Sangat familier, hingga sontak mata Wira mendapati sebuah cahaya kebiruan memancar di udara dan jatuh bak meteor tidak jauh di depannya. Bunyi ledakan energi terdengar jelas, seiring hempasan angin yang cukup hebat meluas ke segala arah."Mustahil. Apa aku tidak salah lihat?" celetuk Wira. Kemudian dia berucap lirih, sedikit tertegun. "Tuan?"Di sisi lain, Huzen juga membulatkan matanya. "Apakah ini ...?"Siapa lagi kalau bukan Panca. Terlihat dengan raut tegas, Panca mengayunkan pedang, seiring percikan petir menyelimuti tubuhnya. Hanya butuh sekian detik, para binatang siluman di tempat itu terpental hingga tewas setelah menerima serangan Panca."Tuan? Tuan!"Wira berlari ke arah Panca dengan perasaan sangat senang. Huzen juga menyusul. Tanpa basa-basi Wira memeluk Panca, yang saat itu Panca terdiam sejenak dengan tidak membalas pelukannya."Tuan? Awalnya aku sangat mengkhawatirkanmu, kemudian percaya kau tidak akan kembali, aku pikir aku tidak akan bisa lepas dari merindukanmu. Dan
“Tolong! Tolong kami!” Suara teriakan wanita terdengar dari hutan tidak jauh dari desa Jalung, Distrik Timur daratan Bulubalang. Mendengar teriakan tersebut, pria gagah bernama Panca Sena yang sedang berada dalam misi yang diberikan sang guru, bergegas untuk menemukan sumber suara. Dia melompat ke udara dan terbang memijaki ujung pepohonan. Tidak lama, dia turun di tengah-tengah sekumpulan pria yang sedang mengganggu dua wanita cantik, untuk memberikan beberapa serangan telak hingga para pria itu terhempas ke belakang.Setelahnya, cepat Panca Sena merangkul pinggang dua wanita tersebut dan melompat ke udara untuk menyisihkan keduanya.“Pengecut! Beraninya dengan wanita!” tandas Panca Sena. Dua wanita di belakangnya terlihat ketakutan sambil berpegangan tangan."Siapa kau? Dasar pengemis! Jangan ikut campur urusan kami!" Salah satu dari sepuluh pria yang berpakaian merah-hitam itu membentak.Namun, bentakan tersebut tidak membuat Panca gentar. Penampilannya yang seperti petapa gunung
Kondisi itu membuat Wadana terdiam. Namun, sepintas senyum liciknya tergambar pada bibir. Tanpa disadari Panca, Wardana sedang mengumpulkan energi pada tangan kanannya yang disembunyikan di belakang. Dengan sangat cepat Wardana menghempaskan telapak tangan kanan itu ke depan, yang membuat Panca terkejut dan lalu terpental setelah perutnya telak menerima kumpulan kekuatan yang cukup besar itu.SREEK"Uhuk!"Suara kerukan alas kaki terdengar, seiring kaki Panca menekan tanah untuk menghentikan dorogan serangan. Dia kemudian terbatuk dan mengeluarkan sedikit darah dari mulutnya.Tidak hanya itu. Wardana kini melanjutkan serangannya dengan sesaat merapalkan gerakan tangan dan dihempaskan lurus ke arah Panca. Pada waktu yang bersamaan, Panca yang mendapat serangan tersebut langsung sedikit melayang di udara, seiring cahaya petir kuning menyelimuti tubuh. Degup jantungnya berdetak lebih cepat dari yang biasa. Jiwanya seperti tertarik seiring rasa sakit mencecar sangat hebat."Aaaah! Aaah!"
