Binar melangkah memasuki goa di mana ia terbiasa menyendiri semenjak tinggal di belantara Britania Raya. Di sana Temaram dan Gulita sudah menunggu. Ia yakin kedua Dragon itu akan menyampaikan kabar buruk yang entah apa. Sebentar lagi purnama, sudah pasti banyak kejadian tak terduga yang disebabkan oleh Bakunawa.
"Jadi ... apa yang ingin kalian berdua bicarakan?" tanya Binar begitu melihat wajah serius Temaram dan Gulita yang kini berlutut di hadapannya.
"Kami membawa kabar buruk Yang Mulia." Binar melirik Temaram untuk menunggu lelaki itu melanjutkan ucapannya. "Yang Mulia Raja Ryujin telah tewas di tangan seorang manusia."
Manik obsidian Binar membola begitu suara Temaram merasuki indera pendengarannya. Waktu seolah berhenti detik itu bagi Binar. Ayahnya tewas di tangan para manusia, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?
"Bakunawa telah menyebar ilusi pada sebagian manusia dan memberitahukan kelemahan para Dragon di seantero jagat raya agar ia bisa memusnahkan mereka; terutama Dragon yang tinggal di dalam perairan agar memungkinkannya muncul di lautan berbeda untuk menelan Purnama."
"Mengecoh pasukan Dragon yang telah siaga untuk menghadapinya, huh?"
"Benar Yang Mulia," sahut Gulita.
"Jadi ... tujuan kalian ke sini?" Binar melirik kedua jelmaan Dragon itu. Ruang dalam dadanya terasa menyempit dan matanya memanas, ia ingin perbincangan ini cepat selesai.
"Yang Mulia Binar harus kembali ke Istana Raja Naga di bawah lautan. Besar kemungkinan Bakunawa akan mengirimkan manusia atau pasukannya untuk menghancurkan semua istana bawah laut yang ada di alam raya."
"Aku mengerti. Kita akan kembali besok pagi."
Perbincangan singkat itu pun berakhir dengan Binar yang meninggalkan Temaram dan Gulita dalam kebisuan. Seiring langkahnya yang kian menjauh dari goa, seiring pula tetes-tetes air mata jatuh dari sudut mata Binar. Harusnya ia sudah memprediksi hal ini akan terjadi, tapi kenapa rasanya tetap menyakitkan saat mendengar langsung bahwa ayahnya tewas di tangan seorang manusia?
Semakin Binar melangkah dengan arah tak tentu, semakin ia merasa asing dengan tempatnya berdiri sekarang. Menyadari keganjilan itu, Binar lekas mengusap air matanya demi mengamati keadaan sekeliling. Tempat itu jelas bukan belantara Britania Raya, mengingat ia sudah hafal di luar kepala tentang tempat itu. Keningnya mengernyit saat melihat sungai berarus deras dengan air yang begitu jernih layaknya sebuah kaca.
"Hei, kau datang lagi kemari?"
Binar terlonjak ketika sebuah suara bariton merasuki indera pendengarannya. Ia menoleh ke samping dan mendapati seseorang yang sangat familier dalam penglihatannya, tetapi ada yang aneh. Sosok itu masih memiliki tubuh tinggi nan tegap. Berkulit kecokelatan dengan tiga goresan luka di masing-masing pipinya. Matanya masih berwarna biru seperti berlian yang menipu. Satu-satunya yang salah adalah surai keemasan yang biasanya terlihat pendek dan acak-acakan kini begitu panjang dan terikat satu ke belakang.
"Aksa?"
"Huh?" Pemuda berperawakan mirip Aksa itu mengerjap bingung. "Kau bilang apa?" tanyanya yang membuat Binar tidak mengerti.
"Kau Aksa, benar?"
"Apa yang kau bicarakan? Siapa Aksa? Kau bertemu manusia yang mirip dengan wujud manusiaku ... Phoenix?"
"Phoenix?"
"Terjadi sesuatu?" Binar mengerjap tidak paham dengan situasinya sekarang. "Kau menginginkan sesuatu?" Dalam sekejap seringai buas terlihat di bibir penuh sosok yang begitu mirip Aksa bersamaan dengan aura pekat yang mengunci pergerakan Binar. Apa yang sebenarnya terjadi?
