Panca mengembus napas agak panjang, lalu mulai menjawab. "Seperti yang sudah kukatakan tadi, jika aku punya misi dari guruku di tempat ini. Lagipula, diminta sekalipun. Seorang pendekar tidak akan lari dari masalah, terlebih jika harus membuat orang lain memikulnya."
"Aku tidak menyangka, kakekmu akan mengambil masalah ini hanya untuk menyelamatkanku. Dia melayangkan nyawa para bawahan Wardana kemarin hanya agar tidak ada yang buka mulut sehingga aku bisa terbebas. Sayangnya ada seorang yang melihatnya dan membeberkannya pada orang-orang di sekte. Maafkan aku," lanjut Panca.Hanum yang mendengarnya lekas sedikit membulatkan mata. Dia kemudian langsung mengingat kembali dan membayangkan apa yang terjadi pagi tadi. Dia tidak begitu mengerti, karena tiba-tiba saja orang-orang sekte datang dan membuat onar. Bukan hanya di rumahnya saja, melainkan juga kepada para warga di sekitar rumah.Tanpa penjelasan, Hanum dan Yati langsung dibawa oleh sekelompok orang sekte secara paksa. Sementara kakeknya berusaha untuk melawan orang-orang sekte yang menghadangnya. Meski kakek Hur merupakan praktisi kanuragan yang eksistensinya cukup mumpuni. Namun, di hadapan banyak lawan, tentu membuatnya keteteran menghadapinya. Ditambah juga usianya yang sudah senja, menunjukkan tubuhnya yang tidak lagi gesit seperti di masa muda.Para warga yang ada di situ juga tidak dapat berbuat banyak. Karena yang akan mereka hadapi adalah orang dari sekte besar. Belum lagi mereka tidak begitu bagus dalam menempuh kanuragan, tentu saja hanya dengan satu gerakan dari lawan, sudah tidak bisa menyerang kembali.Hal itu membuat Hanum hanya bisa memberontak sebelum dirinya bersama Yati benar-benar dibawa oleh orang-orang sekte Jalak Hitam. Dan itu juga yang membuat Hanum terpikir kakeknya di sepanjang perjalanan."Kisanak? Apa karena itu, pagi tadi orang-orang sekte mendatangi rumah kami?""Demikian seperti itu yang aku dengar dari beberapa warga. Pagi tadi mereka mengumpulkan masa di arena bundar dekat pasar dan mengumumkan tentang aku. Kemungkinan mereka akan membentuk tim pembunuh untuk memburuku. Mereka juga mengeksekusi kakekmu di sana."Pernyataan itu pun membuat Hanum terkejut lagi."Kakekku? Kisanak melihatnya? Apa yang mereka lakukan pada kakekku?""Hum. Aku tidak ingin menghancurkan perasaanmu dengan menjawab hal itu.""Katakan saja kisanak. Aku ingin mendengarnya."Panca mengingatkan, karena tahu jika dia mejawab, sudah pasti akan membuat Hanum merasa sedih. Namun, dengan wajah yakin Hanum meminta Panca untuk menceritakan. Hal itu membuat Panca mau tidak mau harus mengatakan yang dilakukan orang-orang sekte pada kakek Hur di depan banyaknya warga pagi tadi."Biadab!"Dengan keras Hanum memaki, seiring wajahnya yang cantik itu memerah beraut marah. Dia tahu, bahwa orang-orang sekte tidak akan membiarkan kakeknya begitu saja. Namun, dia tidak sampai terpikir jika mereka akan melakukan hal keji seperti apa yang dilihat dan diceritakan Panca sebelumnya.Hanum mengepal tanganya kuat-kuat, sampai sorotan mata Panca mendapati gemetar pada kedua lengan Hanum. Tatapan Hanum terlihat berapi-api, menyadarkan Panca bagaimana situasinya."Kisanak?"Hanum kemudian menoleh ke arah Panca. Tidak seperti yang ada di pikiran Panca, di mana Hanum akan sangat sedih. Sorotan mata Hanum saat itu malah menggambarkan raut tegar pada wajahnya."Apakah kisanak seorang pendekar yang sangat kuat?"Mendengar pertanyaan tersebut. Panca dibuat sedikit tidak