Pemakaman.
Apa yang dialami Esme saat kematian ibunya seperti menimpanya lagi. Dengan mata sembab, Esme menatap gundukan tanah yang dilemparkan menutupi peti di bawah sana.
Dia menguburkan jasad ayahnya di sebelah ibunya. Setidaknya mereka kini sudah berdampingan. Ayahnya menemani ibunya di alam sana. Dengan begitu ibunya takkan kesepian lagi.
Catherine dan ibunya, serta baby Rod ikut mendampingi pemakaman ayahnya. Begitu juga Enrique yang terbang lagnsung ke Mexico untuk menguburkan ayahnya. Pria itu menangis bercucuran air mata karena merasa belum sempat mengobrol dengan ayahnya dari hati ke hati.
Archie juga menemani dan Martinez yang sudah lumayan pulih pasca operasi juga ikut mendampingi. Hanya satu yang menjadi kesedihan pria itu. Kakinya yang terluka takkan pernah berfungsi seperti semula lagi. Itu semua menyebabkan jalannya Martinez menjadi pincang.
Mrs. Liu yang sudah dikeluarkan dari kamar walk-in closet Britney kini m
Tiba di depan pintu unit Martinez, Catherine menarik napas panjang sebelum mengetuk.Tiga ketukan beruntun, dan tak ada yang menyahut. Diketuknya lagi.Kali ini teriakan frustrasi dari dalam menyambutnya, diiringi dengan bunyi barang yang dilempar, yang kemudian mengenai barang lainnya hingga berjatuhan di lantai. Bunyi itu semakin gaduh dan masih terus berlanjut.Catherine mematung di depan pintu. Apakah yang terjadi? Mungkinkah Martinez sedang bertarung dengan seseorang di dalam sana?Sedang memikirkan segala kemungkinan, suara gaduh dari dalam kembali terdengar. Dan diikuti teriakan panjang Martinez.Catherine tak mampu menahan dirinya lagi. Dia pun hendak mendobrak masuk. Akan tetapi, begitu dia menekan gagang pintu, pintu dengan mudahnya terbuka.Tidak dikunci? Pikiran Catherine semakin merasa aneh.Dengan langkah perlahan dia memasuki unit sewaan Martinez. Dilihatnya beberapa barang berserakan di lantai. Termasuk j
Kalimat ibunya itu sukses membuat Catherine hampir tersandung saat menuruni tangga. Untungnya dia masih berpegangan erat di pagar tangga. Dideliknya ke arah atas, meskipun ibunya tidak terlihat, dan dia berdecak kesal. Wajahnya telah merona merah karena ucapan ibunya tadi.Sudahlah, tak usah dipedulikan. Mom memang sok tahu.Catherine pun menuju pintu ruko. Dibukanya pintu besi itu dengan mengerahkan tenaga yang tidak sedikit.Begitu pintu terbuka, Cahterine hampir melompat kaget mendapati Martinez telah berdiri di balik pintu itu.“Hah! Kau membuatku kaget! Seperti hantu yang tiba-tiba muncul di balik pintu. Diam dan tak bergerak pula!” gerutu Catherine memegangi tengah dadanya yang terasa berdetak kencang sekaligus bagai mau copot.Dalam sekejap, dia membalik badannya dan berjalan menuju meja kasir nya.Martinez mengikutinya dari belakang. Pria itu kemudian membukakannya pintu ruko hingga habis.Setelahnya, Martinez masu
Esme sudah mengenakan gaun resminya untuk menghadiri makan malam bersama rekan-rekan Darren. Gaun yang dipilihnya berbahan chiffon lembut berwarna biru gelap, dengan kerah bermodel Sabrina dan rok berbentuk A yang jatuh tepat di lututnya.Darren terpukau melihat betapa elegannya Esme dengan gaun seperti itu.“Kenapa?” tanya Esme melihat Darren menatapnya berdetik-detik lamanya.“Cantik,” jawab Darren terpukau.“Memangnya baru kali ini saja?”“Ah, tidak. Setiap saat kau cantik. Hanya saja kali ini berbeda. Cantik dan elegan.”“Ah, gombal. Lihat tuh daddy mu, Daisy. Dia sekarang pintar merayu. Ayo, Daisy, kita pergi temani Daddymu, ya.”Esme mengangkat baby Daisy dari crib nya, tetapi Darren merebutnya. Dan pria itu membisikkan pada baby Daisy, “Kau anak daddy yang lucu. Kau juga sangat cantik malam ini. Daddy sangat beruntung memiliki kalian berdua di hidup
