Akibat Esme terluka, yang menikmati liburan hanyalah Catherine dan Richard. Dave terpaksa menemani Esme di rumah sakit hingga gadis itu dinyatakan sembuh. Esme sembuh dua hari kemudian, dan sore nya mereka barulah bisa kembali ke resort.
“Maaf, gara-gara aku, liburanmu jadi tak asyik,” kata Esme saat Dave merangkulnya erat dan berjalan keluar dari rumah sakit menuju mobil.
“No! Aku yang harusnya minta maaf. Gara-gara aku yang mengajakmu main ski kau jadi jatuh. Seharusnya aku bisa lebih menjagamu.”
“Tidak. Itu murni salahku sendiri. Tidak ada salahmu di sana, Dave,” tampis Esme lagi, membuat Catherine memutar bola matanya.
“Sudah, sudah! Itu salah kalian berdua. Sekarang lebih baik kita cepat pulang ke resort. Sebentar lagi sepertinya turun hujan salju.”
Mereka pun akhirnya terdiam. Esme menuruti kata-kata Cahterine dan menaiki mobil Dave.
Sampai di resort, Dave menuntun Esme menu
Tangan Dave kembali menyelusup ke balik bajunya dan mencoba menggapai dadanya.“Hentikan, Dave,” kata Esme seraya mendorong tangan itu.Dave menjauhkan wajahnya dari Esme, tetapi hanya sesaat. Dia kini mendorong tubuh Esme hingga berada di bawahnya. Ditindihnya tubuh itu dan dia kembali menghisap bibir Esme dengan segenap hasrat yang membara dalam dirinya.Dave juga menahan tangan ESme dengan tangannya hingga gadis itu tak sanggup mendorongnya lagi.“Hentikan, Dave! Not now!” seru Esme, tetapi Dave masih tak mendengarnya.Dan saat sapuan lidah Dave kembali pada telinganya, Esme langsung menghardiknya keras. “Stop it, Dave!”“Stop it!”Esme yang ketakutan karena Dave sudah terbakar hasratnya mulai menangis dalam teriakannya. Akan tetapi, Dave masih seakan tuli dan tak mendengar. Pria itu terus melancarkan aksinya dengan semakin beringas.Esme dalam himpitan tubuh Dave
“Hei! Lama sekali kau membuka pintu. Kalian masih ngapain, hayooo?” Suara Catherine yang mengolok-ngoloknya memenuhi ruangan kamar yang kosong. Esme menatap Catherine setelah membuka pintu dan berbalik menuju dalam. Dia tak menjawab Catherine. Hatinya hampa, kosong, teringat jejak pertengkaran semalam dan bagaimana dengan mudahnya dan kasarnya Dave memakinya jalang, jalang, dan jalang. Esme mengambil tas ranselnya di atas kursi kemudian menuju pintu. Catherine yang melihat Esme langsung menutup pintu jadi terheran. “Mana Dave?” tanyanya dengan sepasang mata yang mengernyit heran. “Aku tak tau,” jawab Esme jujur, dengan menghela napasnya. Jujur segala pertanyaan tentang keberadaan Dave telah mengganggunya sedari tadi. “Bisa coba kau tanyakan pada Richard?” “Oke. Tapi apa yang terjadi?” “Kami bertengkar.” “Karena kau mau putus?” Esme menghela napasnya lagi. “Entahlah. Dia selalu menanyakan kenapa Darren melakukan CPR tanp
“…. Dengan ini, saudara Nicky Meizzo dijatuhi hukuman 10 tahun penjara atas tuduhan melakukan percobaan penculikan, pemerkosaan, dan pembunuhan. Tidak ada keringanan hukuman termasuk pembebasan bersyarat, atau keringanan masa hukuman akibat berkelakuan baik. Dengan demikian, sidang selesai.” Hakim mengetuk palu 3 kali dan membuat pria yang dijatuhi hukuman 10 tahun penjara itu meraung-raung bak orang kesetanan.Nicky juga berusaha meraih Esme, berusaha untuk mencabik-cabik wanita itu karena telah menjebloskannya ke dalam penjara.Dengan cepat, beberapa opsir penjara segera mengamankan Esme, dan sebagian lagi memegangi dan bahkan memukuli Nicky. Pria itu kemudian diserett agar mau kembali ke dalam sel.Esme tersengal dan gemetar atas semua kejadian barusan. Hingga sebuah lengan mendekapnya tiba-tiba. Dan saat Esme mendongak, wajah Darren terpampang di sana.Pria itu memeluknya erat, tanpa mengucapkan sepatah katapun. Esme p
