Aku duduk di lantai, meluruskan kaki sambil menyandarkan punggung di dinding teras kosku. Seharian penuh keliling kota Jakarta, membuat kaki terasa kaku, belum lagi lecet di kaki karena terhimpit flatshoes yang kupakai tanpa kaus kaki. Meskipun begitu, belum juga ada hasil yang memuaskan. Rasanya aku hampir putus asa. Apa benar kata Chris? Apa mungkin aku harus kembali ke sana? Seklebat pemikiran itu muncul kembali di pikiranku, membuatku mengingat kembali betapa berjayanya aku kala itu. Uang cukup, apapun yang kuinginkan terpenuhi, dan semua kulakukan tanpa embel-embel orang tua. Suatu hal yang menurutku sebuah prestasi membanggakan waktu itu. Karena buktinya aku tetap bisa hidup mandiri tanpa uang orang tuaku.
“Mey, baru pulang?” Aku mendongak. Menatap sosok Silvi yang sudah berdiri di hadapanku. Dilihat dari penampilannya, gadis itu baru saja pulang dari majlisan. Terbukti ada dua kotak nasi di tangannya. Silvi sering mengikuti majlisan seperti yang diikuti kak Dini. Katanya sih, selain mendapat ilmu juga bisa dapet makan gratis di sana. Alasan macam apa itu? lihat saja apa yang dia bawa. Bahkan dia sampai membawa pulang dua kotak nasi.
“Ini buat kamu!” ucapnya sambil menyodorkan satu kotak nasi ke hadapanku.
Aku tersenyum canggung. Masih belum sepenuhnya sadar dengan apa yang aku dengar. Jelas-jelas aku tadi berpikiran buruk tentangnya.
“Ambil.” Silvi menarik tangan kananku. Lalu, meletakkan kotak nasi di tangan kananku. “Enggak boleh nolak rizki. Tadi Kebetulan ada banyak donatur makanan. Ya udah, aku bawa pulang, kamu belum makan ‘kan?”
Aku tersenyum menatapnya. Tuhan benar-benar Maha Baik, sudah mempertemukanku dengan orang-orang baik seperti mereka. Memberiku kesempatan untuk tinggal di bumi ini, menghirup udara gratis. Semoga saja aku bisa menjadi manusia yang lebih baik.
“Terima kasih ya, Sil,” seruku sembari penatap punggungnya yang perlahan menghilang dari pandanganku. Ia langsung bergegas masuk tanpa menunggu ucapan terima kasih dariku.
Cukup menghirup udara bebas di teras kos. Aku beranjak dari tempat dudukku. Lalu masuk dengan tas yang masih melekat di punggungku juga sekotak nasi yang di tangan kananku. Aku langsung masuk ke kamar, melempar tas ke atas ranjang lalu meletakkan nasi kotak di atas meja belajar. Setelah ini, berendam air hangat sepertinya mengasyikkan. Ah... aku lupa, aku sekarang kan miskin. Masih untung ada kamar mandi dalam kamar dengan air yang tetap mengalir tanpa mampet.
Aku bergegas ke kamar mandi. Membersihkan diri setelah banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Kebersihan diri memang harus digalakkan. Aku yang dulu langsung rebahan alih-alih kecapekan sekalipun habis dari luar rumah. Kini mencoba membenahi pola hidup, mulai dari kebersihan diri sendiri. Kalau soal kamar kos sih, jangan ditanya lagi. Kamar kosku selalu bersih dan rapi karena aku suka kerapihan dan kebersihan.
****
Aku menikmati nasi kotak dari Silvi. Nasi putih dipadu dengan ayam bakar, sambal goreng, serta lalap kemangi. Syukurlah, malam ini enggak makan mie instan lagi. Melihat menu di dalam kotak jadi mengingatkanku pada keluargaku di kampung. Setiap pulang dari hajatan abah biasanya akan membawa nasi kotak dan pastinya aku sebagai anak bontotnya yang pertama kali membuka kotaknya. Sedangkan Teh Anggi- dia bagian setelah aku. Sebenarnya aku enggak setega itu. Teh Anggi saja yang terlalu mengalah, dia enggak mau mengambil sebelum aku duluan yang ambil.
