Home / Fantasi / Elegi / 1. Bakunawa

Share

1. Bakunawa

Author: Oxell Raditya
last update Last Updated: 2022-02-11 22:12:29

Sang raja malam bertahta dengan sempurna, ditemani ribuan gemintang yang berkerlip menggoda. Suara binatang malam riuh menyuarakan rasa kepada semesta. Di tepi hutan tampak sosok pemuda dengan pakaian compang-camping. Manik birunya berubah merah begitu menatap sang purnama. Seiring biru yang berubah merah, pemuda itu merangkak dan sekujur tubuhnya mulai bermantelkan bulu keemasan. Ia berubah menjadi sosok rubah dengan ekor berjumlah sembilan.

Sang rubah mulai bergerak liar mengibas kesembilan ekornya. Akal sehatnya telah hilang tergantikan hawa nafsu untuk menghancurkan segalanya. Tiada peduli pada pekik ketakutan para binatang malam pun manusia. Nyanyian kepada semesta berubah menjadi jeritan duka yang merobek dada. Semuanya musnah dalam amukan sang rubah merah yang sekujur tubuhnya bermandikan darah semua makhluk yang dimangsa.

Hingga satu titik membelah malam. Sebuah kilat mengalihkan atensi sang rubah. Dengan langkah tergesa sang rubah menuju sungai di mana kilat itu menyambar. Di sepasang rubinya terlihat jelas sosok seorang gadis bersurai kelam yang dikelilingi kobaran api. Si gadis yang merasa diperhatikan pun menoleh. Manik kelamnya bertubukan dengan manik rubi sang rubah yang masih membeku.

"Kitsune?"

"Bangun, manusia pemalas!"

Aksa gelagapan saat merasakan dingin di sekujur tubuhnya. Napasnya tersengal dalam beberapa detik sebelum manik biru itu menatap intens pada Binar yang selalu membangunkannya dengan mengguyurkan air. Walaupun dia tampak cantik, anggun, dan menawan, tetap saja sang putri dari Dewa Naga itu memiliki etika yang buruk menurut Aksa. Hanya karena ialah pengatur jumlah air yang berhak didapatkan di wilayah itu, bukan berarti ia bisa menyiram air sembarangan kepada Aksa, kan?

"Pantas saja Dewa menghukummu, kau itu pemalas."

"Hei, siapa yang kau sebut pemalas Dewi jadi-jadian!"

Binar menghela napas sejenak, berada di dekat manusia menyebalkan semacam Aksa membuat emosinya mudah naik dan juga membuatnya kehilangan wibawa sebagai seorang Dewi baik hati yang disimbolkan sebagai harapan.

"Bergegaslah, kau harus memastikan para manusia tidak masuk ke hutan ini," gumamnya pelan sebelum meninggalkan Aksa sendirian dalam sebuah pondok sederhana.

Sudah beberapa bulan Aksa tinggal di wilayah pegunungan Britania Raya bersama para roh dan makhluk legenda di sana. Kebanyakan dari mereka adalah Dragon, tapi banyak juga peri pohon yang memberi kehidupan bagi tanaman di sana. Aksa bukannya berdiam diri, ia juga membantu para penunggu hutan untuk memastikan bahwa manusia tidak akan memasuki wilayah hutan, karena itu bisa berbahaya. Suatu kali ia pernah pergi ke kota dan para warga kota berkata jika mereka akan memburu para Dragon untuk dilelang di sebuah acara. Sejak saat itulah penjagaan di hutan semakin diperketat.

Semakin hari ia di sana, entah kenapa ia merasa semakin nyaman. Aksa sama sekali tidak merasa Dewa sedang menghukumnya, karena di tempat di mana Aksa dibangkitkan, ia bertemu dengan Binar. Dewi berwujud Dragon yang entah bagaimana caranya selalu membuatnya terpana. Suaranya adalah melodi terbaik yang pernah Aksa dengar. Segala tingkah laku menyenangkan dan menyebalkannya sekalipun selalu membuat Aksa semakin ingin berada di sisinya selamanya. Di hadapan Binar, Aksa tak ubahnya kerbau yang dicocok hidungnya. Akan ia lakukan apapun jika itu Binar yang meminta. Sangat bodoh bukan? Memangnya apa yang bisa dilakukan manusia untuk seorang Dewi sesempurna dirinya? Tentu tidak ada.

