Author's POV"Yang, kamu kenapa?" tanya Om Tino sambil menyentuh lengan sang istri. Putra bungsunya yang duduk di antara mereka juga bingung melihat sang mama. Kebetulan dua anaknya Tante Verra yang lain tidak mau ikut.Wanita itu segera berdiri karena sadar akan jadi perhatian tamu yang lain jika melihat ke arahnya. Tante Verra terus menunduk menuju kamar mandi. Embun juga berdiri mengikutinya. Dalam situasi seperti itu, Andrean tidak bisa mencegahnya karena mereka melangkah cepat di antara meja tamu.Tante Verra berdiri menatap cermin sambil mengelap air mata. Untungnya dia juga termasuk wanita yang tidak suka dandan berlebihan, sehingga tangisan itu tidak membuat make up-nya belepotan.Di kamar mandi hanya ada dua orang yang terus pergi setelah selesai menyisir rambutnya. Jadi tidak ada yang memperhatikan mereka berdua."Tante, nggak apa-apa?" tanya Embun sambil menyodorkan tisu pada wanita itu.Tante Verra berbalik dan mereka saling berhadapan. "Tante ingat seseorang," jawab Tante
Wanita itu terus menyanyi meski air mata mengalir dari kedua netranya. Meski dengan suara yang mulai bergetar, Tante Verra tidak menyerah. Dia ingin mengenang sang kakak. Walaupun bukan kakak kandung, tapi kedekatan mereka melebihi dari saudara kandungnya sendiri. Bahkan dengan kakak kandungnya Tante Verra tidak bisa sedekat dengan Bu Lili.Pak Darmawan benar-benar beku. Lelaki berparas tampan meski sudah berumur itu diam menahan sesaknya dada. Melodi syahdu itu menembus tepat di jantung beliau. Membuatnya terasa berhenti seketika dan hilang denyutnya.Rasa yang sesak dengan kenangan yang berkelindan membuat pria itu berdiri dan pemisi pada besan sekaligus kerabatnya. Beliau melangkah cepat ke belakang dan menangis di ruang yang tidak ada lalu lalang orang di sana. Biasanya disindir seperti apapun oleh Tante Verra, Pak Darmawan hanya diam saja. Tapi kali ini tidak bisa. Padahal beliau menjadi tuan rumah di pernikahan putranya. Beliau juga pernah menikah di tempat itu berpuluh tahun y
Author's POVAndrean mengusap permukaan buku usang yang sampulnya kecokelatan. Warna dasarnya sudah memudar termakan usia. Mungkin saja umur buku itu lebih tua dari usianya. Ditariknya napas dalam-dalam. Jika Tante Verra menyimpan baik-baik benda itu, tentunya memang ada sesuatu di dalamnya yang sangat berharga dan rahasia. Bisa jadi merupakan bukti tertulis dari apa yang dialami mamanya.Tidak tahu bagaimana perasaannya kala itu. Disisi lain ada mamanya, dipihak lain ada sang papa. Selama ini dia menutup telinga rapat-rapat dan memasa bodohkan apa yang ia dengar. Hanya demi ketenangan jiwanya sendiri. Karena takdir yang telah lewat tidak bisa lagi dirubah.Hanya pesan sang nenek yang masih diingat. "Jangan benci papamu, apapun yang terjadi. Karena setelah nenek tiada. Dialah orang tua yang masih kamu punya."Dan sekarang batinnya berperang. Membaca apa yang ditulis mamanya atau mengabaikan saja. Andrean tahu, mamanya menulis di buku itu karena dalam keadaan tidak baik-baik saja. Buku
Benar kata seorang rekannya. Bahwa di usia antara 50-70 tahun banyak lelaki menyadari tentang kesalahannya karena telah berselingkuh dan berkhianat pada pasangannya di masa muda. Di mana sudah terlambat dan tak berdaya serta kehilangan kesempatan untuk menebus semua. Terlebih istrinya telah tiada untuk selamanya. Apa yang bisa ia perbuat sekarang, untuk meminta maaf pun sudah tidak ada kesempatan. Sekarang bukan hanya orang lain yang menghukumnya, tapi dirinya sendiri yang menghakimi."Jika aku pergi, biarkan Andrean bersama ibuku, Mas. Jika bersamamu hanya akan menjadi penghalang hubungan kalian. Dia sedang hamil, kan? Pasti butuh perhatianmu. Maafkan aku nggak bisa menjadi istri yang baik hingga Mas kembali pada masa lalumu. Maafkan kesalahan dan kekuranganku selama menjadi istrimu. Ternyata hingga detik ini aku nggak bisa memenangkan hatimu." Bu Lili mengatakan itu sambil menangis ketika sedang terbaring sakit dan meninggal dunia dua hari kemudian. Mengingat itu tanpa terasa air