Dia tidak menyangka, jika kakek yang kemarin membantunya kini dipertontonkan tubuhnya dengan posisi terikat di tiang besar. Tubuh kakek itu begitu mengenaskan, dimana seluruh tubuhnya dihiasi oleh memar dan sayatan akibat cambuk yang ayal dihantamkan algojo di situ."Inilah hukuman bagi siapapun yang hendak menentang sekte Jalak Hitam!"Seorang dengan jubah merah-hitam, melantangkan suaranya. Dia merupakan salah satu petinggi di Jalak Hitam."Heh? Memangnya apa yang dibuat kakek Hur?""Kudengar dia melindungi pembunuh tuan muda sekte Jalak Hitam.""Sangat disayangkan ya. Padahal yang aku kenal kakek Hur sangatlah baik hati dan ramah kepada orang-orang.""Memangnya apa yang terjadi sebelumnya?""Ada yang bilang tuan muda Wardana melecehkan dua cucu kakek Hur. Tapi seorang pemuda misterius menyelamatkan mereka dan sampai membunuh tuan muda Wardana.""Benar. Aku juga mendengarnya. Orang-orang sekte mengetahuinya dari seseorang yang katanya orang desa ini. Dikatakan juga kakek Hur membunuh
Dia pun teringat satu kejadian yang sama, di mana dia pernah dipojokkan seperti ini oleh seseorang hingga merenggut keperawanannya. Rasa traumanya langsung meluap tak terbendung. Sayangnya dia hanya bisa menangis dengan suara yang tersumbat gulungan kain.Sesaat, sang kusir yang tengah mengendalikan kuda itu pun merasa kereta sedikit bergoyang, seiring suara jeritan wanita tertahan dari dalam....NGIHIHIKTidak lama. Tiba-tiba saja perjalanan mereka terhenti. Seseorang penunggang kuda menghalangi jalan mereka."Siapa kau?" tandas rekan yang berada paling depan.Sementara itu, Budu menyembulkan kepalanya dari jendela, yang tatapannya langsung tersorot pada si penunggang kuda. Menyadari hal tersebut kurang baik, Budu turun dari kereta sambil memperbaiki posisi pakaian bawahnya yang terbuka. Rasik juga ikut turun, berlagak sama seperti Budu yang merapikan pakaian bawah.Seorang penunggang kuda itu bukan lain adalah Panca. Tanpa banyak bacot Panca melompat dari kudanya dan terbang di udar
Panca mengembus napas agak panjang, lalu mulai menjawab. "Seperti yang sudah kukatakan tadi, jika aku punya misi dari guruku di tempat ini. Lagipula, diminta sekalipun. Seorang pendekar tidak akan lari dari masalah, terlebih jika harus membuat orang lain memikulnya.""Aku tidak menyangka, kakekmu akan mengambil masalah ini hanya untuk menyelamatkanku. Dia melayangkan nyawa para bawahan Wardana kemarin hanya agar tidak ada yang buka mulut sehingga aku bisa terbebas. Sayangnya ada seorang yang melihatnya dan membeberkannya pada orang-orang di sekte. Maafkan aku," lanjut Panca.Hanum yang mendengarnya lekas sedikit membulatkan mata. Dia kemudian langsung mengingat kembali dan membayangkan apa yang terjadi pagi tadi. Dia tidak begitu mengerti, karena tiba-tiba saja orang-orang sekte datang dan membuat onar. Bukan hanya di rumahnya saja, melainkan juga kepada para warga di sekitar rumah.Tanpa penjelasan, Hanum dan Yati langsung dibawa oleh sekelompok orang sekte secara paksa. Sementara kak
"Huh. Bedebah. Kita lihat, seberapa tinggi kekuatan bajingan sepertimu. Lalu aku akan memberi tahu namaku di detik-detik kematianmu. Hiaaaa!"Si pria kekar pun tanpa ragu segera berlari ke arah Panca. Meski tidak mengerti maksud dari si pria kekar ini. Panca tetap meladeninya tanpa takut sedikitpun.FIUUF FIUFFIUF FIUFAyunan kapaknya yang besar dan tebal itu sontak terdengar jelas, seiring Panca bergerak ke kiri dan kanan untuk menghindari kapak tersebut.Berlangsung beberapa kali pria tinggi kekar itu mengayunkan kapaknya. Namun, masih belum menggertak Panca yang bahkan belum mengambil serangan."Cih! Kau meremehkanku?"Si pria itu melontarkan ucapan yang terdengar kesal, ketika tercipta jarak beberapa meter antara dia dan Panca. Lalu dengan sigap dia menghempaskan kapak besarnya ke samping, yang sesaat memperlihatkan kilau keperakan pada mata kapak.TAKTAKTAKKemudian dia berlari dengan cepat. Namun, kali ini energi yang dirembeskannya cukup agresif, yang dapat dirasakan jelas oleh