mengerti dan seketika menunjukkan dahinya yang mengerut."Ada apa dengan itu?"Hanum pun segera berdiri, diiringi wajah Panca yang perlahan mendongak. Dia kemudian berlutut sambil berucap, "Guru! Jadikan aku muridmu!"Ucapan tersebut terdengar yakin, yang langsung membuat Panca sedikit mengangkat dua keningnya."Tunggu. Apa yang sedang kau lakukan?" celetuk Panca."Aku tahu, ini begitu tiba-tiba," Hanum memotong, "... tapi aku mohon kepada kisanak. Jadikan aku muridmu!"Panca yang mendengarnya hanya bisa tertegun. Tidak tahu harus menjawab apa dan bagaimana. Namun, sebagai pendekar, Panca langsung mengendalikan dirinya dan mencoba bersikap tenang."Maafkan aku. Aku tidak tahu harus menjawab apa.""Kisanak, aku mohon!" Hanum masih berusaha. Dia tidak peduli sedang berlutut di depan siapa.Panca pun terdiam sejenak. Kemudian mulai membuka suara."Apa ini untuk membalaskan dendam kakekmu?"Panca langsung menebak atas sebab Hanum yang begitu tiba-tiba. Kemudian mendengar ucapan Panca, Hanum agak tertegun. Dia pun sesaat memejam matanya, berusaha meyakinkan dirinya."Benar! Tolong ajari aku menjadi pendekar," balas Hanum, seiring menundukkan kepalanya. "Aku akan melakukan apa pun untuk kisanak. Apa pun itu!"Tidak."Jawaban Panca itu pun langsung membuat Hanum mengangkat wajahnya dan membulatkan mata. Namun, Hanum tidak ingin menyerah. Dia lantas menundukkan kepala kembali, kemudian menunjukkan kesungguhannya kepada Panca, yang membuatnya mengeluarkan pernyataan yang cukup di luar dugaan."Kisanak! Aku mohon! Ajari aku. Aku tidak punya apapun untuk kuberikan. Bahkan jika harus membayar dengan tubuhku, aku tidak akan keberatan."Mendengarnya, jelas saja Panca sebagai seorang lelaki menjadi sangat terkejut, hingga tampak matanya melebar. Sama sekali tidak pernah terpikir jika wanita di depan yang belum lama dia temui itu sangat berani mengatakan hal ekstrim seperti demikian, hanya karena ingin berguru ilmu kanuragan."Tidak perlu," jawab Panca. Dia terlihat tenang sambil menyimpul tangan di atas dada. "Jangan sia-siakan harga dirimu atas apapun. Kesucian seorang wanita hanyalah milik seorang pria yang ada di dalam ikatan resmi pernikahan. Kau tidak bisa mempermainkannya seperti ini."Panca menasehatinya. Hal tersebut sontak semakin mematangkan niat Hanum untuk menimba ilmu pada Panca. Menurutnya, Panca merupakan pria yang langka."Baiklah. Aku akan mengajarimu. Tapi sebelumnya aku memperingatkanmu, bahwa setiap keputusan selalu ada konsekuensinya.""Tidak masalah! Aku sudah siap dengan apapun.""Hm. Keyakinan yang cukup baik," balas Panca. "Malam hampir larut. Besok aku akan turun gunung. Mencari beberapa obat untuk Yati. Kalian tetap di sini sampai aku kembali.""Hm. Baiklah, Guru."KRUKRUKSeiring Hanum menyanggupi ucapan Panca. Tiba-tiba saja terdengar suara gemuruh dari arah perutnya.Hal itu sontak membuat Hanum mengangkat kedua keningnya. Sementara Panca hanya tersenyum tipis sambil sedikit menggeleng."Sebentar. Seharusnya itu sudah matang."Setelah mengucapkan hal tersebut. Panca segera bangkit dari duduknya dan sedikit mendekat ke perapian.Sesaat Hanum memperhatikan Panca yang tengah menyerong kayu-kayu yang tengah dilahap api itu. Membuat Hanum penasaran, apa yang tengah dilakukan Panca saat ini.Sementara Panca. Setelah menepikan kayu-kayu yang termakan api, dia lekas membaluti kedua tangannya dengan cahaya aura birunya yang terdapat tipis-tipis percikan petir."Apa yang guru lakukan?" tanya Hanum.Panca