Seperti yang telah dia perkirakan, hari-harinya selama ditemani Claire hampir terasa bagai di neraka.
Claire, bukannya membantunya, malahan bersikap bossy. Dia meminta makanan ini dan itu. Jika Esme tidak bisa membuatkannya, gadis itu akan duduk di depan TV sambil merengut marah. Apa pun yang terjadi, Claire tidak akan beranjak dari sana. Dia bahkan tidak akan makan dan minum apa pun saat marah.
Esme jadi merasa seperti mempunyai dua bayi. Jika dia bisa mengabaikan Claire, dia akan merasa sama saja tinggal sendirian seperti dulu. Tetapi, dia tidak bisa mengabaikan gadis itu, yang saat sedang merajuk, dia akan menelepon temannya dan berbicara di telepon dengan suara keras, untuk waktu yang lama.
Esme sungguh tidak tahan.
Sudah tiga hari, dan Claire bahkan belum membantunya sekali pun mengurusi baby Daisy. Dia bahkan belum pernah mengajak keponakan bayinya itu bermain sekalipun.
Selama tiga hari itu pula, Darren hanya pulang saat
“Kau banyak pikiran apa? Paling-paling mikirin Martinez, kan?”Catherine hampir melotot mendengar cibiran Esme yang teramat tepat. Mengapa rasanya semua orang senang mengoloknya dengan Martinez? Kemarin-kemarin ibunya. Kini Esme. Apa sebegitu kentaranya jika dia memperhatikan Martinez?“Huh? Tebakanku benar ternyata!” cibir Esme lagi.Merasa sudah kepalang basah, Catherine pun tak malu-malu lagi. Dia menatap ponsel di tangan Esme dan bertanya, “Apa kau punya nomor ponselnya? Aku ingin melabraknya!”“Kenapa kau mau melabraknya? Dia menyeleweng?” tanya Esme yang kini dipenuhi rasa penasaran.“Hah!” Kini Catherine yang meniru gaya dengusan Esme. “Dia pindah dari apartemen di depan, ke pinggiran kota. Entah di mana. Kata wanita tua yang adalah tetangganya di apartemen lama, dia pindah dekat rumah kakaknya. Tetapi wanita itu juga tidak tau di mana tepatnya. Hah! Menyebalkan!
“Kau! Aku tidak akan pernah memercayaimu lagi!!!” Catherine begitu marah pada Esme sehingga dia mendelik sangat tajam pada wanita itu. Bahkan lubang hidungnya pun kembang kempis ingin menghempas Esme.Sementara sepupunya itu malah tertawa terbahak-bahak. Tawanya baru berhenti saat baby Daisy menangis karena terganggu kegaduhan mereka.“Oh, sayang. Tidurmu terganggu, ya? Aunty mu itu sih ngejar-ngejar mommy. Ayo, sudah bobok lagi. Atau, mau main sama aunty mu itu?”Catherine yang melihat wajah lucu baby Daisy saat menangis langsung melupakan niatnya untuk mengejar Esme. Diraihnya baby Daisy dari gendongan Esme kemudian dia menciumi perut baby Daisy hingga bayi montok itu terkikik-kikik.“Tidak usah dengarkan mommy-mu lagi, ya. Mommy-mu itu perempuan paling menyebalkan di dunia ini. Saat kau besar nanti, jangan seperti mommy-mu, ya. Seperti aunty saja.”Mendengar itu, Esme mengernyit ngeri. “Jan
“Catherine?” Suara pria yang mengambil duduk di sebelah kiri Catherine terdengar kaget.Kekagetan itu menular di Catherine. Sekalipun wanita itu tidak menoleh, dia masih mengenali suara itu.Kepalanya berputar lambat sambil menyerap kemarahan di dadanya, ke arah sumber suara dan menemukan tatapan yang dulu dipujanya, tetapi sekarang sudah dilupakannya.Catherine menetralkan wajahnya saat menyapa dengan malas, “Kau lagi.”“Kau mengenalnya?” tanya Brad dengan raut super penasaran.Ditanya seperti itu, Cahterine sengaja ingin membuat pria itu sakit hati. Dia pun menjawab, “Tidak! Aku tidak mengenal pria pengecut seperti itu!”“Hei, Cath, please, jangan begitu,” sahut Kyle dengan wajah memelas. Dia sudah jauh berubah. Tampilan bajunya tidak semewah dulu. Malam ini dia hanya mengenakan kaos oblong dengan celana jeans selutut. Dia tampil sangat casual. Akan tetapi, aura tamp
“Kau sendiri ngapain ada di tempat seperti ini? Bukannya kau bilang kau sudah pindah ke pinggiran kota? Kenapa bisa hang out sampai ke sini, huh?”Mendengar sindiran Catherine, Martinez semakin marah. Mereka jadi bertatap-tatapan dalam kemarahan masing-masing.Setelah beberapa detik berlalu, Catherine terkejut karena Martinez menarik kuat tangannya dan membawanya keluar dari club malam itu.Sesampainya di luar, Catherine menarik tangannya dari Martinez. “Kau apa-apan?”“Kuantar pulang.”“Aku belum mau pulang!”“Ini sudah malam. Kasihan Rodney di rumah!”“Lepaskan!” Catherine menepis lagi, kali ini benaran terlepas dari genggaman tangan Martinez. “Aku wanita dewasa. Tidak perlu ada yang mengatur jadwal hariku. Lagi pula, aku bisa ke sini sudah tentu Rodney sudah tidur. Jadi, tidak perlu berlebihan mengkhawatirkannya!”Karena kesal, Martinez tidak
