau interview kerja,” jawabku membuat hatiku tergelitik. Terlihat keren membayangkan kata interview, yah- walaupun cuma interview jadi pembantu.Bu Luluk mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar jawabanku yang terlihat keren itu. “Sukses ya. Semoga dit
Hari kian menua. Berulang kali aku melihat jam tua yang terpampang di dinding. Namun, tak ada tanda-tanda bagi segera datang. Ingin rasanya aku terpejam beberapa saat tapi pikiranku melayang entah kemana. Bayangan pesan singkat juga foto yang masuk dalam ponselku siang tadi sukses mengusik pikiranku. Kenapa harus datang lagi? Aku benar-benar ingin bertaubat. Tak ingin berurusan dengan dunia malam itu lagi.Kesal tak kunjung bisa terlelap, aku memutuskan untuk keluar kamar berbekal senter ponsel. Sengaja aku tidak menghidupkan lampu karena masih terlalu larut untuk bangun. Aku menunju dapur yang berada di lantai satu belakang ruang tamu. Bingung tidak ada yang bisa kukerjakan, aku memutuskan untuk membuat secangkir teh untuk menghangatkan tubuh.“Kenapa aku harus khawatir? Ini masa lalu, kan? Semua orang punya kesempatan untuk berubah kan?” ucapku lirih. Mencoba mengusir kerisauan yang merasuk isi kepala.Dalam keheningan, sayup-sayup terdengar gemerincing
"Bagus, kamu jago juga merangkai bunga," puji Bu Wini setelah perdebatan panjang pagi ini. Satu vas dengan rangkaian bunga segar sudah tertata indah dan siap untuk mengisi ruang. Kini mereka melanjutkan vas berikutnya. Selain hobi mengoleksi lukisan, bu Wini juga menyukai bunga. Tiga minggu sekali biasanya ada kurir yang mengantar bunga untuk bu Wini. Wanita itu juga hobi berkebun. Memanfaatkan sebagian kecil pekarangan rumah untuk menanam berbagai macam jenis bunga. "Terima kasih, Bu." Satu minggu kami selalu menghabiskan waktu bersama, membuatku bisa melihat sisi hangat bu Wini. Ternyata bu Wini tak segalak yang kubayangkan waktu pertama kali bertemu. Bu Wini yang awalnya begitu menutup diri dari jangkauanku, perlahan menunjukkan kepedulian terhadapku. "Kapan mulai kuliah?" tanya Bu Wini. "Mulai minggu depan, Bu." Ekor mataku menangkap anggukan kepala Bu Wini. Tangannya masih terampil menata bunga di vas yang lain. Sedang matanya fokus dengan
"Oh ya, Mas. Soal pengasuh buat ibu, alhadulillah sudah dapet." Anita mengambil jas dan tas dari tangan laki-laki di depannya yang baru memasuki rumah dengan koper di tangan kirinya."Oh, baguslah. Terima kasih ya," jawab laki-laki itu."Iya, sama-sama. Sudah seharusnya, Pa.""Icha sudah tidur?""Sudah. Dia keliatannya seneng banget dengan pengasuhnya ibu. Dari sore tadi sejak dia datang, Icha main di rumah ibu.""Oh, ya? Tumben, biasanya Icha kan enggak mudah akrab sama sembarang orang," ujar Erik. Ia sedikit heran."Iya, itu. Anaknya menyenangkan kelihatannya. Semoga saja ibu cocok sama dia."Erik mwnganggukkan kepala. "Amin, oh ya anak Papa satu ini rewel tidak?" Erik beralih menatap istrinya. Dieluanya perut Anita yang sudah membuncit."Enggak, Pa. Dede cuma lagi kangen sama Papa. Papa kapan punya waktu buat kita?" ucap Anita dengan menirukan suara anak kecil.Erik masih mengelus perut Anita. Ia membungkukkan tubuhnya, hingga wa
“Ibu juga minta maaf, selama kamu tinggal di sini baik perkataan ataupun perbuatan ibu sengaja atau itu menyakiti perasaanmu. Ibu doakan semoga harapanmu tercapai ya,” ucap Bu Luluk saat aku berpamitan dengannya.“Sama-sama, Bu. Saya yang terima kasih, Ibu sudah bersedia menampung Mey selama ini. Saya permisi dulu. Ini kuncinya.” Aku menyerahkan kunci kamar pada Bu Luluk. Setelah itu aku pergi meninggalkan rumah lantai dua yang terletak di samping kos yang aku tempati.Langkahku terhenti begitu sampai di samping pagar. Aku membalikkan badan, menatap kembali bangunan bercat abu-abu yang sudah menjadi rumah bagiku selama lebih dari satu tahun ini. Meskipun singkat, tapi di sinilah aku belajar tentang hidup. Bahwa hidup tak hanya berpusat dengan duniaku. Bukan hanya aku yang menderita selama ini, bukan hanya aku yang merasa terikat selama ini. Semua orang punya beban hidup yang berbeda-beda. Dan di sini aku melihat banyak orang de