tidak menjawab. Dua tangan yang telah dibaluti eksistensi kekuatan itu segera digunakannya untuk mengangkat segumpal tanah liat berukuran bola sepak. Karena sebelumnya gumpal tanah liat itu berada di antara api yang berkobar merah. Oleh karenanya terlihat asapnya mengepul ketika disodorkan di hadapan Hanum."Untuk apa ini guru?" tanya Hanum lagi.Panca tanpa menjawab, langsung menghantam gumpalan tanah liat itu dengan tangan yang masih dibaluti eksistensi kekuatan. Dan dalam sekejap, gumpalan tanah tersebut tercecer berkeping-keping dan meperlihatkan isi di dalam gumpalan tanah liat tersebut.Di dalamnya ada beberapa lembar daun teratai yang tampaknya membungkus sesuatu. Dari aroma yang menyebar kala itu, Hanum sudah bisa mengetahui apa yang ingin ditunjukkan oleh Panca."Apa ini daging belibis panggang?"Panca pun hanya tersenyum. Segera dia membuka lembar demi lembar daun teratai itu, sehingga menampakkan kulit kecoklatan dari seekor daging belibis panggang tersebut, walau hanya samar-samar karena pencahayaannya hanya mengandalkan sorotan perapian. Hanum yang menyaksikannya pun langsung merasa berselera.Kemudian Panca sejenak beranjak dari duduk dan melangkah ke sebuah batu besar setinggi paha, yang ternyata Panca mengambil beberapa lembar daun teratai lain dan segera kembali ke tempatnya tadi."Makanlah."Begitu santai Panca mengambil daging belibis tersebut yang kemudian diletakkan di atas beberapa lapis lembar daun teratai. Setelahnya, belibis panggang yang dia sajikan itu lekas disodorkan kepada Hanum."Bagaimana dengan Guru?" tanya Hanum."Makan. Aku sudah tadi. Hati-hati, panas. Aku akan segera tidur. Setelah makan, istirahatlah."Setelah mengatakan hal tersebut. Panca pun bangkit dan lalu mengambil langkah menjauh dari perapian. Dia lantas melompat ke udara, menaiki batu yang cukup tinggi dan berbaring di atas batu itu."Guru? Sedari awal bertemu, aku tidak tahu nama guru. Apakah aku boleh bertanya, siapa nama guru?""Namaku Panca." Panca dengan santai menjawab, seiring matanya terpejam. Tubuhnya saat itu telentang, sedang dua telapak tangan dijadikan bantal kepala."Sudahlah. Makan saja." Kemudian dia meminta Hanum segera makan, yang sontak dilaksanakan oleh Hanum. Tidak ada perbincangan lagi setelah itu.***Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Hanum yang sudah makan kenyang semalam, tampak tidur dengan tenang.Namun ketika dia bangung dan langsung mencari keberadaan Panca di sekitar goa. Dia sama sekali tidak mendapati Panca di sana.Dia pun teringat bahwa Panca semalam mengatakan akan turun gunung untuk mencari beberapa obat. Barulah dia dengan cepat kembali masuk ke dalam goa dan duduk di sisi Yati yang belum juga tersadar."Yati? Apa sebenarnya yang terjadi padamu?"Hanum memasang raut sedih. Dia tidak tahu apa yang dilakukan dua bejad itu kepada Yati setelah dia pingsan hari kemarin."Katakan kepada kakak. Katakan kepada kakak apa yang mereka lakukan kepadamu? Kakak akan membalasnya. Kakak janji!"Meski Hanum tahu Yati tidak mendengarnya. Hanum terus berbicara, sembari menggenggam tangan adiknya itu....Sementara di sisi lain. Panca yang kepalanya tertutup tudung berwarna coklat selaras baju, terlihat berjalan dengan pedang guntur naga langit yang bertengger menyerong di punggungnya.Sesaat ketika berjalan. Tiba-tiba saja satu orang berbadan tinggi kekar berdiri di tengah jalan, yang membuat Panca perlahan menghentikan langkahnya. Bewok dan kumisnya yang tebal, menampilkan