Aku memijit pelipis yang terasa berdenyut. Sudah beberapa hari menunggu, namun tak ada satupun jawaban dari teman-teman terdekatku tentang lowongan pekerjaan yang aku cari. Jangankan menjawab ada juga yang hanya me-read pesan dariku. Kuletakkan kembali dompet yang hanya tersisa dua lembaran hijau di dalamnya. “Duh, gimana? mana cukup untuk satu bulan ke depan,” gerutunya dalam hati, padahal hilal pekerjaan pun belum juga tampak. Sedangkan uang kiriman dari kampung, ia hendak menggunakannya untuk mendaftar kuliah bulan agustus nanti.
“Sepertinya harus benar-benar berhemat, sebelum punya pekerjaan pasti,” ucapku. Sebenarnya bisa saja aku menggunakan uang di rekeningnya. Tapi, bimbang, khawatir saat nanti benar-benar butuh tapi uangnya belum ada.
Aku membuka almari plastik yang ada di samping meja belajar. Biasanya aku selalu menyimpan makanan-makanan instan atau snack di sana. Untunglah masih ada beberapa bungkus mie instan yang bisa mengganjal perutku siang ini dan beberapa hari ke depan. Aku ambil satu bungkus mie instan, kemudian kuletakkan dalam mangkuk, lalu menambahkan sedikit air dari dispenser. Meskipun aku tahu ini tak sehat, mau bagaimana lagi. Uang mepet dan hanya ini yang bisa kulakukan saat ini untuk bertahan hidup. “Tak apalah sekali-kali makan seperti ini.”
Cukup menunggu beberapa menit. Mie sudah mengembang. Aku memasukkan beberapa bumbu instan, mengaduknya rata hingga tercium perpaduan saus dan bumbu mie. Aku makan mie instan dengan lahapnya. Sudut bibirku tiba-tiba saja terangkat. Mie instan adalah makanan yang sangat aku hindari dulu. Abah dan ambu tak mengizinkanku makan mie instan. Sekalipun boleh itupun satu bulan sekali. Tak heran, hanya makan mie instan saja itu merupakan hal yang kurindukan dulu.
Sangat berbanding terbalik dengan keadaanku saat ini, mie menjadi makanan wajib saat terdesak. Semoga saja lambung aman. Layar ponsel di sampingku berkedip. Aku menggeser kunci layar, kemudian membuka pesan.
“Alhamdulillah...” satu pesan dari kak Dini mampu memperbaiki moodku siang ini. Akhirnya yang hal yang kutunggu terwujud. Mulai besok pagi aku bisa memulai hidupku lagi.
“Terima kasih, Kak. Oh ya, kalau ada lowongan kerja untukku, kabari ya,” pintaku dengan tak tahu malunya. Ah, sudahlah. Sekalian saja, lagi pula sudah terlalu sering juga minta bantuan pada kak Dini.
“Oke,” jawab kak Dini singkat.
“Dasar orang sibuk,” ucapku. Membalas pesannya yang singkat. Aku segera menghabiskan mie instan yang tinggal beberapa sendok lagi. Nafsu makanku membaik setelah mengetahui hasil tesku yang menyatakan aku sudah terbebas dari virus yang entah kapan akan segera enyah dari muka bumi ini.
Tak hanya menghambat perekonomian warga. Namun, kehadiran virus ini juga memicu gangguan mental akibat kecemasan yang berlebih atas apa yang terjadi di sekitarnya. Apalagi pemberitaan di media yang semakin hari makin meresahkan. Banyaknya korban yang berjatuhan di mana-mana, rumah sakit yang sampai kuwalahan, ditambah lagi respon dari masyarakat yang melihat penderita seperti najis. Tak ada yang berani mendekat takut tertular. Padahal mereka penderita itu butuh dukungan dan hiburan.
Virus ini memang ada dan memang membahayakan. Waspada boleh tapi panik jangan. Karena itu justru akan memicu penyakit yang lain.
