Dia pun teringat satu kejadian yang sama, di mana dia pernah dipojokkan seperti ini oleh seseorang hingga merenggut keperawanannya. Rasa traumanya langsung meluap tak terbendung. Sayangnya dia hanya bisa menangis dengan suara yang tersumbat gulungan kain.
Sesaat, sang kusir yang tengah mengendalikan kuda itu pun merasa kereta sedikit bergoyang, seiring suara jeritan wanita tertahan dari dalam....NGIHIHIKTidak lama. Tiba-tiba saja perjalanan mereka terhenti. Seseorang penunggang kuda menghalangi jalan mereka."Siapa kau?" tandas rekan yang berada paling depan.Sementara itu, Budu menyembulkan kepalanya dari jendela, yang tatapannya langsung tersorot pada si penunggang kuda. Menyadari hal tersebut kurang baik, Budu turun dari kereta sambil memperbaiki posisi pakaian bawahnya yang terbuka. Rasik juga ikut turun, berlagak sama seperti Budu yang merapikan pakaian bawah.Seorang penunggang kuda itu bukan lain adalah Panca. Tanpa banyak bacot Panca melompat dari kudanya dan terbang di udara, yang kemudian beberapa kali mengayungkan pedang Guntur Naga Langitnya."Tebasan kemarahan guntur!"Pada waktu yang bersamaan. Beberapa kilatan cahaya biru melintang berbalut percikan petir, melesat ke arah rombongan, yang sontak membuat ledakan hebat seiring terpentalnya orang-orang sekte tersebut.Namun, Budu dan Rasik memahami situasi, yang sontak membuat mereka segera menggunakan teknik tameng cahaya merah, sehingga terhalang dari serangan telak Panca tadi.Sekejap berlalu. Dari balik kepulan debu yang tercipta, muncul Budu dan Rasik melesat ke arah Panca yang masih berada di udara. Tak bisa dielakkan, pertukaran serangan pedang pun terjadi.Ayunan gabungan pedang telak Budu dan Rasik membuat Panca terhempas ke bawah setelah mencoba menangkisnya."Bajingan! Siapa kau?" Budu menandas, sesaat sebelumnya mereka jatuh dan berpijak di tanah.Panca tidak menggubris. Dia langsung berlari dan mengambil serangan kembali, yang membuat pertarungan terjadi. Dengan kemampuannya, Panca begitu gagah memainkan pedang. Menghindar, memutar tubuh, menangkis serangan, dan membalikkan serangan dengan raut yang tenang.TINGTING TING TINGTINGTINGSuara aduan pedang terdengar memantul di udara, seiring percikan api terlihat jelas. Dua pendekar tingkat delapan sayap menunjukkan kapabilitas mereka dalam memainkan pedang berikut serangannya.Saat ini Panca sama sekali tidak menahan diri. Dia bahkan segera menunjukkan eksistensi Pedang Guntur Naga Langitnya, yang sontak menampakkan percikan petir di setiap ayunan pedang tersebut. Hal itu lantas membuat Budu dan Rasik terlihat cukup kesusahan menahan gempuran pedang Panca.Tidak sampai di situ. Panca juga mengerahkan setiap anggota tubuhnya untuk menyerang. Satu kali mengayun pedang, satu kali melakukan serangan kaki. Dua kali mengayun pedang, satu kali bogem kiri dihantamkan. Hal itu dilakukan secara teracak pada dua orang, sehingga lawan tidak dapat membaca teknik yang dipakainya.Dan benar saja. Tidak berlangsung lama. Panca sangat mendominasi pertarungan yang membuat dua pendekar delapan sayap itu tersudut. Mereka terhempas jauh bersamaan setelah menerima serangan beruntun dari Panca dan terluka cukup parah setelahnya.Budu mendapat sayatan agak dalam di pipi kiri, yang membuat darah mengucur melumuri wajah kirinya dengan rasa perih yang lumayan merepotkan. Tidak