"Mungkin sedang menuju ke sini. Aku sendirian kemari. Tadi melihat sinyal dari Kakak," jawab Sabit Kematian. Lalu dia menoleh ke arah Panca. "Siapa orang itu, Kakak Kapak Tengkorak?"
"Huh. Sebelum aku memberi tahu namanya. Lihatlah wajahnya baik-baik."Sabit Kematian pun memfokuskan tatapannya pada Panca.Sebelum turun gunung Blikar, tentunya Panca sudah mempelajari beberapa hal soal desa yang menjadi tempat misinya ini. Mendengar julukan mereka, di sini Panca menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya adalah sekelompok bandit yang memang sering membuat onar."Apa? Benarkah dia orangnya?" celetuk Sabit Kematian, setelah dia tahu siapa yang dimaksud Kapak Tengkorak."Iya. Dia Panca. Yang kini menggemparkan dunia persilatan."Mendengarnya, Sabit Kematian pun langsung mengambil beberapa langkah sedikit di depan Kapak Tengkorak, lalu menghadapkan tubuhnya lurus ke arah Panca."Panca! Sangat bagus kau berada di sini. Kau tidak perlu repot-repot lagi melarikan diri, karena aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!" tandas Sabit Kematian, sambil mengarahkan sabit di tangan kanannya pada Panca.Panca yang mendengarnya, jelas saja dibuat penasaran mengapa mereka mengetahui namanya dan begitu berniat menyudutkan, yang padahal dia tidak pernah berurusan dengan mereka."Jangan banyak bacot! Katakan saja, sebenarnya apa yang kalian inginkan?""Huha. Hahahaha! Hahahaha! Berpura-pura naif. Dasar munafik!" hardik Sabit Kematian.Kemudian Kapak Tengkorak mengambil beberapa langkah, menyejajarkan posisinya dengan Sabit Kematian. "Tikus kecil kita ini tidak takut mati, Sabit. Jangan menahan diri saat bertarung dengannya."Sabit Kematian pun tersenyum miring, dengan sorotan mata yang sinis. Hanya dengan melihatnya, Panca dapat mengetahui kapabilitas Sabit Kematian ini lebih tinggi dari si Kapak Tengkorak. Keagresifan serangannya juga cukup mumpuni dari si Kapak Tengkorak, dilihat dari serangan tiba-tibanya kepada Panca beberapa saat tadi.Lalu setelahnya, Sabit Kematian langsung berlari ke arah Panca. Dan benar saja, ayunan demi ayunan serangan sabitnya, cukup membuat Panca langsung meningkatkan kecepatannya untuk menghindar.TINGTING TING TINGTINGSesaat terjadi pertukaran kekuatan antara mereka berdua. Dua pusaka tak ayal diayunkan, yang memperdengarkan bunyi bentrokan seiring percikan api terlihat jelas.Kilau keperakan pedang guntur naga langit Panca sesekali melintas, sementara dua sabit milik Sabit Kematian berwarna hitam, tidak kalah juga menampakkan eksistensinya sehingga menarik perhatian. Terlihat pada satu kesempatan ketika Sabit Kematian menebaskan dua sabitnya secara melintang berlawanan dan Panca menghindar dengan langsung melompat ke udara. Kekuatan tebasan dua sabit itu melesat dan langsung menghantam beberapa batang pohon di sekitar situ hingga terpotong dan tumbang seiring terdengar ledakan.Sementara itu, Panca yang tampak sedikit di atas Sabit Kematian, langsung mengayungkan ke bawah pedang miliknya untuk sebuah serangan. Namun dengan cepat Sabit Kematian memutar tubuhnya beberapa kali dan seketika berhenti sambil menebaskan sabit di tangan kanannya ke atas.Dalam sekejap energi cahaya kekuatan sabit Sabit Kematian terhempas menyapu udara.SLING TINGKarena Panca yang perhatiannya sedikit terkecoh dengan adanya eksistensi lain di sekitar situ selain mereka. Sehingganya Panca agak lengah dan membuatnya terhempas ke belakang setelah pedangnya yang diayunkan ke bawah itu bentrokan dengan tekanan energi kekuatan sabit barusan.BUGBUGPanca