Author's POVHendriko tersenyum miring. Dia tidak menggubris sama sekali ucapan mamanya. Mustahil baginya untuk minta maaf pada lelaki seperti Rusdy. Bahkan tadi kalau tidak dihalangi oleh Embun, laki-laki itu pasti sudah dibuat babak belur oleh kakaknya. Babak belur kali kedua setelah di hajar Andrean karena pengkhianatan mereka tujuh tahun yang lalu.Dia tahu bagaimana Andrean kalau sudah marah. Kakaknya yang pendiam itu bisa berubah jadi singa kalau mengamuk. Hanya saja sekarang mungkin berpikir berkali-kali kalau mau bertindak. Ada Embun yang harus dipikirkan perasaannya, dia tempat bernaung istrinya sekarang. Terlebih Embun sedang hamil dan tak lama lagi akan melahirkan."Kamu nggak dengar mama ngomong apa?""Nggak, Ma," jawab Hendriko cepat. Semakin menambah jengkel sang mama."Mama nggak perlu mikir. Itu urusanku.""Mama nggak mau kamu berurusan dengan pihak berwajib.""Mama nggak perlu takut. Aku nggak mungkin diam saja."Bu Salwa akhirnya pergi daripada tambah emosi. Wanita i
Author's POVEmbun baru selesai Salat Zhuhur ketika ponselnya yang sedang di charge berdering. Ada telepon dari Bu Salwa. Tumben sekali beliau menelepon. Terakhir kali menghubunginya saat wanita itu mengundangnya makan malam, sebelum ia menikah dengan Andrean."Halo, Assalamu'alaikum Bu.""Wa'alaikumsalam. Kamu di rumah?""Iya, saya di rumah. Ada apa Bu Salwa menelepon saya?""Ini masalah tadi malam. Antara kamu dan Andrean dengan Rusdy.""Maaf, memangnya ada apa, Bu." Embun tidak paham dengan apa yang diucapkan Bu Salwa. Di seberang terdengar Bu Salwa menghembuskan napas kasar. Kemudian menceritakan kejadian tadi malam. Embun kaget juga. Apalagi urusannya sudah sampai ke pihak yang berwajib."Embun, maaf jika Ibu menceritakan hal ini padamu. Kamu paham kan bagaimana hati seorang ibu. Kamu juga calon ibu. Anak yang masih belum bisa kamu lihat saja, kamu lindungi sepenuh hati. Begitu juga dengan ibu. Ibu nggak ingin urusan ini sampai panjang di pengadilan, apalagi kalau sampai jadi be
Author's POVEmbun merentangkan tangan dan tersenyum. Kemudian mendekat untuk memeluk suaminya. Pipinya yang menempel di dada Andrean terasa sejuk oleh sisa air mandi. Andrean mencium puncak kepala istrinya sambil mendekap erat.Wangi sabun dan sisa parfum memenuhi penciuman Embun. Segar dan menenangkan. Ia juga nyaman bernaung di tubuh itu.Untuk beberapa saat keduanya berpelukan. Andrean merasakan ada sundulan-sundulan kecil dari perut istrinya. Ia menyukai dan menikmati dalam diam. Sepertinya sang anak juga ingin menikmati moment itu. Dia sibuk sendiri di dalam perut mamanya dan membuat Andrean gemas.Terkadang obat untuk menenangkan diri atau memulihkan segala kepenatan raga dan pikiran bukan hanya duduk berdua saling bicara. Meluangkan waktu sejenak untuk bercinta dengan pasangan sahnya bisa juga jadi obat yang mujarab bagi pria. Sedangkan wanita jika ada masalah, lebih senang di dengarkan curahan hatinya terlebih dahulu. Namun kali ini Embun mengalah, membiarkan Andrean menikma