Menggeleng sejenak untuk mengusir bayangan dalam kepala, Aksa teringat pada sosok dalam mimpinya. Seorang pemuda yang berubah menjadi rubah dengan sembilan ekor dan seorang gadis yang dikelilingi kobaran api. Apa-apaan itu? Kenapa rasanya mereka berdua sangat familiar baginya?

"Aksa!"

"Ah, iya Binar tunggu."

Aksa melangkah cepat menuju Sang Dewi yang selalu luar biasa tidak sabaran seperti biasa. Ia tersenyum begitu sampai di hadapan Binar, sementara sang Dewi bergegas memutar tubuh dan berjalan menuju perbatasan hutan. Ia tidak tahu kenapa tugasnya bertambah dengan mengawasi pemuda pirang yang sedang dalam masa hukuman Dewa. Bukankah tugasnya hanya mengatur alur air yang terbagi di wilayah Britania Raya?

"Hei, Binar! Kenapa kau tidak pernah tersenyum?"

"Kau pikir itu perlu?"

"Tentu sa-"

"Aku bukan manusia."

Aksa urung melanjutkan ucapannya. Benar juga, Binar bukan manusia, dia adalah seorang Dewi, jadi tersenyum atau tidak rasanya itu tidak penting.

"Hei!"

Aksa bergerak cepat, tangan kokohnya terulur demi menggapai tubuh Binar. Sang Dewi memang selalu ceroboh dalam melakukan banyak hal, dan sialnya ia sering kali tidak memerhatikan jalan hingga tersandung dan jatuh. Seperti saat ini, sebelum tangan Aksa mencapai tubuh Binar, tubuhnya telah terlilit akar pohon dengan begitu kuat.

"Ouch." Binar memekik pelan saat merasakan lututnya terluka. Berapa kalipun ia berjalan di daratan, hal seperti ini akan selalu terjadi. Istana ayahnya ada di dalam lautan, dan tempat tinggalnya sekarang adalah di daratan. Entah kenapa begitu sulit untuk berjalan tanpa sekalipun terjatuh di permukaan Bumi.

"Ah, maafkan aku Reia, aku tidak bermaksud menyentuh Binar ... maksudku, Putri Ryujin," ucap Aksa pada peri pohon yang masih melilitkan akar ke tubuhnya.

Aura di sekeliling mendadak memberat begitu sesosok roh beraura kuat mendekat. Sosok transparannya berdiri di hadapan Aksa dan wajah yang tak terlihat bentuknya itu berjarak begitu dekat dari wajah Aksa.

"Sekali lagi kau berniat menyentuh Putri Ryujin, akan kupanggilkan Beli untuk mencabut nyawamu, dan kupastikan Arawn takkan membangkitkanmu lagi agar kau ditolak oleh semesta maupun nirwana," ucapnya penuh penekanan.

"A-aku mengerti. Maafkan aku."

"Minta maaflah pada Putri Ryujin."

Aksa mengangguk dan dalam sekejap roh itu telah menghilang dari hadapannya. Akar pohon yang membelit tubuhnya pun telah sirna. Manik birunya menoleh Binar yang masih terduduk sambil mengusap lututnya. Andai ia bisa menyentuh Binar, dengan senang hati ia akan membantu Sang Dewi untuk berdiri.

"Ah." Aksa memekik begitu mendapat ide. Jemari kecokelatannya meraih ranting pohon yang jatuh. Ia lantas mengulurkan ranting pohon itu pada Binar. "Peganglah." Binar mendongak; menatap wajah Aksa begitu ranting kayu diulurkan pemuda pirang itu. "Aku ingin membantumu, tapi aku tidak bisa menyentuhmu. Jadi, izinkan aku membantumu dengan caraku."

Untuk pertama kalinya bibir ranum milik Binar melengkungkan sebuah senyuman. Syair-syair dan musik Gwydyon seolah memenuhi kepala Aksa. Manik birunya menatap penuh damba pada sosok Binar bagai sahaya yang mendamba ratunya. Jantungnya berdetak lebih cepat dan lebih keras daripada biasanya. Entah kenapa ia merasa familiar dengan perasaan yang bergolak dalam dadanya ketika berada di dekat Binar.

"Terima kasih."

Suara selembut beledu itu mengalihkan atensi Aksa. Ia hanya bisa tersenyum kikuk sebelum mulai berjalan dengan menggenggam ujung ranting di mana ujung lainnya digenggam oleh Binar. Mereka kembali menjelajahi hutan yang sebenarnya isinya hanya itu-itu saja.