terhempas dengan beberapa kali bersalto. Namun, benar saja. Eksistensi lain yang dimaksud Panca tadi berupa dua sosok misterius, dengan cepat melesat mendatangi tubuh Panca yang masih di udara, dan menghantamkan serangan tangan telak ke dada Panca. Atas hal tersebut, Panca pun terpental begitu jauh dan tergeletak di tanah."Kakak Kapak? Kakak Sabit? Apa yang terjadi? Siapa pria itu?"Satu dari dua eksistensi yang barusan datang dan menyerang Panca, segera bertanya pada Kapak Tengkorak dan Sabit Kematian, ketika pijakan mereka menyentuh tanah."Kalian? Mana yang lain?" tanya Kapak Tengkorak.Seiring itu, Panca bangkit. Serangan telak tapak gabungan dua orang tadi cukup kuat, sehingga membuat tubuhnya lumayan kerepotan."Dua Pedang Kembar? Apa itu mereka?" batin Panca, seiring tatapannya menyorot pada dua orang tersebut."Ludaya? Ludayo?" seru Sabit Kematian. Memang benar. Dua orang berbadan ideal dengan pedang menyilang di punggungnya merupakan pendekar Dua Pedang Kembar. Seperti Sabit, mereka juga datang atas panggilan dari sinyal Kapak barusan.Ludaya dan Ludayo bukanlah nama asli mereka, melainkan nama pedang. Ludaya memiliki esensi angin, sedang Ludayo adalah api. Keduanya sama-sama merupakan pedang istimewa. Tidak heran jika pemiliknya cukup kuat."Mereka akan sampai," jawab Ludaya, si pria dengan ikat kepala putih. Rambutnya yang panjang, tampak dikucir dan tergerai hingga punggung."Itu mereka." Ludayo menimpal. Wajahnya tidak beda degan kakanya, Ludaya. Penampilan mereka pun mirip. Hanya ikat kepala merahnya yang membedakan.Dan benar saja. Satu per satu anggota
Tombak Perak pun langsung membulatkan matanya. Merasa harga diri mereka diinjak-injak. Namun, bagaimana lagi. Mereka harus mengikuti perintah Jarum Maut sebagai pemimpin kelompok. Oleh karenanya, tanpa berdebat lagi, mereka lekas melompat ke udara, berpancar sebagaimana sebelumnya, untuk menghindari sekte Bintang Merah."Dasar aneh! Datang tak diundang pulang tak ingin diantar. Bedebah sialan!"Panca yang menyaksikan hal tersebut sontak dibuat bingung. Dia sesaat memaki sebab waktunya telah terbuang sia-sia karena kelompok tersebut.Lalu sesat Panca tertegun. Dia teringat dengan ucapan warga kemarin di arena bundar dekat pasar, di mana sekte Jalak Hitam memiliki ahli lukis yang bisa menggambar sketsa hanya dengan mendengar ciri-cirinya. Hal tersebut lekas membuat Panca segera meraup mulutnya dan sedikit terkejut karena dia lupa mengenakan topeng."Cih. Bodoh sekali," gumamnya. "Tidak heran orang-orang tadi mengatakan aku buronan sekte. Kemungkinan omongan warga kemarin ada benarnya
"Lama tidak bertemu. Bagaimana keadaanmu?"Wujud sosok asap hitam itu membuat raut wajah Panca sedikit berseri. Rasa rindu yang tersimpan dalam hati, seolah terbayar dengan kedatangannya."Aku baik. Bagaimana dengamu? Kau terluka?""Tidak. Aku baik-baik saja," jawab Panca. "Tapi bagaimana kau bisa di sini? Bukankah aku memintamu untuk tetap tinggal? Bagaimana dengan guru?"Sosok asap hitam tadi bukan lain adalah Wira, siluman macan hitam taring sebelah yang merupakan sahabat Panca. Kedatangannya ke tempat itu, membuat Panca penasaran."Sialan. Pak tua galak itu menyuruhku menyusulmu. Lantas dia malah menyerahkan diri ketika orang-orang kerajaan datang menyerang goa. Padahal mudah baginya untuk meratakan semua prajurit dan bahkan jendral yang ada."Wira memanggil Ki Guntur Sakti dengan sebutan pak tua galak, karena sejak dia kecil dirawat Panca, sampai dia dewasa seperti sekarang, dia jarang sekali mendapat perlakuan lembut dari Ki Guntur Sakti. Selalu ada saja yang dijadikan alasan unt