kesangaran pada wajah orang kekar itu. Orang tersebut dengan angkuh mengangkat kapak besarnya dan ditenggerkan di atas bahu kanannya."Apa kau yang bernama Panca?" tanyanya bernada sok, sambil mengarahkan telunjuk pada Panca."Siapa?" Panca hanya dengan tenang bertanya balik."Huh. Bedebah. Kita lihat, seberapa tinggi kekuatan bajingan sepertimu. Lalu aku akan memberi tahu namaku di detik-detik kematianmu. Hiaaaa!"Si pria kekar pun tanpa ragu segera berlari ke arah Panca. Meski tidak mengerti maksud dari si pria kekar ini. Panca tetap meladeninya tanpa takut sedikitpun.FIUUF FIUFFIUF FIUFAyunan kapaknya yang besar dan tebal itu sontak terdengar jelas, seiring Panca bergerak ke kiri dan kanan untuk menghindari kapak tersebut.Berlangsung beberapa kali pria tinggi kekar itu mengayunkan kapaknya. Namun, masih belum menggertak Panca yang bahkan belum mengambil serangan."Cih! Kau meremehkanku?"Si pria itu melontarkan ucapan yang terdengar kesal, ketika tercipta jarak beberapa meter antara dia dan Panca. Lalu dengan sigap dia menghempaskan kapak besarnya ke samping, yang sesaat memperlihatkan kilau keperakan pada mata kapak.TAKTAKTAKKemudian dia berlari dengan cepat. Namun, kali ini energi yang dirembeskannya cukup agresif, yang dapat dirasakan jelas oleh
"Mungkin sedang menuju ke sini. Aku sendirian kemari. Tadi melihat sinyal dari Kakak," jawab Sabit Kematian. Lalu dia menoleh ke arah Panca. "Siapa orang itu, Kakak Kapak Tengkorak?""Huh. Sebelum aku memberi tahu namanya. Lihatlah wajahnya baik-baik."Sabit Kematian pun memfokuskan tatapannya pada Panca. Sebelum turun gunung Blikar, tentunya Panca sudah mempelajari beberapa hal soal desa yang menjadi tempat misinya ini. Mendengar julukan mereka, di sini Panca menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya adalah sekelompok bandit yang memang sering membuat onar."Apa? Benarkah dia orangnya?" celetuk Sabit Kematian, setelah dia tahu siapa yang dimaksud Kapak Tengkorak."Iya. Dia Panca. Yang kini menggemparkan dunia persilatan." Mendengarnya, Sabit Kematian pun langsung mengambil beberapa langkah sedikit di depan Kapak Tengkorak, lalu menghadapkan tubuhnya lurus ke arah Panca."Panca! Sangat bagus kau berada di sini. Kau tidak perlu repot-repot lagi melarikan diri, karena aku tidak aka
Seiring itu, Panca bangkit. Serangan telak tapak gabungan dua orang tadi cukup kuat, sehingga membuat tubuhnya lumayan kerepotan."Dua Pedang Kembar? Apa itu mereka?" batin Panca, seiring tatapannya menyorot pada dua orang tersebut."Ludaya? Ludayo?" seru Sabit Kematian. Memang benar. Dua orang berbadan ideal dengan pedang menyilang di punggungnya merupakan pendekar Dua Pedang Kembar. Seperti Sabit, mereka juga datang atas panggilan dari sinyal Kapak barusan.Ludaya dan Ludayo bukanlah nama asli mereka, melainkan nama pedang. Ludaya memiliki esensi angin, sedang Ludayo adalah api. Keduanya sama-sama merupakan pedang istimewa. Tidak heran jika pemiliknya cukup kuat."Mereka akan sampai," jawab Ludaya, si pria dengan ikat kepala putih. Rambutnya yang panjang, tampak dikucir dan tergerai hingga punggung."Itu mereka." Ludayo menimpal. Wajahnya tidak beda degan kakanya, Ludaya. Penampilan mereka pun mirip. Hanya ikat kepala merahnya yang membedakan.Dan benar saja. Satu per satu anggota