"Hei, Binar! Boleh aku bertanya sesuatu?" Aksa melirik Sang Dewi yang menampilkan wajah tanpa ekspresi seperti biasanya.

"Apa itu?" tanyanya tanpa mengalihkan pandang pada pepohonan lebat di hadapannya.

"Kenapa aku tidak boleh menyentuhmu?"

Binar menoleh, manik obsidiannya bertubrukan dengan manik biru Aksa. Warna biru yang mampu menenggelamkannya begitu dalam. Biru yang begitu indah, lebih indah dari istana ayahnya di dasar lautan.

"Ikut aku."

Binar berbalik badan dan mulai berjalan ke arah selatan. Aksa mengikutinya, masih dengan ujung ranting kayu yang tergenggam di jemari masing-masing. Selama tinggal di belantara Britania Raya, Aksa belum pernah ke sana sebelumnya. Wilayah selatan yang ternyata begitu indah dengan hamparan bunga dandelion yang dikelilingi ilalang.

"Aku tidak tahu ada tempat seperti ini."

Binar mengedikkan bahu tak acuh lantas duduk di atas sebuah batang pohon yang telah lama tumbang. Dalam hitungan detik manik biru Aksa telah kembali memandang wajah Binar setelah beberapa saat mengagumi padang dandelion. Ternyata percuma. Sosok Binar lebih indah dari padang dandelion sekalipun. Ia terpana, dan akan selalu terpana pada sosok Sang Dewi.

"Sebenarnya mereka hanya berlebihan," gumam Binar. Pandangannya lurus ke hamparan dandelion yang serbuknya beterbangan tertiup angin. "Kau boleh menyentuhku jika kau mau."

"Sungguh?" Binar ceria terpancar jelas dalam manik biru Aksa.

Binar mengangguk pelan. "Kau boleh menyentuhku, dan setelah itu aku akan menghilang dari dunia ini."

"Eh?" Keterkejutan tak bisa disembunyikan dari biner birunya. "Apa maksudmu dengan menghilang?"

"Aku tidak berasal dari tempat ini. Istanaku adalah lautan dan air adalah bagian dari diriku. Aku akan menghilang jika manusia menyentuhku."

"Kalau kau tidak berasal dari sini? Kenapa kau ada di sini, Binar?"

"Seratus tahun belakangan terjadi perpecahan antara para Dragon di seluruh dunia. Untuk menjaga kestabilan aku ditugaskan Dewa untuk memastikan Britania Raya tidak kekurangan air. Berdua dengan Y Ddraig Goch, kami memusnahkan Wyvern yang mulai tidak terkendali dan menyerang manusia. Titik baliknya adalah purnama beberapa waktu yang akan datang."

"Purnama?"

Binar mengangguk singkat dan mengehela napas sejenak. "Purnama yang akan datang, para Dragon akan menghadapi peperangan. Memang tidak semuanya, hanya para Dragon yang sudah dipilih sejak perpecahan para Dragon terjadi. Mereka akan melawan Bakunawa agar dia tidak bisa memakan purnama ...."

"Bakunawa? Maksudmu Dragon dari perairan Philipine?"

Binar mengangguk lagi. Tinggal dengan para penunggu hutan yang kebanyakan adalah Dragon membuat Aksa mengenal berbagai Dragon yang ada di dunia. Ia tahu ada dua jenis Dragon, yaitu Dragon bernapas api seperti Y Ddraig Goch, dan Dragon berelemen air seperti Binar. Bakunawa sendiri adalah Dragon raksasa berelemen air yang tinggal di dasar lautan Philipine.

"Apa yang akan terjadi jika Bakunawa berhasil menelan purnama?"

"Bencana besar akan datang. Bakunawa akan menjadi Raja bagi para Dragon dan para Dragon akan memangsa manusia."

Keduanya terdiam dalam kebisuan panjang setelah percakapan itu. Hanya suara angin yang berbisik-bisik pada pepohohan pun menerbangkan serbuk dandelion di hadapan mereka. Sekali lagi Aksa menoleh ke samping, perasaan yang bergejolak dalam dadanya semakin kuat. Ia bahkan tidak mampu membayangkan seandainya tiada lagi sosok Binar yang bisa ia pandangi seperti saat ini.

"Kalau begitu aku tidak akan menyentuhmu."

Binar menoleh cepat, dan untuk kesekian kalinya biru dan hitam dipertemukan dalam satu garis lurus.