Saat itu Wira memperlambat gerakan kakinya. Sementara Hanum jauh di depan sana, berlari dengan cepat. Namun, tidak lama Wira tidak merasakan lagi eksistensi Hanum di sekitar situ. Hal itu membuatnya segera mempercepat langkah. Dan benar saja bahwa Hanum telah menghilang.Wira pun langsung berubah ke wujud manusia. Dia menyapu pandangannya ke seluruh sisi rimba, sambil menyeru nama Hanum. Sayangnya tidak ada respon."Sial. Tidak ada jawaban," batin Wira. "Sepertinya ada yang aneh. Kata Tuan, Hanum tidak bisa kanuragan. Jika begitu, pasti ada sesuatu yang membuatnya hilang dari tempat ini."Hilangnya tiba-tiba Hanum membuat Wira curiga. Segera dia memeriksa area sekitar dan lantas menemukan eksistensi energi aneh. Energi tersebut asalnya dari cairan hijau yang menempel di beberapa daun besar di sekitar tempat itu."Apa ini?" Wira menampilkan raut wajah penasaran. Dia sejenak melakukan beberapa gerakan tangan, yang lekas membuat tangannya dilapisi oleh aura cahaya energi berwarna hitam
"Siapa orang itu? Tampaknya dia bukan pendekar biasa."Di meja tidak jauh dari pintu. Seorang berpakaian hijau-hitam, bertanya kepada rekannya. Perawakannya agak kekar, berambut panjang diikat, memegang pedang sambil tangannya menyilang di atas dada. Dari seragam yang dipakainya, dua pria di sana berasal dari sekte Pedang Kuno, yang juga merupakan perguruan terkenal di desa Jalung.Pria itu bernama Kaesan, sedangkan rekan di sampingnya bernama Barun."Entahlah, Kakak. Aura yang dirembeskannya cukup kuat. Dia begitu tenang. Bahkan jika aku yang diposisinya, sudah pasti aku tidak akan menoleransi siapa pun yang mengusikku," balas Barun."Jangan salah. Sepertinya sebentar lagi dia akan ikut dalam lingkaran pertarungan. Lihat saja."Kaesan memperhatikan Panca yang memang saat itu seperti tidak tahan lagi untuk menyerang. Namun, tiba-tiba saja seorang pria berseragam sama dengan mereka, mendekati Panca."Di sini kau rupanya?" ucap si pria itu, yang mengenakan ikat kepala biru.Suara tersebu
Sejenak Panca terdiam, memandangi pemimpin siluman laba-laba itu. Lantas, dengan cepat dia menekan pijakannya dan lalu melesat ke arah siluman laba-laba untuk mengambil serangan.Pertukaran jurus pun berlangsung. Meski pemimpin siluman laba-laba itu terlihat sangat lihai dalam mengolah gerakan, juga energinya yang cukup kuat. Dia bukanlah tandingan Panca. Hanya dengan beberapa gerakan setelah mengetahui titik lemah lawan. Serangan telapak Panca berhasil mengenai dada pemimpin siluman, yang membuatnya terhempas ke belakang dan ditangkap oleh beberapa rekannya."Uhuk!"Pemimpin siluman laba-laba terbatuk dengan sedikit menyemburkan darah dari mulutnya."Jadi kau lebih percaya pria itu dari pada kami? Huh. Aku pikir kau lebih bijak dariku. Ternyata ... baiklah. Kami tidak akan ragu jika harus melawan kalian, atas kesalahan yang tidak kami perbuat."Kesal dengan sikap Panca. Siluman laba-laba itu kini telah menyatakan perang. Namun, baru saja akan mulai menyerang. Panca lekas menahan merek