Matahari sudah condong ke ufuk barat ketika Andrean meninggalkan lokasi proyek. Sore itu dia ada janji ketemuan dengan Fariq di sebuah kafe. Saat sampai, Fariq sudah menunggunya di bangku paling pojok. Pebisnis yang sering melakukan pertemuan dengan relasinya di luar kantor, memang suka memilih kafe dengan tempat duduk yang menepi. Supaya tidak terganggu oleh lalu lalang pengunjung yang lain. Sebelum duduk, Andrean memesan ice lemon tea pada seorang pelayan yang berdiri di dekat kasir."Maaf, menunggu," kata Andrean sambil menyalami laki-laki berkemeja warna ungu. Fariq tersenyum. "Nggak apa-apa, Pak Andrean. Saya juga pulang dari kantor langsung ke mari.""Tampaknya ada hal serius yang ingin Pak Fariq bicarakan dengan saya?""Mengenai bisnis kita. Bukankah Pak Andrean waktu itu bilang pada saya, kalau apapun yang terjadi jangan membuat kerjasama kita terhambat."Andrean tersenyum. "Sipp, Pak Fariq. Kita memang harus profesional."Meskipun terlihat cukup tenang. Perasaan Fariq tidak
Author's POVMelihat dua orang di depannya membuat Embun terhenyak. Tidak percaya kenapa mereka bisa jalan bersama. Sedangkan Andrean tetap tenang sambil menggenggam jemari istrinya."Mbak, Mas Andre," panggil Roy. Sekarang yang kaget ganti gadis di sebelahnya. Kenapa Roy bisa kenal pasangan itu.Roy menyalami Andrean baru menyalami Embun. Sedangkan Nency masih diam di tempatnya."Cy, kenalkan ini Embun, kakakku dan suaminya." Cowok jangkung itu mengenalkan Nency pada Embun dan Andrean. "Ya, aku sudah kenal," jawab Nency sambil tersenyum. Roy pula yang sekarang kaget. Kemudian Andrean mengajak mereka minum di warung tenda di taman kota. Empat gelas teh hangat dan pisang goreng cokelat menemani percakapan mereka. Embun melihat kalau sang adik tampak akrab dengan Nency. Dan gadis itu pun tampak enjoy berbincang. Pandangannya juga sekarang hati-hati, tidak sembarangan memandang Andrean seperti kemarin-kemarin.Ingin sekali Embun bertanya darimana mereka saling kenal, tapi pertanyaannya
Author's POVAndrean melangkah masuk kantor. Banyak pekerjaan yang harus di selesaikan hari ini. Termasuk memeriksa laporan yang di selesaikan oleh Endah kemarin.Endah yang tahu bosnya datang segera mengikuti Andrean masuk ruangan dengan membawa berkas laporan yang sudah ia selesaikan."Nanti saja saya periksa.""Pak, tadi Rendy menelpon tapi nggak Bapak angkat."Andrean melihat ponselnya. Memang ada dua kali panggilan tak terjawab dari asistennya yang bertugas di lapangan. Waktu menerima telepon dari istrinya tadi ia tidak memperhatikan ada miss call. Mungkin saat di kantor polisi tadi Rendy menelepon. "Rendy ngabari apa?""Katanya hari ini ada delay armada ready mix, Pak. Beberapa material yang harusnya dikirim juga terlambat datang."Andrean menarik napas panjang sambil menyandarkan punggungnya. Kalau semua delay akan mengakibatkan jadwal pekerjaan yang sudah di susun jadi mundur waktunya, tidak sesuai rencana sebelumnya. Dalam sebuah proyek memang biasa terjadi kendala seperti in
Author's POV"Yang, kamu kenapa?" tanya Om Tino sambil menyentuh lengan sang istri. Putra bungsunya yang duduk di antara mereka juga bingung melihat sang mama. Kebetulan dua anaknya Tante Verra yang lain tidak mau ikut.Wanita itu segera berdiri karena sadar akan jadi perhatian tamu yang lain jika melihat ke arahnya. Tante Verra terus menunduk menuju kamar mandi. Embun juga berdiri mengikutinya. Dalam situasi seperti itu, Andrean tidak bisa mencegahnya karena mereka melangkah cepat di antara meja tamu.Tante Verra berdiri menatap cermin sambil mengelap air mata. Untungnya dia juga termasuk wanita yang tidak suka dandan berlebihan, sehingga tangisan itu tidak membuat make up-nya belepotan.Di kamar mandi hanya ada dua orang yang terus pergi setelah selesai menyisir rambutnya. Jadi tidak ada yang memperhatikan mereka berdua."Tante, nggak apa-apa?" tanya Embun sambil menyodorkan tisu pada wanita itu.Tante Verra berbalik dan mereka saling berhadapan. "Tante ingat seseorang," jawab Tante