"Mungkin sedang menuju ke sini. Aku sendirian kemari. Tadi melihat sinyal dari Kakak," jawab Sabit Kematian. Lalu dia menoleh ke arah Panca. "Siapa orang itu, Kakak Kapak Tengkorak?""Huh. Sebelum aku memberi tahu namanya. Lihatlah wajahnya baik-baik."Sabit Kematian pun memfokuskan tatapannya pada Panca. Sebelum turun gunung Blikar, tentunya Panca sudah mempelajari beberapa hal soal desa yang menjadi tempat misinya ini. Mendengar julukan mereka, di sini Panca menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya adalah sekelompok bandit yang memang sering membuat onar."Apa? Benarkah dia orangnya?" celetuk Sabit Kematian, setelah dia tahu siapa yang dimaksud Kapak Tengkorak."Iya. Dia Panca. Yang kini menggemparkan dunia persilatan." Mendengarnya, Sabit Kematian pun langsung mengambil beberapa langkah sedikit di depan Kapak Tengkorak, lalu menghadapkan tubuhnya lurus ke arah Panca."Panca! Sangat bagus kau berada di sini. Kau tidak perlu repot-repot lagi melarikan diri, karena aku tidak aka
Sangat familier, hingga sontak mata Wira mendapati sebuah cahaya kebiruan memancar di udara dan jatuh bak meteor tidak jauh di depannya. Bunyi ledakan energi terdengar jelas, seiring hempasan angin yang cukup hebat meluas ke segala arah."Mustahil. Apa aku tidak salah lihat?" celetuk Wira. Kemudian dia berucap lirih, sedikit tertegun. "Tuan?"Di sisi lain, Huzen juga membulatkan matanya. "Apakah ini ...?"Siapa lagi kalau bukan Panca. Terlihat dengan raut tegas, Panca mengayunkan pedang, seiring percikan petir menyelimuti tubuhnya. Hanya butuh sekian detik, para binatang siluman di tempat itu terpental hingga tewas setelah menerima serangan Panca."Tuan? Tuan!"Wira berlari ke arah Panca dengan perasaan sangat senang. Huzen juga menyusul. Tanpa basa-basi Wira memeluk Panca, yang saat itu Panca terdiam sejenak dengan tidak membalas pelukannya."Tuan? Awalnya aku sangat mengkhawatirkanmu, kemudian percaya kau tidak akan kembali, aku pikir aku tidak akan bisa lepas dari merindukanmu. Dan
"KHI KHI KHI. Setelah tiga hari tidak bertemu, rupanya kau sudah mengumpulkan nyali untuk bersikap sombong. Huh. Tidak peduli betapa kerasnya kau melatih kemampuanmu. Pada dasarnya ini adalah alam kami dan manusia yang telah sampai di tempat ini, hanyalah daging segar yang pantas untuk dipanggang. KHI KHI KHI.""Jangan banyak omong," sela Panca."KHI KHI KHI. Hajar dia!"Atas perintah pemimpin makhluk neraka alam bawah, seluruh rekannya pun segera berlari ke arah Panca sambil menyeringai. Beberapa dari mereka kemudian melompat dan segera menggempur Panca dengan pedang besar bergerigi.Panca sedikit menyerong kakinya dan bergerak menghindar dengan sangat lihai, yang membuat para makhluk neraka alam bawah itu cukup terkejut. Bagaimana bisa seorang manusia yang tiga hari kemarin sangat lemah, sekarang memiliki kemampuan yang sangat baik.Para makhluk neraka alam bawah itu terus saja mengayunkan pedangnya. Namun, hingga beberapa detik berlangsung, belum ada yang membuat Panca merasa teran