"Tuan? Kita akan ke mana?" tanya Wira. Mereka saat ini tengah melompati pepohonan, seolah melayang di udara."Ke markas kadal ekor kalajengking," balas Panca. Lantas Panca menoleh ke kiri, pada Huzen. "Apakah benar ini arahnya?""Benar. Hanya berapa ratus meter lagi, baru kita akan sampai di sana.""Siluman kadal ekor kalajengking? Mereka kan yang menculik para siluman laba-laba itu? Apa hubungannya dengan kita?" Wira memastikan."Kau akan mengetahuinya setelah sampai di sana.""Cih. Sialan. Kenapa kau membuatku penasaran?" gerutu Wira, yang tidak mendapat jawaban sesuai kemauannya....Beberapa saat berlalu. Kini mereka mendekati gunung Darah Kecawen, dimana para siluman kadal ekor kalajengking itu berkumpul.TAK TAK"Medan di sini menampung aura negatif yang cukup banyak. Sebaiknya kita melanjutkannya dengan berjalan," ucap Panca, ketika baru saja mereka turun dan berpijak tepat di kaki gunung. Panca masih dengan topeng hitam bergaris coklat menutupi area mulut dan pedang Guntur Naga
"Tenang. Jangan terpancing emosi," ucap Panca, memperingatkan. Matanya terus bersiaga. Saat itu dia mulai merasakan banyaknya eksistensi energi yang cukup kuat, tengah mengepung posisi mereka.SIUUF FIUF FIUFDan benar saja. Puluhan sosok hitam serupa lantas melesat ke arah mereka, membuat Wira dan Huzen terkejut, kemudian segera bersiap. Sementara Panca, lekas dia mengentakkan kaki kanannya, yang lalu membuat angin terhempas hebat ke berbagai arah, hingga berhasil menggetak eksistensi di sekitarnya. Setelahnya, dengan tenang Panca mengayunkan pedangnya, yang tampak percikan petir membungkus badan pedang.SLING SLINGSLING SLINGSLINGSekejap cahaya putih kebiruan melintas zig-zag, menyapu puluhan sosok hitam tersebut hingga tak dapat berkutik sama sekali. SLINGSetelah itu, terlihat Panca yang telah berjarak beberapa meter dari Wira serta Huzen sekilas menghempaskan pedangnya ke samping, yang langsung memperlihatkan kilau keperakan pedang tersebut dan sedikit percikan petir. Di beber
Sangat familier, hingga sontak mata Wira mendapati sebuah cahaya kebiruan memancar di udara dan jatuh bak meteor tidak jauh di depannya. Bunyi ledakan energi terdengar jelas, seiring hempasan angin yang cukup hebat meluas ke segala arah."Mustahil. Apa aku tidak salah lihat?" celetuk Wira. Kemudian dia berucap lirih, sedikit tertegun. "Tuan?"Di sisi lain, Huzen juga membulatkan matanya. "Apakah ini ...?"Siapa lagi kalau bukan Panca. Terlihat dengan raut tegas, Panca mengayunkan pedang, seiring percikan petir menyelimuti tubuhnya. Hanya butuh sekian detik, para binatang siluman di tempat itu terpental hingga tewas setelah menerima serangan Panca."Tuan? Tuan!"Wira berlari ke arah Panca dengan perasaan sangat senang. Huzen juga menyusul. Tanpa basa-basi Wira memeluk Panca, yang saat itu Panca terdiam sejenak dengan tidak membalas pelukannya."Tuan? Awalnya aku sangat mengkhawatirkanmu, kemudian percaya kau tidak akan kembali, aku pikir aku tidak akan bisa lepas dari merindukanmu. Dan
"KHI KHI KHI. Setelah tiga hari tidak bertemu, rupanya kau sudah mengumpulkan nyali untuk bersikap sombong. Huh. Tidak peduli betapa kerasnya kau melatih kemampuanmu. Pada dasarnya ini adalah alam kami dan manusia yang telah sampai di tempat ini, hanyalah daging segar yang pantas untuk dipanggang. KHI KHI KHI.""Jangan banyak omong," sela Panca."KHI KHI KHI. Hajar dia!"Atas perintah pemimpin makhluk neraka alam bawah, seluruh rekannya pun segera berlari ke arah Panca sambil menyeringai. Beberapa dari mereka kemudian melompat dan segera menggempur Panca dengan pedang besar bergerigi.Panca sedikit menyerong kakinya dan bergerak menghindar dengan sangat lihai, yang membuat para makhluk neraka alam bawah itu cukup terkejut. Bagaimana bisa seorang manusia yang tiga hari kemarin sangat lemah, sekarang memiliki kemampuan yang sangat baik.Para makhluk neraka alam bawah itu terus saja mengayunkan pedangnya. Namun, hingga beberapa detik berlangsung, belum ada yang membuat Panca merasa teran