"...nar... Binar .... Hei, kau tidak apa-apa?"
Binar mengerjap berkali-kali untuk memastikan sosok di hadapannya. Ia mengernyitkan dahi semakin dalam.
"Ke-kenapa kau menatapku begitu?"
Aksa yang mendapati tatapan aneh dari Binar lekas memundurkan tubuhnya. Ia tadi sempat diberitahu oleh Reia kalau Dewa Ryujin telah tewas di tangan seorang manusia dan Binar akan pergi dari belantara Britania Raya esok pagi, karena itu Aksa pikir ia akan menghabiskan sisa hari ini dengan Binar. Saat itu Aksa lekas melangkahkan kakinya ke hutan selatan, dan benar saja Binar ada di sana, hanya saja Dewi cantik itu terlihat tengah diam dengan tatapan kosong dalam posisi duduk bersimpuh. Naruto tidak tahu apa yang terjadi, dan kenapa Binar justru menatapnya dengan tatapan aneh seperti itu? Aksa sungguh-sungguh tidak mengerti.
"Aksa?"
"Y-ya?" Aksa menatap ke dalam mata Binar dengan penuh keraguan, dan melihat Binar tak berniat melanjutkan ucapannya, Aksa akhirnya memberanikan diri untuk bertanya. "Apa yang terjadi?" tanyanya.
"Kau pernah mengatakannya bukan?" Aksa hanya mengerjap tidak mengerti saat Binar menanyakan hal yang tidak ia ketahui. "Kau bilang pernah melihatku di suatu tempat di suatu waktu yang entah kapan." Aksa mengangguk. "Dan tentang Phoenix."
Manik biru Aksa melebar saat Binar menyebutkan nama burung abadi itu. Jantungnya bertalu keras dan segala perasaan tumpah ruah hingga ia merasakan dadanya sesak. Phoenix, kenapa nama burung itu bisa membuatnya merasakan sakit tak berperi. Sebuah perasaan asing juga desir aneh yang menyesakkan dadanya. Aksa menggeleng kuat-kuat untuk mengelak dari gejolak perasaan dalam dadanya.
"Kenapa kau tiba-tiba menanyakan hal itu?"
Binar menghela napas sejenak sebelum berkata, "Mungkin Arawn memang memiliki rencana kenapa ia membangkitkanmu di belantara Britania Raya."
"Apa maksudmu?"
"Lupakan."
Binar memilih berdiri dan menemukan lengkung tujuh warna menghias langit senja. Ia kembali mengernyitkan dahi. Pelangi adalah pertanda petaka bagi semesta. Apa yang sebenarnya terjadi? Sementara Binar memerhatikan pelangi di senja hari, Aksa justru memerhatikan raut wajah Sang Dewi. Adatah keindahan yang lebih hakiki ketimbang sosok cantik di hadapannya yang kian menawan berlatar pelangi senja hari? Di saat tanya mengudara dari dalam kepala Aksa, saat itu Binar menolehkan pandang hingga obsidiannya bertumbukan dengan safir milik sang 'nusia. Waktu seolah dipaksa berhenti begitu mereka saling menyelami kedalaman mata masing-masing.
"Kenapa kau selalu menatapku seperti itu?" tanya Binar.
Aksa menarik napas dalam-dalam, ia tahu ini bodoh tapi mengingat besok Binar akan pergi dari tempat ini, Aksa tidak memiliki pilihan lain selain berkata, "Karena aku mencintaimu."
Dalam sekian sekon tubuh Binar membeku. Ada desir aneh yang singgah di dadanya bersama rasa sesak yang ia ketahui sebagai perasaan yang seharusnya tak ada di sana. Seharusnya tidak begini, tapi Binar tidak bisa mengelak dari sebuah fakta ... bahwa warna biru di mata Aksa telah menenggelamkannya begitu jauh dalam samudra asing yang begitu menyamankan, dan meski begitu ia tahu muara dari segala rasa yang ia dan Aksa miliki, layaknya masing-masing garis warna pelangi, mereka akan tetap sejalan, tapi tak akan pernah dipertemukan.
"Aku tahu." Binar tersentak dari lamunan kala suara bariton Aksa kembali terdengar. "Ini terdengar begitu lancang. Siapalah aku ini, tak ada bedanya dengan pungguk yang merindukan Bulan. Kau dipuja nirwana sedang aku dilepeh neraka, tapi aku sungguh tidak tahu bagaimana caranya berhenti untuk mencintaimu."