****
Aku mengeluarkan isi almari pakaian yang sudah tak rapi lagi. Kelamaan nganggur membuatku malas merapikan almari pakaian. Hingga pakaian tak tersusun rapi. Membuatku terkadang merasa kesulitan sendiri saat memilih baju. Aku menata ulang isi lemari. Memisahkan pakaian rumahan, busana muslim, baju untuk keluar rumah dan baju-baju dinasku di dunia malam yang aku masukkan dalam kantong plastik. Semua kupisahkan sesuai kebututuhan. Melipatnya dan menyetrikanya dengan rapi sebelum kumasukkan kembali dalam almari.
Aku juga menyiapkan beberapa pakaian formal. Rencananya aku mau mengirim lamaran ke beberapa perusahaan yang menginfokan beberapa lowongan pekerjaan. Semoga saja masih ada yangi bisa menerimaku. Aku ingin berubah menjadi lebih baik lagi. Menggunakan kebebasan yang aku inginkan untuk hal-hal yang positif, bukan hanya sekedar terbebas dari aturan abah dan ambu. Tapi, bebas untuk mengekplor kemampuan pada diriku.
Aku mulai bisa menerima dengan apa yang kualami beberapa bulan ke belakang, mungkin saja jika aku tak mengalami hal yang menakutkan itu aku masih bergelut di kubangan dosa itu dan aku akan semakin jauh dengan Sang pencipta. Bersyukur Tuhan masih memberi cintanya untukku, masih membiarkanku hidup dan menghirup udara ini dengan gratis untuk memperbaiki hidup.
Jam menunjukkan pukul 10.00 malam, kamar kos sudah sepi. Hanya deru kendaraan yang terdengar masih lalu lalang di jalan depan kos. Untung saja, kos yang aku tempati masih memiliki halaman yang cukup luar jadi tak terlalu berisik. Karena masih ada jarak pemisah antara jalan raya dan kos yang aku tempati.
“Akhirnya beres juga.” Aku meregangkan kedua tanganku. Kutatap susunan pakaian dalam almari dengan puas. Puas melihat seisi kamar yang tertata rapi, membuat benang kusut di kepalaku sedikit terurai.
Aku menutup almari. Kemudian berjalan ke tempat tidur. Aku mengecek ponsel sejenak. Sesaat aku teringat pada Teh Anggi. Aku membuka aplikasi hijauku. Mencari kontak Teh Anggi lalu mengirim pesan singkat untuknya.
“Assalamualaikum, Teh. Bagaimana kabarnya? Neng, harap Teteh sudah tidak marah lagi sama Neng.” Pesan singkat kukirim pada Teh Anggi. Kulihat dua centang biru, pertanda pesan sudah dibaca oleh Teh Anggi. Sudah kutunggu beberapa saat, tapi tak juga ada balasan. ”Apa Teteh masih marah?”gumamku dalam hati.
“Teh, maafin Neng, ya... Besok, Neng mau coba cari kerja. Minta doanya ya, Teh. Semoga lancar. Semoga Teteh, abah dan ambu sehat selalu. Selamat malam. Wassalamualaiakum.” Aku menutup chat-ku malam ini. Wajar saja jika Teh Anggi kecewa padaku. Pribadi Teh Anggi yang tidak enakan pastinya membuatnya serba salah, disisi lain ingin marah padaku, namun disisi lain pastinya dia akan menyalahkan dirinya sendiri atas semua ini. Karena telah membantuku membujuk abah, agar mengizinkanku pergi merantau. Jika pun boleh mengandai, kalau aku tidak jadi pergi ke ibu kota, mungkin aku akan menjadi santri di pondok pesantren modern di Bandung. Sambil kursus menjahit seperti yang abah tawarkan agar aku tidak terlalu jauh dari mereka.
Tapi, tidak ada jalan yang mulus untuk menggapai impian. Tidak pernah ada yang tahu apa yang akan terjadi satu jam, satu menit bahkan satu detik ke depan. Makanya butuh benteng diri yang kuat agar tidak terkejut dengan perubahan lingkungan yang tiba-tiba.
***
“Mau ke mana, Mey?” tanya tetangga kamarku- Silvi, Gadis asli serambi Makkah, mahasiswa fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi. 11:12 lah jika disandingkan dengan Kak Dini. Tapi, yang ini lebih parah lagi, tak cuma jilbab panjang yang menjuntai, tapi juga memakai niqab. Awalnya waswas juga sih, waktu pertama kali tetanggan sama dia. Aku pikir dia penganut aliran-aliran tertentu. Membuatku lebih sering menghindar jika ada dia. Takut imanku yang masih lemah ini tergoyahkan. Sampai akhirnya, untung mulutku yang kadang lemes tak mengungkapkannya. Dan untungnya ada kak Dini yang memberi penjelasan kepadaku, meng-cover pemikiran sesat yang bersarang diotakku.