“Jadi rindu,” gumamku. Aku beranjak dari karpet sejenak. Lalu mengambil ponsel yang masih kusimpan dalam tas. Aku membuka aplikasi chat berlambang hijau. Ternyata pesanku semalam cuma di-read saja. Aku mendengus, antara jengkel dan juga merasa bersalah. Aku mencari nomor Teh Anggi. Kemudian mengambil foto makanan dengan view secantik mungkin.
“Makan nasi kotak check.” Kutulis pada chaption gambar. Terserah mau dibalas atau tidak. Aku hanya ingin menyampaikan kerinduanku. Memandam rindu itu enggak sehat untuk hati.
Kuletakkan ponselku di lantai. Kemudian aku melanjutkan menikmati makan malamku. Beberapa hari makan mie instan membuat nasi kotak ini begitu istimewa di lidahku. Sungguh, nikmat mana lagi yang kau dustakan?
Getar ponsel di sampingku mengalihkan perhatianku. Kuintip dari pop-up yang terlihat di layar. Mataku berbinar melihat sekilas pesan yang masuk. Sekalipun masih saja jutek dan pelit kata. Tapi, tak apalah. Masih mending dibalas, dari pada Cuma di-read.
“Jaga kesehatan.” Bunyi pesan dari Teh Anggi. Ingin rasanya aku segera membalas pesan itu. Tapi, nikmat makan yang sedang kurasakan saat ini juga sayang untuk ditinggalkan saat ini.
Aku bergegas melahap makan malamku yang tinggal beberapa suap lagi. Aku benar-benar bahagia mendapat pesan dari Teh Anggi. Pasalnya sejak dia tahu apa yang terjadi padaku, dia seakan memberi jarak antara aku dan dia. Mendapat pesan darinya seperti memupuk semangatku kembali. Aku sadar, aku mungkin bukan adik yang baik untuk Teh Anggi. Tapi, aku juga yakin, ada rasa sayang yang bersarang di hatiku. Hanya saja aku salah memahaminya. Hingga aku malah sering mengabaikan kebaikan-kebaikannya. Yang kukira itu hal kecil tapi justru memberi pengaruh besar untukku. Kecrewetannya tiap pagi misalnya. Itu melatihku untuk disiplin.
Selesai makan dan cuci tangan, aku membuka ponselku. Hal pertama yang aku buka adalah pesan singkat dari Teh Anggi. Aku tersenyum girang.
“Nuhun, Teh... Jaga kesehatan juga ya, salam ambu dan abah di rumah. Semoga sehat selalu,” balasku.
Dua centang biru terlihat di layar ponsel. Yang mengejutkan tertulis ’typing’ di bawah nama Teh Anggi, semoga saja benar-benar di balas.
“Sudah dapat kerjaan?” Ingin rasanya aku loncat, mengekpresikan bahagianya aku malam ini. Dengan begini Teh Anggi sudah memaafkanku bukan? Dia tidak lagi marah padaku ‘kan? semoga saja.
“Belum, Teh. Tadi sudah keliling kota Jakarta. Tapi, belum ada yang sesuai dengan kualifikasiku,” balasku yang kututup dengan emot mewek di akhir pesan. Biar lebih mendramatisir perjuanganku hari ini.
Teh Anggi tidak langsung membalas pesanku. Bahkan di layar ponsel hanya terlihat satu centang. Ya, sudahlah mungkin dia langsung istirahat. Aku tahu bagaimana kerja kerasnya Teh Anggi. Pagi mengajar di SD sorenya mengajar di Taman Pendidikan Al-Qur’an bahkan sabtu dan minggu saat sekolah pagi libur, ia tetap membuka privat untuk anak-anak sekitar. Belum lagi tugasnya sebagai operator sekolah yang tidak kenal waktu. Aku pernah protes, saat aku mengajaknya keluar melihat pasar malam dan dia menolaknya. Setiap kali aku protes jawabannya selalu sama. “Sebaik-baik manusia itu yang bisa bermanfaat untu orang lain, Neng.” Aku saja sampai hafal dengan kata-kata itu. Ia sih? tapi apa beramal harus seperti itu, sampai tak memperhatikan kebahagiaan dirinya sendiri. Namun meskipun seperti itu, aku bangga pada Teh Anggi. Ia tak pernah sekalipun mengeluh tentang apa yang dijalaninya. Baginya apa yang ia lakukan itu merupakan pilihan hidupnya dan pilihan itu harus dipertanggung jawabkan. Itulah yang kucoba terapkan dalam perjalanan hidupku kali ini. Berani memilih, berani bertanggung jawab tanpa mengeluh.