Kali ini giliran Binar yang menarik napas dalam-dalam. "Hanya karena kau mencintaiku dan aku mencintaimu, semuanya tidak akan pernah cukup Aksa. Kau harus berhenti melukai dirimu sendiri dan aku pun harus pergi."
Binar membalikkan badan demi menjauh dari Aksa. Ia akan pergi dari belantara Britania Raya dengan kemungkinan terburuk ia akan lenyap tanpa pernah bisa menyentuh sosok 'nusia yang ia cinta. Mungkin Aksa benar, nirwana memujanya, tapi lebih dari itu ... Binar hanya ingin memuja Aksa, sosok 'nusia yang telah menggenggam jiwanya. Yang tidak Binar tahu adalah ... Aksa akan tetap mencintanya, karena perasaan itu ada dan terasa begitu nyata, senyata bagaimana ia bernapas, dan jika jatuh cinta adalah dosa, Aksa siap menanggung segala hukum yang kelak dijatuhkan Dewa kepadanya ... meski itu berarti eksistensinya tiada pernah diakui oleh semesta. Tetapi baik Aksa maupun Binar tidak pernah tahu bahwa ikatan rantai tak kasat mata itu masih membelenggu mereka pada perjalanan panjang di ranah semesta fana yang melelahkan
Hari-hari berlalu tanpa keberadaan Binar di belantara Britania Raya. Aksa tidak bisa berbohong, ada hampa yang merongrong rongga dadanya. Lebih dari yang ia pikirkan, lebih dari yang ia bayangkan, dan lebih dari yang ia inginkan ... Binar adalah pemilik keseluruhan jiwanya. Lelaki pirang itu menghela napas sembari menatap Purnama yang berkilauan, saat itu kesadaran menyentaknya. Bulan Purnama yang berarti peperangan para Dragon telah dimulai, namun yang tidak Aksa mengerti adalah ... ia justru berada di ranah asing yang menyerupai belantara Britania Raya, hanya terlihat lebih gelap dengan aura kelabu yang menyesakkan dada.Manik birunya memandang ke sekeliling dengan gamang. Pepohonan di sana begitu tinggi, barangkali tingginya melebihi tinggi pepohonan di belantara Britania Raya. Suara hewan malam tak terasa bersahabat, justru membuat bulu kuduknya berdiri.Aksa menoleh ke arah sumber suara saat mendengar suara langkah kaki. Jantungnya berdebar dua kali lebih kencang
Aksa berdiri takjub di sebuah ruangan besar dengan warna perak di segala sisinya. Wisnu dan Laksmi benar-benar mengantarkannya ke Asgard, mereka juga yang berbicara pada Heimdall agar Aksa bisa melewati Bifrost-jembatan pelangi menuju Asgard-dan sekarang di sinilah mereka berada; Valaskjalf, salah satu ruangan terbesar Odin. Sepasang samudra milik Aksa menatap sopan kepada sang penguasa Asgard yang tengah duduk di singgasananya; Hlidskjalf di mana Odin biasa mengawasi alam semesta. Sosok besar Odin dengan janggut putih panjang, dan topi berpinggiran lebar serta tongkat di mana dua ekor burung peliharannya-Hugin dan Munin-yang biasa terbang berkeliling Midgard dan melaporkan berita dari Midgard kepada Odin. Yang begitu mencolok dari penampilan lelaki tua bertubuh besar itu adalah salah satu matanya yang ditutup, mengingatkan Aksa pada bayangan sosok kapten bajak laut yang biasa dibicarakan oleh penduduk pinggiran kota Britania Raya."Hugin dan Munin telah membawakan berita ten
Di hari yang terik, Wisnu dan Laksmi mengantarkan Aksa ke Mesir, tak jauh dari muara sungai Nil. Ia berada di peradaban dinasti ke-26 Mesir, tepatnya tahun 575 SM dengan Firaun; Amasis II sebagai pemimpinnya. Sepasang Sura itu berpesan padanya untuk berbaur dengan manusia di sana seusai mereka memberi ingatan perihal keadaan sekitar, sementara mereka akan mengawasi Aksa dari sebuah tempat yang tak diketahuinya. Sepasang samudra di matanya mengamati sekeliling yang begitu berbeda dengan belantara Britania Raya, tapi di manapun itu, tak masalah baginya, asalkan ia bisa bertemu dengan Binar."Apa yang kaulakukan di sini?"Aksa menoleh ketika mendengar suara berat seorang pria di belakang tubuhnya. Ia berbalik badan dan menemukan sosok pria bertubuh tinggi dengan surai cokelat panjang dan mata berwarna amethyst yang menatapnya penuh selidik."Aku ...." Aksa menggaruk pipinya dengan gugup. Meski telah dibekali ingatan oleh Wisnu dan Laksmi, tetap saja ia tak memiliki