Author's POVEmbun menunggu Mbok Darmi selesai mematikan kompor dan menutup pintu serta jendela yang terbuka. Kebetulan Pak Karyo tidak datang hari itu karena harus mendampingi cucunya yang sedang ada kegiatan di sekolah.Setelah semuanya beres, kedua wanita beda generasi masuk ke dalam mobil dan mengikuti ke mana Rendy hendak membawa mereka. Mbok Darmi tidak mungkin akan membiarkan majikannya pergi sendirian. Terlebih Andrean telah mewanti-wanti mereka agar menjaga istrinya supaya tidak pergi saat dirinya tidak ada di rumah. Meski yang menjemput asisten pribadi Andrean, Mbok Darmi tetap tidak tega.Mobil melaju di jalan protokol lantas mengambil jalur ke arah luar kota. Hati Embun berdebar-debar. Banyak dugaan yang mengganjal di kepalanya. Mulai dari hal terbaik, misalnya Andrean akan memberikan surprise padanya hingga hal terburuk yang bisa saja terjadi pada sang suami.Mbok Darmi yang tak kalah gelisah menenangkannya dengan mengusap lembut punggung tangan majikannya."Maaf, Mas. Ap
Author's POVTadi malam dia berdiam diri lama di ruang kerjanya. Mengingat sang mama yang hidup singkat di dunia ini. Wanita yang hampir tidak bisa diingatnya ketika mereka menghabiskan waktu bersama. Andrean masih terlalu kecil saat itu. Namun kisah singkat hidupnya bagai belati tajam yang menembus tepat di jantungnya. Andrean yang jarang meneteskan air mata, menangis sesenggukan malam itu. Ia merasakan luka yang dialami mamanya. Wanita yang tidak ia ingat bagaimana hangat pelukannya.Inilah yang membuatnya tak berdaya hari itu. Muntah bukan karena sakit. Tapi karena sesaknya perasaan. Kesedihan yang mendalam membayangkan penderitaan yang dialami mamanya. Ternyata apa yang terjadi lebih memilukan dari apa yang ia dengar selama ini.Namun ia tidak akan menceritakan kisah itu pada Embun. Psikologi istrinya harus terjaga menjelang kelahiran putra mereka. Andrean yang menatap langit-langit kamar mengalihkan pandangan ketika pintu kamar terkuak. Masuk seorang perawat yang sedang visit.
Author's POV"Andrean, kamu sudah sembuh?" tanya Pak Darmawan setelah berhadapan dengan putranya. Laki-laki itu heran. Baru saja beliau mencari putranya di kantor dan diberitahu oleh Endah kalau Andrean sedang mendapatkan perawatan di klinik. Tapi sekarang putranya terlihat baik-baik saja."Saya tidak apa-apa, Pa," jawab Andrean datar.Bu Salwa tampak serba salah, tak berani menatap putra tirinya. Ia lebih sering memandang Embun. Tatapan Andrean tidak seperti biasanya. Meski hubungan mereka buruk, tapi selama ini belum pernah menampakkan kebencian seperti saat itu."Kami mau pulang.""Biar Papa yang ngantar.""Terima kasih, sudah ada Rendy menunggu di luar. Saya permisi dulu, Pa. Ayo!" Andrean mengajak istrinya pergi. Embun maju untuk menyalami dan mencium tangan kedua mertuanya. Dia tidak menyadari bahwa Andrean dalam tahap emosi yang tinggi. Dipikir hanya karena hubungan mereka memang sudah berjarak sebelumnya. Setelahnya Andrean kembali menggenggam jemari istrinya dan melangkah. P
Author's POVKetika sang kakak sedang menikmati kebersamaan dan percintaan dengan istrinya. Di rumah lain, Hendriko memilih menyibukkan diri dengan laptopnya. Kenyataan yang kontras. Harusnya dia yang lebih menggebu menikmati masa-masa pengantin baru. Tapi kenyataannya dia dan Miranda tidur di kamar yang berbeda.Hendriko bangkit dari duduknya dan keluar kamar ketika rasa haus mengganggu konsentrasinya. Namun langkahnya terhenti beberapa meter dari dispenser ketika melihat Miranda berdiri minum dengan baju malamnya yang seksi. Menampakkan bahu dan area dadanya yang putih. Bahkan belahan dadanya tampak saat lelaki itu memandang.Pada saat yang bersamaan Miranda menoleh."Kenapa kamu pakai baju seperti itu?" tegur Hendriko sambil mendekat dan mengambil minum."Aku biasa pakai baju seperti ini kalau tidur. Kenapa, Mas?"Hendriko tidak menjawab. Dia sedang menghabiskan airnya di gelas."Aku nggak bermaksud menggodamu. Aku nyaman berpakaian begini kalau mau tidur. Andai aku telanjang pun b