"Bukankah kau selalu ingin-"

"Jika menyentuhmu berarti kehilangan, lebih baik tidak pernah kulakukan."

"Hmph, manusia." Binar mendengus sinis, tapi meski begitu entah kenapa hatinya menghangat.

"Ayo pergi, kita belum mengecek wilayah timur." Aksa berdiri dan mengulurkan ranting pohon tadi ke arah Binar.

"Hm." Binar menggenggam ujung ranting pohon itu dan mulai berjalan di samping Aksa.

Sejenak Aksa memejamkan matanya, merasakan semilir angin membelai kulit kecokelatannya. Ketika kelopak mata itu membuka kembali, ia menoleh Binar yang berada di sisinya. Ia mengerti sekarang, sangat mengerti arti dari pergolakan rasa dalam dadanya. Ia tidak ingin kehilangan Binar, apapun yang terjadi.

※※※※※※※

Beli : Dewa kematian di mitologi Inggris & Wales

Arawn : Arawn adalah Dewa penguasa Annwfn (Dunia gaib) pada cabang pertama Mabinogi (Pohon kehidupan)

Gwydyon : Dewa ilmu sihir, Dewa penyair dan pemusik.

Related chapters

  • Elegi   2. Malapetaka

    Di bawah siraman cahaya Matahari yang mulai menampakkan eksistensinya. sepasang manusia duduk di tepian sungai berarus deras. Satunya adalah lelaki pemilik surai pirang dan mata biru, sedangkan yang satunya lagi adalah sosok gadis bergaun merah dengan surai panjang berwarna kelam yang senada dengan iris matanya. Mereka sama-sama diam, hanya ada suara angin yang meramaikan kesunyian di antara mereka."Kau lebih terlihat seperti iblis penghancur daripada Dewa pelindung, Kitsune." Gadis itu memulai pembicaraan, sementara si pemuda mendengus sinis."Aku bukan lagi Dewa, permataku dicuri oleh manusia dan aku tidak bisa mengendalikan diri saat Bulan sedang purnama." Si gadis terbahak mendengar penjelasan Sang Kitsune yang sangat dikenal sebagai Dewa pelindung itu. "Jadi, apa yang membuat Zeus menyambarkan petirnya padamu ... Phoenix?" tanya Sang Kitsune pada gadis bergaun merah yang merupakan sosok manusia dari burung Phoenix."Oh itu ... Para Dewa sedang mengadakan r

    Last Updated : 2022-02-11
  • Elegi   3. Kelindan

    Binar melangkah memasuki goa di mana ia terbiasa menyendiri semenjak tinggal di belantara Britania Raya. Di sana Temaram dan Gulita sudah menunggu. Ia yakin kedua Dragon itu akan menyampaikan kabar buruk yang entah apa. Sebentar lagi purnama, sudah pasti banyak kejadian tak terduga yang disebabkan oleh Bakunawa."Jadi ... apa yang ingin kalian berdua bicarakan?" tanya Binar begitu melihat wajah serius Temaram dan Gulita yang kini berlutut di hadapannya."Kami membawa kabar buruk Yang Mulia." Binar melirik Temaram untuk menunggu lelaki itu melanjutkan ucapannya. "Yang Mulia Raja Ryujin telah tewas di tangan seorang manusia."Manik obsidian Binar membola begitu suara Temaram merasuki indera pendengarannya. Waktu seolah berhenti detik itu bagi Binar. Ayahnya tewas di tangan para manusia, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?"Bakunawa telah menyebar ilusi pada sebagian manusia dan memberitahukan kelemahan para Dragon di seantero jagat raya agar ia bisa mem

    Last Updated : 2022-02-11
  • Elegi   4. Enigma

    Hari-hari berlalu tanpa keberadaan Binar di belantara Britania Raya. Aksa tidak bisa berbohong, ada hampa yang merongrong rongga dadanya. Lebih dari yang ia pikirkan, lebih dari yang ia bayangkan, dan lebih dari yang ia inginkan ... Binar adalah pemilik keseluruhan jiwanya. Lelaki pirang itu menghela napas sembari menatap Purnama yang berkilauan, saat itu kesadaran menyentaknya. Bulan Purnama yang berarti peperangan para Dragon telah dimulai, namun yang tidak Aksa mengerti adalah ... ia justru berada di ranah asing yang menyerupai belantara Britania Raya, hanya terlihat lebih gelap dengan aura kelabu yang menyesakkan dada.Manik birunya memandang ke sekeliling dengan gamang. Pepohonan di sana begitu tinggi, barangkali tingginya melebihi tinggi pepohonan di belantara Britania Raya. Suara hewan malam tak terasa bersahabat, justru membuat bulu kuduknya berdiri.Aksa menoleh ke arah sumber suara saat mendengar suara langkah kaki. Jantungnya berdebar dua kali lebih kencang