“Eh, iya nih. Mau pergi sebentar cari angin,” dustaku. Gadis itu hanya mengangguk. Dari sorot kedua matanya ada senyum dibalik niqab hitamnya. Aku membalas senyuman itu meski sedikit canggung. Soalnya selama ini aku jarang sekali pertemu dengannya. Ia sama seperti kak Dini, sibuk kegiatan kampus juga rajin mengikuti ceramah-ceramah di komplek kos kami.
“Rapi, banget, Mau bareng? Aku sudah pesan taxi,” tawarnya.
Aku berpikir sejenak dengan jaimnya aku tolak tawarannya. Berharap dia menahanku dan memaksa untuk ikut bersamanya. Kan lumayan buat irit ongkos.
“Ya sudah deh kalau gitu aku duluan ya.” Aku terpaku menatap punggungnya yang beranjak pergi. Sial! Aku pikir dia berusaha menahanku, tapi ternyata aku termakan gengsiku sendiri.
Aku mengembuskan napas berat. Ya sudahlah, belum rezeki. Aku berjalan menelusi trotoar menuju halte. Ini pertama kalinya aku naik angkot setelah lama menjadi ‘sok cinderella’ hidup glamor dengan pemberian orang tua. Memalukan!
Tak lama angkot yang kutunggu datang. Baru ada dua orang di dalamnya. Untunglah, sejak adanya covid pemerintahpun mengatur pengoperasian angkutan umum, agar tetap berpegang pada protokol kesehatan.
Pandanganku tertuju pada laki-laki yang duduk di jok belakang. Aku mulai mengingat-ingat. Wajah yang tertutup masker itu seolah tak asing. Lama menebak-nebak namun tak juga dapat jawaban. Ya, sudahlah buat apa juga, pikirku.
Laki-laki itu turun lebih dulu, ia melewatiku tanpa menoleh atau menyapaku terlebih dulu. Dia berhenti di depan rumah sakit tempatku pernah di rawat. Setelah membayar ongkos, laki-laki itu berbalik, lalu meneriakkan sebuah nama sambil melambaikan tangan. Aku turut mengintip dari kaca angkutan. Mulutku menganga, “Kak Dini?”
Aku mengusap peluh yang membahasi kening dengan punggung tanganku. Sudah hampir tengah hari, namun belum juga ada satupun perusahaan yang menerimaku. Apalagi hanya dengan ijazah SMA tanpa embel-embel sertifikat ketrampilan.Aku duduk di samping taman, salah satu perusahaan ternama di Jakarta. Dan ini adalah perusahaan ke-10 yang aku datangi. Aku meneguk sebotol air mineral yang kubeli dari pedagang keliling saat di halte tadi. Dinginnya air mineral mampu menyiram tenggorokanku yang kering. Sekering harapanku saat ini. Ternyata memang tak mudah hidup jauh dari orang tua.Aku kembali beranjak. Kembali menulusuri trotoar mencoba mencari keberuntungan pada setiap jengkal yang kulalui. Mataku menyapu setiap gedung yang kulalui berharap ada harapan yang bisa kugantungkan di sana. Aku menoleh kearah restoran Jepang di depanku. Dulu tempat ini bisa saja dengan mudah kukunjungi hampir tiap malam. Tapi, sekarang ... Ah, rasanya mustahil. Jangankan untuk duduk sambil makan