***
Aku terbangun cukup pagi. Sepertinya hidayah benar-benar menghampiriku. Hingga aku bisa terbangun di sepertiga malam yang kata Teh Anggi sangat mustajab untuk meminta pada Tuhan. Padahal aku benar-benar lelah, sampai semalampun aku tertidur saat melihat podcast dari youtuber ternama indonesia. Yang sering menyebarkan motivasi untuk kalangan muda dengan gaya bahasanya yang ringan. Aku belum lama mengikutinya, baru saja sejak pandemi melanda dan kesibukanku berkurang.
Hari ini, aku ingin melanjutkan pencarianku kembali. Aku sudah berdandan rapi. Celana denim dengan helm peach dan sepatu senada. Kali ini aku memakai sepatu tali dan kaos kaki. Kapok pakai flatshoes. Lecet yang kemarin saja belum sembuh.
Aku memakai tas slempang dengan map coklat berisi lamaran kerja yang aku panggul di tangan kiriku. Dengan rambut yang ku ikat kuda. Biar terlihat lebih rapi dan sederhana. Setelah sarapan dengan roti seribuan yang masih tersisa di almari dan segelas air putih. Aku bergegas keluar kamar. Lalu, bergegas menuju halte yang tak jauh dari kos-ku.
Kali ini aku kurang beruntung. Sudah lebih setengah jam menunggu, tapi angkutan yang kuharapkan belum juga terlihat. “Apa aku terlalu pagi?” gumamku.
Aku duduk di kursi tunggu halte, dari yang sebelumnya hanya ada aku, mulai bertambah satu demi satu hingga kursi tunggu penuh. Akupun mengalah, memilih berdiri saat melihat seorang nenek berdiri sambil sesekali memijit punggungnya. Nenek itu tersenyum padaku. “Terima kasih,” ujanya.
“Sama-sama, Nek,” jawabku.
Aku sedikit menjauh dari kerumunan. Lalu berdiri sambil bersender di tiang halte. Aku menggerak-gerakkan pergelangan kakiku. Lelah.
Setelah lama menunggu, akhirnya angkot yang kutunggu datang juga. Aku bergegas masuk sebelum di serobot oleh pengguna lain. Mataku mengitari isi angkutan. Lagi-lagi aku bertemu dengan laki-laki itu. Aku memang tak mengenalnya. Tapi, aku suka melihat matanya, yang terasa teduh jika dipandang. Duh, sadar Mey kamu siapa?
Entah kenapa netraku tak bisa berhenti membidik sosok jangkung di hadapanku. Wajahnya begitu tenang menatap buku ditangannya. Ia terlihat asyik bergumul dengan dunia yang ia ciptakan sendiri. tak peduli betapa riuhnya jalanan yang ia lalui.Laki-laki itu tiba-tiba menutup bukunya. Membuatku terkejut karena tiba-tiba dia menegakkan kepalanya. Pandangan kami bertemu sesaat. Aku yang gugup buru-buru membuang muka ke arah lain. Bisa memalukan kalau sampai dia menyadarinya.“Rumah sakit kiri, Bang,” seru laki-laki itu.Aku mengembuskan napas kasar. Ada rasa kesal juga lega yang datang bersamaan. Duh, kenapa lagi sih kamu, Mey?“Permisi,” ucapnya ketika melewatiku yang duduk tepat di samping pintu angkot.“Eh, iya,” jawabku gugup.Laki-laki itu turun. Lalu, menyerahkan beberapa lembar uang pada supit angkot. “Mungkin dia kerja di sini,” batinku. Angkot biru muda yang aku tumpangi pun melaju kem
“Terima kasih. Tidak akan.”Aku beranjak dari kursi, lalu menarik amplop yang sudah kuletakkan di meja. Sial! Belum sampai kakiku menyentuh bibir pintu aku dikejutkan dengan reaksi laki-laki itu yang tiba-tiba menarik lenganku dan mendorong pintu dengan begitu keras.“Lepaskan!” teriakku. Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang membuat lenganku terasa panas.“Kamu pikir bisa dengan mudah keluar dari sini? Kamu harus membayar apa yang telah kamu lakukan, Mey,” seringainya membuatku semakin merindung.“Tanggung jawab? Sepertinya Anda butuh bantuan untuk mengingat kembali apa yang telah Anda lakukan,” jawabku. Aku meringis kesakitan, tapi laki-laki di hadapanku seakan buta dan tak mau tahu rintihanku.Laki-laki itu kembali tersenyum sinis. Sambil memperlihatkan gigi-giginya yang berjajar rapi. “Siapa kamu beraninya berkata seperti itu?” kini tangan yang semula menahan pintu beralih me
Hallo Fellas... Terima kasih banyak sudah menemani terbitnya karya ini dari bab pertama sampai sekarang. Kehadiran kalian adalah semangat untukku. Jangan sungkan untuk memberikan kritik dan sarannya ya, Dear... aku akan senang banget jika ada yang berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan sarannya pada beberapa bab yang sudah terpublish pada karyaku ini. Jika menemukan kesalahan penulisan dan lainnya, silakan tandai langsung saja di sana. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan jika berkenan bintang limanya juga. hhhe nglunjak banget ya. Oh ya, jika ingin review balik bisa kok. Biar bisa tumbuh sama-sama. Sekali lagi terima kasih. Salam kenal dariku gadis imut suka halu yang ingin sukses.