    Last Updated : 2022-02-11
  • Elegi   5. Father of Aesir

    Aksa berdiri takjub di sebuah ruangan besar dengan warna perak di segala sisinya. Wisnu dan Laksmi benar-benar mengantarkannya ke Asgard, mereka juga yang berbicara pada Heimdall agar Aksa bisa melewati Bifrost-jembatan pelangi menuju Asgard-dan sekarang di sinilah mereka berada; Valaskjalf, salah satu ruangan terbesar Odin. Sepasang samudra milik Aksa menatap sopan kepada sang penguasa Asgard yang tengah duduk di singgasananya; Hlidskjalf di mana Odin biasa mengawasi alam semesta. Sosok besar Odin dengan janggut putih panjang, dan topi berpinggiran lebar serta tongkat di mana dua ekor burung peliharannya-Hugin dan Munin-yang biasa terbang berkeliling Midgard dan melaporkan berita dari Midgard kepada Odin. Yang begitu mencolok dari penampilan lelaki tua bertubuh besar itu adalah salah satu matanya yang ditutup, mengingatkan Aksa pada bayangan sosok kapten bajak laut yang biasa dibicarakan oleh penduduk pinggiran kota Britania Raya."Hugin dan Munin telah membawakan berita ten

    Last Updated : 2022-02-28
  • Elegi   6. Rosemary

    Di hari yang terik, Wisnu dan Laksmi mengantarkan Aksa ke Mesir, tak jauh dari muara sungai Nil. Ia berada di peradaban dinasti ke-26 Mesir, tepatnya tahun 575 SM dengan Firaun; Amasis II sebagai pemimpinnya. Sepasang Sura itu berpesan padanya untuk berbaur dengan manusia di sana seusai mereka memberi ingatan perihal keadaan sekitar, sementara mereka akan mengawasi Aksa dari sebuah tempat yang tak diketahuinya. Sepasang samudra di matanya mengamati sekeliling yang begitu berbeda dengan belantara Britania Raya, tapi di manapun itu, tak masalah baginya, asalkan ia bisa bertemu dengan Binar."Apa yang kaulakukan di sini?"Aksa menoleh ketika mendengar suara berat seorang pria di belakang tubuhnya. Ia berbalik badan dan menemukan sosok pria bertubuh tinggi dengan surai cokelat panjang dan mata berwarna amethyst yang menatapnya penuh selidik."Aku ...." Aksa menggaruk pipinya dengan gugup. Meski telah dibekali ingatan oleh Wisnu dan Laksmi, tetap saja ia tak memiliki

    Last Updated : 2022-03-03
  • Elegi   7. Kidung

    Dua minggu telah berlalu sejak kedatangan Aksa di Mesir. Dua minggu itu pulalah ia mengenal sosok Rosemary. Odin benar, gadis itu adalah manifestasi sosok Binar dengan latar belakang dan ingatan yang berbeda. Mesir adalah dunia kedua yang Aksa jalani dan lagi, ia masih harus memecahkan enigma yang belum sepenuhnya ia mengerti. Tapi ada satu hal yang dapat ia pastikan di sini, bahwa perasaannya terhadap sosok Rosemary adalah sama dengan perasaannya terhadap Putri Ryujin. Barangkali, seperti itu pulalah perasaan Kitsune kepada Phoenix.Aksa menghela napas lelah begitu ia kembali teringat pada enigma menyebalkan itu. Rasanya kepalanya bisa saja berasap karena memikirkan enigma sekaligus terkena sinar Matahari yang luar biasa terik di bawah langit Mesir. Menggeleng sejenak, Aksa memilih mengedarkan pandang ke sekeliling, dan ia mendapati Rosemary tengah memberi makan kuda, bersama Hilea yang merupakan putri dari Hiro. Lengkung senyum terpoles secara spontan di bibir Aksa, hanya k

