Aku memutar-mutar ponsel di genggamanku. Sambil berusaha menerawang kata apa yang pantas untuk kukatakan ketika berbicara dengan Teh Anggi. Dari pesan singkat yang ia titipkan pada bu Luluk, sudah pasti Teh Anggi sudah mengetahui semuanya. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa marahnya Teh Anggi. Sembilan belas tahun hidup bersama dengannya, tak pernah ia marah padaku. Selalu saja mengalah dengan sikapku yang suka seenaknya. Namun kesalahanku kali ini beda, bukan hanya menyangkut diriku tapi juga hati abah dan ambu. Membayangkan bagaimana kecewanya mereka saja aku tak mampu. Aku takut hal itu terjadi.
Aku mengganti sim card yang sengaja satu bulan ini aku abaikan. Selain untuk menghindar dari abah dan ambu, rasanya sudah tidak ada hubungan penting lagi di nomor itu. Palingan teman-teman kampus yang menanyakan keberadaanku, atau sengaja julid atas gosib tentangku yang beredar di kampus.
Setelah sim card terpasang aku instal kembali sosial media dengan lencana hijau dan memasukkan nomor lamaku. Ratusan chat masuk dari aplikasi hijau di ponselku. Juga panggilan yang tak terjawab. “Ya Allah, Teh Anggi menghubungiku sampai ratusan kali,” gumamku. Setelah melihat panggilan. Kemudian aku beralih ke chat. Aku abaikan pesan yang menurutku tak begitu penting, aku terus menggulir layar sampai kutemukan chat dari Teh Anggi.
[Bagaimana kabarnya, Neng?]
[Sehat, Neng?]
[Abah dan Ambu cemas, Neng, Balas ya,]
[Besok Teteh akan ke Jakarta, Abah dan Ambu ingin Teteh menyusulmu ke sana.]
[Di mana kamu sekarang? Apa sebenarnya yang kamu lakukan?]
[Hubungi Teteh, segera!]
Chat masuk berbondong melalui sms maupun aplikasi hijau. Pesan-pesan dari Teh Anggi. Dadaku berdetak lebih kencang, apa yang harus kulakukan?
Beberapa saat bergelut dengan pikiranku sendiri, akhirnnya aku memutuskan untuk menekan tanda hijau di ponsel. Terdengar dering dari ponsel. Cukup lama. Tapi belum juga ada jawaban dari pemilik nomor. Aku mendudukkan diri di sisi ranjang, mataku melilrik jam yang berdiri di atas nakas. Jam baru menjukkkan pukul sembilan malam, seharusnya Teh Anggi sudah bisa mengangkat panggilan dariku. Tiba-tiba layar ponselku berkedip. Aku segera menggeser layar ponsel.
“Assalamualaikum, Teh...”sapaku dengan sedikit gugup. Aku belum menyiapkan jawaban untuk pertanyaan yang mungkin saja disampaikan oleh Teteh. Meskipun biasanya aku cukup handal berkelit, namun untuk kali ini aku benar-benar merasa gusar.
“Waalaikum salam, bagaimana sehat?” jawab Teh Anggi.
“Alhamdulillah, Teh... Keadaan Neng baik-baik saja. Teteh gimana di sana, abah, ambu, sehan ‘kan?” tanyaku.
“Alhamdulillah semua sehat.” Sejenak kami hanya terdiam hanya terdengar embusan napas dan bunyi statistik jaringan. Aku diam, sembari berusaha mencerna keadaan ini. kenapa Teh Anggi masih terlihat tenang? Seharusnya ia marah padaku bukan setelah mengetahui semua masalah yang aku alami.
“Kamu enggak ingin menjelaskannya sama Teteh, Neng?” Jantungku berdetak satu kali lebih cepat mendengar pertanyaan Teh Anggi yang tiba-tiba. Walaupun aku sudah tahu hal ini pasti terjadi tapi belum ada jawaban yang pantas aku lontarkan.