Aku duduk di lantai, meluruskan kaki sambil menyandarkan punggung di dinding teras kosku. Seharian penuh keliling kota Jakarta, membuat kaki terasa kaku, belum lagi lecet di kaki karena terhimpit flatshoes yang kupakai tanpa kaus kaki. Meskipun begitu, belum juga ada hasil yang memuaskan. Rasanya aku hampir putus asa. Apa benar kata Chris? Apa mungkin aku harus kembali ke sana? Seklebat pemikiran itu muncul kembali di pikiranku, membuatku mengingat kembali betapa berjayanya aku kala itu. Uang cukup, apapun yang kuinginkan terpenuhi, dan semua kulakukan tanpa embel-embel orang tua. Suatu hal yang menurutku sebuah prestasi membanggakan waktu itu. Karena buktinya aku tetap bisa hidup mandiri tanpa uang orang tuaku.“Mey, baru pulang?” Aku mendongak. Menatap sosok Silvi yang sudah berdiri di hadapanku. Dilihat dari penampilannya, gadis itu baru saja pulang dari majlisan. Terbukti ada dua kotak nasi di tangannya. Silvi sering mengikuti majlis
Entah kenapa netraku tak bisa berhenti membidik sosok jangkung di hadapanku. Wajahnya begitu tenang menatap buku ditangannya. Ia terlihat asyik bergumul dengan dunia yang ia ciptakan sendiri. tak peduli betapa riuhnya jalanan yang ia lalui.Laki-laki itu tiba-tiba menutup bukunya. Membuatku terkejut karena tiba-tiba dia menegakkan kepalanya. Pandangan kami bertemu sesaat. Aku yang gugup buru-buru membuang muka ke arah lain. Bisa memalukan kalau sampai dia menyadarinya.“Rumah sakit kiri, Bang,” seru laki-laki itu.Aku mengembuskan napas kasar. Ada rasa kesal juga lega yang datang bersamaan. Duh, kenapa lagi sih kamu, Mey?“Permisi,” ucapnya ketika melewatiku yang duduk tepat di samping pintu angkot.“Eh, iya,” jawabku gugup.Laki-laki itu turun. Lalu, menyerahkan beberapa lembar uang pada supit angkot. “Mungkin dia kerja di sini,” batinku. Angkot biru muda yang aku tumpangi pun melaju kem
“Terima kasih. Tidak akan.”Aku beranjak dari kursi, lalu menarik amplop yang sudah kuletakkan di meja. Sial! Belum sampai kakiku menyentuh bibir pintu aku dikejutkan dengan reaksi laki-laki itu yang tiba-tiba menarik lenganku dan mendorong pintu dengan begitu keras.“Lepaskan!” teriakku. Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang membuat lenganku terasa panas.“Kamu pikir bisa dengan mudah keluar dari sini? Kamu harus membayar apa yang telah kamu lakukan, Mey,” seringainya membuatku semakin merindung.“Tanggung jawab? Sepertinya Anda butuh bantuan untuk mengingat kembali apa yang telah Anda lakukan,” jawabku. Aku meringis kesakitan, tapi laki-laki di hadapanku seakan buta dan tak mau tahu rintihanku.Laki-laki itu kembali tersenyum sinis. Sambil memperlihatkan gigi-giginya yang berjajar rapi. “Siapa kamu beraninya berkata seperti itu?” kini tangan yang semula menahan pintu beralih me
Hallo Fellas... Terima kasih banyak sudah menemani terbitnya karya ini dari bab pertama sampai sekarang. Kehadiran kalian adalah semangat untukku. Jangan sungkan untuk memberikan kritik dan sarannya ya, Dear... aku akan senang banget jika ada yang berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan sarannya pada beberapa bab yang sudah terpublish pada karyaku ini. Jika menemukan kesalahan penulisan dan lainnya, silakan tandai langsung saja di sana. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan jika berkenan bintang limanya juga. hhhe nglunjak banget ya. Oh ya, jika ingin review balik bisa kok. Biar bisa tumbuh sama-sama. Sekali lagi terima kasih. Salam kenal dariku gadis imut suka halu yang ingin sukses.