Cahterine sengaja berjalan sepelan Martinez dan menjaga jarak satu meter di belakang pria itu.Suara ketawa dan celotehan khas bayi ala baby Rod lah yang membuat Martinez akhirnya berhenti dan membalik tubuhnya secara mendadak.CAhterine yang tak awas dengan perhentian dadakan itu jadi menabrak dada Martinez.Tercium aroma after shave pria itu membuat wajah Catherine memerah seketika. Untunglah hari sudah malam sehingga tidak akan kentara jelas jika wajahnya merona malu. Itu yang Catherine pikirkan.Sedetik kemudian, dia menjadi semakin malu saat suara dingin Martinez menyapanya lagi, “Kenapa malah kau yang mengikutiku sekarang? Dan kenapa pula wajahmu merona hanya karena menabrak dadaku, huh?”“Aku tidak merona!” kilah Catherine dengan melotot pada Martinez.“Ya, kau merona. Aku bisa melihatnya!”“Omong kosong! Gelap begini mana kau bisa lihat jika ada rona di wajahku!”
“Sayang sekali, Dear. Martinez sudah pindah tadi siang.” Martinez sudah pindah. Martinez sudah pindah. Kalimat wanita tua itu bergema di kepalanya hingga Catherine terlambat menanyakan, “Apa?” WAnita tua tadi sudah berbalik dan melanjutkan jalannya. Catherine mengejarnya tepat saat dia hendak memasuki unitnya sendiri. “Maaf. Martinez sudah pindah? Ke mana?” Wanita tua itu menggeleng. Kedua matanya menatap sendu pada Catherine. “Dia tidak memberitahukan tepatnya. Tetapi dia ada bilang dia pindah ke pinggiran kota. Dia berkata tentang ‘dekat dengan kakaknya’, seperti itu saja.” Catherine kembali berpikir begitu keras hingga saat wanita tua itu berpamitan, dia tidak menyadarinya. Saat dia kembali pada realita, Catherine mendapati wanita tua itu sudah tidak ada di hadapannya. Dengan langkah gontai, Catherine kembali ke rumahnya. Pertanyaan yang bergentayangan di benaknya kini b
Seperti yang telah dia perkirakan, hari-harinya selama ditemani Claire hampir terasa bagai di neraka. Claire, bukannya membantunya, malahan bersikap bossy. Dia meminta makanan ini dan itu. Jika Esme tidak bisa membuatkannya, gadis itu akan duduk di depan TV sambil merengut marah. Apa pun yang terjadi, Claire tidak akan beranjak dari sana. Dia bahkan tidak akan makan dan minum apa pun saat marah. Esme jadi merasa seperti mempunyai dua bayi. Jika dia bisa mengabaikan Claire, dia akan merasa sama saja tinggal sendirian seperti dulu. Tetapi, dia tidak bisa mengabaikan gadis itu, yang saat sedang merajuk, dia akan menelepon temannya dan berbicara di telepon dengan suara keras, untuk waktu yang lama. Esme sungguh tidak tahan. Sudah tiga hari, dan Claire bahkan belum membantunya sekali pun mengurusi baby Daisy. Dia bahkan belum pernah mengajak keponakan bayinya itu bermain sekalipun. Selama tiga hari itu pula, Darren hanya pulang saat
“Kau banyak pikiran apa? Paling-paling mikirin Martinez, kan?”Catherine hampir melotot mendengar cibiran Esme yang teramat tepat. Mengapa rasanya semua orang senang mengoloknya dengan Martinez? Kemarin-kemarin ibunya. Kini Esme. Apa sebegitu kentaranya jika dia memperhatikan Martinez?“Huh? Tebakanku benar ternyata!” cibir Esme lagi.Merasa sudah kepalang basah, Catherine pun tak malu-malu lagi. Dia menatap ponsel di tangan Esme dan bertanya, “Apa kau punya nomor ponselnya? Aku ingin melabraknya!”“Kenapa kau mau melabraknya? Dia menyeleweng?” tanya Esme yang kini dipenuhi rasa penasaran.“Hah!” Kini Catherine yang meniru gaya dengusan Esme. “Dia pindah dari apartemen di depan, ke pinggiran kota. Entah di mana. Kata wanita tua yang adalah tetangganya di apartemen lama, dia pindah dekat rumah kakaknya. Tetapi wanita itu juga tidak tau di mana tepatnya. Hah! Menyebalkan!
