Author's POVEmbun baru selesai Salat Zhuhur ketika ponselnya yang sedang di charge berdering. Ada telepon dari Bu Salwa. Tumben sekali beliau menelepon. Terakhir kali menghubunginya saat wanita itu mengundangnya makan malam, sebelum ia menikah dengan Andrean."Halo, Assalamu'alaikum Bu.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?""Iya, saya di rumah. Ada apa Bu Salwa menelepon saya?""Ini masalah tadi malam. Antara kamu dan Andrean dengan Rusdy.""Maaf, memangnya ada apa, Bu." Embun tidak paham dengan apa yang diucapkan Bu Salwa. Di seberang terdengar Bu Salwa menghembuskan napas kasar. Kemudian menceritakan kejadian tadi malam. Embun kaget juga. Apalagi urusannya sudah sampai ke pihak yang berwajib."Embun, maaf jika Ibu menceritakan hal ini padamu. Kamu paham kan bagaimana hati seorang ibu. Kamu juga calon ibu. Anak yang masih belum bisa kamu lihat saja, kamu lindungi sepenuh hati. Begitu juga dengan ibu. Ibu nggak ingin urusan ini sampai panjang di pengadilan, apalagi kalau sampai jadi be
Author's POVEmbun merentangkan tangan dan tersenyum. Kemudian mendekat untuk memeluk suaminya. Pipinya yang menempel di dada Andrean terasa sejuk oleh sisa air mandi. Andrean mencium puncak kepala istrinya sambil mendekap erat.Wangi sabun dan sisa parfum memenuhi penciuman Embun. Segar dan menenangkan. Ia juga nyaman bernaung di tubuh itu.Untuk beberapa saat keduanya berpelukan. Andrean merasakan ada sundulan-sundulan kecil dari perut istrinya. Ia menyukai dan menikmati dalam diam. Sepertinya sang anak juga ingin menikmati moment itu. Dia sibuk sendiri di dalam perut mamanya dan membuat Andrean gemas.Terkadang obat untuk menenangkan diri atau memulihkan segala kepenatan raga dan pikiran bukan hanya duduk berdua saling bicara. Meluangkan waktu sejenak untuk bercinta dengan pasangan sahnya bisa juga jadi obat yang mujarab bagi pria. Sedangkan wanita jika ada masalah, lebih senang di dengarkan curahan hatinya terlebih dahulu. Namun kali ini Embun mengalah, membiarkan Andrean menikma
Matahari sudah condong ke ufuk barat ketika Andrean meninggalkan lokasi proyek. Sore itu dia ada janji ketemuan dengan Fariq di sebuah kafe. Saat sampai, Fariq sudah menunggunya di bangku paling pojok. Pebisnis yang sering melakukan pertemuan dengan relasinya di luar kantor, memang suka memilih kafe dengan tempat duduk yang menepi. Supaya tidak terganggu oleh lalu lalang pengunjung yang lain. Sebelum duduk, Andrean memesan ice lemon tea pada seorang pelayan yang berdiri di dekat kasir."Maaf, menunggu," kata Andrean sambil menyalami laki-laki berkemeja warna ungu. Fariq tersenyum. "Nggak apa-apa, Pak Andrean. Saya juga pulang dari kantor langsung ke mari.""Tampaknya ada hal serius yang ingin Pak Fariq bicarakan dengan saya?""Mengenai bisnis kita. Bukankah Pak Andrean waktu itu bilang pada saya, kalau apapun yang terjadi jangan membuat kerjasama kita terhambat."Andrean tersenyum. "Sipp, Pak Fariq. Kita memang harus profesional."Meskipun terlihat cukup tenang. Perasaan Fariq tidak
Author's POVMelihat dua orang di depannya membuat Embun terhenyak. Tidak percaya kenapa mereka bisa jalan bersama. Sedangkan Andrean tetap tenang sambil menggenggam jemari istrinya."Mbak, Mas Andre," panggil Roy. Sekarang yang kaget ganti gadis di sebelahnya. Kenapa Roy bisa kenal pasangan itu.Roy menyalami Andrean baru menyalami Embun. Sedangkan Nency masih diam di tempatnya."Cy, kenalkan ini Embun, kakakku dan suaminya." Cowok jangkung itu mengenalkan Nency pada Embun dan Andrean. "Ya, aku sudah kenal," jawab Nency sambil tersenyum. Roy pula yang sekarang kaget. Kemudian Andrean mengajak mereka minum di warung tenda di taman kota. Empat gelas teh hangat dan pisang goreng cokelat menemani percakapan mereka. Embun melihat kalau sang adik tampak akrab dengan Nency. Dan gadis itu pun tampak enjoy berbincang. Pandangannya juga sekarang hati-hati, tidak sembarangan memandang Andrean seperti kemarin-kemarin.Ingin sekali Embun bertanya darimana mereka saling kenal, tapi pertanyaannya