Aku tak bisa menahan rasa yang bergejolak di hati. Rasa bersalah, khawatir berkumpul menjadi satu. Perlahan air mata yang sejak tadi menggenang di sudut mata mulai menetas, aku tahan sebisa mungkin agar tak bersuara. Karena itu hanya akan membuat orang-orang yang aku sayangi menjadi khawatir, selain itu aku juga malu untuk mengungkapkannya. Semua kejadian ini berawal dari ambisiku dan aku yang tak cukup kuat untuk menahan diri agar tidak mudah terpengaruh dengan gemerlap dunia yang bisa saja menyesatkanku.
“Maafkan aku, Teh-“ ucapku.
Teh Anggi terdiam sejenak. Terdengar embusan napasnya yang terasa berat. “Pulang, Neng, apa lagi yang kamu cari di sana?” kata Teh Anggi lagi. Sepertinya ia merasakan kegalauan yang aku rasakan.
“Neng sudah gagal, Teh.” Akhirnya kata-kata itu keluar juga dari mulutku. Seharusnya aku tak perlu menunjukkan sisi lemahku. Toh Teh Anye pastinya sudah mengetahui semuanya.
“Kamu tahu? Kami semua sangat mengkhawatirkanmu, di saat kondisi seperti ini dan kamu tiba-tiba hilang tanpa kabar,” ujar Teh Anggi yang sedikit membuatku tersudut. Kata-katanya masih lembut seperti biasanya namun masih saja menohok di dadaku.
“Aku belum bisa pulang, Teh,” jawabku lirih. Sekalipun impianku untuk lulus dari universitas yang aku impikan itu gagal kudapatkan. Namun apa aku juga harus pulang dengan tangan hampa?
“Sudah cukup, Neng. Pulang. Kamu masih bisa melanjutkan impian kamu di sini. Tidak harus di Jakarta,” ucap Teh Anggi masih kekeh dengan pendapatnya.
“Aku malu Teh, semua orang tahu kalau aku kuliah di sini. Dan tiba-tiba aku pulang, apa nanti orang bilang?” balasku.
“Masa depan kamu bukan mereka yang menentukan. Biarkan saja mereka berbicara seperti apa, nanti seiring berjalannya waktu mereka akan lupa dengan sendirinya.” ujar Teh Anggi. Mungkin Teh Anggi bisa berpikir seperti itu. Tapi tidak denganku, bagiku pendapat mereka itu penting menurutku. Karena aku tak suka dipandang sebelah mata.
“Neng, mohon Teh. Neng minta maaf, tolong sekali lagi beri Neng kesempatan. Neng juga ingin menjadi seperti Teteh yang selalu jadi kebanggaan. Dari dulu selalu saja Teteh yang terlihat cemerlang di mata banyak orang,” cercaku.
“Astaghfirullah, kenapa berpikir begitu? Kami semua sayang Neng,” sahut Teh Anggi. Aku meluapkan semuanya termasuk rasa cemburuku pada Teh Anggi yang selalu berprestasi di sekolah. Teh Anggi sangat baik, setiap hari selalu menemaniku mengerjakan tugas. Hanya saja aku yang terlalu manja, hingga berbuat seperti ini.
“Terserah kamu, Teteh sudah mengingatkanmu. Tapi, Teteh minta jaga perasaan abah dan ambu. Jangan buat beliau khawatir,” ucap Teh Anggi, lalu panggilan terputus tiba-tiba. meskipun tak diungkapkan, aku tahu Teh Anggi sangat kecewa dengan keputusanku. Hebatnya dia masih bisa memendamnya. Berbanding terbalik dengan sifatku yang menggebu dan susah mengenalikan emosi, salah satu dari sekian banyak hal yang membuatku terkagum pada Teh Anggi.
***
Matahari mulai beranjak dari peraduannya, embusan angin di pagi hari menerbangkan gorden yang tertiup angin dari celah-celah ventilasi kamar. Mataku sedikit terusik oleh sinar matahari yang menembus kaca. Aku menarik selimut tebalku hingga menutupi seluruh bagian tubuhku.
Suara ketukan pintu membuat mataku terbuka lebar. Meski masih malas untuk beranjak dari tempat tidur. Aku hanya menoleh, menatap pintu kamar berwarna coklat yang masih tertutup.
Pintu diketuk kembali. “Ini aku, Mey.”
Mendengar suara yang sangat familiar bagiku, dengan malas aku bangun dan berjalan ke arah pintu, “Sebentar.” Seruku.