Tombak Perak pun langsung membulatkan matanya. Merasa harga diri mereka diinjak-injak. Namun, bagaimana lagi. Mereka harus mengikuti perintah Jarum Maut sebagai pemimpin kelompok. Oleh karenanya, tanpa berdebat lagi, mereka lekas melompat ke udara, berpancar sebagaimana sebelumnya, untuk menghindari sekte Bintang Merah."Dasar aneh! Datang tak diundang pulang tak ingin diantar. Bedebah sialan!"Panca yang menyaksikan hal tersebut sontak dibuat bingung. Dia sesaat memaki sebab waktunya telah terbuang sia-sia karena kelompok tersebut.Lalu sesat Panca tertegun. Dia teringat dengan ucapan warga kemarin di arena bundar dekat pasar, di mana sekte Jalak Hitam memiliki ahli lukis yang bisa menggambar sketsa hanya dengan mendengar ciri-cirinya. Hal tersebut lekas membuat Panca segera meraup mulutnya dan sedikit terkejut karena dia lupa mengenakan topeng."Cih. Bodoh sekali," gumamnya. "Tidak heran orang-orang tadi mengatakan aku buronan sekte. Kemungkinan omongan warga kemarin ada benarnya
"Lama tidak bertemu. Bagaimana keadaanmu?"Wujud sosok asap hitam itu membuat raut wajah Panca sedikit berseri. Rasa rindu yang tersimpan dalam hati, seolah terbayar dengan kedatangannya."Aku baik. Bagaimana dengamu? Kau terluka?""Tidak. Aku baik-baik saja," jawab Panca. "Tapi bagaimana kau bisa di sini? Bukankah aku memintamu untuk tetap tinggal? Bagaimana dengan guru?"Sosok asap hitam tadi bukan lain adalah Wira, siluman macan hitam taring sebelah yang merupakan sahabat Panca. Kedatangannya ke tempat itu, membuat Panca penasaran."Sialan. Pak tua galak itu menyuruhku menyusulmu. Lantas dia malah menyerahkan diri ketika orang-orang kerajaan datang menyerang goa. Padahal mudah baginya untuk meratakan semua prajurit dan bahkan jendral yang ada."Wira memanggil Ki Guntur Sakti dengan sebutan pak tua galak, karena sejak dia kecil dirawat Panca, sampai dia dewasa seperti sekarang, dia jarang sekali mendapat perlakuan lembut dari Ki Guntur Sakti. Selalu ada saja yang dijadikan alasan unt
Saat itu Wira memperlambat gerakan kakinya. Sementara Hanum jauh di depan sana, berlari dengan cepat. Namun, tidak lama Wira tidak merasakan lagi eksistensi Hanum di sekitar situ. Hal itu membuatnya segera mempercepat langkah. Dan benar saja bahwa Hanum telah menghilang.Wira pun langsung berubah ke wujud manusia. Dia menyapu pandangannya ke seluruh sisi rimba, sambil menyeru nama Hanum. Sayangnya tidak ada respon."Sial. Tidak ada jawaban," batin Wira. "Sepertinya ada yang aneh. Kata Tuan, Hanum tidak bisa kanuragan. Jika begitu, pasti ada sesuatu yang membuatnya hilang dari tempat ini."Hilangnya tiba-tiba Hanum membuat Wira curiga. Segera dia memeriksa area sekitar dan lantas menemukan eksistensi energi aneh. Energi tersebut asalnya dari cairan hijau yang menempel di beberapa daun besar di sekitar tempat itu."Apa ini?" Wira menampilkan raut wajah penasaran. Dia sejenak melakukan beberapa gerakan tangan, yang lekas membuat tangannya dilapisi oleh aura cahaya energi berwarna hitam
"Siapa orang itu? Tampaknya dia bukan pendekar biasa."Di meja tidak jauh dari pintu. Seorang berpakaian hijau-hitam, bertanya kepada rekannya. Perawakannya agak kekar, berambut panjang diikat, memegang pedang sambil tangannya menyilang di atas dada. Dari seragam yang dipakainya, dua pria di sana berasal dari sekte Pedang Kuno, yang juga merupakan perguruan terkenal di desa Jalung.Pria itu bernama Kaesan, sedangkan rekan di sampingnya bernama Barun."Entahlah, Kakak. Aura yang dirembeskannya cukup kuat. Dia begitu tenang. Bahkan jika aku yang diposisinya, sudah pasti aku tidak akan menoleransi siapa pun yang mengusikku," balas Barun."Jangan salah. Sepertinya sebentar lagi dia akan ikut dalam lingkaran pertarungan. Lihat saja."Kaesan memperhatikan Panca yang memang saat itu seperti tidak tahan lagi untuk menyerang. Namun, tiba-tiba saja seorang pria berseragam sama dengan mereka, mendekati Panca."Di sini kau rupanya?" ucap si pria itu, yang mengenakan ikat kepala biru.Suara tersebu