beda dengan Rasik yang juga mendapatkan sayatan agak panjang di bagian dadanya dan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa."Keparat! Katakan apa maksudmu menyerang kami!" tandas Budu.Panca tidak menjawab. Sikapnya begitu dingin, memperlihatkan aura menindas yang cukup membuat nyali kedua pendekar delapan sayap itu menyusut seketika.Menyadari orang di depan adalah monster. Budu melempar tatapan ya ke arah Rasik. Keduanya sontak satu kali mengangguk ke bawah, memperlihatkan ada sesuatu yang mereka rencanakan.Melihatnya, Panca cukup penasaran apa yang bisa mereka lakukan setelah ini. Dia pun langsung mengambil langkah berlari dan hendak melangsungkan serangan kembali.Sementara itu, Budu dan Rasik dengan cepat mengalirkan tenaga dalam mereka pada pedang dan langsung membuat pedang mereka merembeskan cahaya aura merah. Mereka pun secara beriringan mengayunkan pedang dan sontak menghempaskan cahaya kekuatan pedang ke arah Panca.Panca pun tanpa ragu mengayunkan pedangnya, untuk mematahkan serangan. Ketika Panca berhasil menghancurkan serangan, terlihat Rasik hanya sendirian di depannya. Hal itu sontak membuat Panca sedikit terkejut, yang ternyata, Budu sudah berada di belakangnya dan tinggal melangsungkan serangannya saja.Panca dengan cepat merespons. Sebelum itu dia mengibaskan bilah pedangnya untuk melancarkan serangan Tebasan Gutur Menyilang ke arah Rasik, agar Rasik teralihkan. Lalu dia berputar tubuh untuk meladeni Budu yang tengah berada sedikit di atasnya.TINGGGGSontak saja, suara bentrokan pedang melengking dan menciptakan angin yang terhempas begitu hebat hingga menggoyangkan semak-semak serta dedaunan pohon di sekitar. Bahkan saking hebatnya tekanan serangan Budu, sampai membuat tanah di sekitar pijakan Panca menjadi retak sedikit.Sejenak lalu Budu langsung menarik tekanan pedangnya dan mudur jauh dari Panca dengan satu kali melakukan salto di udara.Lantas ketika cepat kakinya berpijak di tanah. Dia langsung melompat kembali ke udara. Di sisi lain juga, Rasik melakukan hal yang sama. Gerakan ayunan pedang mereka saat itu begitu serasi, menyadari Panca bahwa mereka akan melakukan kombo serangan."Tebasan pedang darah kemarahan!"Dan benar saja. Tidak dapat dielakkan bahwa Panca akan menerima serangan bertubi-tubi dari dua pendekar delapan sayap itu. Serangan Budu dan Rasik saat itu lebih agresif dari yang sebelumnya, sehingga membuat Panca langsung menciptakan tameng lingkaran guntur untuk mempertahankan eksistensinya.BUMBUMBUMDalam sekejap bentrokan kekuatan terdengar yang sampai membuat debu-debu menyebar ke berbagai arah. Sayangnya, ketika sesaat serangan bertubi-tubi tadi tidak diterima Panca lagi dan debu yang menyebar telah menipis. Eksistensi kekuatan Budu dan Rasik sudah tidak dirasakan oleh Panca. Hal itu membuat Panca sadar bahwa mereka berdua telah melarikan diri.Lalu ketika suasana menjadi sedikit tenang. Panca menyapu tatapannya pada mayat-mayat orang sekte Jalak Hitam yang bergelimpangan.Kuda yang menarik kereta Yati dan Hanum saat itu tidak berada di sana. Sehingga segera Panca mencarinya, yang tidak lama kuda tersebut dia dapatkan di pinggir jurang sekitar tempat itu.Lalu setelahnya, Panca langsung memeriksa keadaan di dalam. Namun, baru saja Panca membuka pintu kayu bagian belakang kereta. Dia dikejutkan dengan kondisi