“Jadi kurasa, mulai sekarang aku bisa menemuimu, kan?” tanya Darren saat mobil mereka berada di lampu merah.Esme menganggukkan kepalanya seraya menyelipkan rambutnya ke balik telinga sebagai pengiyaan atas pertanyaan Darren. Pria itu pun kembali menggenggam erat tangan Esme. Dia tersenyum senang. Tangan itu dibawanya ke bibir dan dikecupnya dengan lembut.Kehangatan bibir Darren yang mengaliri kulit tangan Esme terus merayap hingga ke jantung hati gadis itu. Ada kelegaan besar yang bersemayam di hatinya sekarang. Dan kelegaan itu bersanding dengan rasa cinta yang semakin merekah, yang mengukirkan nama Darren di dalam hatinya.Yang jelas berbeda adalah setiap sentuhan Darren menghantarkan getaran di sekujur tubuhnya. Hatinya berdesir dan jantungnya berdegup kencang. Semuanya terasa mendebarkan.Akan tetapi, saat Esme hendak menjawab pertanyaan Darren, ingatannya menayangkan kedatangan Trisha ke apartemen Darren. Telinganya menden
“Maafkan aku, Honey. Please, jangan tinggalkan aku. Aku yang salah. Kemarin aku terlalu emosi. Maafkan aku.” Air mata tergenang di sepasang mata Dave yang biasanya selalu ceria.“Dave, please! Kita sudah bicarakan ini kemarin. Dan aku tetap pada perasaanku.”“Tapi, kita sudah setahun bersama, suka duka kita lalui bersama. Kau tak bisa meninggalkanku begitu saja! Aku akan berubah menjadi lebih baik. Aku tak akan memakimu lagi. Aku akan menjagamu dengan baik. Memperlakukanmu dengan baik. Please, jangan tinggalkan aku. Aku masih mencintaimu, Honey. Sangat mencintaimu.”“Dave, please …. Kita sudah membicarakan ini,” keluh Esme berusaha melerai pelukan mereka. Dan di saat itu, Dave semakin menurunkan wajahnya. Bibirnya mencari bibir Esme dan melumatnya penuh hasrat.“Dave! Hentikan!”“Kau milikku, Esme. Tetap milikku!” Lidah Dave memaksa masuk untuk menghi
“Kau sudah siap?” Suara Darren mengalun lembut di ujung telepon membuat Esme yang mendengarnya mau tak mau jadi tersenyum hangat. “Aku sudah siap, tapi Catherine sakit. Aku khawatir padanya jika meninggalkannya sendirian di rumah.” “Oh, lalu bagaimana? Apa aku bawakan makan malam ke rumahmu? Sekalian untuk Catherine juga?” tawar Darren. “Ya, boleh juga. Tapi kau tidak apa-apa kan jika makan malam kita tidak jadi?” “Oh, jangan khawatirkan itu. Aku tak apa. Yang penting aku bisa melihatmu malam ini. Sebelum aku tidur.” Esme tertawa renyah. “Kau sekarang pintar merayu, ya?” Darren juga tertawa. “Ya, ini efek jatuh cinta.” “Oh, that’s so sweet,” kata Esme menghibur Darren. Mereka tertawa lagi berdua setelahnya. Lebih dari setengah jam kemudian, Darren tiba di toko dengan membawa beberapa buah telur dan beberapa potong bacon. Dengan tersenyum lebar dia memaerkan bahan mentah yang dia beli di supermarket
“Cath,” panggil Esme dengan sepiring bacon and egg di tangannya. Gadis itu membawakan makan malam Catherine ke atas, ke kamar Catherine. “Kenapa?” tanya sepupunya itu dari balik kamar. Suaranya terdengar menahan mual. “Ini kubawakan makananmu. Cobalah dulu.” Tak ada jawaban. Hanya pintu kamar yang tak lama kemudian dibuka. Wajah kusut Catherine muncul. Dia terlihat kacau dan kasihan. Esme mengangsurkan piring di tangannya. “Ini.” Catherine meliriknya, kemudian mengambilnya. “Aku makan di kamar?” tanyanya memelas. “Iya,” jawab Esme penuh pengertian. “Oke. Makasih.” “Kalau kau masih lapar, biar nanti kupesankan pizza,” kata Esme lagi, berusaha menghibur gadis itu. Yang terjadi malah, Catherine menatap Esme dengan tatapan mata berbinar-binar. “Kenapa tidak sekarang saja? Aku mau pizza, with extra cheese.” “Lalu, ini tidak jadi?” tanya Esme sebal. “Pizza ajalah. Yaaa?” pinta Ca