“Kau! Aku tidak akan pernah memercayaimu lagi!!!” Catherine begitu marah pada Esme sehingga dia mendelik sangat tajam pada wanita itu. Bahkan lubang hidungnya pun kembang kempis ingin menghempas Esme.Sementara sepupunya itu malah tertawa terbahak-bahak. Tawanya baru berhenti saat baby Daisy menangis karena terganggu kegaduhan mereka.“Oh, sayang. Tidurmu terganggu, ya? Aunty mu itu sih ngejar-ngejar mommy. Ayo, sudah bobok lagi. Atau, mau main sama aunty mu itu?”Catherine yang melihat wajah lucu baby Daisy saat menangis langsung melupakan niatnya untuk mengejar Esme. Diraihnya baby Daisy dari gendongan Esme kemudian dia menciumi perut baby Daisy hingga bayi montok itu terkikik-kikik.“Tidak usah dengarkan mommy-mu lagi, ya. Mommy-mu itu perempuan paling menyebalkan di dunia ini. Saat kau besar nanti, jangan seperti mommy-mu, ya. Seperti aunty saja.”Mendengar itu, Esme mengernyit ngeri. “Jan
Tiga hari di Claymont terasa kurang bagi Darren maupun Esme. Akan tetapi, apa mau dikata. Mereka sudah harus pulang. Pekerjaan Darren menantinya. Dengan pangkat baru, tanggung jawab baru, Darren tidak bisa berlama-lama cuti, meskipun dia berharap dia bisa. Sebelum meninggalkan Claymont di hari itu, pagi harinya Esme mengajak Darren menuju ke perkebunan anggur. Dia ingin membawa pulang anggur berkualitas yang langsung bisa dia petik di perkebunan itu. Kebetulan, pemilik perkebunan mengenal baik keluarga Darren. Mereka menyusuri perkebunan itu dengan Mr. Thompson, pemilik perkebunan. Pria paruh baya itu sambil menjelaskan pohon anggur mana yang buahnya berkualitas baik. Hingga tiba di deretan pohon yang berada tepat di tengah-tengah kebun, Mr. Thompson berhenti. “Ini yang paling berkualitas di sini. Dan kau beruntung, ada yang baru berbuah dan belum dipetik. Jika kau datang siang ini, aku yakin buah ini sudah tidak ada di sini.” Esme tersenyum senang. “Trims, Mr. Thompson. Tapi, ak
“Aku ingin tempat yang lebih tenang untuk hidup. Kota kecil atau pedesaan rasanya lebih cocok untukku.”“Pedesaan? Bagaimana kau bisa hidup di pedesaan?”“Aku bisa bertani. Atau beternak. Rasanya lebih menantang, dari pada hanya duduk seharian di apartemen dan menghabiskan uangku untuk minum dan makan saja.”Selesai mengucapkan itu, Martinez melewati Catherine begitu saja.Catherine begitu shock hingga dia tidak tahu apa yang harus dia katakan. Dia juga tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Mengejar pria itu? Atau membiarkannya pergi? Catherine seperti kehilangan akalnya sendiri.Baru saat langkah Martinez semakin jauh darinya, Catherine baru tersadar. Gegas dia mengejar pria itu.“Jangan! Jangan pergi!”Martinez menghela napasnya. “Tekadku sudah bulat, Cath.”“Sudah bulat bagaimana? Kenapa kau tiba-tiba pergi? Padahal kau tidak boleh pergi! Kau ha