Dua minggu telah berlalu sejak kedatangan Aksa di Mesir. Dua minggu itu pulalah ia mengenal sosok Rosemary. Odin benar, gadis itu adalah manifestasi sosok Binar dengan latar belakang dan ingatan yang berbeda. Mesir adalah dunia kedua yang Aksa jalani dan lagi, ia masih harus memecahkan enigma yang belum sepenuhnya ia mengerti. Tapi ada satu hal yang dapat ia pastikan di sini, bahwa perasaannya terhadap sosok Rosemary adalah sama dengan perasaannya terhadap Putri Ryujin. Barangkali, seperti itu pulalah perasaan Kitsune kepada Phoenix.Aksa menghela napas lelah begitu ia kembali teringat pada enigma menyebalkan itu. Rasanya kepalanya bisa saja berasap karena memikirkan enigma sekaligus terkena sinar Matahari yang luar biasa terik di bawah langit Mesir. Menggeleng sejenak, Aksa memilih mengedarkan pandang ke sekeliling, dan ia mendapati Rosemary tengah memberi makan kuda, bersama Hilea yang merupakan putri dari Hiro. Lengkung senyum terpoles secara spontan di bibir Aksa, hanya k
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, tapi sang raja siang masih menunjukkan kegagahannya. Hilea tengah memandang jauh ke muara Sungai Nil bersama Rosemary yang tengah memainkan serulingnya. Gadis bersurai malam itu memejamkan mata guna menikmati permainannya. Bayang wajah sang tuan hadir begitu saja tanpa ia minta. Rosemary tidak paham pada perasaan-perasaan aneh yang bergolak di dadanya semenjak sang tuan memeluknya sambil menangis di atas kereta kuda. Ia juga tidak mengerti kenapa pipinya selalu terasa panas saat sang tuan menatap dan tersenyum hangat padanya. Jantungnya pun bertalu keras setiap kali ia mendengar sang tuan memanggil namanya, atau ketika ia mendengar nama sang tuan disebutkan."Kau sedang jatuh cinta?"Rosemary agak tersentak dengan pertanyaan tiba-tiba dari nona muda yang dihormatinya. Ia menghentikan permainan serulingnya dan membuka mata, guna menatap wajah ayu sang nona muda."Jatuh cinta?" tanyanya dengan wajah polos yang membuat Hilea te
Rerintik hujan turun membasahi setiap bagian dari permukaan Bumi. Tiap tetesnya bagai kemarahan semesta, di mana awan kelabu sepenuhnya menyembunyikan Sang Mentari. Angin bertiup ringan bagai bisikan merdu yang menenangkan semesta dari kemarahannya. Tiba-tiba suara dentingan lonceng terdengar menggelegar ke seantero jagat raya. Rerintik air yang jatuh berhenti di udara, angin berhenti bertiup. Hanya tinggal keheningan janggal yang tertinggal. Di sebuah pegunungan yang ditumbuhi pepohonan lebat, sebuah cahaya putih muncul secara tiba-tiba. Para manusia terbiasa menyebut wilayah itu termasuk ke dalam Britania Raya. Cahaya putih itu berubah terang, semakin terang, dan semakin terang, seolah berniat membutakan mata siapapun yang melihatnya, dan begitu cahaya itu menghilang tinggallah sesosok tubuh telanjang yang tergeletak di atas tanah lembab sisa hujan. Perlahan kelopak mata berwarna kecokelatan itu membuka, menampilkan eksistensi bola mata biru yang dimilikinya. Tetes air hujan yang b