“Ngelamun terus Mbaknya,” ucap tukang es cendol. “Enggak kok,” jawabku. Penjual es yang masih terlihat muda itu merapikan gelas-gelas yang sudah di rapikan dalam gerobak setelah mencuci dan mengelapnya bersih. Rasanya ia memperhatikanku sedari tadi. Nemun, ia membuang muka saat sesekali pandangan mata kami bertemu. “Mbak, sedang cari kerja?” Aku meneguk cairan es yang ada di tenggorokanku sebelum menjawab pertanyaannya. “Iya, Bang, Tapi bekum dapat juga, efek pandemi mungkin ya.” Laki-laki mengangguk-angguk mendengarkan penjelasanku. Terlihat ia telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan menghampiriku, lalu mengambil kursi plastik dan duduk di dekatku. “Cari kerjaan memang susah, Mbak. Ini saja usaha kecil-kecilan saya ikut dapat imbas dari pandemi.” Laki-laki itu mengibas-kibaskan handuk yang tersampir di lehernya untuk mengusir hawa panas yang melingkupi udara di sekitarnya. “Saya ada info lowongan kerja sih, Mbak. Tapi, apa Mbaknya
Kemeja berlengan panjang berpadu dengan rok plisket di bawah lutut membalut tubuh rampingku. Aku mengoleskan sedikit make-up untuk menjaga penampilanku agar tampak fresh. Sesuai kesepakatan, mbak Nelly akan mengajakku ke rumah majikannya itu. Makanya, aku ingin memberikan kesan terbaik agar bisa diterima nanti. Setelah memastikan penampilanku, aku beranjak dari depan cermin. Mengambil tas slempang di rak tas, kemudian sepatu flat warna putih, senada dengan rok yang kupakai.“Pagi sekali, Mey?” tanya seorang perempuan dari arah belakangku ketika aku mengunci pintu kamar kos. Terlihat bu Luluk mendekat dengan menenteng kranjang belanja di tangannya.“Iya, Bu. Mau interview kerja,” jawabku membuat hatiku tergelitik. Terlihat keren membayangkan kata interview, yah- walaupun cuma interview jadi pembantu.Bu Luluk mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar jawabanku yang terlihat keren itu. “Sukses ya. Semoga dit
“Hai...” sapaku sambil melambaikan tangan. Gadis kecil itu tak membalas. Ia mendongak ke arah Mbak Nelly.“Icha... ini Mbak Mey temannya Mbak,” ucap Mbak Nelly lembut. Gadis itu beralih menatapku lalu melambaikan tangan. “Hallo, Mbak... Aku Icha.”“Cha... sudah dibilangin, kalau habis main diberesin.” Suara wanita terdengar nyaring terdengar. Aku dan Mbak Nelly menoleh ke arah sumber suara, melihat seorang wanita di balik dinding pembatas menenteng keranjang plastik sambil memunguti mainan yang berceceran. Wanita itu belum menyadari kedatangan kami.Mbak Nelly menunduk menatap gadis mungil yang berdiri di depannya. “Kak Icha nakal ya?” Mbak Nelly berbisik. Gadis itu meletakkan telunjuk di depan bibir mungilnya. Memberi isyarat agar lawan bicaranya diam.“Sana bantuin Mama, kasian adik bayi di perut, lho.” Icha menekuk wajah, ia berbalik meninggalkan tempatnya berdiri. Aku dan Mb
Hari kian menua. Berulang kali aku melihat jam tua yang terpampang di dinding. Namun, tak ada tanda-tanda bagi segera datang. Ingin rasanya aku terpejam beberapa saat tapi pikiranku melayang entah kemana. Bayangan pesan singkat juga foto yang masuk dalam ponselku siang tadi sukses mengusik pikiranku. Kenapa harus datang lagi? Aku benar-benar ingin bertaubat. Tak ingin berurusan dengan dunia malam itu lagi.Kesal tak kunjung bisa terlelap, aku memutuskan untuk keluar kamar berbekal senter ponsel. Sengaja aku tidak menghidupkan lampu karena masih terlalu larut untuk bangun. Aku menunju dapur yang berada di lantai satu belakang ruang tamu. Bingung tidak ada yang bisa kukerjakan, aku memutuskan untuk membuat secangkir teh untuk menghangatkan tubuh.“Kenapa aku harus khawatir? Ini masa lalu, kan? Semua orang punya kesempatan untuk berubah kan?” ucapku lirih. Mencoba mengusir kerisauan yang merasuk isi kepala.Dalam keheningan, sayup-sayup terdengar gemerincing