Pagi itu, Darren duduk di kursi makannya. Dia sedang menyesap kopinya saat matanya tertuju pada layar ponsel. Claire mengiriminya undangan pesta pernikahan. Sebagai kakaknya, tanpa dikirimi undangan pun Darren pasti harus hadir. Tetapi, adiknya itu tetap ingin mengiriminya undangan.Melihat undangan itu, Darren merasa ada yang menggelitik hatinya.Sepiring poblano peppers tersaji di hadapannya secara tiba-tiba. Esme menyusul dengan duduk di sebelah pria itu. Wajahnya tersenyum lembut, memancarkan kebahagiaan.“Wow! Sarapan yang menggiurkan,” ucap Darren dengan matanya berbinar penuh gejolak.“Ya! Tadi kebetulan bangun lebih pagi, dan semua bahannya ini lengkap. Jadi, aku masak saja ini.” Esme mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Dia mengunyah dengan perlahan dan sambil menikmatii rasa yang bercampur dalam mulutnya.“Hmmm, ini sangat lezat. Kau tidak makan?”“Tentu, aku akan
“Apa yang terjadi di sini, biarlah berlalu. Tidak perlu disimpan dalam hati apalagi sampai dibawa pulang ke rumah kita. Aku tidak ingin kebersamaan kita nantinya ternoda dengan segala hal yang diucapkan Claire padamu. Bisakah?”Mendengar ucapan Darren, air mata Esme luruh lagi. Dia menganggukkan kepalanya. Darren menghapus air mata itu dan mengecup wajah Esme dengan penuh kasih.Setelahnya, mereka membawa segala barang bawaan mereka keluar kamar.Baru juga membuka pintu, sosok Claire sudah menghadang Esme di sana.“Mau apa lagi kau?” hardik Esme pada Claire. Rasanya seluruh persendian tubuhnya terasa sakit karena segala emosinya tersentak pada perseteruannya dengan Claire.Darren pun yang masih menarik koper di belakang Esme langsung menghardik Claire juga. “Claire, please. Apa tidak capek kau memikirkan hal itu terus-menerus?”Claire menggeleng. Wajahnya terlihat pucat dan lemah. Dan dengan
Catherine menahan napasnya selama perkelahian mereka dan baru mengembuskan napasnya itu saat Garry telah kehilangan kesadaran. Dia mengangkat wajahnya dan pandangannya tertaut pada tatapan mata Martinez. Di benaknya, dia mengharapkan Martinez akan menanyakan dengan lembut, ‘apa kau tidak apa-apa?’ Namun yang terjadi sesungguhnya, pria itu menatapnya marah dan membentaknya. “Apa kau sudah gila?! Apa kau sudah tidak punya harga diri lagi?!” Catherine shock minta ampun. Dia sampai terbelalak dan mulutnya menganga lebar. Martinez masih melanjutkan kemarahannya pada Catherine. “Kalau kau bodoh, lebih baik kau tinggal di rumah dan mengurus bayimu. Bukannya berkeliaran mencari lelaki lajang. Kau haus belaian atau apa, huh?!” Kata-kata Martinez begitu menusuk hati Catherine. Dia yang baru saja merasakan keterkejutan karena perlakuan Garry yang membuatnya takut, kini malah harus menghadapi kemarahan Martinez. Dia bahkan dikatai b
“LEPASKAN! KAU BAJINGAN!” Catherine berusaha keras untuk berteriak, memukul, menendang. Apa saja agar terlepas dari kungkungan Garry. Tetapi, pria itu jauh lebih kuat darinya.Kini, wajah Garry berada di atas wajahnya. Bibirnya menjelajah di sekeliling pipi dan lehernya, membiarkan liurnya menempel di kulit Catherine. Dan pada akhirnya bibir itu mendarat di bibirnya.Catherine meronta-ronta ingin melepaskan dirinya.Namun nyatanya, tangan Garry malah merobek kaosnya.Catherine semakin histeris. Segala tenaga dia kerahkan hanya untuk merasakan terjangan tenaga yang lebih besar lagi dari Garry.“HELP! HELP!!!” teriak Catherine putus asa. Garry sudah bagai binatang buas yang siap membantai korbannya. ***Tok tok tok.Darren mengetuk pintu kamar orang tuanya. Tak lama kemudian, ayahnya membuka pintu dengan perlahan. Te