“Ngelamun terus Mbaknya,” ucap tukang es cendol. “Enggak kok,” jawabku. Penjual es yang masih terlihat muda itu merapikan gelas-gelas yang sudah di rapikan dalam gerobak setelah mencuci dan mengelapnya bersih. Rasanya ia memperhatikanku sedari tadi. Nemun, ia membuang muka saat sesekali pandangan mata kami bertemu. “Mbak, sedang cari kerja?” Aku meneguk cairan es yang ada di tenggorokanku sebelum menjawab pertanyaannya. “Iya, Bang, Tapi bekum dapat juga, efek pandemi mungkin ya.” Laki-laki mengangguk-angguk mendengarkan penjelasanku. Terlihat ia telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan menghampiriku, lalu mengambil kursi plastik dan duduk di dekatku. “Cari kerjaan memang susah, Mbak. Ini saja usaha kecil-kecilan saya ikut dapat imbas dari pandemi.” Laki-laki itu mengibas-kibaskan handuk yang tersampir di lehernya untuk mengusir hawa panas yang melingkupi udara di sekitarnya. “Saya ada info lowongan kerja sih, Mbak. Tapi, apa Mbaknya
Kemeja berlengan panjang berpadu dengan rok plisket di bawah lutut membalut tubuh rampingku. Aku mengoleskan sedikit make-up untuk menjaga penampilanku agar tampak fresh. Sesuai kesepakatan, mbak Nelly akan mengajakku ke rumah majikannya itu. Makanya, aku ingin memberikan kesan terbaik agar bisa diterima nanti. Setelah memastikan penampilanku, aku beranjak dari depan cermin. Mengambil tas slempang di rak tas, kemudian sepatu flat warna putih, senada dengan rok yang kupakai.“Pagi sekali, Mey?” tanya seorang perempuan dari arah belakangku ketika aku mengunci pintu kamar kos. Terlihat bu Luluk mendekat dengan menenteng kranjang belanja di tangannya.“Iya, Bu. Mau interview kerja,” jawabku membuat hatiku tergelitik. Terlihat keren membayangkan kata interview, yah- walaupun cuma interview jadi pembantu.Bu Luluk mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar jawabanku yang terlihat keren itu. “Sukses ya. Semoga dit
“Hai...” sapaku sambil melambaikan tangan. Gadis kecil itu tak membalas. Ia mendongak ke arah Mbak Nelly.“Icha... ini Mbak Mey temannya Mbak,” ucap Mbak Nelly lembut. Gadis itu beralih menatapku lalu melambaikan tangan. “Hallo, Mbak... Aku Icha.”“Cha... sudah dibilangin, kalau habis main diberesin.” Suara wanita terdengar nyaring terdengar. Aku dan Mbak Nelly menoleh ke arah sumber suara, melihat seorang wanita di balik dinding pembatas menenteng keranjang plastik sambil memunguti mainan yang berceceran. Wanita itu belum menyadari kedatangan kami.Mbak Nelly menunduk menatap gadis mungil yang berdiri di depannya. “Kak Icha nakal ya?” Mbak Nelly berbisik. Gadis itu meletakkan telunjuk di depan bibir mungilnya. Memberi isyarat agar lawan bicaranya diam.“Sana bantuin Mama, kasian adik bayi di perut, lho.” Icha menekuk wajah, ia berbalik meninggalkan tempatnya berdiri. Aku dan Mb
