“Maafkan aku, Honey. Please, jangan tinggalkan aku. Aku yang salah. Kemarin aku terlalu emosi. Maafkan aku.” Air mata tergenang di sepasang mata Dave yang biasanya selalu ceria.
“Dave, please! Kita sudah bicarakan ini kemarin. Dan aku tetap pada perasaanku.”
“Tapi, kita sudah setahun bersama, suka duka kita lalui bersama. Kau tak bisa meninggalkanku begitu saja! Aku akan berubah menjadi lebih baik. Aku tak akan memakimu lagi. Aku akan menjagamu dengan baik. Memperlakukanmu dengan baik. Please, jangan tinggalkan aku. Aku masih mencintaimu, Honey. Sangat mencintaimu.”
“Dave, please …. Kita sudah membicarakan ini,” keluh Esme berusaha melerai pelukan mereka. Dan di saat itu, Dave semakin menurunkan wajahnya. Bibirnya mencari bibir Esme dan melumatnya penuh hasrat.
“Dave! Hentikan!”
“Kau milikku, Esme. Tetap milikku!” Lidah Dave memaksa masuk untuk menghi
“Kau sudah siap?” Suara Darren mengalun lembut di ujung telepon membuat Esme yang mendengarnya mau tak mau jadi tersenyum hangat. “Aku sudah siap, tapi Catherine sakit. Aku khawatir padanya jika meninggalkannya sendirian di rumah.” “Oh, lalu bagaimana? Apa aku bawakan makan malam ke rumahmu? Sekalian untuk Catherine juga?” tawar Darren. “Ya, boleh juga. Tapi kau tidak apa-apa kan jika makan malam kita tidak jadi?” “Oh, jangan khawatirkan itu. Aku tak apa. Yang penting aku bisa melihatmu malam ini. Sebelum aku tidur.” Esme tertawa renyah. “Kau sekarang pintar merayu, ya?” Darren juga tertawa. “Ya, ini efek jatuh cinta.” “Oh, that’s so sweet,” kata Esme menghibur Darren. Mereka tertawa lagi berdua setelahnya. Lebih dari setengah jam kemudian, Darren tiba di toko dengan membawa beberapa buah telur dan beberapa potong bacon. Dengan tersenyum lebar dia memaerkan bahan mentah yang dia beli di supermarket
“Cath,” panggil Esme dengan sepiring bacon and egg di tangannya. Gadis itu membawakan makan malam Catherine ke atas, ke kamar Catherine. “Kenapa?” tanya sepupunya itu dari balik kamar. Suaranya terdengar menahan mual. “Ini kubawakan makananmu. Cobalah dulu.” Tak ada jawaban. Hanya pintu kamar yang tak lama kemudian dibuka. Wajah kusut Catherine muncul. Dia terlihat kacau dan kasihan. Esme mengangsurkan piring di tangannya. “Ini.” Catherine meliriknya, kemudian mengambilnya. “Aku makan di kamar?” tanyanya memelas. “Iya,” jawab Esme penuh pengertian. “Oke. Makasih.” “Kalau kau masih lapar, biar nanti kupesankan pizza,” kata Esme lagi, berusaha menghibur gadis itu. Yang terjadi malah, Catherine menatap Esme dengan tatapan mata berbinar-binar. “Kenapa tidak sekarang saja? Aku mau pizza, with extra cheese.” “Lalu, ini tidak jadi?” tanya Esme sebal. “Pizza ajalah. Yaaa?” pinta Ca
Malam itu, kecupan demi kecupan kembali membahana terpantul di dinding dapur Emerald Cake and Bakery yang dingin. Akan tetapi, kedua insan yang saling memadu hasrat, memancarkan kehangatan tersendiri. Dunia seakan milik berdua bagi mereka yang sedang jatuh cinta. Itulah yang terjadi pada Darren juga Esme. Rasanya hanya ada kebahagiaan dan kelegaan melingkupi hati, diri, dan hidup mereka. Apapun bisa mereka raih saat kebahagiaan cinta sedang dalam genggaman tangan. Hingga mereka berdua tak mendengar langkah kaki yang mendekati mereka, secara diam-diam dan mengendap-endap. Hingga suara itu mengagetkan mereka berdua. “Ini pizzanya masih ada. Kalian mau?” tanya Catherine yang tiba-tiba sudah berada di pintu dapur. Gadis itu berjalan menuju meja panjang dapur dan meletakkan kotak pizza di atas meja. Wajahnya telah berseri dan terlihat lebih bersemangat, tak lagi sekusut tadi. Esme dan Darren menghentikan peraduan hasrat mereka meski merasa
“Kenapa harus meminum vitamin sih?”Catherine baru saja selesai sarapan saat Esme mengingatkannya untuk meminum vitamin penambah nutrisi tubuhnya. Meski mengiyakan, Catherine mengeluh akan hal itu. Dia menuang dua butir kapsul yang harus dia minum ke tangannya, sembari memberengutkan wajahnya.“Itu untuk memastikan bayi mu cukup mendapat asupan gizi dan tubuhmu tidak kekurangan gizi, Cath.”Mendengar penjelasan Esme, Catherine mendelik pada gadis itu. Cara berbicara sepupunya itu seakan sudah pernah mengalami kehamilan saja. Itu yang Catherine tidak suka.“Huh!” Catherine mendenguskan oksigen dari paru-parunya dengan kuat. Setelah itu dia menelan dua butir kapsul itu sekaligus.Detik itu juga, Catherine terbatuk-batuk dan kapsul-kapsul itu terlempar keluar dari mulutnya.“Argh! Kapsul itu terlalu besar. Aku malas meminumnya.”“Lalu? Kau tidak mau meminumnya lagi? Bagaimana kalau ba