Leluhur Siang lalu menoleh ke arah Tikus Api Ungu, yang membuat Tikus Api Ungu langsung mengerti. Tikus Api Ungu segera merapalkan beberapa gerakan tangan dan seketika sebilah pedang muncul setelah cahaya keunguan memancar di telapak tangannya."Ambilah. Itu untukmu," ucap Leluhur Siang.Panca agak mendelik, lalu sedikit ragu-ragu mengambil pedang tersebut. Saat Panca menyentuh gagang pedang, pedang tersebut lekas memancarkan cahaya kuning kemerahan."Pedang apa ini, Leluhur Siang?""Pedang Naga Api," jawab Tikus Api Ungu.Hal itu membuat Panca terkejut. Sebagaimana dia ketahui, bahwa Pedang Naga Api adalah salah satu pusaka kuno legendaris yang tidak pernah ada yang tahu keberadaannya. Hanya ada banyak cerita hebat soal pusaka kuno itu, yang bisa membuat para pendekar tergila-gila ingin mendapatkannya."Pedang Naga Api? Benarkah ini untukku?" Panca masih tidak peracaya bahwa dia adalah pewaris dari pusaka luar biasa tersebut. Kini dia memiliki dua pedang yang hebat. "Tentu saja. Na
"Huh. Dasar kalian." Siang Kumandala mengeluh, kemudian segera membuang tatapannya ke arah Panca. "Hey anak muda. Apa yang mereka katakan padamu? Apakah mereka juga bercerita tentang keburukanku?"Siang Kumandala tampak bewibawa dan bersahaja, bahkan kepada Panca yang belum saling kenal.Mendengarnya, Panca terdiam sejenak. Siang Kumandala pun sontak menghilang dari tempatnya dan tiba-tiba telah berada di depan Panca, yang membuat Panca terkejut."Apa yang mereka katakan padamu? Ha? Katakan! Katakan!"Panca tertegun, lalu menggeleng. "Ti-tidak. Tidak ada. Mereka hanya mengatakan hal aneh kepadaku. Mereka mengatakan bahwa aku akan menjadi majikan mereka saat ini dan aku akan mewarisi sesuatu dari majikan mereka sebelumnya."Siang Kumandala tersenyum lebar, yang lekas menampakkan gigi bersihnya. Dia pun segera menghilang dan kembali ke tempatnya tadi."Huh. Aku pikir mereka menceritakan keburukanku. Awas saja," ucap Siang Kumandala."Kami telah mengabdi ratusan tahun, bagaimanapun kondis
"Kita sekarang ada di Kuil Jiwa Leluhur, yang berada di Alam Bawah. Kedatanganmu ke sini, bukan tanpa alasan. Kau ditakdirkan langit untuk berada di sini dan mewarisi peninggalan majikan kami sebelumnya," jelas Tikus Api Ungu.Mendengar hal itu, Panca tampak berpikir. Apakah ini sama dengan Gundal Pama. Lagi dan lagi takdir menemukan Panca, dengan membawa sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya."Alam Bawah? Kuil Jiwa Leluhur?""Ya, Majikan. Kita sekarang berada di Alam Bawah. Jiwamu terjebak di sini atas takdir yang telah ditetapkan. Mungkin sudah bertemu dengan beberapa makhluk di luar sana, sebelum masuk ke tempat ini? Mereka adalah makhluk neraka Alam Bawah."Panca pun teringat dengan para makhluk neraka tadi, membuatnya sedikit mendelik."Aku adalah Tikus Api Ungu, dia adalah Bilah Pedang Kehampaan, dan Majikan bisa memanggil monyet ini dengan sebutan Raja Kabut Hitam. Kami bertiga adalah Prajurit Dewa Alam Bawah, yang ditugaskan untuk menjaga Kuil Jiwa Leluhur ini. Warisan di dala