Malam itu, kecupan demi kecupan kembali membahana terpantul di dinding dapur Emerald Cake and Bakery yang dingin. Akan tetapi, kedua insan yang saling memadu hasrat, memancarkan kehangatan tersendiri. Dunia seakan milik berdua bagi mereka yang sedang jatuh cinta. Itulah yang terjadi pada Darren juga Esme. Rasanya hanya ada kebahagiaan dan kelegaan melingkupi hati, diri, dan hidup mereka. Apapun bisa mereka raih saat kebahagiaan cinta sedang dalam genggaman tangan. Hingga mereka berdua tak mendengar langkah kaki yang mendekati mereka, secara diam-diam dan mengendap-endap. Hingga suara itu mengagetkan mereka berdua. “Ini pizzanya masih ada. Kalian mau?” tanya Catherine yang tiba-tiba sudah berada di pintu dapur. Gadis itu berjalan menuju meja panjang dapur dan meletakkan kotak pizza di atas meja. Wajahnya telah berseri dan terlihat lebih bersemangat, tak lagi sekusut tadi. Esme dan Darren menghentikan peraduan hasrat mereka meski merasa
Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak
“Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha
Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan
“Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan
Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b
“LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te
Sementara itu di kamarnya, Claire juga menangis tersedu. Dia memikirkan betapa James Carter adalah pria yang baik.James sudah berteman dengan Darren sejak mereka di awal karier kepolisian. Claire suka berada di dekat mereka jika James datang ke rumah.Dan entah sejak kapan, James mulai menunjukkan tanda-tanda suka pada Claire. Meskipun gadis itu tidak menganggap James lebih dari seorang teman, Claire tidak pernah meremehkan perasaan James.Di hari ketika kabar tewasnya James tiba di telinganya, Claire mulai sering memikirkan pria itu. Saat itu, Claire merasa tidak ada salahnya membuka hatinya untuk James. Pria itu dewasa dan sangat baik. Dirinya yang manja mungkin akan bisa merasakan cinta yang manis saat bersama James.Claire bahkan sudah menyusun kata-kata yang akan dia ungkapkan pada James, bahwa dia ingin membuka hatinya untuk James.Tetapi kemudian kabar itu datang. Hatinya hancur remuk.Baru bertahun-tahu
Garry benar-benar mengajak Catherine ke apartemennya. Dalam setiap langkahnya, Catherine merasa semakin gelisah.Meskipun semua ini adalah idenya sendiri, tetapi memikirkan dia akan kepergok Martinez mengunjungi apartemen pria lain, yang malahan baru dia kenal lewat kencan buta, tetaplah membuat perutnya terasa mual.Langkah kaki Cahterine hampir saja berbalik arah jika bukan karena wanita itu terngiang lagi akan ucapan Martinez sebelum ini.‘Kau berhak mendapatkan pria lain yang lebih sempurna. Yang layak mendapatkan dirimu.’Huh! Dasar lelaki tidak peka! Memangnya Martinez tidak sadar jika yang Catherine inginkan adalah pria itu sendiri? Dan karena kebodohannya itu, sekarang Catherine benar-benar ingin mencari yang lebih baik dari pria itu. Dia akan tunjukkan bahwa dia tidak akan mengemis cinta.“Unitmu di lantai ini?” tanya Cahterine terkejut saat mereka keluar dari lift. Bahkan unit Garry berada di lantai yang sama denga
Garry pun memberitahu apartemen tempatnya tinggal. Cahterine terkejut karena nama apartemen yang disebut Garry adalah apartemen tempat Martinez tinggal. Mendadak, selintas ide gila lewat di otak Catherine. Dan idenya ini telah menghilangkan rasa malu Cahterine sebagai wanita. Dia berkata, “Boleh aku mampir ke apartemenmu? Ehm, maksudku, sekarang?” Pertanyaan Cahterine sukses membuat Garry tercengang. Tidak ada wanita yang lebih seterus terang dan segesit dia. Garry juga tidak menyangka jika Catherine bisa mengatakan ini semua mengingat saat makan di kafe tadi, Catherine tidak terlihat ramah. Dia begitu cuek, dingin, dan jutek. Wanita itu seperti tidak memiliki pikirannya di tubuhnya. Tetapi sekarang, tiba-tiba wanita ini memintanya untuk mengajaknya ke apartemen? Mungkin sebentar lagi akan hujan uang. Namun begitu, Garry laki-laki normal. Tidak mungkin dia melewatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi Catherine adalah wanita pirang seksi. Sungguh me