Sang raja malam bertahta dengan sempurna, ditemani ribuan gemintang yang berkerlip menggoda. Suara binatang malam riuh menyuarakan rasa kepada semesta. Di tepi hutan tampak sosok pemuda dengan pakaian compang-camping. Manik birunya berubah merah begitu menatap sang purnama. Seiring biru yang berubah merah, pemuda itu merangkak dan sekujur tubuhnya mulai bermantelkan bulu keemasan. Ia berubah menjadi sosok rubah dengan ekor berjumlah sembilan.Sang rubah mulai bergerak liar mengibas kesembilan ekornya. Akal sehatnya telah hilang tergantikan hawa nafsu untuk menghancurkan segalanya. Tiada peduli pada pekik ketakutan para binatang malam pun manusia. Nyanyian kepada semesta berubah menjadi jeritan duka yang merobek dada. Semuanya musnah dalam amukan sang rubah merah yang sekujur tubuhnya bermandikan darah semua makhluk yang dimangsa.Hingga satu titik membelah malam. Sebuah kilat mengalihkan atensi sang rubah. Dengan langkah tergesa sang rubah menuju sungai di mana kilat i
Di bawah siraman cahaya Matahari yang mulai menampakkan eksistensinya. sepasang manusia duduk di tepian sungai berarus deras. Satunya adalah lelaki pemilik surai pirang dan mata biru, sedangkan yang satunya lagi adalah sosok gadis bergaun merah dengan surai panjang berwarna kelam yang senada dengan iris matanya. Mereka sama-sama diam, hanya ada suara angin yang meramaikan kesunyian di antara mereka."Kau lebih terlihat seperti iblis penghancur daripada Dewa pelindung, Kitsune." Gadis itu memulai pembicaraan, sementara si pemuda mendengus sinis."Aku bukan lagi Dewa, permataku dicuri oleh manusia dan aku tidak bisa mengendalikan diri saat Bulan sedang purnama." Si gadis terbahak mendengar penjelasan Sang Kitsune yang sangat dikenal sebagai Dewa pelindung itu. "Jadi, apa yang membuat Zeus menyambarkan petirnya padamu ... Phoenix?" tanya Sang Kitsune pada gadis bergaun merah yang merupakan sosok manusia dari burung Phoenix."Oh itu ... Para Dewa sedang mengadakan r
Waktu sudah menunjukkan pukul 5 sore, tapi sang raja siang masih menunjukkan kegagahannya. Hilea tengah memandang jauh ke muara Sungai Nil bersama Rosemary yang tengah memainkan serulingnya. Gadis bersurai malam itu memejamkan mata guna menikmati permainannya. Bayang wajah sang tuan hadir begitu saja tanpa ia minta. Rosemary tidak paham pada perasaan-perasaan aneh yang bergolak di dadanya semenjak sang tuan memeluknya sambil menangis di atas kereta kuda. Ia juga tidak mengerti kenapa pipinya selalu terasa panas saat sang tuan menatap dan tersenyum hangat padanya. Jantungnya pun bertalu keras setiap kali ia mendengar sang tuan memanggil namanya, atau ketika ia mendengar nama sang tuan disebutkan."Kau sedang jatuh cinta?"Rosemary agak tersentak dengan pertanyaan tiba-tiba dari nona muda yang dihormatinya. Ia menghentikan permainan serulingnya dan membuka mata, guna menatap wajah ayu sang nona muda."Jatuh cinta?" tanyanya dengan wajah polos yang membuat Hilea te
Dua minggu telah berlalu sejak kedatangan Aksa di Mesir. Dua minggu itu pulalah ia mengenal sosok Rosemary. Odin benar, gadis itu adalah manifestasi sosok Binar dengan latar belakang dan ingatan yang berbeda. Mesir adalah dunia kedua yang Aksa jalani dan lagi, ia masih harus memecahkan enigma yang belum sepenuhnya ia mengerti. Tapi ada satu hal yang dapat ia pastikan di sini, bahwa perasaannya terhadap sosok Rosemary adalah sama dengan perasaannya terhadap Putri Ryujin. Barangkali, seperti itu pulalah perasaan Kitsune kepada Phoenix.Aksa menghela napas lelah begitu ia kembali teringat pada enigma menyebalkan itu. Rasanya kepalanya bisa saja berasap karena memikirkan enigma sekaligus terkena sinar Matahari yang luar biasa terik di bawah langit Mesir. Menggeleng sejenak, Aksa memilih mengedarkan pandang ke sekeliling, dan ia mendapati Rosemary tengah memberi makan kuda, bersama Hilea yang merupakan putri dari Hiro. Lengkung senyum terpoles secara spontan di bibir Aksa, hanya k