Wanita itu terus menyanyi meski air mata mengalir dari kedua netranya. Meski dengan suara yang mulai bergetar, Tante Verra tidak menyerah. Dia ingin mengenang sang kakak. Walaupun bukan kakak kandung, tapi kedekatan mereka melebihi dari saudara kandungnya sendiri. Bahkan dengan kakak kandungnya Tante Verra tidak bisa sedekat dengan Bu Lili.Pak Darmawan benar-benar beku. Lelaki berparas tampan meski sudah berumur itu diam menahan sesaknya dada. Melodi syahdu itu menembus tepat di jantung beliau. Membuatnya terasa berhenti seketika dan hilang denyutnya.Rasa yang sesak dengan kenangan yang berkelindan membuat pria itu berdiri dan pemisi pada besan sekaligus kerabatnya. Beliau melangkah cepat ke belakang dan menangis di ruang yang tidak ada lalu lalang orang di sana. Biasanya disindir seperti apapun oleh Tante Verra, Pak Darmawan hanya diam saja. Tapi kali ini tidak bisa. Padahal beliau menjadi tuan rumah di pernikahan putranya. Beliau juga pernah menikah di tempat itu berpuluh tahun y
Jelita sudah berumur sembilan tahun sekarang. Dia cantik berjilbab warna merah muda. Kemudian ikut bermain bersama adik dan si kembar.Bu Salim menyambut hangat kedatangan Yuda dan keluarganya. Wanita sepuh itu selalu bahagia jika rumahnya di datangi tamu yang membawa anak-anak. "Mbak Jingga, hamil lagi?" tanya Aisyah yang baru melihat perut Jingga yang membulat."Iya, Mbak. Mau jalan empat bulan. Kembar lagi ini.""Masya Allah, yang bener, Mbak?"Jingga mengangguk."Surprise."Mereka dan anak-anak sangat akrab. Karena tiap kali pulang ke Nganjuk, Fariq sering mengajak mereka mampir di rumahnya Yuda meski hanya sebentar."Pak Raul masuk rumah sakit semingguan yang lalu. Mas Yuda di kabari, nggak?" tanya Fariq ketika mereka ngobrol berdua di gazebo taman samping rumah."Nggak, Mas. Saya tahunya dari Mas Fariq ini. Nanti sebelum pulang, saya mau ngajak mereka mampir sebentar ke sana.""Kalau sekarang Pak Raul sudah di rumah. Tapi masih dalam pengawasan medis terus karena hipertensi dan
Netra Bu Salim berkaca-kaca pagi itu setelah diberitahu Fariq kalau Jingga tengah hamil bayi kembar lagi. "Masya Allah, Alhamdulillah, Nak. Kamu akan memiliki anak kembar lagi?" kata Bu Salim sambil memeluk putranya. Beliau tidak tahu kalau Jingga kemarin periksa ke dokter kandungan. Yang beliau tahu, Jingga belanja keperluan anak-anak."Ya, Ma. Alhamdulillah!""Udah berapa minggu?""Enam minggu.""Masya Allah. Berarti setelah dia lepas KB-nya langsung isi?"Fariq mengangguk. Bu Salim menyeka air matanya. Dulu bagaimana Fariq dan mantan istrinya terus berusaha hampir tiap bulan supaya lekas dapat momongan. Namun hasilnya selalu nihil. Tapi lihatlah sekarang, begitu mudahnya Allah mengabulkan keinginannya. Setelah malam pengantin mereka, Jingga langsung hamil bulan depannya. Sekarang juga begitu, setelah berhenti memakai kontrasepsi Jingga langsung hamil lagi. Tak ada yang mustahil jika Allah sudah menghendaki.Kebahagiaan tiada terkira memenuhi dada Fariq, meskipun dia sangat kasihan