Jelas Panca tidak akan tinggal diam. Dia merembeskan aura kebiruan miliknya dan segera meladeni gempuran sejumlah makhluk neraka itu.SIUF BUG DUAKBeberapa jurus begitu lihai diperagakan oleh Panca. Menghindar dan menangkis, lalu membalikkan serangan dengan sangat baik. Namun, jumlah kekuatan dari makhluk neraka itu cukup besar, membuat Panca kewalahan menghadapinya.Pada satu kesempatan Panca lengah. Beberapa serangan telak dikirim pada Panca hingga akhirnya Panca terpental ke belakang dan menubruk batu besar di sana hingga retak.BRUK"Uhuk!"Panca terbatuk dan memuntahkan darah segar dari mulutnya."Sial. Mereka terlalu kuat. Aku tidak bisa seperti ini." Panca bergumam, dengan tatapan sinis menyorot ke arah para makhluk neraka.Menyadari perbedaan kekuatan yang cukup jauh, Panca pun segera berbalik dan melesat ke atas batu besar, untuk kemudian melarikan diri."KHI KHI KHI. Kau pikir kau akan lari ke mana?" ujar pemimpin kelompok itu. Segera dia meminta rekannya untuk mengejar Panc
Butuh waktu beberapa detik untuk Wira mengumpulkan kesadarannya dan segera mendengar dengan jelas seruan Huzen."Tuan! Tuan!"Setelah sadar, Wira sontak berdiri dan menatap danau lahar di sana. Huzen yang takut Wira nekat untuk melompat, tampak menggenggam erat tangan Wira."Wira? Tenangkan dirimu. Tenangkan dirimu!" ujar Huzen.Lalu perlahan Wira mulai tenang. Dia pun tanpa ragu segera menangis, walau padahal hal itu pantang dilakukan oleh Wira, apalagi di depan orang lain.Tidak ada yang mau berkomentar dengan sikap Wira. Mereka juga sama-sama merasakannya. GGRRRRTempat itu kembali berguncang. Seiring itu, Gundal Pama terlihat mendongakkan wajahnya, menatap langit-langit yang sudah kehilangan banyak bagiannya."Sebaiknya kita bergegas. Aku takut, langit-langit itu akan runtuh dan akan berefek pada lorong ini," ucap Gundal Pama.Mendengarnya, Wira menolak dan ingin tetap di sana saja. Hal itu membuat Huzen terpaksa harus menotok Wira atas perintah isyarat dari Tetua Kalingga dan me
Panca meminta Hayati untuk tetap tenang. Hayati hanya mengangguk, sama sekali tidak menunjukkan raut wajah panik.Hayati pun terpikirkan suatu ide, yang mana dia akan memanggil binatang roh Merak Api miliknya, untuk membawa mereka dari situ."Baiklah," balas Panca.Segera Hayati merapalkan gerakan tangan, yang membuat tubuhnya seketika diselimuti oleh cahaya aura merah api. Dan tidak berlangsung lama, sebuah cahaya jingga memancar tidak jauh di atas mereka berdua. Seiring itu, Merak Api milik Hayati muncul sambil melebarkan sayapnya.Orang-orang yang berada di seberang tampaknya mulai tenang. "Ayo naik," minta Hayati. Panca hanya mengangguk dan lekas melompat ke punggung sang Merak Api. Rintangan belum sampai di situ, karena setelah Merak Api itu mengepakkan sayapnya menuju tempat Gundal Pama dan lainnya, mereka harus menghindari reruntuhan langit-langit yang jatuhnya semakin parah. Di seberang sana mereka juga menjadi panik, karena tempat tersebut tidak lama akan hancur."Hati-hati
Kembali ke Panca dan lainnya. Saat ini mereka tengah melewati tempat yang cukup luas, yang di beberapa titik terdapat danau lahar. Panca, Wira, Huzen, dan Tetua Kalingga, berjalan dengan tubuh diselimuti oleh cahaya aura, agar tubuh mereka tidak terkena hawa panas secara langsung. Sebab bukan berasal dari suku Cuanci, sehingga apabila berjalan tanpa pelindung, maka tidak menjamin bahwa kulit mereka akan tahan dengan panas di sana.Panca saat itu tampak diselimuti aura kebiruan, Huzen hijau, Wira hitam keunguan, serta Tetua Kalingga kuning keemasan."Berapa lama lagi?" tanya Wira."Seharusnya sebentar lagi kita akan menemukan lorong yang terhubung dengan sungai Lengkeng. Sungai Lengkeng ada di hutan Anjir, tidak jauh berjarak dengan Gunung Kabut Es," jelas Gundal Pama.Namun, saat asyik berjalan, seketika eksistensi kekuatan para kelompok tadi dirasakan oleh Panca, yang membuat Panca meminta mereka segera waspada.SIUUUFPanca mandelik dan sontak berbalik. Beberapa serangan cahaya mer