Di hari yang terik, Wisnu dan Laksmi mengantarkan Aksa ke Mesir, tak jauh dari muara sungai Nil. Ia berada di peradaban dinasti ke-26 Mesir, tepatnya tahun 575 SM dengan Firaun; Amasis II sebagai pemimpinnya. Sepasang Sura itu berpesan padanya untuk berbaur dengan manusia di sana seusai mereka memberi ingatan perihal keadaan sekitar, sementara mereka akan mengawasi Aksa dari sebuah tempat yang tak diketahuinya. Sepasang samudra di matanya mengamati sekeliling yang begitu berbeda dengan belantara Britania Raya, tapi di manapun itu, tak masalah baginya, asalkan ia bisa bertemu dengan Binar."Apa yang kaulakukan di sini?"Aksa menoleh ketika mendengar suara berat seorang pria di belakang tubuhnya. Ia berbalik badan dan menemukan sosok pria bertubuh tinggi dengan surai cokelat panjang dan mata berwarna amethyst yang menatapnya penuh selidik."Aku ...." Aksa menggaruk pipinya dengan gugup. Meski telah dibekali ingatan oleh Wisnu dan Laksmi, tetap saja ia tak memiliki
Aksa berdiri takjub di sebuah ruangan besar dengan warna perak di segala sisinya. Wisnu dan Laksmi benar-benar mengantarkannya ke Asgard, mereka juga yang berbicara pada Heimdall agar Aksa bisa melewati Bifrost-jembatan pelangi menuju Asgard-dan sekarang di sinilah mereka berada; Valaskjalf, salah satu ruangan terbesar Odin. Sepasang samudra milik Aksa menatap sopan kepada sang penguasa Asgard yang tengah duduk di singgasananya; Hlidskjalf di mana Odin biasa mengawasi alam semesta. Sosok besar Odin dengan janggut putih panjang, dan topi berpinggiran lebar serta tongkat di mana dua ekor burung peliharannya-Hugin dan Munin-yang biasa terbang berkeliling Midgard dan melaporkan berita dari Midgard kepada Odin. Yang begitu mencolok dari penampilan lelaki tua bertubuh besar itu adalah salah satu matanya yang ditutup, mengingatkan Aksa pada bayangan sosok kapten bajak laut yang biasa dibicarakan oleh penduduk pinggiran kota Britania Raya."Hugin dan Munin telah membawakan berita ten
Hari-hari berlalu tanpa keberadaan Binar di belantara Britania Raya. Aksa tidak bisa berbohong, ada hampa yang merongrong rongga dadanya. Lebih dari yang ia pikirkan, lebih dari yang ia bayangkan, dan lebih dari yang ia inginkan ... Binar adalah pemilik keseluruhan jiwanya. Lelaki pirang itu menghela napas sembari menatap Purnama yang berkilauan, saat itu kesadaran menyentaknya. Bulan Purnama yang berarti peperangan para Dragon telah dimulai, namun yang tidak Aksa mengerti adalah ... ia justru berada di ranah asing yang menyerupai belantara Britania Raya, hanya terlihat lebih gelap dengan aura kelabu yang menyesakkan dada.Manik birunya memandang ke sekeliling dengan gamang. Pepohonan di sana begitu tinggi, barangkali tingginya melebihi tinggi pepohonan di belantara Britania Raya. Suara hewan malam tak terasa bersahabat, justru membuat bulu kuduknya berdiri.Aksa menoleh ke arah sumber suara saat mendengar suara langkah kaki. Jantungnya berdebar dua kali lebih kencang