seorang wanita di sisi kanan yang pakaian bawahnya setengah terbuka. Hal itu membuatnya langsung berbalik badan untuk mengalihkan tatapannya dari pemandangan yang tidak seharusnya dia lihat."Pecundang! Dasar bajingaaaan!" maki Panca kepada dua orang yang baru saja dia hadapi.Dia marah besar sampai mengeluarkan aura penindasannya yang tak terbendung. Yang pada akhirnya, aura tersebut berhasil menggoyangkan dedaunan di sekitar. Bukan hanya itu. Burung-burung kecil yang berkumpul di pepohonan sekitar situ juga langsung terbang berhamburan.***Malam tiba. Di dalam sebuah goa, Panca menyalakan api yang saat itu memperlihatkan jelas corak batu dinding goa.Di sisi lain, Hanum tersadar dengan kepala yang sedikit pusing. Dia menoleh ke samping, yang terdapat Yati tengah terbaring tak sadarkan diri."Yati?" celetuk Hanum."Kau sudah bangun?"Suara seorang pria membuat Hanum langsung memalingkan tatapannya. Dan terlihat tidak jauh keberadaan seseorang tengah membelakanginya, yang bukan lain adalah Panca."Kau di sini?" tanya Hanum."Maafkan aku datang terlambat. Maafkan aku juga sudah menyebabkan hal ini terjadi. Seharusnya aku tidak membunuh Wardana saat itu," ujar Panca.Hanum pun menggeleng pelan. "Tidak. Ini bukan salahmu. Mereka yang sering mengganggu kami dan para warga desa Jalung. Sudah sepantasnya mereka mendapatkan ini. Aku yang seharusnya meminta maaf. Setelah ini, pasti kau akan menjadi buronan orang-orang Jalak Hitam."Mendengarnya, Panca kemudian sedikit mengerut dahinya. "Apa maksudmu? Apakah mereka memang sering membuat hal yang tidak baik?"Padahal Panca tahu, jika orang-orang Jalak Hitam bukanlah kelompok yang baik. Namun, di sini dia ingin mengulik informasi dari Hanum."Karena mereka menduduki tiga keluarga teratas. Mereka melakukan hal semena-mena kepada warga desa Jalung. Pajak tanah kami dinaikturunkan seenak jidat. Belum lagi pemerasan terhadap para pedagang di pasar desa. Ini tidak terjadi di desa Jalung saja, melainkan desa-desa yang ada dalam naungan kota Parang.""Begitu ya?" Panca menanggapi dengan tenang."Seperti itulah," balas Hanum. "Memangnya kisanak berasal dari mana? Wajahnya tampak asing.""Aku tinggal di Gunung Blikar. Datang untuk sebuah misi dari guruku.""Gunung Blikar di selatan daratan Bulubalang?""Hm.""Apa di sana terdapat perkampungan seperti desa Jalung? Pasti di sana lebih damai ya?"Panca menyunggingkan sedikit senyum, karena memang di sana hanya terdapat bebatuan dan rerumputan liar saja. Sebagaimana hutan rimba. Panca hidup di puncak gunung hanya berteman dengan beberapa binatang buas yang sudah dia jinakkan sendiri. Sejak usia sepuluh tahun Panca hidup bersama gurunya dan sangat penasaran degan dunia luar. Hanya sesekali dia turun gunung, sekadar membeli keperluan, sebab jarak yang akan ditempuh Panca sangatlah jauh, meskipun dia menggunakan tunggangan yang juga merupakan teman baiknya, berupa siluman macan hitam taring sebelah."Hm, tidak demikian. Saat usiaku sepuluh tahun, sebuah tragedi menimpa keluargaku. Aku diselamatkan oleh guruku dan dibawa ke Gunung Blikar. Dan semenjak itulah aku memulai hidup hanya dengan guruku di sana," jelas Panca."Ah. Begitu rupanya. Pantas saja tidak ada ketakutan dalam tatapan kisanak ketika menghadapi Wardana dan antek-anteknya. Pasti kisanak memiliki guru yang sangat baik sekaligus kuat," balas