“Aku bawakan sarapan. Bagaimana keadaanmu hari ini?” tanya kak Dini. Ia langsung menerobos masuk begitu pintu terbuka lalu duduk di atas karpet.
“Sudah membaik. Seharusnya enggak usah repot-repot seperti ini.” Aku duduk di depannya. Terlihat tangannya cekatan mengeluarkan kotak makanan dari tas plastiknya.
“Jangan ngomong begitu. Oh, ya, maaf ya kalau rasanya enggak sesuai. Soalnya Mama sedang ke luar rumah pagi tadi,” ujar kak Dini.
“Enggak apa-apa, Kak. Terima kasih lho Kak.”
“Santai aja,” jawabnya. Ia melipat kembali tas plastiknya, lalu memasukknya ke dalam tas slempangnya. Aku menatapnya yang hendak beranjak. “Langsung berangkat?” tanyaku.
“Iya, aku piket pagi. Kemarin aku pulang karena Mama sedang tak enak badan,” jawabnya.
Aku mengangguk mengerti. Rasanya malu. Perkataan sederhana dari kak Dini berhasil menamparku. “Terima kasih, Kak,” seruku. Aku melihat Kak Dini meninggalkan kamarku. Aku menatap makanan yang telah tersaji di depanku. Menu sederhana, dua telur mata sapi dengan sambal goreng. Melihatnya membuat rinduku pada keluargaku semakin menggebu. Aku ingin pulang. Memeluk ambu erat,, mendengarkan nasehat bijak abah dan juga perdebatan dengan Teh Anggi. Semuanya membuatku rindu.
“Sabar, Mey... kamu harus bisa menjadi manusia yang lebih baik lagi sebelum kembali ke rumah.” Tekadku sudah bulat. Meskipun mungkin abah dan ambu tak begitu mengharapkan mimpiku terwujud, tapi melihat kegagalanku pastinya akan membuat mereka kecewa. Setiap orang tua pasti dan mengharapkan anaknya dalam kesusahan, mereka akan selalu mengharapkan anak-anak mereka hidup dengan bahagia dengan pilihan mereka.
***
Tak ada hal istimewa yang bisa kulakukan beberapa hari ini. hari-hariku hanya berkutat pada kegiatan di kamar kos yang membuat jemu. Mau apa lagi, masih menunggu tiga hari lagi baru bisa menikmati udara di luar sana. Aku mulai memikir ulang, untuk menata hidupku kembali. Dengan berbekal ponsel, aku mencoba mencari lowongan kerja, tak apalah bukan kerja kantoran yang penting halal dan bisa memenuhi kebutuhanku ke depan. Saat ini yang kupikirkan adalah kerja, untuk pendidikan aku akan mencoba mencari kelas karyawan nanti.
Aku mulai menggulir layar ponsel. Ku buka aplikasi F dengan lencana biru yang baru ku instal beberapa hari lalu. Mencoba mencari kontak teman-teman lama yang sekiranya bisa membantuku. Aku juga masuk di beberapa grup lowongan kerja daerah Jakarta di aplikasi F. Ada banyak tawaran lowongan di sana. Aku mulai menghubungi beberapa kontak di sana untuk menanyakan ketersediaan lowongan yang di pasang.
Sekian lama menunggu, namun belum ada juga jawaban yang menyenangkan. Posisi-posisi yang di tawarkan sudah ada yang mengisi. Hingga lewat tengah hari, aku masih sibuk dengan kegiatan baruku itu. Hingga terdengar bunyi familiar dari perut. Aku mengecek jam yang tertera di layar ponsel. Ternyata aku sudah melewatkan makan siang.
Aku membuka aplikasi berlencana hijau dengan logo makanan. Tentu saja untuk memesan beberapa makanan dari sana. Sejak keluar dari rumah sakit, aku memang lebih banyak menghabiskan waktuku sendiri. Kamu tahu hal yang menyakitkan selain kematian ketika terkapar virus itu? Entah karena pemberitaan yang beredar terlalu berlebihan atau bagaimana, yang jelas orang-orang yang mengetahui hal itu, akan menghindar dariku. Meskipun tidak semuanya. Tapi, itulah yang kualami. Orang-orang yang sebelumnya dekat denganku di kost pun. Kini menghindar, sibuk dengan dunianya sendiri.