    Last Updated : 2022-03-05
  • Elegi   8. Kekasih

    Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, tapi sang raja siang masih menunjukkan kegagahannya. Hilea tengah memandang jauh ke muara Sungai Nil bersama Rosemary yang tengah memainkan serulingnya. Gadis bersurai malam itu memejamkan mata guna menikmati permainannya. Bayang wajah sang tuan hadir begitu saja tanpa ia minta. Rosemary tidak paham pada perasaan-perasaan aneh yang bergolak di dadanya semenjak sang tuan memeluknya sambil menangis di atas kereta kuda. Ia juga tidak mengerti kenapa pipinya selalu terasa panas saat sang tuan menatap dan tersenyum hangat padanya. Jantungnya pun bertalu keras setiap kali ia mendengar sang tuan memanggil namanya, atau ketika ia mendengar nama sang tuan disebutkan."Kau sedang jatuh cinta?"Rosemary agak tersentak dengan pertanyaan tiba-tiba dari nona muda yang dihormatinya. Ia menghentikan permainan serulingnya dan membuka mata, guna menatap wajah ayu sang nona muda."Jatuh cinta?" tanyanya dengan wajah polos yang membuat Hilea te

    Last Updated : 2022-03-06
  • Elegi   Prolog

    Rerintik hujan turun membasahi setiap bagian dari permukaan Bumi. Tiap tetesnya bagai kemarahan semesta, di mana awan kelabu sepenuhnya menyembunyikan Sang Mentari. Angin bertiup ringan bagai bisikan merdu yang menenangkan semesta dari kemarahannya. Tiba-tiba suara dentingan lonceng terdengar menggelegar ke seantero jagat raya. Rerintik air yang jatuh berhenti di udara, angin berhenti bertiup. Hanya tinggal keheningan janggal yang tertinggal. Di sebuah pegunungan yang ditumbuhi pepohonan lebat, sebuah cahaya putih muncul secara tiba-tiba. Para manusia terbiasa menyebut wilayah itu termasuk ke dalam Britania Raya. Cahaya putih itu berubah terang, semakin terang, dan semakin terang, seolah berniat membutakan mata siapapun yang melihatnya, dan begitu cahaya itu menghilang tinggallah sesosok tubuh telanjang yang tergeletak di atas tanah lembab sisa hujan. Perlahan kelopak mata berwarna kecokelatan itu membuka, menampilkan eksistensi bola mata biru yang dimilikinya. Tetes air hujan yang b

    Last Updated : 2022-02-11

Latest chapter

  • Elegi   8. Kekasih

    Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, tapi sang raja siang masih menunjukkan kegagahannya. Hilea tengah memandang jauh ke muara Sungai Nil bersama Rosemary yang tengah memainkan serulingnya. Gadis bersurai malam itu memejamkan mata guna menikmati permainannya. Bayang wajah sang tuan hadir begitu saja tanpa ia minta. Rosemary tidak paham pada perasaan-perasaan aneh yang bergolak di dadanya semenjak sang tuan memeluknya sambil menangis di atas kereta kuda. Ia juga tidak mengerti kenapa pipinya selalu terasa panas saat sang tuan menatap dan tersenyum hangat padanya. Jantungnya pun bertalu keras setiap kali ia mendengar sang tuan memanggil namanya, atau ketika ia mendengar nama sang tuan disebutkan."Kau sedang jatuh cinta?"Rosemary agak tersentak dengan pertanyaan tiba-tiba dari nona muda yang dihormatinya. Ia menghentikan permainan serulingnya dan membuka mata, guna menatap wajah ayu sang nona muda."Jatuh cinta?" tanyanya dengan wajah polos yang membuat Hilea te

  • Elegi   7. Kidung

    Dua minggu telah berlalu sejak kedatangan Aksa di Mesir. Dua minggu itu pulalah ia mengenal sosok Rosemary. Odin benar, gadis itu adalah manifestasi sosok Binar dengan latar belakang dan ingatan yang berbeda. Mesir adalah dunia kedua yang Aksa jalani dan lagi, ia masih harus memecahkan enigma yang belum sepenuhnya ia mengerti. Tapi ada satu hal yang dapat ia pastikan di sini, bahwa perasaannya terhadap sosok Rosemary adalah sama dengan perasaannya terhadap Putri Ryujin. Barangkali, seperti itu pulalah perasaan Kitsune kepada Phoenix.Aksa menghela napas lelah begitu ia kembali teringat pada enigma menyebalkan itu. Rasanya kepalanya bisa saja berasap karena memikirkan enigma sekaligus terkena sinar Matahari yang luar biasa terik di bawah langit Mesir. Menggeleng sejenak, Aksa memilih mengedarkan pandang ke sekeliling, dan ia mendapati Rosemary tengah memberi makan kuda, bersama Hilea yang merupakan putri dari Hiro. Lengkung senyum terpoles secara spontan di bibir Aksa, hanya k