Fariq yang terkejut diam beberapa detik. Kemudian segera berjongkok di depan kedua jagoannya. Menerima kue yang ada angka empat puluh lima di permukaan puding buah. Pria rupawan itu memeluk dan menciumi kedua putranya sambil mengucapkan banyak terima kasih.Pria itu lantas berdiri ketika sang mama merentangkan tangan hendak memeluknya. "Terima kasih, Ma," jawab Fariq sambil mengusap punggung sang mama setelah wanita yang melahirkannya itu mengucapkan selamat ulang tahun dan merapalkan doa untuk putra terkasihnya.Mbak Mus dan Sumi juga mengucapkan selamat pada majikannya. Di susul oleh Cak Pri yang baru saja datang untuk menjemput istrinya. Sebab kalau habis Maghrib Mbak Mus akan pulang. Anak-anak kalau malam tidur di kamar mereka di temani Sumi. Sesekali si kembar dilatih tidur sendiri. Tapi Jingga bisa mengawasi dari layar monitor yang ada di dalam kamarnya."Anak-anak, kalian tunggu di meja makan ya. Biar papa mandi dulu."Farras dan Farel langsung berlari menuju ruang makan. Diiku
Jam tujuh malam keluarga Roy sampai di rumah sakit. Bu Warni segera duduk menghampiri putranya setelah menyalami besan laki-lakinya. "Kenapa kamu di sini? Kamu nggak nemeni istrimu di dalam?" tanya Bu Warni heran."Nency nggak mau aku temani, Bu," jawab Roy dengan nada frustasi. "Loh, kenapa?" Bu Warni makin tak mengerti. Akhirnya Pak Aziz turut menjelaskan kalau putrinya memang yang menyuruh Roy keluar. Bu Warni yang merasa heran langsung diam. Apalagi Pak Karim memberi isyarat pada istrinya agar tidak banyak bertanya. Mereka bertiga duduk diam di depan ruang bersalin. Cemas dengan perasaan masing-masing. Sudah sejak Asar tadi dan sampai sekarang belum ada perkembangan. Roy berjalan mondar-mandir di lorong itu. Bagaimana ia bisa tenang, sementara bayinya belum juga dilahirkan. Ingin tahu keadaannya, tapi Nency sendiri melarangnya. Roy heran. Permintaan jenis apa itu? Geram bercampur haru dibuatnya.Dari ujung lorong, Heni berjalan tergopoh-gopoh sendirian menghampiri adik iparny
Yuda juga mengajak Aisyah kembali ke kamar. Mereka tidak merencanakan untuk jalan-jalan. Waktu yang tersisa hanya beberapa jam itu di manfaatkan untuk tetap tinggal di kamar dan menikmati gerimis dari balik jendela kaca sambil bercerita. Lelaki itu memeluk istrinya dari belakang sambil bersandar di kepala ranjang. Satu hal yang sangat ia syukuri, cepat tersadar lalu kembali pada Aisyah. Dan lebih bersyukur lagi saat wanita itu masih mau menerimanya dengan tangan terbuka. Menerima masa lalu dan memaafkan kekhilafahannya. Wanita sederhana yang memperlakukannya sangat istimewa."Kita check out jam berapa, Mas?" tanya Aisyah setelah terdiam cukup lama menikmati rintik hujan.Yuda mengeratkan lengan, meletakkan dagu di pundak istrinya. "Kita check out barengan sama Mas Fariq. Dia mengajak kita mampir ke rumahnya. Mau kan?""Iya, nggak apa-apa. Nggak usah lama-lama di sana, nanti Jelita nyariin kita. Lagian malam tadi Mas kan sudah bilang kalau siang ini kita sudah sampai di rumah.""Iya,
Yuda berdiri dan tersenyum pada Fariq yang tengah mendorong stroller kedua putranya. Sedangkan Jingga yang merangkul lengan sang suami hanya mengikuti langkah Fariq untuk menghampiri Yuda dan Aisyah."Hai, surprise kita bertemu di sini ya!" ujar Fariq sambil menyambut uluran tangan Yuda. Dua pria yang bersalaman sangat erat."Iya, Mas. Nggak nyangka ya kita bisa bertemu di sini.""Kenalin ini istriku, Jingga. Dari Nganjuk juga." Fariq memperkenalkan istrinya. Jingga tersenyum pada Yuda lalu menyalami Aisyah. "Nganjuknya mana, Mbak?" tanya Jingga pada Aisyah."Saya dari Tanjung Kalang, Mbak," jawab Aisyah."Ini Mas Yuda, Sayang. Yang pernah Mas ceritakan." Fariq memberikan penjelasan dan Jingga langsung paham tanpa banyak bertanya. Ia ingat tentang kisah Mahika dan pria bernama Yuda. "Jelita nggak diajak, Mas?" tanya Fariq karena ia tak melihat anak perempuan kecil bersama mereka."Nggak, Mas. Kebetulan dia ikut adik saya yang baru pulang dari Jogja.""O."Mereka duduk di bangku tepi