Tak masalah, mau gimana lagi. Mungkin itu yang terbaik untuk mencegah merambahnya virus itu semakin luas. Sebagaimana virus itu bisa dengan cepat menyebar melalui udara maupun benda yang disentuh oleh orang yang terkapar.
Ponselku bergetar. Satu panggilan masuk di ponselku dari nomor yang tak di kenal.
“Halo, mau nganter pesanan, Mbak. Saya sudah ada di depan,” ujar seorang laki-laki yang merupakan driver yang mengantarkan pesanan makanan siang. Aku memintanya untuk menunggu di depan. Kos lantai satu ini terdiri dari 18 pintu yang saling berhadapan. Jadi, harus berjalan ke pintu utama dulu seblum menemui driver itu.
“Ini, Mbak, Pesanannya,” ujar laki-laki itu, sambil menyerahkan satu kantong plastik hitam kepadaku.
“Ini ya, Pak. Ongkosnya.” Aku menyerahkan beberapa lembar uang sesuai harga dan tarif yang sesuai dengan aplikasi. Laki-laki yang sudah paruh baya itu tersenyum. memperlihatkan guratan-guratan halus di wajahnya. “Terima kasih ya, Mbak. Alhamdulillah.”
Hatiku tersentuh mendengarnya langsung mengucap syukur dengan uang tak seberapa yang kuberikan. Malu- betapa tamaknya aku selama ini. Selalu merasa kurang, tak lupa menjaga apa yang telah aku punya.
Aku menatap punggung driver itu, hingga tubuh lelah itu menghilang di balik gerbang utama berwarna putih setinggi dua meter.
Aku mengeluarkan sterofoam dari dalam plastik lalu membukanya perlahan. Aku menatap nasi di depanku. Kering tempe bertabur ikan teri dengan irisan-irisan telur. Aku menelan saliva yang terasa pahit. Biasanya makanan ini bisa kudapatkan dengan gratis di rumah. Kini, ini makanan yang mahak menurut isi dompetku. Aku harus bisa lebih berhemat. Sebelum mendapatkan pekerjaan yang layak. Untung saja masih ada sedikit uang bulanan dari Teh Anggi, kalau tidak mungkin aku kelaparan sepanjang hari.
Aku melempar kaleng minum bekas minumku ke dalam tempat sampah di sudut kamarku. Tempat sampah berbahan plastik itu hampir penuh dengan plastik-plastik bekas snack. Sudah tiga hari kubiarkan menumpuk di sudut ruang. Jika kak Dini melihatnya sudah pasti dia akan mengelus dada. Sebenarnya aku bukan orang sejorok itu. Aku hanya malas saja.Aku masih di tempat tidur dengan selimut yang menggulung di tubuhku. Sambil melihat stand up comedy dari Ytube. Ah, heran aku. Apa coba yang lucu sampai mereka tertawa terpingkal-pingkal seperti itu. Yah, meskipun memang ada sebagian ucapan sarkas mereka yang menggelitik.Ketukan pintu menghentikan aktifitasku. Aku bergegas bangun. Berjalan mendekati pintu kamar kos. “Pagi banget sih, Kak,” rengekku.“Assalamualaikum,” sapanya. Saking tidak bersemangatnya, aku lupa belum mengucapkan salam.“Waalaikum salam,” jawabku.Tak terpikir, kak Dini akan tiba sepagi ini. Dia tak sendi
Aku memijit pelipis yang terasa berdenyut. Sudah beberapa hari menunggu, namun tak ada satupun jawaban dari teman-teman terdekatku tentang lowongan pekerjaan yang aku cari. Jangankan menjawab ada juga yang hanya me-read pesan dariku. Kuletakkan kembali dompet yang hanya tersisa dua lembaran hijau di dalamnya. “Duh, gimana? mana cukup untuk satu bulan ke depan,” gerutunya dalam hati, padahal hilal pekerjaan pun belum juga tampak. Sedangkan uang kiriman dari kampung, ia hendak menggunakannya untuk mendaftar kuliah bulan agustus nanti.“Sepertinya harus benar-benar berhemat, sebelum punya pekerjaan pasti,” ucapku. Sebenarnya bisa saja aku menggunakan uang di rekeningnya. Tapi, bimbang, khawatir saat nanti benar-benar butuh tapi uangnya belum ada.Aku membuka almari plastik yang ada di samping meja belajar. Biasanya aku selalu menyimpan makanan-makanan instan atau snack di sana. Untunglah masih ada beberapa bungkus mie instan yang bisa meng