“Hai...” sapaku sambil melambaikan tangan. Gadis kecil itu tak membalas. Ia mendongak ke arah Mbak Nelly.“Icha... ini Mbak Mey temannya Mbak,” ucap Mbak Nelly lembut. Gadis itu beralih menatapku lalu melambaikan tangan. “Hallo, Mbak... Aku Icha.”“Cha... sudah dibilangin, kalau habis main diberesin.” Suara wanita terdengar nyaring terdengar. Aku dan Mbak Nelly menoleh ke arah sumber suara, melihat seorang wanita di balik dinding pembatas menenteng keranjang plastik sambil memunguti mainan yang berceceran. Wanita itu belum menyadari kedatangan kami.Mbak Nelly menunduk menatap gadis mungil yang berdiri di depannya. “Kak Icha nakal ya?” Mbak Nelly berbisik. Gadis itu meletakkan telunjuk di depan bibir mungilnya. Memberi isyarat agar lawan bicaranya diam.“Sana bantuin Mama, kasian adik bayi di perut, lho.” Icha menekuk wajah, ia berbalik meninggalkan tempatnya berdiri. Aku dan Mb
Kemeja berlengan panjang berpadu dengan rok plisket di bawah lutut membalut tubuh rampingku. Aku mengoleskan sedikit make-up untuk menjaga penampilanku agar tampak fresh. Sesuai kesepakatan, mbak Nelly akan mengajakku ke rumah majikannya itu. Makanya, aku ingin memberikan kesan terbaik agar bisa diterima nanti. Setelah memastikan penampilanku, aku beranjak dari depan cermin. Mengambil tas slempang di rak tas, kemudian sepatu flat warna putih, senada dengan rok yang kupakai.“Pagi sekali, Mey?” tanya seorang perempuan dari arah belakangku ketika aku mengunci pintu kamar kos. Terlihat bu Luluk mendekat dengan menenteng kranjang belanja di tangannya.“Iya, Bu. Mau interview kerja,” jawabku membuat hatiku tergelitik. Terlihat keren membayangkan kata interview, yah- walaupun cuma interview jadi pembantu.Bu Luluk mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar jawabanku yang terlihat keren itu. “Sukses ya. Semoga dit
“Ngelamun terus Mbaknya,” ucap tukang es cendol. “Enggak kok,” jawabku. Penjual es yang masih terlihat muda itu merapikan gelas-gelas yang sudah di rapikan dalam gerobak setelah mencuci dan mengelapnya bersih. Rasanya ia memperhatikanku sedari tadi. Nemun, ia membuang muka saat sesekali pandangan mata kami bertemu. “Mbak, sedang cari kerja?” Aku meneguk cairan es yang ada di tenggorokanku sebelum menjawab pertanyaannya. “Iya, Bang, Tapi bekum dapat juga, efek pandemi mungkin ya.” Laki-laki mengangguk-angguk mendengarkan penjelasanku. Terlihat ia telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan menghampiriku, lalu mengambil kursi plastik dan duduk di dekatku. “Cari kerjaan memang susah, Mbak. Ini saja usaha kecil-kecilan saya ikut dapat imbas dari pandemi.” Laki-laki itu mengibas-kibaskan handuk yang tersampir di lehernya untuk mengusir hawa panas yang melingkupi udara di sekitarnya. “Saya ada info lowongan kerja sih, Mbak. Tapi, apa Mbaknya
Hallo Fellas... Terima kasih banyak sudah menemani terbitnya karya ini dari bab pertama sampai sekarang. Kehadiran kalian adalah semangat untukku. Jangan sungkan untuk memberikan kritik dan sarannya ya, Dear... aku akan senang banget jika ada yang berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan sarannya pada beberapa bab yang sudah terpublish pada karyaku ini. Jika menemukan kesalahan penulisan dan lainnya, silakan tandai langsung saja di sana. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan jika berkenan bintang limanya juga. hhhe nglunjak banget ya. Oh ya, jika ingin review balik bisa kok. Biar bisa tumbuh sama-sama. Sekali lagi terima kasih. Salam kenal dariku gadis imut suka halu yang ingin sukses.
“Terima kasih. Tidak akan.”Aku beranjak dari kursi, lalu menarik amplop yang sudah kuletakkan di meja. Sial! Belum sampai kakiku menyentuh bibir pintu aku dikejutkan dengan reaksi laki-laki itu yang tiba-tiba menarik lenganku dan mendorong pintu dengan begitu keras.“Lepaskan!” teriakku. Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang membuat lenganku terasa panas.“Kamu pikir bisa dengan mudah keluar dari sini? Kamu harus membayar apa yang telah kamu lakukan, Mey,” seringainya membuatku semakin merindung.“Tanggung jawab? Sepertinya Anda butuh bantuan untuk mengingat kembali apa yang telah Anda lakukan,” jawabku. Aku meringis kesakitan, tapi laki-laki di hadapanku seakan buta dan tak mau tahu rintihanku.Laki-laki itu kembali tersenyum sinis. Sambil memperlihatkan gigi-giginya yang berjajar rapi. “Siapa kamu beraninya berkata seperti itu?” kini tangan yang semula menahan pintu beralih me