Bulan madu yang pertama dulu, mereka lebih banyak hunting kuliner. Sedangkan kali ini, mereka akan menghabiskan banyak waktunya di dalam kamar. Disamping waktunya yang sangat singkat, kasihan juga dengan baby Yusuf kalau di ajak keliling. Usianya baru dua bulan, apalagi hawa di sana sangat dingin."Nanti pas liburan kita ajak anak-anak ke sini, Mas. Deket kalau mau ke Batu Secret Zoo dan musium satwa. Jelita pasti sangat suka kalau kita ajak main ke sana.""Oke," jawab Yuda mengeratkan pelukan. Sambil menikmati rintik-rintik gerimis yang turun sore itu. Mengaburkan pandangan dari indahnya pemandangan di luar hotel. Banyak yang mereka bahas sambil berdekapan. Aisyah menyandarkan punggungnya di dada bidang sang suami. Wangi rambut hitam wanita itu memenuhi penciuman.Kebersamaan itu terjeda oleh bunyi pesan dari ponsel Aisyah yang tergeletak di samping mereka. Wanita itu memaksa mengambilnya, siapa tahu pesan yang dikirimkan kepada ibu kepala sekolah dibalas. Tadi Aisyah meminta tambah
Langit sore tampak kelabu, tak memberi ruang sedikitpun pada sinar matahari bisa menembus bumi. Sebentar kemudian gerimis turun membawa hawa dingin yang menusuk hingga ke pori-pori kulit. Kesiur angin menambah tubuh kian menggigil. Yuda memakaikan sweater warna merah jambu pada Jelita yang duduk bermain di samping adiknya yang tengah terlelap semenjak habis di mandikan. Suasana rumah kembali sepi setelah acara akad nikah pagi tadi. Acara yang jauh lebih sederhana daripada pernikahan mereka setahun lebih yang lalu. Yang sangat meriah dan mewah untuk ukuran orang desa."Kopinya, Mas. Dan ini susunya Jelita." Aisyah membawa nampan berisi dua gelas dan setoples kukis, lalu meletakkannya di depan Yuda."Makasih," jawab pria itu sambil memandang Aisyah yang memakai piyama dan mengurai rambutnya yang panjang. Cantik penampilan Aisyah sore itu. Timbul desiran aneh yang seolah menghentikan aliran darahnya. Sungguh menguji ketahanan diri. Sebab malam itu pun mereka akan tidur berempat, karen
Fariq yang berbaring sejak jam delapan malam tadi susah sekali terlena. Rumah terasa sunyi. Tidak ada celoteh riang si kembar yang menyambutnya saat pulang kerja. Tak ada rengekan minta susu dan tak ada tatapan memuja dari Jingga, Farras, dan Farel. Kesunyian berjauhan dari mereka melebihi sunyinya pasca perceraian kala itu. Benar saja, ia bisa gila kalau terlalu lama berpisah dengan istri dan dua jagoannya.Jika rekan-rekannya paling suka kalau anak dan istrinya sedang bepergian, karena bisa me time seharian. Tapi tidak dengan Fariq. Setelah sekian lama menunggu kehadiran anak, makanya sekarang ia enggan berjauhan dengan anak.Hanya bau minyak telon yang sedikit mengobati kerinduannya dan menunggu hingga hari Sabtu nanti baru bisa menjemput mereka lagi.Fariq meraih ponselnya yang masih sepi. Beberapa pesan yang dikirimkan pada sang istri belum satu pun di terima. Mungkin jika komunikasi lancar, Fariq tak akan kelimpungan seperti sekarang. Tapi bukan hanya dirinya saja yang merasa su