Aku mengusap peluh yang membahasi kening dengan punggung tanganku. Sudah hampir tengah hari, namun belum juga ada satupun perusahaan yang menerimaku. Apalagi hanya dengan ijazah SMA tanpa embel-embel sertifikat ketrampilan.Aku duduk di samping taman, salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Dan ini adalah perusahaan ke-10 yang aku datangi. Aku meneguk sebotol air mineral yang kubeli dari pedagang keliling saat di halte tadi. Dinginnya air mineral mampu menyiram tenggorokanku yang kering. Sekering harapanku saat ini. Ternyata memang tak mudah hidup jauh dari orang tua.Aku kembali beranjak. Kembali menulusuri trotoar mencoba mencari keberuntungan pada setiap jengkal yang kulalui. Mataku menyapu setiap gedung yang kulalui berharap ada harapan yang bisa kugantungkan di sana. Aku menoleh kearah restoran Jepang di depanku. Dulu tempat ini bisa saja dengan mudah kukunjungi hampir tiap malam. Tapi, sekarang ... Ah, rasanya mustahil. Jangankan untuk duduk sambil makan
Aku duduk di lantai, meluruskan kaki sambil menyandarkan punggung di dinding teras kosku. Seharian penuh keliling kota Jakarta, membuat kaki terasa kaku, belum lagi lecet di kaki karena terhimpit flatshoes yang kupakai tanpa kaus kaki. Meskipun begitu, belum juga ada hasil yang memuaskan. Rasanya aku hampir putus asa. Apa benar kata Chris? Apa mungkin aku harus kembali ke sana? Seklebat pemikiran itu muncul kembali di pikiranku, membuatku mengingat kembali betapa berjayanya aku kala itu. Uang cukup, apapun yang kuinginkan terpenuhi, dan semua kulakukan tanpa embel-embel orang tua. Suatu hal yang menurutku sebuah prestasi membanggakan waktu itu. Karena buktinya aku tetap bisa hidup mandiri tanpa uang orang tuaku.“Mey, baru pulang?” Aku mendongak. Menatap sosok Silvi yang sudah berdiri di hadapanku. Dilihat dari penampilannya, gadis itu baru saja pulang dari majlisan. Terbukti ada dua kotak nasi di tangannya. Silvi sering mengikuti majlis
Entah kenapa netraku tak bisa berhenti membidik sosok jangkung di hadapanku. Wajahnya begitu tenang menatap buku ditangannya. Ia terlihat asyik bergumul dengan dunia yang ia ciptakan sendiri. tak peduli betapa riuhnya jalanan yang ia lalui.Laki-laki itu tiba-tiba menutup bukunya. Membuatku terkejut karena tiba-tiba dia menegakkan kepalanya. Pandangan kami bertemu sesaat. Aku yang gugup buru-buru membuang muka ke arah lain. Bisa memalukan kalau sampai dia menyadarinya.“Rumah sakit kiri, Bang,” seru laki-laki itu.Aku mengembuskan napas kasar. Ada rasa kesal juga lega yang datang bersamaan. Duh, kenapa lagi sih kamu, Mey?“Permisi,” ucapnya ketika melewatiku yang duduk tepat di samping pintu angkot.“Eh, iya,” jawabku gugup.Laki-laki itu turun. Lalu, menyerahkan beberapa lembar uang pada supit angkot. “Mungkin dia kerja di sini,” batinku. Angkot biru muda yang aku tumpangi pun melaju kem