"Bagus, kamu jago juga merangkai bunga," puji Bu Wini setelah perdebatan panjang pagi ini. Satu vas dengan rangkaian bunga segar sudah tertata indah dan siap untuk mengisi ruang. Kini mereka melanjutkan vas berikutnya. Selain hobi mengoleksi lukisan, bu Wini juga menyukai bunga. Tiga minggu sekali biasanya ada kurir yang mengantar bunga untuk bu Wini. Wanita itu juga hobi berkebun. Memanfaatkan sebagian kecil pekarangan rumah untuk menanam berbagai macam jenis bunga. "Terima kasih, Bu." Satu minggu kami selalu menghabiskan waktu bersama, membuatku bisa melihat sisi hangat bu Wini. Ternyata bu Wini tak segalak yang kubayangkan waktu pertama kali bertemu. Bu Wini yang awalnya begitu menutup diri dari jangkauanku, perlahan menunjukkan kepedulian terhadapku. "Kapan mulai kuliah?" tanya Bu Wini. "Mulai minggu depan, Bu." Ekor mataku menangkap anggukan kepala Bu Wini. Tangannya masih terampil menata bunga di vas yang lain. Sedang matanya fokus dengan
"Oh ya, Mas. Soal pengasuh buat ibu, alhadulillah sudah dapet." Anita mengambil jas dan tas dari tangan laki-laki di depannya yang baru memasuki rumah dengan koper di tangan kirinya."Oh, baguslah. Terima kasih ya," jawab laki-laki itu."Iya, sama-sama. Sudah seharusnya, Pa.""Icha sudah tidur?""Sudah. Dia keliatannya seneng banget dengan pengasuhnya ibu. Dari sore tadi sejak dia datang, Icha main di rumah ibu.""Oh, ya? Tumben, biasanya Icha kan enggak mudah akrab sama sembarang orang," ujar Erik. Ia sedikit heran."Iya, itu. Anaknya menyenangkan kelihatannya. Semoga saja ibu cocok sama dia."Erik mwnganggukkan kepala. "Amin, oh ya anak Papa satu ini rewel tidak?" Erik beralih menatap istrinya. Dieluanya perut Anita yang sudah membuncit."Enggak, Pa. Dede cuma lagi kangen sama Papa. Papa kapan punya waktu buat kita?" ucap Anita dengan menirukan suara anak kecil.Erik masih mengelus perut Anita. Ia membungkukkan tubuhnya, hingga wa
“Ibu juga minta maaf, selama kamu tinggal di sini baik perkataan ataupun perbuatan ibu sengaja atau itu menyakiti perasaanmu. Ibu doakan semoga harapanmu tercapai ya,” ucap Bu Luluk saat aku berpamitan dengannya.“Sama-sama, Bu. Saya yang terima kasih, Ibu sudah bersedia menampung Mey selama ini. Saya permisi dulu. Ini kuncinya.” Aku menyerahkan kunci kamar pada Bu Luluk. Setelah itu aku pergi meninggalkan rumah lantai dua yang terletak di samping kos yang aku tempati.Langkahku terhenti begitu sampai di samping pagar. Aku membalikkan badan, menatap kembali bangunan bercat abu-abu yang sudah menjadi rumah bagiku selama lebih dari satu tahun ini. Meskipun singkat, tapi di sinilah aku belajar tentang hidup. Bahwa hidup tak hanya berpusat dengan duniaku. Bukan hanya aku yang menderita selama ini, bukan hanya aku yang merasa terikat selama ini. Semua orang punya beban hidup yang berbeda-beda. Dan di sini aku melihat banyak orang de
“Hai...” sapaku sambil melambaikan tangan. Gadis kecil itu tak membalas. Ia mendongak ke arah Mbak Nelly.“Icha... ini Mbak Mey temannya Mbak,” ucap Mbak Nelly lembut. Gadis itu beralih menatapku lalu melambaikan tangan. “Hallo, Mbak... Aku Icha.”“Cha... sudah dibilangin, kalau habis main diberesin.” Suara wanita terdengar nyaring terdengar. Aku dan Mbak Nelly menoleh ke arah sumber suara, melihat seorang wanita di balik dinding pembatas menenteng keranjang plastik sambil memunguti mainan yang berceceran. Wanita itu belum menyadari kedatangan kami.Mbak Nelly menunduk menatap gadis mungil yang berdiri di depannya. “Kak Icha nakal ya?” Mbak Nelly berbisik. Gadis itu meletakkan telunjuk di depan bibir mungilnya. Memberi isyarat agar lawan bicaranya diam.“Sana bantuin Mama, kasian adik bayi di perut, lho.” Icha menekuk wajah, ia berbalik meninggalkan tempatnya berdiri. Aku dan Mb