  • Elegi   6. Rosemary

    Di hari yang terik, Wisnu dan Laksmi mengantarkan Aksa ke Mesir, tak jauh dari muara sungai Nil. Ia berada di peradaban dinasti ke-26 Mesir, tepatnya tahun 575 SM dengan Firaun; Amasis II sebagai pemimpinnya. Sepasang Sura itu berpesan padanya untuk berbaur dengan manusia di sana seusai mereka memberi ingatan perihal keadaan sekitar, sementara mereka akan mengawasi Aksa dari sebuah tempat yang tak diketahuinya. Sepasang samudra di matanya mengamati sekeliling yang begitu berbeda dengan belantara Britania Raya, tapi di manapun itu, tak masalah baginya, asalkan ia bisa bertemu dengan Binar."Apa yang kaulakukan di sini?"Aksa menoleh ketika mendengar suara berat seorang pria di belakang tubuhnya. Ia berbalik badan dan menemukan sosok pria bertubuh tinggi dengan surai cokelat panjang dan mata berwarna amethyst yang menatapnya penuh selidik."Aku ...." Aksa menggaruk pipinya dengan gugup. Meski telah dibekali ingatan oleh Wisnu dan Laksmi, tetap saja ia tak memiliki

  • Elegi   5. Father of Aesir

    Aksa berdiri takjub di sebuah ruangan besar dengan warna perak di segala sisinya. Wisnu dan Laksmi benar-benar mengantarkannya ke Asgard, mereka juga yang berbicara pada Heimdall agar Aksa bisa melewati Bifrost-jembatan pelangi menuju Asgard-dan sekarang di sinilah mereka berada; Valaskjalf, salah satu ruangan terbesar Odin. Sepasang samudra milik Aksa menatap sopan kepada sang penguasa Asgard yang tengah duduk di singgasananya; Hlidskjalf di mana Odin biasa mengawasi alam semesta. Sosok besar Odin dengan janggut putih panjang, dan topi berpinggiran lebar serta tongkat di mana dua ekor burung peliharannya-Hugin dan Munin-yang biasa terbang berkeliling Midgard dan melaporkan berita dari Midgard kepada Odin. Yang begitu mencolok dari penampilan lelaki tua bertubuh besar itu adalah salah satu matanya yang ditutup, mengingatkan Aksa pada bayangan sosok kapten bajak laut yang biasa dibicarakan oleh penduduk pinggiran kota Britania Raya."Hugin dan Munin telah membawakan berita ten

  • Elegi   4. Enigma

    Hari-hari berlalu tanpa keberadaan Binar di belantara Britania Raya. Aksa tidak bisa berbohong, ada hampa yang merongrong rongga dadanya. Lebih dari yang ia pikirkan, lebih dari yang ia bayangkan, dan lebih dari yang ia inginkan ... Binar adalah pemilik keseluruhan jiwanya. Lelaki pirang itu menghela napas sembari menatap Purnama yang berkilauan, saat itu kesadaran menyentaknya. Bulan Purnama yang berarti peperangan para Dragon telah dimulai, namun yang tidak Aksa mengerti adalah ... ia justru berada di ranah asing yang menyerupai belantara Britania Raya, hanya terlihat lebih gelap dengan aura kelabu yang menyesakkan dada.Manik birunya memandang ke sekeliling dengan gamang. Pepohonan di sana begitu tinggi, barangkali tingginya melebihi tinggi pepohonan di belantara Britania Raya. Suara hewan malam tak terasa bersahabat, justru membuat bulu kuduknya berdiri.Aksa menoleh ke arah sumber suara saat mendengar suara langkah kaki. Jantungnya berdebar dua kali lebih kencang