“Terima kasih. Tidak akan.”Aku beranjak dari kursi, lalu menarik amplop yang sudah kuletakkan di meja. Sial! Belum sampai kakiku menyentuh bibir pintu aku dikejutkan dengan reaksi laki-laki itu yang tiba-tiba menarik lenganku dan mendorong pintu dengan begitu keras.“Lepaskan!” teriakku. Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang membuat lenganku terasa panas.“Kamu pikir bisa dengan mudah keluar dari sini? Kamu harus membayar apa yang telah kamu lakukan, Mey,” seringainya membuatku semakin merindung.“Tanggung jawab? Sepertinya Anda butuh bantuan untuk mengingat kembali apa yang telah Anda lakukan,” jawabku. Aku meringis kesakitan, tapi laki-laki di hadapanku seakan buta dan tak mau tahu rintihanku.Laki-laki itu kembali tersenyum sinis. Sambil memperlihatkan gigi-giginya yang berjajar rapi. “Siapa kamu beraninya berkata seperti itu?” kini tangan yang semula menahan pintu beralih me
Hallo Fellas... Terima kasih banyak sudah menemani terbitnya karya ini dari bab pertama sampai sekarang. Kehadiran kalian adalah semangat untukku. Jangan sungkan untuk memberikan kritik dan sarannya ya, Dear... aku akan senang banget jika ada yang berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan sarannya pada beberapa bab yang sudah terpublish pada karyaku ini. Jika menemukan kesalahan penulisan dan lainnya, silakan tandai langsung saja di sana. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan jika berkenan bintang limanya juga. hhhe nglunjak banget ya. Oh ya, jika ingin review balik bisa kok. Biar bisa tumbuh sama-sama. Sekali lagi terima kasih. Salam kenal dariku gadis imut suka halu yang ingin sukses.
“Ngelamun terus Mbaknya,” ucap tukang es cendol. “Enggak kok,” jawabku. Penjual es yang masih terlihat muda itu merapikan gelas-gelas yang sudah di rapikan dalam gerobak setelah mencuci dan mengelapnya bersih. Rasanya ia memperhatikanku sedari tadi. Nemun, ia membuang muka saat sesekali pandangan mata kami bertemu. “Mbak, sedang cari kerja?” Aku meneguk cairan es yang ada di tenggorokanku sebelum menjawab pertanyaannya. “Iya, Bang, Tapi bekum dapat juga, efek pandemi mungkin ya.” Laki-laki mengangguk-angguk mendengarkan penjelasanku. Terlihat ia telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan menghampiriku, lalu mengambil kursi plastik dan duduk di dekatku. “Cari kerjaan memang susah, Mbak. Ini saja usaha kecil-kecilan saya ikut dapat imbas dari pandemi.” Laki-laki itu mengibas-kibaskan handuk yang tersampir di lehernya untuk mengusir hawa panas yang melingkupi udara di sekitarnya. “Saya ada info lowongan kerja sih, Mbak. Tapi, apa Mbaknya
Hari kian menua. Berulang kali aku melihat jam tua yang terpampang di dinding. Namun, tak ada tanda-tanda bagi segera datang. Ingin rasanya aku terpejam beberapa saat tapi pikiranku melayang entah kemana. Bayangan pesan singkat juga foto yang masuk dalam ponselku siang tadi sukses mengusik pikiranku. Kenapa harus datang lagi? Aku benar-benar ingin bertaubat. Tak ingin berurusan dengan dunia malam itu lagi.Kesal tak kunjung bisa terlelap, aku memutuskan untuk keluar kamar berbekal senter ponsel. Sengaja aku tidak menghidupkan lampu karena masih terlalu larut untuk bangun. Aku menunju dapur yang berada di lantai satu belakang ruang tamu. Bingung tidak ada yang bisa kukerjakan, aku memutuskan untuk membuat secangkir teh untuk menghangatkan tubuh.“Kenapa aku harus khawatir? Ini masa lalu, kan? Semua orang punya kesempatan untuk berubah kan?” ucapku lirih. Mencoba mengusir kerisauan yang merasuk isi kepala.Dalam keheningan, sayup-sayup terdengar gemerincing