Sementara itu di kamarnya, Claire juga menangis tersedu. Dia memikirkan betapa James Carter adalah pria yang baik.James sudah berteman dengan Darren sejak mereka di awal karier kepolisian. Claire suka berada di dekat mereka jika James datang ke rumah.Dan entah sejak kapan, James mulai menunjukkan tanda-tanda suka pada Claire. Meskipun gadis itu tidak menganggap James lebih dari seorang teman, Claire tidak pernah meremehkan perasaan James.Di hari ketika kabar tewasnya James tiba di telinganya, Claire mulai sering memikirkan pria itu. Saat itu, Claire merasa tidak ada salahnya membuka hatinya untuk James. Pria itu dewasa dan sangat baik. Dirinya yang manja mungkin akan bisa merasakan cinta yang manis saat bersama James.Claire bahkan sudah menyusun kata-kata yang akan dia ungkapkan pada James, bahwa dia ingin membuka hatinya untuk James.Tetapi kemudian kabar itu datang. Hatinya hancur remuk.Baru bertahun-tahu
Garry benar-benar mengajak Catherine ke apartemennya. Dalam setiap langkahnya, Catherine merasa semakin gelisah.Meskipun semua ini adalah idenya sendiri, tetapi memikirkan dia akan kepergok Martinez mengunjungi apartemen pria lain, yang malahan baru dia kenal lewat kencan buta, tetaplah membuat perutnya terasa mual.Langkah kaki Cahterine hampir saja berbalik arah jika bukan karena wanita itu terngiang lagi akan ucapan Martinez sebelum ini.‘Kau berhak mendapatkan pria lain yang lebih sempurna. Yang layak mendapatkan dirimu.’Huh! Dasar lelaki tidak peka! Memangnya Martinez tidak sadar jika yang Catherine inginkan adalah pria itu sendiri? Dan karena kebodohannya itu, sekarang Catherine benar-benar ingin mencari yang lebih baik dari pria itu. Dia akan tunjukkan bahwa dia tidak akan mengemis cinta.“Unitmu di lantai ini?” tanya Cahterine terkejut saat mereka keluar dari lift. Bahkan unit Garry berada di lantai yang sama denga
Garry pun memberitahu apartemen tempatnya tinggal. Cahterine terkejut karena nama apartemen yang disebut Garry adalah apartemen tempat Martinez tinggal. Mendadak, selintas ide gila lewat di otak Catherine. Dan idenya ini telah menghilangkan rasa malu Cahterine sebagai wanita. Dia berkata, “Boleh aku mampir ke apartemenmu? Ehm, maksudku, sekarang?” Pertanyaan Cahterine sukses membuat Garry tercengang. Tidak ada wanita yang lebih seterus terang dan segesit dia. Garry juga tidak menyangka jika Catherine bisa mengatakan ini semua mengingat saat makan di kafe tadi, Catherine tidak terlihat ramah. Dia begitu cuek, dingin, dan jutek. Wanita itu seperti tidak memiliki pikirannya di tubuhnya. Tetapi sekarang, tiba-tiba wanita ini memintanya untuk mengajaknya ke apartemen? Mungkin sebentar lagi akan hujan uang. Namun begitu, Garry laki-laki normal. Tidak mungkin dia melewatkan kesempatan emas seperti ini. Apalagi Catherine adalah wanita pirang seksi. Sungguh me