Author's POVAndrean melangkah masuk kantor. Banyak pekerjaan yang harus di selesaikan hari ini. Termasuk memeriksa laporan yang di selesaikan oleh Endah kemarin.Endah yang tahu bosnya datang segera mengikuti Andrean masuk ruangan dengan membawa berkas laporan yang sudah ia selesaikan."Nanti saja saya periksa.""Pak, tadi Rendy menelpon tapi nggak Bapak angkat."Andrean melihat ponselnya. Memang ada dua kali panggilan tak terjawab dari asistennya yang bertugas di lapangan. Waktu menerima telepon dari istrinya tadi ia tidak memperhatikan ada miss call. Mungkin saat di kantor polisi tadi Rendy menelepon. "Rendy ngabari apa?""Katanya hari ini ada delay armada ready mix, Pak. Beberapa material yang harusnya dikirim juga terlambat datang."Andrean menarik napas panjang sambil menyandarkan punggungnya. Kalau semua delay akan mengakibatkan jadwal pekerjaan yang sudah di susun jadi mundur waktunya, tidak sesuai rencana sebelumnya. Dalam sebuah proyek memang biasa terjadi kendala seperti in
Author's POV"Yang, kamu kenapa?" tanya Om Tino sambil menyentuh lengan sang istri. Putra bungsunya yang duduk di antara mereka juga bingung melihat sang mama. Kebetulan dua anaknya Tante Verra yang lain tidak mau ikut.Wanita itu segera berdiri karena sadar akan jadi perhatian tamu yang lain jika melihat ke arahnya. Tante Verra terus menunduk menuju kamar mandi. Embun juga berdiri mengikutinya. Dalam situasi seperti itu, Andrean tidak bisa mencegahnya karena mereka melangkah cepat di antara meja tamu.Tante Verra berdiri menatap cermin sambil mengelap air mata. Untungnya dia juga termasuk wanita yang tidak suka dandan berlebihan, sehingga tangisan itu tidak membuat make up-nya belepotan.Di kamar mandi hanya ada dua orang yang terus pergi setelah selesai menyisir rambutnya. Jadi tidak ada yang memperhatikan mereka berdua."Tante, nggak apa-apa?" tanya Embun sambil menyodorkan tisu pada wanita itu.Tante Verra berbalik dan mereka saling berhadapan. "Tante ingat seseorang," jawab Tante
Wanita itu terus menyanyi meski air mata mengalir dari kedua netranya. Meski dengan suara yang mulai bergetar, Tante Verra tidak menyerah. Dia ingin mengenang sang kakak. Walaupun bukan kakak kandung, tapi kedekatan mereka melebihi dari saudara kandungnya sendiri. Bahkan dengan kakak kandungnya Tante Verra tidak bisa sedekat dengan Bu Lili.Pak Darmawan benar-benar beku. Lelaki berparas tampan meski sudah berumur itu diam menahan sesaknya dada. Melodi syahdu itu menembus tepat di jantung beliau. Membuatnya terasa berhenti seketika dan hilang denyutnya.Rasa yang sesak dengan kenangan yang berkelindan membuat pria itu berdiri dan pemisi pada besan sekaligus kerabatnya. Beliau melangkah cepat ke belakang dan menangis di ruang yang tidak ada lalu lalang orang di sana. Biasanya disindir seperti apapun oleh Tante Verra, Pak Darmawan hanya diam saja. Tapi kali ini tidak bisa. Padahal beliau menjadi tuan rumah di pernikahan putranya. Beliau juga pernah menikah di tempat itu berpuluh tahun y
Author's POVAndrean mengusap permukaan buku usang yang sampulnya kecokelatan. Warna dasarnya sudah memudar termakan usia. Mungkin saja umur buku itu lebih tua dari usianya. Ditariknya napas dalam-dalam. Jika Tante Verra menyimpan baik-baik benda itu, tentunya memang ada sesuatu di dalamnya yang sangat berharga dan rahasia. Bisa jadi merupakan bukti tertulis dari apa yang dialami mamanya.Tidak tahu bagaimana perasaannya kala itu. Disisi lain ada mamanya, dipihak lain ada sang papa. Selama ini dia menutup telinga rapat-rapat dan memasa bodohkan apa yang ia dengar. Hanya demi ketenangan jiwanya sendiri. Karena takdir yang telah lewat tidak bisa lagi dirubah.Hanya pesan sang nenek yang masih diingat. "Jangan benci papamu, apapun yang terjadi. Karena setelah nenek tiada. Dialah orang tua yang masih kamu punya."Dan sekarang batinnya berperang. Membaca apa yang ditulis mamanya atau mengabaikan saja. Andrean tahu, mamanya menulis di buku itu karena dalam keadaan tidak baik-baik saja. Buku