Hanum.Panca tidak bersuara. Matanya tersorot lurus ke arah perapian."Sebelumnya aku ingin berterima kasih pada kisanak. Untuk kedua kalinya, kisanak telah menyelamatkanku.""Ibuku seorang wanita. Aku sangat benci mereka yang merendahkan atau bahkan mempermainkan wanita," ujar Panca."Hati kisanak begitu tulus. Mengingatkanku kepada kakek dan almarhum ayahku," balas Hanum.Ucapan itu lekas sejenak membuat Panca tertegun. Sesaat dia menatap wajah Hanum, yang keningnya agak turun."Ah? Apakah aku membuatmu sedih?" tanya Panca. "Jika seperti itu, aku minta maaf."Mendengarnya, Hanum hanya tersenyum tipis."Um tidak. Tidak apa-apa," ucap Hanum, tenang. Hanum langsung melempar wajahnya ke kiri, menatap paras tampan Panca yang tersorot oleh pancaran cahaya api."Tidak sama sekali," lanjutnya.Sesaat kedua mata itu saling bertemu, lalu secara bersamaan mereka lekas memalingkannya."Bagaimana kisanak bisa tahu kami dibawa oleh orang-orang Jalak Hitam itu? Dan bukankah kakekku menyuruh kisanak untuk pergi sejauh-jauhnya dari sini?"Panca mengembus napas agak panjang, lalu mulai menjawab. "Seperti yang sudah kukatakan tadi, jika aku punya misi dari guruku di tempat ini. Lagipula, diminta sekalipun. Seorang pendekar tidak akan lari dari masalah, terlebih jika harus membuat orang lain memikulnya.""Aku tidak menyangka, kakekmu akan mengambil masalah ini hanya untuk menyelamatkanku. Dia melayangkan nyawa para bawahan Wardana kemarin hanya agar tidak ada yang buka mulut sehingga aku bisa terbebas. Sayangnya ada seorang yang melihatnya dan membeberkannya pada orang-orang di sekte. Maafkan aku," lanjut Panca.Hanum yang mendengarnya lekas sedikit membulatkan mata. Dia kemudian langsung mengingat kembali dan membayangkan apa yang terjadi pagi tadi. Dia tidak begitu mengerti, karena tiba-tiba saja orang-orang sekte datang dan membuat onar. Bukan hanya di rumahnya saja, melainkan juga kepada para warga di sekitar rumah.Tanpa penjelasan, Hanum dan Yati langsung dibawa oleh sekelompok orang sekte secara paksa. Sementara kak
"Huh. Bedebah. Kita lihat, seberapa tinggi kekuatan bajingan sepertimu. Lalu aku akan memberi tahu namaku di detik-detik kematianmu. Hiaaaa!"Si pria kekar pun tanpa ragu segera berlari ke arah Panca. Meski tidak mengerti maksud dari si pria kekar ini. Panca tetap meladeninya tanpa takut sedikitpun.FIUUF FIUFFIUF FIUFAyunan kapaknya yang besar dan tebal itu sontak terdengar jelas, seiring Panca bergerak ke kiri dan kanan untuk menghindari kapak tersebut.Berlangsung beberapa kali pria tinggi kekar itu mengayunkan kapaknya. Namun, masih belum menggertak Panca yang bahkan belum mengambil serangan."Cih! Kau meremehkanku?"Si pria itu melontarkan ucapan yang terdengar kesal, ketika tercipta jarak beberapa meter antara dia dan Panca. Lalu dengan sigap dia menghempaskan kapak besarnya ke samping, yang sesaat memperlihatkan kilau keperakan pada mata kapak.TAKTAKTAKKemudian dia berlari dengan cepat. Namun, kali ini energi yang dirembeskannya cukup agresif, yang dapat dirasakan jelas oleh