  • Elegi   3. Kelindan

    Binar melangkah memasuki goa di mana ia terbiasa menyendiri semenjak tinggal di belantara Britania Raya. Di sana Temaram dan Gulita sudah menunggu. Ia yakin kedua Dragon itu akan menyampaikan kabar buruk yang entah apa. Sebentar lagi purnama, sudah pasti banyak kejadian tak terduga yang disebabkan oleh Bakunawa."Jadi ... apa yang ingin kalian berdua bicarakan?" tanya Binar begitu melihat wajah serius Temaram dan Gulita yang kini berlutut di hadapannya."Kami membawa kabar buruk Yang Mulia." Binar melirik Temaram untuk menunggu lelaki itu melanjutkan ucapannya. "Yang Mulia Raja Ryujin telah tewas di tangan seorang manusia."Manik obsidian Binar membola begitu suara Temaram merasuki indera pendengarannya. Waktu seolah berhenti detik itu bagi Binar. Ayahnya tewas di tangan para manusia, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?"Bakunawa telah menyebar ilusi pada sebagian manusia dan memberitahukan kelemahan para Dragon di seantero jagat raya agar ia bisa mem

  • Elegi   2. Malapetaka

    Di bawah siraman cahaya Matahari yang mulai menampakkan eksistensinya. sepasang manusia duduk di tepian sungai berarus deras. Satunya adalah lelaki pemilik surai pirang dan mata biru, sedangkan yang satunya lagi adalah sosok gadis bergaun merah dengan surai panjang berwarna kelam yang senada dengan iris matanya. Mereka sama-sama diam, hanya ada suara angin yang meramaikan kesunyian di antara mereka."Kau lebih terlihat seperti iblis penghancur daripada Dewa pelindung, Kitsune." Gadis itu memulai pembicaraan, sementara si pemuda mendengus sinis."Aku bukan lagi Dewa, permataku dicuri oleh manusia dan aku tidak bisa mengendalikan diri saat Bulan sedang purnama." Si gadis terbahak mendengar penjelasan Sang Kitsune yang sangat dikenal sebagai Dewa pelindung itu. "Jadi, apa yang membuat Zeus menyambarkan petirnya padamu ... Phoenix?" tanya Sang Kitsune pada gadis bergaun merah yang merupakan sosok manusia dari burung Phoenix."Oh itu ... Para Dewa sedang mengadakan r

  • Elegi   1. Bakunawa

    Sang raja malam bertahta dengan sempurna, ditemani ribuan gemintang yang berkerlip menggoda. Suara binatang malam riuh menyuarakan rasa kepada semesta. Di tepi hutan tampak sosok pemuda dengan pakaian compang-camping. Manik birunya berubah merah begitu menatap sang purnama. Seiring biru yang berubah merah, pemuda itu merangkak dan sekujur tubuhnya mulai bermantelkan bulu keemasan. Ia berubah menjadi sosok rubah dengan ekor berjumlah sembilan.Sang rubah mulai bergerak liar mengibas kesembilan ekornya. Akal sehatnya telah hilang tergantikan hawa nafsu untuk menghancurkan segalanya. Tiada peduli pada pekik ketakutan para binatang malam pun manusia. Nyanyian kepada semesta berubah menjadi jeritan duka yang merobek dada. Semuanya musnah dalam amukan sang rubah merah yang sekujur tubuhnya bermandikan darah semua makhluk yang dimangsa.Hingga satu titik membelah malam. Sebuah kilat mengalihkan atensi sang rubah. Dengan langkah tergesa sang rubah menuju sungai di mana kilat i

  • Elegi   Prolog

    Rerintik hujan turun membasahi setiap bagian dari permukaan Bumi. Tiap tetesnya bagai kemarahan semesta, di mana awan kelabu sepenuhnya menyembunyikan Sang Mentari. Angin bertiup ringan bagai bisikan merdu yang menenangkan semesta dari kemarahannya. Tiba-tiba suara dentingan lonceng terdengar menggelegar ke seantero jagat raya. Rerintik air yang jatuh berhenti di udara, angin berhenti bertiup. Hanya tinggal keheningan janggal yang tertinggal. Di sebuah pegunungan yang ditumbuhi pepohonan lebat, sebuah cahaya putih muncul secara tiba-tiba. Para manusia terbiasa menyebut wilayah itu termasuk ke dalam Britania Raya. Cahaya putih itu berubah terang, semakin terang, dan semakin terang, seolah berniat membutakan mata siapapun yang melihatnya, dan begitu cahaya itu menghilang tinggallah sesosok tubuh telanjang yang tergeletak di atas tanah lembab sisa hujan. Perlahan kelopak mata berwarna kecokelatan itu membuka, menampilkan eksistensi bola mata biru yang dimilikinya. Tetes air hujan yang b

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status