Binar melangkah memasuki goa di mana ia terbiasa menyendiri semenjak tinggal di belantara Britania Raya. Di sana Temaram dan Gulita sudah menunggu. Ia yakin kedua Dragon itu akan menyampaikan kabar buruk yang entah apa. Sebentar lagi purnama, sudah pasti banyak kejadian tak terduga yang disebabkan oleh Bakunawa."Jadi ... apa yang ingin kalian berdua bicarakan?" tanya Binar begitu melihat wajah serius Temaram dan Gulita yang kini berlutut di hadapannya."Kami membawa kabar buruk Yang Mulia." Binar melirik Temaram untuk menunggu lelaki itu melanjutkan ucapannya. "Yang Mulia Raja Ryujin telah tewas di tangan seorang manusia."Manik obsidian Binar membola begitu suara Temaram merasuki indera pendengarannya. Waktu seolah berhenti detik itu bagi Binar. Ayahnya tewas di tangan para manusia, bagaimana mungkin hal itu bisa terjadi?"Bakunawa telah menyebar ilusi pada sebagian manusia dan memberitahukan kelemahan para Dragon di seantero jagat raya agar ia bisa mem
Di bawah siraman cahaya Matahari yang mulai menampakkan eksistensinya. sepasang manusia duduk di tepian sungai berarus deras. Satunya adalah lelaki pemilik surai pirang dan mata biru, sedangkan yang satunya lagi adalah sosok gadis bergaun merah dengan surai panjang berwarna kelam yang senada dengan iris matanya. Mereka sama-sama diam, hanya ada suara angin yang meramaikan kesunyian di antara mereka."Kau lebih terlihat seperti iblis penghancur daripada Dewa pelindung, Kitsune." Gadis itu memulai pembicaraan, sementara si pemuda mendengus sinis."Aku bukan lagi Dewa, permataku dicuri oleh manusia dan aku tidak bisa mengendalikan diri saat Bulan sedang purnama." Si gadis terbahak mendengar penjelasan Sang Kitsune yang sangat dikenal sebagai Dewa pelindung itu. "Jadi, apa yang membuat Zeus menyambarkan petirnya padamu ... Phoenix?" tanya Sang Kitsune pada gadis bergaun merah yang merupakan sosok manusia dari burung Phoenix."Oh itu ... Para Dewa sedang mengadakan r
Sang raja malam bertahta dengan sempurna, ditemani ribuan gemintang yang berkerlip menggoda. Suara binatang malam riuh menyuarakan rasa kepada semesta. Di tepi hutan tampak sosok pemuda dengan pakaian compang-camping. Manik birunya berubah merah begitu menatap sang purnama. Seiring biru yang berubah merah, pemuda itu merangkak dan sekujur tubuhnya mulai bermantelkan bulu keemasan. Ia berubah menjadi sosok rubah dengan ekor berjumlah sembilan.Sang rubah mulai bergerak liar mengibas kesembilan ekornya. Akal sehatnya telah hilang tergantikan hawa nafsu untuk menghancurkan segalanya. Tiada peduli pada pekik ketakutan para binatang malam pun manusia. Nyanyian kepada semesta berubah menjadi jeritan duka yang merobek dada. Semuanya musnah dalam amukan sang rubah merah yang sekujur tubuhnya bermandikan darah semua makhluk yang dimangsa.Hingga satu titik membelah malam. Sebuah kilat mengalihkan atensi sang rubah. Dengan langkah tergesa sang rubah menuju sungai di mana kilat i
Rerintik hujan turun membasahi setiap bagian dari permukaan Bumi. Tiap tetesnya bagai kemarahan semesta, di mana awan kelabu sepenuhnya menyembunyikan Sang Mentari. Angin bertiup ringan bagai bisikan merdu yang menenangkan semesta dari kemarahannya. Tiba-tiba suara dentingan lonceng terdengar menggelegar ke seantero jagat raya. Rerintik air yang jatuh berhenti di udara, angin berhenti bertiup. Hanya tinggal keheningan janggal yang tertinggal. Di sebuah pegunungan yang ditumbuhi pepohonan lebat, sebuah cahaya putih muncul secara tiba-tiba. Para manusia terbiasa menyebut wilayah itu termasuk ke dalam Britania Raya. Cahaya putih itu berubah terang, semakin terang, dan semakin terang, seolah berniat membutakan mata siapapun yang melihatnya, dan begitu cahaya itu menghilang tinggallah sesosok tubuh telanjang yang tergeletak di atas tanah lembab sisa hujan. Perlahan kelopak mata berwarna kecokelatan itu membuka, menampilkan eksistensi bola mata biru yang dimilikinya. Tetes air hujan yang b