Catherine berjalan keluar dari club malam itu. Beberapa meter di depannya, terlihat punggung Martinez yang berjalan dengan susah payah. Perasaan bersalah melilit Cahterine karena dia telah sengaja membuat Martinez melihatnya mesra bersama pria lain, bahkan pria itu baru dikenalnya beberapa menit yang lalu.Wanita itu membayangkan dirinya jika melihat pria yang disukainya bertingkah seperti itu, rasanya begitu menjijikkan. Dia ingin muntah. Seketika pikirannya melilit. Apakah Martinez memutuskan pulang karena merasa begitu jijik padanya?Dirinya yang berada dalam kondisi polos saat diselamatkan Martinez ketika di Hawaii saja sudah cukup menjijikkan baginya. Ditambah lagi, dia akhirnya memiliki anak di luar nikah. Seharusnya, sudah dari sebelumnya Martinez jijik padanya. Tapi, apakah mungkin sekarang pria itu benar-benar tidak bisa menolerir lagi kadar kejijikan yang terpancar dari tubuhnya?Entah kenapa, pikiran itu membuat Catherine merasa tidak te
Catherine terbangung esok paginya dengan hati yang … entahlah. Seharusnya dia senang karena Martinez menciumnya lagi. Tetapi nyatanya, pria itu mengakhirinya seolah ciuman mereka adalah kesalahan besar.Seperti biasanya, selesai sarapan dan bermain sebentar dengan baby Rod, Catherine membuka tokonya. Namun, sepanjang hari menjaga toko, benaknya diisi banyak pertanyaan yang serupa. Akankah Martinez muncul hari ini? Kalaupun muncul, apakah untuk menemuinya?Dengan segala pertanyaan itu, hampir setiap menit Catherine akan melirik ke arah pintu. Namun hingga sore menjelang dan toko harus ditutup pun tak kelihatan batang hidungnya Martinez.Catherine terpaksa menelan rasa kecewanya lagi.Ingin rasanya dia menghampiri apartemen Martinez dan menyemburkan semua kemarahannya pada pria itu. Tetapi, harga dirinya melarangnya. Hati kecilnya selalu mendengungkan keyakinan padanya, bahwa Martinez akan datang padanya tanpa dipaksa, jika pria itu mem
Sore itu bulan sudah muncul dan terlihat begitu bulat. Catherine sampai menunjuk-nunjuk ke arah bulan pada baby Rod. Bahkan dia juga mengambil baby Rod dari stroller dorongnya danmenggendong baby Rod. Setelahnya, Catherine berjalan santai dari kediamannya menuju apartemen Martinez yang hanya berjarak dua blok dari tempatnya. Gedung apartemen itu tidak terlalu tinggi. Tidak sampai lebih dari sepuluh lantai mengisi gedung itu. Catherine memasuki gedung dan menuju lift. Baby Rod sudah dia letakkan lagi di dalam stroller bayi nya. Bayi lelakinya itu terlihat senang meski sudah mulai mengantuk. Dengan menghisap punggung tangannya, perlahan kedua mata mungil di atas pipi tembam itu menutup. Catherine mulai merasakan jantungnya berdegup kencang. Bayangan dia akan bertemu Martinez membuatnya begitu gugup hingga dia merasa ingin memuntahkan isi perutnya. Lift membuka di lantai tempat hunian Martinez. Catherine melangkah menuju pintu Martinez.
“Sudah kubilang, aku bukan nonamu lagi! Lagi pula, aku memintamu menemaniku sebagai temanku, bukan pengawalku!”Martinez menoleh pada Catherine. Dibiarkannya air di panci yang sudah mulai mendidih. Kompor pun tidak dia matikan.“Kalau kau memintaku menemanimu, nanti kau akan malu.”“Malu? Malu karena apa?” tanya Cahterine yang mulai kesal percakapan mereka berputar-putar di tempat.Martinez membuang mukanya. Dia kembali menatap pancinya. Dengan lagak cuek, dia memasukkan spageti instan ke dalam air mendidih. Dia memasak, sambil menjawab Catherine sambil lalu. “Aku pincang.”Bukannya simpati, bukannya kasihan, mendengar alasan Martinez serta kecuekan pria itu saat mengucapkannya, Catherine malah semakin marah.Dia berkacak pinggang. “Aku bukan anak ABG lagi!” Bagi Catherine, dia sudah terlanjur menunjukkan ketertarikannya. Sekalian saja dia usahakan semaksimal mun