Sementara Cahterine mengikuti Susan bertemu dengan pria bernama Kyle McGroover, yang sayangnya kali ini Kyle McGroover yang dikenal Susan bukanlah CEO dari Hanocha coprs., melainkan hanya seorang salesman di perusahaan itu, Esme tetap di rumah. Pada saat Catherine dan Susan menuju tempat pertemuan dengan Kyle, pegawai Emerald Cake and Bakery yang lain pulang dari toko. Esme memanfaatkan waktu untuk berbenah dan sedikit merapikan tampilan bakerynya, selagi menunggu Darren menjemputnya.Esme berdiri di depan lemari etalase kue nya. Dari sudut pandangnya, lemari itu sedikit menyerong posisinya. Esme mendekati lemari etalasenya dan membenahi posisinya.Setelah gadis itu merasa sudah sesuai, Esme kembali membenahi posisi kursi dan meja yang tersedia untuk pelanggan.Sementara itu, di luar toko, seseorang mengintai segala tingkah laku dan gerak-gerik Esme. Sosok itu berada di dalam mobil dan mengintai gerak-geriknya dengan teropong. Setelah sosok itu merasa situasi se
Catherine langsung menghambur ke dalam dan berlari menuju kamarnya yang berada di lantai 3. Di dalam kamar, dia menangis tersedu-sedu. Bahunya berguncang kasar, dan air matanya tumpah tanpa bisa dia bendung lagi. Semua pertahanan emosinya jebol. Catherine menangis sepuasnya, mengeluarkan setiap rasa sakit hatinya. Hingga lelah menguasai dan dia tertidur. Gadis itu tak lagi menyadari jika rumah terasa sangat sunyi, seakan kehadiran Esme tak ada di sana.Sementara itu di lantai dasar, Susan berkeliling dari ruang depan toko hingga ke dapur dan toilet. Tidak ada siapa-siapa di sana, termasuk Esme. Di mana bos nya itu? Biasanya Esme selalu menyambut jika Catherine pulang. Dan langkah gadis itu terhenti saat melihat ponsel Esme tergeletak di lantai toko.Apa yang terjadi? ***Mobil yang membawa tubuh pingsan Esme terus melaju hingga ke perbatas
“Esme! Apa kau di dalam? Ini Susan. Aku menemukan ponselmu di lantai toko. Jadi, kubawakan ke sini,” ujar Susan menjelaskan kenapa dia bisa berada di lantai 3 dan menjadi sangat lancang melihat sampai ke ruang kamar bosnya. Setelah beberapa detik, masih tak ada jawaban sedikitpun dari dalam kamar Esme. Susan kembali mengetuk dan menunggu beberapa saat lamanya. Masih tak ada jawaban. Akhirnya, Susan memberanikan diri memutar kenop pintu. Tak dia duga, pintu itu terbuka dengan mudah. Tidak dikunci. Susan melongok ke dalamnya dan melihat bahwa kamar itu kosong melompong. Lalu, ke mana Esme? Sedang berpikir keras, ponsel bos nya di tangannya itu tiba-tiba berdering. Susan terlonjak kaget, nyaris melempar ponsel itu dari tangannya. Ketika dia berhasil mengendalikan keterkejutannya, Susan melihat nama Darren muncul di layar ponsel. Susan menghela napas lega dan menjawab telepon itu. “Halo?”
‘Ergh! Apa ini?’ Esme berseru dalam hatinya saat merasakan tubuhnya sakit tetapi tak bisa dia gerakkan. Dia menggeliat-geliat berusaha meloloskan diri dari entah apa yang mengikatnya. ‘Eh? Mengikat?’ tanya Esme terkejut. Segera dia membuka kelopak matanya yang masih terasa berat. Diperhatikannya sekelilingnya. Gelap, dan pengap. Di- di mana ini? Esme kembali menggerakkan tangan dan tubuhnya. Tetapi tidak bisa. Pandangannya dia turunkan, dan dengan bantuan cahaya rembulan yang menyisip dari celah-celah jendela, Esme melihat bahwa tubuhnya terikat tali tambang yang tebal dan kencang. Si- siapa yang mengikatnya? Di mana ini? Kenapa dia terikat begini? Seketika, seluruh sel otaknya menyimpulkan satu hal bahwa jika dia diikat karena dia diculik. Oh, Tuhan! Diculik? Lagi? “Aaarrggh!!” Esme berteriak, seraya menangis frustrasi. Rasanya hatinya dan dirinya belumlah sembuh dari trauma penculikannya oleh Nicky Meizzo, kin