“Ibu juga minta maaf, selama kamu tinggal di sini baik perkataan ataupun perbuatan ibu sengaja atau itu menyakiti perasaanmu. Ibu doakan semoga harapanmu tercapai ya,” ucap Bu Luluk saat aku berpamitan dengannya.“Sama-sama, Bu. Saya yang terima kasih, Ibu sudah bersedia menampung Mey selama ini. Saya permisi dulu. Ini kuncinya.” Aku menyerahkan kunci kamar pada Bu Luluk. Setelah itu aku pergi meninggalkan rumah lantai dua yang terletak di samping kos yang aku tempati.Langkahku terhenti begitu sampai di samping pagar. Aku membalikkan badan, menatap kembali bangunan bercat abu-abu yang sudah menjadi rumah bagiku selama lebih dari satu tahun ini. Meskipun singkat, tapi di sinilah aku belajar tentang hidup. Bahwa hidup tak hanya berpusat dengan duniaku. Bukan hanya aku yang menderita selama ini, bukan hanya aku yang merasa terikat selama ini. Semua orang punya beban hidup yang berbeda-beda. Dan di sini aku melihat banyak orang de
"Oh ya, Mas. Soal pengasuh buat ibu, alhadulillah sudah dapet." Anita mengambil jas dan tas dari tangan laki-laki di depannya yang baru memasuki rumah dengan koper di tangan kirinya."Oh, baguslah. Terima kasih ya," jawab laki-laki itu."Iya, sama-sama. Sudah seharusnya, Pa.""Icha sudah tidur?""Sudah. Dia keliatannya seneng banget dengan pengasuhnya ibu. Dari sore tadi sejak dia datang, Icha main di rumah ibu.""Oh, ya? Tumben, biasanya Icha kan enggak mudah akrab sama sembarang orang," ujar Erik. Ia sedikit heran."Iya, itu. Anaknya menyenangkan kelihatannya. Semoga saja ibu cocok sama dia."Erik mwnganggukkan kepala. "Amin, oh ya anak Papa satu ini rewel tidak?" Erik beralih menatap istrinya. Dieluanya perut Anita yang sudah membuncit."Enggak, Pa. Dede cuma lagi kangen sama Papa. Papa kapan punya waktu buat kita?" ucap Anita dengan menirukan suara anak kecil.Erik masih mengelus perut Anita. Ia membungkukkan tubuhnya, hingga wa
Hari kian menua. Berulang kali aku melihat jam tua yang terpampang di dinding. Namun, tak ada tanda-tanda bagi segera datang. Ingin rasanya aku terpejam beberapa saat tapi pikiranku melayang entah kemana. Bayangan pesan singkat juga foto yang masuk dalam ponselku siang tadi sukses mengusik pikiranku. Kenapa harus datang lagi? Aku benar-benar ingin bertaubat. Tak ingin berurusan dengan dunia malam itu lagi.Kesal tak kunjung bisa terlelap, aku memutuskan untuk keluar kamar berbekal senter ponsel. Sengaja aku tidak menghidupkan lampu karena masih terlalu larut untuk bangun. Aku menunju dapur yang berada di lantai satu belakang ruang tamu. Bingung tidak ada yang bisa kukerjakan, aku memutuskan untuk membuat secangkir teh untuk menghangatkan tubuh.“Kenapa aku harus khawatir? Ini masa lalu, kan? Semua orang punya kesempatan untuk berubah kan?” ucapku lirih. Mencoba mengusir kerisauan yang merasuk isi kepala.Dalam keheningan, sayup-sayup terdengar gemerincing
"Bagus, kamu jago juga merangkai bunga," puji Bu Wini setelah perdebatan panjang pagi ini. Satu vas dengan rangkaian bunga segar sudah tertata indah dan siap untuk mengisi ruang. Kini mereka melanjutkan vas berikutnya. Selain hobi mengoleksi lukisan, bu Wini juga menyukai bunga. Tiga minggu sekali biasanya ada kurir yang mengantar bunga untuk bu Wini. Wanita itu juga hobi berkebun. Memanfaatkan sebagian kecil pekarangan rumah untuk menanam berbagai macam jenis bunga. "Terima kasih, Bu." Satu minggu kami selalu menghabiskan waktu bersama, membuatku bisa melihat sisi hangat bu Wini. Ternyata bu Wini tak segalak yang kubayangkan waktu pertama kali bertemu. Bu Wini yang awalnya begitu menutup diri dari jangkauanku, perlahan menunjukkan kepedulian terhadapku. "Kapan mulai kuliah?" tanya Bu Wini. "Mulai minggu depan, Bu." Ekor mataku menangkap anggukan kepala Bu Wini. Tangannya masih terampil menata bunga di vas yang lain. Sedang matanya fokus dengan