Sejenak Panca terdiam, memandangi pemimpin siluman laba-laba itu. Lantas, dengan cepat dia menekan pijakannya dan lalu melesat ke arah siluman laba-laba untuk mengambil serangan.Pertukaran jurus pun berlangsung. Meski pemimpin siluman laba-laba itu terlihat sangat lihai dalam mengolah gerakan, juga energinya yang cukup kuat. Dia bukanlah tandingan Panca. Hanya dengan beberapa gerakan setelah mengetahui titik lemah lawan. Serangan telapak Panca berhasil mengenai dada pemimpin siluman, yang membuatnya terhempas ke belakang dan ditangkap oleh beberapa rekannya."Uhuk!"Pemimpin siluman laba-laba terbatuk dengan sedikit menyemburkan darah dari mulutnya."Jadi kau lebih percaya pria itu dari pada kami? Huh. Aku pikir kau lebih bijak dariku. Ternyata ... baiklah. Kami tidak akan ragu jika harus melawan kalian, atas kesalahan yang tidak kami perbuat."Kesal dengan sikap Panca. Siluman laba-laba itu kini telah menyatakan perang. Namun, baru saja akan mulai menyerang. Panca lekas menahan merek
Sangat familier, hingga sontak mata Wira mendapati sebuah cahaya kebiruan memancar di udara dan jatuh bak meteor tidak jauh di depannya. Bunyi ledakan energi terdengar jelas, seiring hempasan angin yang cukup hebat meluas ke segala arah."Mustahil. Apa aku tidak salah lihat?" celetuk Wira. Kemudian dia berucap lirih, sedikit tertegun. "Tuan?"Di sisi lain, Huzen juga membulatkan matanya. "Apakah ini ...?"Siapa lagi kalau bukan Panca. Terlihat dengan raut tegas, Panca mengayunkan pedang, seiring percikan petir menyelimuti tubuhnya. Hanya butuh sekian detik, para binatang siluman di tempat itu terpental hingga tewas setelah menerima serangan Panca."Tuan? Tuan!"Wira berlari ke arah Panca dengan perasaan sangat senang. Huzen juga menyusul. Tanpa basa-basi Wira memeluk Panca, yang saat itu Panca terdiam sejenak dengan tidak membalas pelukannya."Tuan? Awalnya aku sangat mengkhawatirkanmu, kemudian percaya kau tidak akan kembali, aku pikir aku tidak akan bisa lepas dari merindukanmu. Dan
"KHI KHI KHI. Setelah tiga hari tidak bertemu, rupanya kau sudah mengumpulkan nyali untuk bersikap sombong. Huh. Tidak peduli betapa kerasnya kau melatih kemampuanmu. Pada dasarnya ini adalah alam kami dan manusia yang telah sampai di tempat ini, hanyalah daging segar yang pantas untuk dipanggang. KHI KHI KHI.""Jangan banyak omong," sela Panca."KHI KHI KHI. Hajar dia!"Atas perintah pemimpin makhluk neraka alam bawah, seluruh rekannya pun segera berlari ke arah Panca sambil menyeringai. Beberapa dari mereka kemudian melompat dan segera menggempur Panca dengan pedang besar bergerigi.Panca sedikit menyerong kakinya dan bergerak menghindar dengan sangat lihai, yang membuat para makhluk neraka alam bawah itu cukup terkejut. Bagaimana bisa seorang manusia yang tiga hari kemarin sangat lemah, sekarang memiliki kemampuan yang sangat baik.Para makhluk neraka alam bawah itu terus saja mengayunkan pedangnya. Namun, hingga beberapa detik berlangsung, belum ada yang membuat Panca merasa teran