"Bagus, kamu jago juga merangkai bunga," puji Bu Wini setelah perdebatan panjang pagi ini. Satu vas dengan rangkaian bunga segar sudah tertata indah dan siap untuk mengisi ruang. Kini mereka melanjutkan vas berikutnya. Selain hobi mengoleksi lukisan, bu Wini juga menyukai bunga. Tiga minggu sekali biasanya ada kurir yang mengantar bunga untuk bu Wini. Wanita itu juga hobi berkebun. Memanfaatkan sebagian kecil pekarangan rumah untuk menanam berbagai macam jenis bunga. "Terima kasih, Bu." Satu minggu kami selalu menghabiskan waktu bersama, membuatku bisa melihat sisi hangat bu Wini. Ternyata bu Wini tak segalak yang kubayangkan waktu pertama kali bertemu. Bu Wini yang awalnya begitu menutup diri dari jangkauanku, perlahan menunjukkan kepedulian terhadapku. "Kapan mulai kuliah?" tanya Bu Wini. "Mulai minggu depan, Bu." Ekor mataku menangkap anggukan kepala Bu Wini. Tangannya masih terampil menata bunga di vas yang lain. Sedang matanya fokus dengan
"Oh ya, Mas. Soal pengasuh buat ibu, alhadulillah sudah dapet." Anita mengambil jas dan tas dari tangan laki-laki di depannya yang baru memasuki rumah dengan koper di tangan kirinya."Oh, baguslah. Terima kasih ya," jawab laki-laki itu."Iya, sama-sama. Sudah seharusnya, Pa.""Icha sudah tidur?""Sudah. Dia keliatannya seneng banget dengan pengasuhnya ibu. Dari sore tadi sejak dia datang, Icha main di rumah ibu.""Oh, ya? Tumben, biasanya Icha kan enggak mudah akrab sama sembarang orang," ujar Erik. Ia sedikit heran."Iya, itu. Anaknya menyenangkan kelihatannya. Semoga saja ibu cocok sama dia."Erik mwnganggukkan kepala. "Amin, oh ya anak Papa satu ini rewel tidak?" Erik beralih menatap istrinya. Dieluanya perut Anita yang sudah membuncit."Enggak, Pa. Dede cuma lagi kangen sama Papa. Papa kapan punya waktu buat kita?" ucap Anita dengan menirukan suara anak kecil.Erik masih mengelus perut Anita. Ia membungkukkan tubuhnya, hingga wa
“Ibu juga minta maaf, selama kamu tinggal di sini baik perkataan ataupun perbuatan ibu sengaja atau itu menyakiti perasaanmu. Ibu doakan semoga harapanmu tercapai ya,” ucap Bu Luluk saat aku berpamitan dengannya.“Sama-sama, Bu. Saya yang terima kasih, Ibu sudah bersedia menampung Mey selama ini. Saya permisi dulu. Ini kuncinya.” Aku menyerahkan kunci kamar pada Bu Luluk. Setelah itu aku pergi meninggalkan rumah lantai dua yang terletak di samping kos yang aku tempati.Langkahku terhenti begitu sampai di samping pagar. Aku membalikkan badan, menatap kembali bangunan bercat abu-abu yang sudah menjadi rumah bagiku selama lebih dari satu tahun ini. Meskipun singkat, tapi di sinilah aku belajar tentang hidup. Bahwa hidup tak hanya berpusat dengan duniaku. Bukan hanya aku yang menderita selama ini, bukan hanya aku yang merasa terikat selama ini. Semua orang punya beban hidup yang berbeda-beda. Dan di sini aku melihat banyak orang de
“Hai...” sapaku sambil melambaikan tangan. Gadis kecil itu tak membalas. Ia mendongak ke arah Mbak Nelly.“Icha... ini Mbak Mey temannya Mbak,” ucap Mbak Nelly lembut. Gadis itu beralih menatapku lalu melambaikan tangan. “Hallo, Mbak... Aku Icha.”“Cha... sudah dibilangin, kalau habis main diberesin.” Suara wanita terdengar nyaring terdengar. Aku dan Mbak Nelly menoleh ke arah sumber suara, melihat seorang wanita di balik dinding pembatas menenteng keranjang plastik sambil memunguti mainan yang berceceran. Wanita itu belum menyadari kedatangan kami.Mbak Nelly menunduk menatap gadis mungil yang berdiri di depannya. “Kak Icha nakal ya?” Mbak Nelly berbisik. Gadis itu meletakkan telunjuk di depan bibir mungilnya. Memberi isyarat agar lawan bicaranya diam.“Sana bantuin Mama, kasian adik bayi di perut, lho.” Icha menekuk wajah, ia berbalik meninggalkan tempatnya berdiri. Aku dan Mb