"Mungkin sedang menuju ke sini. Aku sendirian kemari. Tadi melihat sinyal dari Kakak," jawab Sabit Kematian. Lalu dia menoleh ke arah Panca. "Siapa orang itu, Kakak Kapak Tengkorak?""Huh. Sebelum aku memberi tahu namanya. Lihatlah wajahnya baik-baik."Sabit Kematian pun memfokuskan tatapannya pada Panca. Sebelum turun gunung Blikar, tentunya Panca sudah mempelajari beberapa hal soal desa yang menjadi tempat misinya ini. Mendengar julukan mereka, di sini Panca menyadari bahwa orang yang ada di hadapannya adalah sekelompok bandit yang memang sering membuat onar."Apa? Benarkah dia orangnya?" celetuk Sabit Kematian, setelah dia tahu siapa yang dimaksud Kapak Tengkorak."Iya. Dia Panca. Yang kini menggemparkan dunia persilatan." Mendengarnya, Sabit Kematian pun langsung mengambil beberapa langkah sedikit di depan Kapak Tengkorak, lalu menghadapkan tubuhnya lurus ke arah Panca."Panca! Sangat bagus kau berada di sini. Kau tidak perlu repot-repot lagi melarikan diri, karena aku tidak aka
Seiring itu, Panca bangkit. Serangan telak tapak gabungan dua orang tadi cukup kuat, sehingga membuat tubuhnya lumayan kerepotan."Dua Pedang Kembar? Apa itu mereka?" batin Panca, seiring tatapannya menyorot pada dua orang tersebut."Ludaya? Ludayo?" seru Sabit Kematian. Memang benar. Dua orang berbadan ideal dengan pedang menyilang di punggungnya merupakan pendekar Dua Pedang Kembar. Seperti Sabit, mereka juga datang atas panggilan dari sinyal Kapak barusan.Ludaya dan Ludayo bukanlah nama asli mereka, melainkan nama pedang. Ludaya memiliki esensi angin, sedang Ludayo adalah api. Keduanya sama-sama merupakan pedang istimewa. Tidak heran jika pemiliknya cukup kuat."Mereka akan sampai," jawab Ludaya, si pria dengan ikat kepala putih. Rambutnya yang panjang, tampak dikucir dan tergerai hingga punggung."Itu mereka." Ludayo menimpal. Wajahnya tidak beda degan kakanya, Ludaya. Penampilan mereka pun mirip. Hanya ikat kepala merahnya yang membedakan.Dan benar saja. Satu per satu anggota
Tombak Perak pun langsung membulatkan matanya. Merasa harga diri mereka diinjak-injak. Namun, bagaimana lagi. Mereka harus mengikuti perintah Jarum Maut sebagai pemimpin kelompok. Oleh karenanya, tanpa berdebat lagi, mereka lekas melompat ke udara, berpancar sebagaimana sebelumnya, untuk menghindari sekte Bintang Merah."Dasar aneh! Datang tak diundang pulang tak ingin diantar. Bedebah sialan!"Panca yang menyaksikan hal tersebut sontak dibuat bingung. Dia sesaat memaki sebab waktunya telah terbuang sia-sia karena kelompok tersebut.Lalu sesat Panca tertegun. Dia teringat dengan ucapan warga kemarin di arena bundar dekat pasar, di mana sekte Jalak Hitam memiliki ahli lukis yang bisa menggambar sketsa hanya dengan mendengar ciri-cirinya. Hal tersebut lekas membuat Panca segera meraup mulutnya dan sedikit terkejut karena dia lupa mengenakan topeng."Cih. Bodoh sekali," gumamnya. "Tidak heran orang-orang tadi mengatakan aku buronan sekte. Kemungkinan omongan warga kemarin ada benarnya
"Lama tidak bertemu. Bagaimana keadaanmu?"Wujud sosok asap hitam itu membuat raut wajah Panca sedikit berseri. Rasa rindu yang tersimpan dalam hati, seolah terbayar dengan kedatangannya."Aku baik. Bagaimana dengamu? Kau terluka?""Tidak. Aku baik-baik saja," jawab Panca. "Tapi bagaimana kau bisa di sini? Bukankah aku memintamu untuk tetap tinggal? Bagaimana dengan guru?"Sosok asap hitam tadi bukan lain adalah Wira, siluman macan hitam taring sebelah yang merupakan sahabat Panca. Kedatangannya ke tempat itu, membuat Panca penasaran."Sialan. Pak tua galak itu menyuruhku menyusulmu. Lantas dia malah menyerahkan diri ketika orang-orang kerajaan datang menyerang goa. Padahal mudah baginya untuk meratakan semua prajurit dan bahkan jendral yang ada."Wira memanggil Ki Guntur Sakti dengan sebutan pak tua galak, karena sejak dia kecil dirawat Panca, sampai dia dewasa seperti sekarang, dia jarang sekali mendapat perlakuan lembut dari Ki Guntur Sakti. Selalu ada saja yang dijadikan alasan unt