Leluhur Siang lalu menoleh ke arah Tikus Api Ungu, yang membuat Tikus Api Ungu langsung mengerti. Tikus Api Ungu segera merapalkan beberapa gerakan tangan dan seketika sebilah pedang muncul setelah cahaya keunguan memancar di telapak tangannya."Ambilah. Itu untukmu," ucap Leluhur Siang.Panca agak mendelik, lalu sedikit ragu-ragu mengambil pedang tersebut. Saat Panca menyentuh gagang pedang, pedang tersebut lekas memancarkan cahaya kuning kemerahan."Pedang apa ini, Leluhur Siang?""Pedang Naga Api," jawab Tikus Api Ungu.Hal itu membuat Panca terkejut. Sebagaimana dia ketahui, bahwa Pedang Naga Api adalah salah satu pusaka kuno legendaris yang tidak pernah ada yang tahu keberadaannya. Hanya ada banyak cerita hebat soal pusaka kuno itu, yang bisa membuat para pendekar tergila-gila ingin mendapatkannya."Pedang Naga Api? Benarkah ini untukku?" Panca masih tidak peracaya bahwa dia adalah pewaris dari pusaka luar biasa tersebut. Kini dia memiliki dua pedang yang hebat. "Tentu saja. Na
"Huh. Dasar kalian." Siang Kumandala mengeluh, kemudian segera membuang tatapannya ke arah Panca. "Hey anak muda. Apa yang mereka katakan padamu? Apakah mereka juga bercerita tentang keburukanku?"Siang Kumandala tampak bewibawa dan bersahaja, bahkan kepada Panca yang belum saling kenal.Mendengarnya, Panca terdiam sejenak. Siang Kumandala pun sontak menghilang dari tempatnya dan tiba-tiba telah berada di depan Panca, yang membuat Panca terkejut."Apa yang mereka katakan padamu? Ha? Katakan! Katakan!"Panca tertegun, lalu menggeleng. "Ti-tidak. Tidak ada. Mereka hanya mengatakan hal aneh kepadaku. Mereka mengatakan bahwa aku akan menjadi majikan mereka saat ini dan aku akan mewarisi sesuatu dari majikan mereka sebelumnya."Siang Kumandala tersenyum lebar, yang lekas menampakkan gigi bersihnya. Dia pun segera menghilang dan kembali ke tempatnya tadi."Huh. Aku pikir mereka menceritakan keburukanku. Awas saja," ucap Siang Kumandala."Kami telah mengabdi ratusan tahun, bagaimanapun kondis
"Kita sekarang ada di Kuil Jiwa Leluhur, yang berada di Alam Bawah. Kedatanganmu ke sini, bukan tanpa alasan. Kau ditakdirkan langit untuk berada di sini dan mewarisi peninggalan majikan kami sebelumnya," jelas Tikus Api Ungu.Mendengar hal itu, Panca tampak berpikir. Apakah ini sama dengan Gundal Pama. Lagi dan lagi takdir menemukan Panca, dengan membawa sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya."Alam Bawah? Kuil Jiwa Leluhur?""Ya, Majikan. Kita sekarang berada di Alam Bawah. Jiwamu terjebak di sini atas takdir yang telah ditetapkan. Mungkin sudah bertemu dengan beberapa makhluk di luar sana, sebelum masuk ke tempat ini? Mereka adalah makhluk neraka Alam Bawah."Panca pun teringat dengan para makhluk neraka tadi, membuatnya sedikit mendelik."Aku adalah Tikus Api Ungu, dia adalah Bilah Pedang Kehampaan, dan Majikan bisa memanggil monyet ini dengan sebutan Raja Kabut Hitam. Kami bertiga adalah Prajurit Dewa Alam Bawah, yang ditugaskan untuk menjaga Kuil Jiwa Leluhur ini. Warisan di dala
Jelas Panca tidak akan tinggal diam. Dia merembeskan aura kebiruan miliknya dan segera meladeni gempuran sejumlah makhluk neraka itu.SIUF BUG DUAKBeberapa jurus begitu lihai diperagakan oleh Panca. Menghindar dan menangkis, lalu membalikkan serangan dengan sangat baik. Namun, jumlah kekuatan dari makhluk neraka itu cukup besar, membuat Panca kewalahan menghadapinya.Pada satu kesempatan Panca lengah. Beberapa serangan telak dikirim pada Panca hingga akhirnya Panca terpental ke belakang dan menubruk batu besar di sana hingga retak.BRUK"Uhuk!"Panca terbatuk dan memuntahkan darah segar dari mulutnya."Sial. Mereka terlalu kuat. Aku tidak bisa seperti ini." Panca bergumam, dengan tatapan sinis menyorot ke arah para makhluk neraka.Menyadari perbedaan kekuatan yang cukup jauh, Panca pun segera berbalik dan melesat ke atas batu besar, untuk kemudian melarikan diri."KHI KHI KHI. Kau pikir kau akan lari ke mana?" ujar pemimpin kelompok itu. Segera dia meminta rekannya untuk mengejar Panc