Leluhur Siang lalu menoleh ke arah Tikus Api Ungu, yang membuat Tikus Api Ungu langsung mengerti. Tikus Api Ungu segera merapalkan beberapa gerakan tangan dan seketika sebilah pedang muncul setelah cahaya keunguan memancar di telapak tangannya."Ambilah. Itu untukmu," ucap Leluhur Siang.Panca agak mendelik, lalu sedikit ragu-ragu mengambil pedang tersebut. Saat Panca menyentuh gagang pedang, pedang tersebut lekas memancarkan cahaya kuning kemerahan."Pedang apa ini, Leluhur Siang?""Pedang Naga Api," jawab Tikus Api Ungu.Hal itu membuat Panca terkejut. Sebagaimana dia ketahui, bahwa Pedang Naga Api adalah salah satu pusaka kuno legendaris yang tidak pernah ada yang tahu keberadaannya. Hanya ada banyak cerita hebat soal pusaka kuno itu, yang bisa membuat para pendekar tergila-gila ingin mendapatkannya."Pedang Naga Api? Benarkah ini untukku?" Panca masih tidak peracaya bahwa dia adalah pewaris dari pusaka luar biasa tersebut. Kini dia memiliki dua pedang yang hebat. "Tentu saja. Na
"Huh. Dasar kalian." Siang Kumandala mengeluh, kemudian segera membuang tatapannya ke arah Panca. "Hey anak muda. Apa yang mereka katakan padamu? Apakah mereka juga bercerita tentang keburukanku?"Siang Kumandala tampak bewibawa dan bersahaja, bahkan kepada Panca yang belum saling kenal.Mendengarnya, Panca terdiam sejenak. Siang Kumandala pun sontak menghilang dari tempatnya dan tiba-tiba telah berada di depan Panca, yang membuat Panca terkejut."Apa yang mereka katakan padamu? Ha? Katakan! Katakan!"Panca tertegun, lalu menggeleng. "Ti-tidak. Tidak ada. Mereka hanya mengatakan hal aneh kepadaku. Mereka mengatakan bahwa aku akan menjadi majikan mereka saat ini dan aku akan mewarisi sesuatu dari majikan mereka sebelumnya."Siang Kumandala tersenyum lebar, yang lekas menampakkan gigi bersihnya. Dia pun segera menghilang dan kembali ke tempatnya tadi."Huh. Aku pikir mereka menceritakan keburukanku. Awas saja," ucap Siang Kumandala."Kami telah mengabdi ratusan tahun, bagaimanapun kondis
"Kita sekarang ada di Kuil Jiwa Leluhur, yang berada di Alam Bawah. Kedatanganmu ke sini, bukan tanpa alasan. Kau ditakdirkan langit untuk berada di sini dan mewarisi peninggalan majikan kami sebelumnya," jelas Tikus Api Ungu.Mendengar hal itu, Panca tampak berpikir. Apakah ini sama dengan Gundal Pama. Lagi dan lagi takdir menemukan Panca, dengan membawa sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya."Alam Bawah? Kuil Jiwa Leluhur?""Ya, Majikan. Kita sekarang berada di Alam Bawah. Jiwamu terjebak di sini atas takdir yang telah ditetapkan. Mungkin sudah bertemu dengan beberapa makhluk di luar sana, sebelum masuk ke tempat ini? Mereka adalah makhluk neraka Alam Bawah."Panca pun teringat dengan para makhluk neraka tadi, membuatnya sedikit mendelik."Aku adalah Tikus Api Ungu, dia adalah Bilah Pedang Kehampaan, dan Majikan bisa memanggil monyet ini dengan sebutan Raja Kabut Hitam. Kami bertiga adalah Prajurit Dewa Alam Bawah, yang ditugaskan untuk menjaga Kuil Jiwa Leluhur ini. Warisan di dala