Saat itu Wira memperlambat gerakan kakinya. Sementara Hanum jauh di depan sana, berlari dengan cepat. Namun, tidak lama Wira tidak merasakan lagi eksistensi Hanum di sekitar situ. Hal itu membuatnya segera mempercepat langkah. Dan benar saja bahwa Hanum telah menghilang.Wira pun langsung berubah ke wujud manusia. Dia menyapu pandangannya ke seluruh sisi rimba, sambil menyeru nama Hanum. Sayangnya tidak ada respon."Sial. Tidak ada jawaban," batin Wira. "Sepertinya ada yang aneh. Kata Tuan, Hanum tidak bisa kanuragan. Jika begitu, pasti ada sesuatu yang membuatnya hilang dari tempat ini."Hilangnya tiba-tiba Hanum membuat Wira curiga. Segera dia memeriksa area sekitar dan lantas menemukan eksistensi energi aneh. Energi tersebut asalnya dari cairan hijau yang menempel di beberapa daun besar di sekitar tempat itu."Apa ini?" Wira menampilkan raut wajah penasaran. Dia sejenak melakukan beberapa gerakan tangan, yang lekas membuat tangannya dilapisi oleh aura cahaya energi berwarna hitam
"Siapa orang itu? Tampaknya dia bukan pendekar biasa."Di meja tidak jauh dari pintu. Seorang berpakaian hijau-hitam, bertanya kepada rekannya. Perawakannya agak kekar, berambut panjang diikat, memegang pedang sambil tangannya menyilang di atas dada. Dari seragam yang dipakainya, dua pria di sana berasal dari sekte Pedang Kuno, yang juga merupakan perguruan terkenal di desa Jalung.Pria itu bernama Kaesan, sedangkan rekan di sampingnya bernama Barun."Entahlah, Kakak. Aura yang dirembeskannya cukup kuat. Dia begitu tenang. Bahkan jika aku yang diposisinya, sudah pasti aku tidak akan menoleransi siapa pun yang mengusikku," balas Barun."Jangan salah. Sepertinya sebentar lagi dia akan ikut dalam lingkaran pertarungan. Lihat saja."Kaesan memperhatikan Panca yang memang saat itu seperti tidak tahan lagi untuk menyerang. Namun, tiba-tiba saja seorang pria berseragam sama dengan mereka, mendekati Panca."Di sini kau rupanya?" ucap si pria itu, yang mengenakan ikat kepala biru.Suara tersebu
Sangat familier, hingga sontak mata Wira mendapati sebuah cahaya kebiruan memancar di udara dan jatuh bak meteor tidak jauh di depannya. Bunyi ledakan energi terdengar jelas, seiring hempasan angin yang cukup hebat meluas ke segala arah."Mustahil. Apa aku tidak salah lihat?" celetuk Wira. Kemudian dia berucap lirih, sedikit tertegun. "Tuan?"Di sisi lain, Huzen juga membulatkan matanya. "Apakah ini ...?"Siapa lagi kalau bukan Panca. Terlihat dengan raut tegas, Panca mengayunkan pedang, seiring percikan petir menyelimuti tubuhnya. Hanya butuh sekian detik, para binatang siluman di tempat itu terpental hingga tewas setelah menerima serangan Panca."Tuan? Tuan!"Wira berlari ke arah Panca dengan perasaan sangat senang. Huzen juga menyusul. Tanpa basa-basi Wira memeluk Panca, yang saat itu Panca terdiam sejenak dengan tidak membalas pelukannya."Tuan? Awalnya aku sangat mengkhawatirkanmu, kemudian percaya kau tidak akan kembali, aku pikir aku tidak akan bisa lepas dari merindukanmu. Dan