Butuh waktu beberapa detik untuk Wira mengumpulkan kesadarannya dan segera mendengar dengan jelas seruan Huzen."Tuan! Tuan!"Setelah sadar, Wira sontak berdiri dan menatap danau lahar di sana. Huzen yang takut Wira nekat untuk melompat, tampak menggenggam erat tangan Wira."Wira? Tenangkan dirimu. Tenangkan dirimu!" ujar Huzen.Lalu perlahan Wira mulai tenang. Dia pun tanpa ragu segera menangis, walau padahal hal itu pantang dilakukan oleh Wira, apalagi di depan orang lain.Tidak ada yang mau berkomentar dengan sikap Wira. Mereka juga sama-sama merasakannya. GGRRRRTempat itu kembali berguncang. Seiring itu, Gundal Pama terlihat mendongakkan wajahnya, menatap langit-langit yang sudah kehilangan banyak bagiannya."Sebaiknya kita bergegas. Aku takut, langit-langit itu akan runtuh dan akan berefek pada lorong ini," ucap Gundal Pama.Mendengarnya, Wira menolak dan ingin tetap di sana saja. Hal itu membuat Huzen terpaksa harus menotok Wira atas perintah isyarat dari Tetua Kalingga dan me
Panca meminta Hayati untuk tetap tenang. Hayati hanya mengangguk, sama sekali tidak menunjukkan raut wajah panik.Hayati pun terpikirkan suatu ide, yang mana dia akan memanggil binatang roh Merak Api miliknya, untuk membawa mereka dari situ."Baiklah," balas Panca.Segera Hayati merapalkan gerakan tangan, yang membuat tubuhnya seketika diselimuti oleh cahaya aura merah api. Dan tidak berlangsung lama, sebuah cahaya jingga memancar tidak jauh di atas mereka berdua. Seiring itu, Merak Api milik Hayati muncul sambil melebarkan sayapnya.Orang-orang yang berada di seberang tampaknya mulai tenang. "Ayo naik," minta Hayati. Panca hanya mengangguk dan lekas melompat ke punggung sang Merak Api. Rintangan belum sampai di situ, karena setelah Merak Api itu mengepakkan sayapnya menuju tempat Gundal Pama dan lainnya, mereka harus menghindari reruntuhan langit-langit yang jatuhnya semakin parah. Di seberang sana mereka juga menjadi panik, karena tempat tersebut tidak lama akan hancur."Hati-hati
Kembali ke Panca dan lainnya. Saat ini mereka tengah melewati tempat yang cukup luas, yang di beberapa titik terdapat danau lahar. Panca, Wira, Huzen, dan Tetua Kalingga, berjalan dengan tubuh diselimuti oleh cahaya aura, agar tubuh mereka tidak terkena hawa panas secara langsung. Sebab bukan berasal dari suku Cuanci, sehingga apabila berjalan tanpa pelindung, maka tidak menjamin bahwa kulit mereka akan tahan dengan panas di sana.Panca saat itu tampak diselimuti aura kebiruan, Huzen hijau, Wira hitam keunguan, serta Tetua Kalingga kuning keemasan."Berapa lama lagi?" tanya Wira."Seharusnya sebentar lagi kita akan menemukan lorong yang terhubung dengan sungai Lengkeng. Sungai Lengkeng ada di hutan Anjir, tidak jauh berjarak dengan Gunung Kabut Es," jelas Gundal Pama.Namun, saat asyik berjalan, seketika eksistensi kekuatan para kelompok tadi dirasakan oleh Panca, yang membuat Panca meminta mereka segera waspada.SIUUUFPanca mandelik dan sontak berbalik. Beberapa serangan cahaya mer