"Oh ya, Mas. Soal pengasuh buat ibu, alhadulillah sudah dapet." Anita mengambil jas dan tas dari tangan laki-laki di depannya yang baru memasuki rumah dengan koper di tangan kirinya."Oh, baguslah. Terima kasih ya," jawab laki-laki itu."Iya, sama-sama. Sudah seharusnya, Pa.""Icha sudah tidur?""Sudah. Dia keliatannya seneng banget dengan pengasuhnya ibu. Dari sore tadi sejak dia datang, Icha main di rumah ibu.""Oh, ya? Tumben, biasanya Icha kan enggak mudah akrab sama sembarang orang," ujar Erik. Ia sedikit heran."Iya, itu. Anaknya menyenangkan kelihatannya. Semoga saja ibu cocok sama dia."Erik mwnganggukkan kepala. "Amin, oh ya anak Papa satu ini rewel tidak?" Erik beralih menatap istrinya. Dieluanya perut Anita yang sudah membuncit."Enggak, Pa. Dede cuma lagi kangen sama Papa. Papa kapan punya waktu buat kita?" ucap Anita dengan menirukan suara anak kecil.Erik masih mengelus perut Anita. Ia membungkukkan tubuhnya, hingga wa
“Ibu juga minta maaf, selama kamu tinggal di sini baik perkataan ataupun perbuatan ibu sengaja atau itu menyakiti perasaanmu. Ibu doakan semoga harapanmu tercapai ya,” ucap Bu Luluk saat aku berpamitan dengannya.“Sama-sama, Bu. Saya yang terima kasih, Ibu sudah bersedia menampung Mey selama ini. Saya permisi dulu. Ini kuncinya.” Aku menyerahkan kunci kamar pada Bu Luluk. Setelah itu aku pergi meninggalkan rumah lantai dua yang terletak di samping kos yang aku tempati.Langkahku terhenti begitu sampai di samping pagar. Aku membalikkan badan, menatap kembali bangunan bercat abu-abu yang sudah menjadi rumah bagiku selama lebih dari satu tahun ini. Meskipun singkat, tapi di sinilah aku belajar tentang hidup. Bahwa hidup tak hanya berpusat dengan duniaku. Bukan hanya aku yang menderita selama ini, bukan hanya aku yang merasa terikat selama ini. Semua orang punya beban hidup yang berbeda-beda. Dan di sini aku melihat banyak orang de
“Hai...” sapaku sambil melambaikan tangan. Gadis kecil itu tak membalas. Ia mendongak ke arah Mbak Nelly.“Icha... ini Mbak Mey temannya Mbak,” ucap Mbak Nelly lembut. Gadis itu beralih menatapku lalu melambaikan tangan. “Hallo, Mbak... Aku Icha.”“Cha... sudah dibilangin, kalau habis main diberesin.” Suara wanita terdengar nyaring terdengar. Aku dan Mbak Nelly menoleh ke arah sumber suara, melihat seorang wanita di balik dinding pembatas menenteng keranjang plastik sambil memunguti mainan yang berceceran. Wanita itu belum menyadari kedatangan kami.Mbak Nelly menunduk menatap gadis mungil yang berdiri di depannya. “Kak Icha nakal ya?” Mbak Nelly berbisik. Gadis itu meletakkan telunjuk di depan bibir mungilnya. Memberi isyarat agar lawan bicaranya diam.“Sana bantuin Mama, kasian adik bayi di perut, lho.” Icha menekuk wajah, ia berbalik meninggalkan tempatnya berdiri. Aku dan Mb