Kemeja berlengan panjang berpadu dengan rok plisket di bawah lutut membalut tubuh rampingku. Aku mengoleskan sedikit make-up untuk menjaga penampilanku agar tampak fresh. Sesuai kesepakatan, mbak Nelly akan mengajakku ke rumah majikannya itu. Makanya, aku ingin memberikan kesan terbaik agar bisa diterima nanti. Setelah memastikan penampilanku, aku beranjak dari depan cermin. Mengambil tas slempang di rak tas, kemudian sepatu flat warna putih, senada dengan rok yang kupakai.“Pagi sekali, Mey?” tanya seorang perempuan dari arah belakangku ketika aku mengunci pintu kamar kos. Terlihat bu Luluk mendekat dengan menenteng kranjang belanja di tangannya.“Iya, Bu. Mau interview kerja,” jawabku membuat hatiku tergelitik. Terlihat keren membayangkan kata interview, yah- walaupun cuma interview jadi pembantu.Bu Luluk mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar jawabanku yang terlihat keren itu. “Sukses ya. Semoga dit
“Ngelamun terus Mbaknya,” ucap tukang es cendol. “Enggak kok,” jawabku. Penjual es yang masih terlihat muda itu merapikan gelas-gelas yang sudah di rapikan dalam gerobak setelah mencuci dan mengelapnya bersih. Rasanya ia memperhatikanku sedari tadi. Nemun, ia membuang muka saat sesekali pandangan mata kami bertemu. “Mbak, sedang cari kerja?” Aku meneguk cairan es yang ada di tenggorokanku sebelum menjawab pertanyaannya. “Iya, Bang, Tapi bekum dapat juga, efek pandemi mungkin ya.” Laki-laki mengangguk-angguk mendengarkan penjelasanku. Terlihat ia telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan menghampiriku, lalu mengambil kursi plastik dan duduk di dekatku. “Cari kerjaan memang susah, Mbak. Ini saja usaha kecil-kecilan saya ikut dapat imbas dari pandemi.” Laki-laki itu mengibas-kibaskan handuk yang tersampir di lehernya untuk mengusir hawa panas yang melingkupi udara di sekitarnya. “Saya ada info lowongan kerja sih, Mbak. Tapi, apa Mbaknya
Hallo Fellas... Terima kasih banyak sudah menemani terbitnya karya ini dari bab pertama sampai sekarang. Kehadiran kalian adalah semangat untukku. Jangan sungkan untuk memberikan kritik dan sarannya ya, Dear... aku akan senang banget jika ada yang berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan sarannya pada beberapa bab yang sudah terpublish pada karyaku ini. Jika menemukan kesalahan penulisan dan lainnya, silakan tandai langsung saja di sana. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan jika berkenan bintang limanya juga. hhhe nglunjak banget ya. Oh ya, jika ingin review balik bisa kok. Biar bisa tumbuh sama-sama. Sekali lagi terima kasih. Salam kenal dariku gadis imut suka halu yang ingin sukses.
“Terima kasih. Tidak akan.”Aku beranjak dari kursi, lalu menarik amplop yang sudah kuletakkan di meja. Sial! Belum sampai kakiku menyentuh bibir pintu aku dikejutkan dengan reaksi laki-laki itu yang tiba-tiba menarik lenganku dan mendorong pintu dengan begitu keras.“Lepaskan!” teriakku. Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang membuat lenganku terasa panas.“Kamu pikir bisa dengan mudah keluar dari sini? Kamu harus membayar apa yang telah kamu lakukan, Mey,” seringainya membuatku semakin merindung.“Tanggung jawab? Sepertinya Anda butuh bantuan untuk mengingat kembali apa yang telah Anda lakukan,” jawabku. Aku meringis kesakitan, tapi laki-laki di hadapanku seakan buta dan tak mau tahu rintihanku.Laki-laki itu kembali tersenyum sinis. Sambil memperlihatkan gigi-giginya yang berjajar rapi. “Siapa kamu beraninya berkata seperti itu?” kini tangan yang semula menahan pintu beralih me