Kemeja berlengan panjang berpadu dengan rok plisket di bawah lutut membalut tubuh rampingku. Aku mengoleskan sedikit make-up untuk menjaga penampilanku agar tampak fresh. Sesuai kesepakatan, mbak Nelly akan mengajakku ke rumah majikannya itu. Makanya, aku ingin memberikan kesan terbaik agar bisa diterima nanti. Setelah memastikan penampilanku, aku beranjak dari depan cermin. Mengambil tas slempang di rak tas, kemudian sepatu flat warna putih, senada dengan rok yang kupakai.“Pagi sekali, Mey?” tanya seorang perempuan dari arah belakangku ketika aku mengunci pintu kamar kos. Terlihat bu Luluk mendekat dengan menenteng kranjang belanja di tangannya.“Iya, Bu. Mau interview kerja,” jawabku membuat hatiku tergelitik. Terlihat keren membayangkan kata interview, yah- walaupun cuma interview jadi pembantu.Bu Luluk mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar jawabanku yang terlihat keren itu. “Sukses ya. Semoga dit
“Ngelamun terus Mbaknya,” ucap tukang es cendol. “Enggak kok,” jawabku. Penjual es yang masih terlihat muda itu merapikan gelas-gelas yang sudah di rapikan dalam gerobak setelah mencuci dan mengelapnya bersih. Rasanya ia memperhatikanku sedari tadi. Nemun, ia membuang muka saat sesekali pandangan mata kami bertemu. “Mbak, sedang cari kerja?” Aku meneguk cairan es yang ada di tenggorokanku sebelum menjawab pertanyaannya. “Iya, Bang, Tapi bekum dapat juga, efek pandemi mungkin ya.” Laki-laki mengangguk-angguk mendengarkan penjelasanku. Terlihat ia telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan menghampiriku, lalu mengambil kursi plastik dan duduk di dekatku. “Cari kerjaan memang susah, Mbak. Ini saja usaha kecil-kecilan saya ikut dapat imbas dari pandemi.” Laki-laki itu mengibas-kibaskan handuk yang tersampir di lehernya untuk mengusir hawa panas yang melingkupi udara di sekitarnya. “Saya ada info lowongan kerja sih, Mbak. Tapi, apa Mbaknya
Hallo Fellas... Terima kasih banyak sudah menemani terbitnya karya ini dari bab pertama sampai sekarang. Kehadiran kalian adalah semangat untukku. Jangan sungkan untuk memberikan kritik dan sarannya ya, Dear... aku akan senang banget jika ada yang berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan sarannya pada beberapa bab yang sudah terpublish pada karyaku ini. Jika menemukan kesalahan penulisan dan lainnya, silakan tandai langsung saja di sana. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan jika berkenan bintang limanya juga. hhhe nglunjak banget ya. Oh ya, jika ingin review balik bisa kok. Biar bisa tumbuh sama-sama. Sekali lagi terima kasih. Salam kenal dariku gadis imut suka halu yang ingin sukses.
“Terima kasih. Tidak akan.”Aku beranjak dari kursi, lalu menarik amplop yang sudah kuletakkan di meja. Sial! Belum sampai kakiku menyentuh bibir pintu aku dikejutkan dengan reaksi laki-laki itu yang tiba-tiba menarik lenganku dan mendorong pintu dengan begitu keras.“Lepaskan!” teriakku. Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang membuat lenganku terasa panas.“Kamu pikir bisa dengan mudah keluar dari sini? Kamu harus membayar apa yang telah kamu lakukan, Mey,” seringainya membuatku semakin merindung.“Tanggung jawab? Sepertinya Anda butuh bantuan untuk mengingat kembali apa yang telah Anda lakukan,” jawabku. Aku meringis kesakitan, tapi laki-laki di hadapanku seakan buta dan tak mau tahu rintihanku.Laki-laki itu kembali tersenyum sinis. Sambil memperlihatkan gigi-giginya yang berjajar rapi. “Siapa kamu beraninya berkata seperti itu?” kini tangan yang semula menahan pintu beralih me