Kemeja berlengan panjang berpadu dengan rok plisket di bawah lutut membalut tubuh rampingku. Aku mengoleskan sedikit make-up untuk menjaga penampilanku agar tampak fresh. Sesuai kesepakatan, mbak Nelly akan mengajakku ke rumah majikannya itu. Makanya, aku ingin memberikan kesan terbaik agar bisa diterima nanti. Setelah memastikan penampilanku, aku beranjak dari depan cermin. Mengambil tas slempang di rak tas, kemudian sepatu flat warna putih, senada dengan rok yang kupakai.“Pagi sekali, Mey?” tanya seorang perempuan dari arah belakangku ketika aku mengunci pintu kamar kos. Terlihat bu Luluk mendekat dengan menenteng kranjang belanja di tangannya.“Iya, Bu. Mau interview kerja,” jawabku membuat hatiku tergelitik. Terlihat keren membayangkan kata interview, yah- walaupun cuma interview jadi pembantu.Bu Luluk mengangguk-anggukkan kepala setelah mendengar jawabanku yang terlihat keren itu. “Sukses ya. Semoga dit
“Ngelamun terus Mbaknya,” ucap tukang es cendol. “Enggak kok,” jawabku. Penjual es yang masih terlihat muda itu merapikan gelas-gelas yang sudah di rapikan dalam gerobak setelah mencuci dan mengelapnya bersih. Rasanya ia memperhatikanku sedari tadi. Nemun, ia membuang muka saat sesekali pandangan mata kami bertemu. “Mbak, sedang cari kerja?” Aku meneguk cairan es yang ada di tenggorokanku sebelum menjawab pertanyaannya. “Iya, Bang, Tapi bekum dapat juga, efek pandemi mungkin ya.” Laki-laki mengangguk-angguk mendengarkan penjelasanku. Terlihat ia telah menyelesaikan pekerjaannya. Ia berjalan menghampiriku, lalu mengambil kursi plastik dan duduk di dekatku. “Cari kerjaan memang susah, Mbak. Ini saja usaha kecil-kecilan saya ikut dapat imbas dari pandemi.” Laki-laki itu mengibas-kibaskan handuk yang tersampir di lehernya untuk mengusir hawa panas yang melingkupi udara di sekitarnya. “Saya ada info lowongan kerja sih, Mbak. Tapi, apa Mbaknya
Hallo Fellas... Terima kasih banyak sudah menemani terbitnya karya ini dari bab pertama sampai sekarang. Kehadiran kalian adalah semangat untukku. Jangan sungkan untuk memberikan kritik dan sarannya ya, Dear... aku akan senang banget jika ada yang berkenan meluangkan waktunya untuk memberikan kritik dan sarannya pada beberapa bab yang sudah terpublish pada karyaku ini. Jika menemukan kesalahan penulisan dan lainnya, silakan tandai langsung saja di sana. Jangan lupa tinggalkan jejak, dan jika berkenan bintang limanya juga. hhhe nglunjak banget ya. Oh ya, jika ingin review balik bisa kok. Biar bisa tumbuh sama-sama. Sekali lagi terima kasih. Salam kenal dariku gadis imut suka halu yang ingin sukses.
“Terima kasih. Tidak akan.”Aku beranjak dari kursi, lalu menarik amplop yang sudah kuletakkan di meja. Sial! Belum sampai kakiku menyentuh bibir pintu aku dikejutkan dengan reaksi laki-laki itu yang tiba-tiba menarik lenganku dan mendorong pintu dengan begitu keras.“Lepaskan!” teriakku. Aku mencoba melepaskan genggaman tangannya yang membuat lenganku terasa panas.“Kamu pikir bisa dengan mudah keluar dari sini? Kamu harus membayar apa yang telah kamu lakukan, Mey,” seringainya membuatku semakin merindung.“Tanggung jawab? Sepertinya Anda butuh bantuan untuk mengingat kembali apa yang telah Anda lakukan,” jawabku. Aku meringis kesakitan, tapi laki-laki di hadapanku seakan buta dan tak mau tahu rintihanku.Laki-laki itu kembali tersenyum sinis. Sambil memperlihatkan gigi-giginya yang berjajar rapi. “Siapa kamu beraninya berkata seperti itu?” kini tangan yang semula menahan pintu beralih me