Jelas Panca tidak akan tinggal diam. Dia merembeskan aura kebiruan miliknya dan segera meladeni gempuran sejumlah makhluk neraka itu.SIUF BUG DUAKBeberapa jurus begitu lihai diperagakan oleh Panca. Menghindar dan menangkis, lalu membalikkan serangan dengan sangat baik. Namun, jumlah kekuatan dari makhluk neraka itu cukup besar, membuat Panca kewalahan menghadapinya.Pada satu kesempatan Panca lengah. Beberapa serangan telak dikirim pada Panca hingga akhirnya Panca terpental ke belakang dan menubruk batu besar di sana hingga retak.BRUK"Uhuk!"Panca terbatuk dan memuntahkan darah segar dari mulutnya."Sial. Mereka terlalu kuat. Aku tidak bisa seperti ini." Panca bergumam, dengan tatapan sinis menyorot ke arah para makhluk neraka.Menyadari perbedaan kekuatan yang cukup jauh, Panca pun segera berbalik dan melesat ke atas batu besar, untuk kemudian melarikan diri."KHI KHI KHI. Kau pikir kau akan lari ke mana?" ujar pemimpin kelompok itu. Segera dia meminta rekannya untuk mengejar Panc
Butuh waktu beberapa detik untuk Wira mengumpulkan kesadarannya dan segera mendengar dengan jelas seruan Huzen."Tuan! Tuan!"Setelah sadar, Wira sontak berdiri dan menatap danau lahar di sana. Huzen yang takut Wira nekat untuk melompat, tampak menggenggam erat tangan Wira."Wira? Tenangkan dirimu. Tenangkan dirimu!" ujar Huzen.Lalu perlahan Wira mulai tenang. Dia pun tanpa ragu segera menangis, walau padahal hal itu pantang dilakukan oleh Wira, apalagi di depan orang lain.Tidak ada yang mau berkomentar dengan sikap Wira. Mereka juga sama-sama merasakannya. GGRRRRTempat itu kembali berguncang. Seiring itu, Gundal Pama terlihat mendongakkan wajahnya, menatap langit-langit yang sudah kehilangan banyak bagiannya."Sebaiknya kita bergegas. Aku takut, langit-langit itu akan runtuh dan akan berefek pada lorong ini," ucap Gundal Pama.Mendengarnya, Wira menolak dan ingin tetap di sana saja. Hal itu membuat Huzen terpaksa harus menotok Wira atas perintah isyarat dari Tetua Kalingga dan me
Panca meminta Hayati untuk tetap tenang. Hayati hanya mengangguk, sama sekali tidak menunjukkan raut wajah panik.Hayati pun terpikirkan suatu ide, yang mana dia akan memanggil binatang roh Merak Api miliknya, untuk membawa mereka dari situ."Baiklah," balas Panca.Segera Hayati merapalkan gerakan tangan, yang membuat tubuhnya seketika diselimuti oleh cahaya aura merah api. Dan tidak berlangsung lama, sebuah cahaya jingga memancar tidak jauh di atas mereka berdua. Seiring itu, Merak Api milik Hayati muncul sambil melebarkan sayapnya.Orang-orang yang berada di seberang tampaknya mulai tenang. "Ayo naik," minta Hayati. Panca hanya mengangguk dan lekas melompat ke punggung sang Merak Api. Rintangan belum sampai di situ, karena setelah Merak Api itu mengepakkan sayapnya menuju tempat Gundal Pama dan lainnya, mereka harus menghindari reruntuhan langit-langit yang jatuhnya semakin parah. Di seberang sana mereka juga menjadi panik, karena tempat tersebut tidak lama akan hancur."Hati-hati
Kembali ke Panca dan lainnya. Saat ini mereka tengah melewati tempat yang cukup luas, yang di beberapa titik terdapat danau lahar. Panca, Wira, Huzen, dan Tetua Kalingga, berjalan dengan tubuh diselimuti oleh cahaya aura, agar tubuh mereka tidak terkena hawa panas secara langsung. Sebab bukan berasal dari suku Cuanci, sehingga apabila berjalan tanpa pelindung, maka tidak menjamin bahwa kulit mereka akan tahan dengan panas di sana.Panca saat itu tampak diselimuti aura kebiruan, Huzen hijau, Wira hitam keunguan, serta Tetua Kalingga kuning keemasan."Berapa lama lagi?" tanya Wira."Seharusnya sebentar lagi kita akan menemukan lorong yang terhubung dengan sungai Lengkeng. Sungai Lengkeng ada di hutan Anjir, tidak jauh berjarak dengan Gunung Kabut Es," jelas Gundal Pama.Namun, saat asyik berjalan, seketika eksistensi kekuatan para kelompok tadi dirasakan oleh Panca, yang membuat Panca meminta mereka segera waspada.SIUUUFPanca mandelik dan sontak berbalik. Beberapa serangan cahaya mer