"KHI KHI KHI. Setelah tiga hari tidak bertemu, rupanya kau sudah mengumpulkan nyali untuk bersikap sombong. Huh. Tidak peduli betapa kerasnya kau melatih kemampuanmu. Pada dasarnya ini adalah alam kami dan manusia yang telah sampai di tempat ini, hanyalah daging segar yang pantas untuk dipanggang. KHI KHI KHI.""Jangan banyak omong," sela Panca."KHI KHI KHI. Hajar dia!"Atas perintah pemimpin makhluk neraka alam bawah, seluruh rekannya pun segera berlari ke arah Panca sambil menyeringai. Beberapa dari mereka kemudian melompat dan segera menggempur Panca dengan pedang besar bergerigi.Panca sedikit menyerong kakinya dan bergerak menghindar dengan sangat lihai, yang membuat para makhluk neraka alam bawah itu cukup terkejut. Bagaimana bisa seorang manusia yang tiga hari kemarin sangat lemah, sekarang memiliki kemampuan yang sangat baik.Para makhluk neraka alam bawah itu terus saja mengayunkan pedangnya. Namun, hingga beberapa detik berlangsung, belum ada yang membuat Panca merasa teran
Leluhur Siang lalu menoleh ke arah Tikus Api Ungu, yang membuat Tikus Api Ungu langsung mengerti. Tikus Api Ungu segera merapalkan beberapa gerakan tangan dan seketika sebilah pedang muncul setelah cahaya keunguan memancar di telapak tangannya."Ambilah. Itu untukmu," ucap Leluhur Siang.Panca agak mendelik, lalu sedikit ragu-ragu mengambil pedang tersebut. Saat Panca menyentuh gagang pedang, pedang tersebut lekas memancarkan cahaya kuning kemerahan."Pedang apa ini, Leluhur Siang?""Pedang Naga Api," jawab Tikus Api Ungu.Hal itu membuat Panca terkejut. Sebagaimana dia ketahui, bahwa Pedang Naga Api adalah salah satu pusaka kuno legendaris yang tidak pernah ada yang tahu keberadaannya. Hanya ada banyak cerita hebat soal pusaka kuno itu, yang bisa membuat para pendekar tergila-gila ingin mendapatkannya."Pedang Naga Api? Benarkah ini untukku?" Panca masih tidak peracaya bahwa dia adalah pewaris dari pusaka luar biasa tersebut. Kini dia memiliki dua pedang yang hebat. "Tentu saja. Na
"Huh. Dasar kalian." Siang Kumandala mengeluh, kemudian segera membuang tatapannya ke arah Panca. "Hey anak muda. Apa yang mereka katakan padamu? Apakah mereka juga bercerita tentang keburukanku?"Siang Kumandala tampak bewibawa dan bersahaja, bahkan kepada Panca yang belum saling kenal.Mendengarnya, Panca terdiam sejenak. Siang Kumandala pun sontak menghilang dari tempatnya dan tiba-tiba telah berada di depan Panca, yang membuat Panca terkejut."Apa yang mereka katakan padamu? Ha? Katakan! Katakan!"Panca tertegun, lalu menggeleng. "Ti-tidak. Tidak ada. Mereka hanya mengatakan hal aneh kepadaku. Mereka mengatakan bahwa aku akan menjadi majikan mereka saat ini dan aku akan mewarisi sesuatu dari majikan mereka sebelumnya."Siang Kumandala tersenyum lebar, yang lekas menampakkan gigi bersihnya. Dia pun segera menghilang dan kembali ke tempatnya tadi."Huh. Aku pikir mereka menceritakan keburukanku. Awas saja," ucap Siang Kumandala."Kami telah mengabdi ratusan tahun, bagaimanapun kondis
"Kita sekarang ada di Kuil Jiwa Leluhur, yang berada di Alam Bawah. Kedatanganmu ke sini, bukan tanpa alasan. Kau ditakdirkan langit untuk berada di sini dan mewarisi peninggalan majikan kami sebelumnya," jelas Tikus Api Ungu.Mendengar hal itu, Panca tampak berpikir. Apakah ini sama dengan Gundal Pama. Lagi dan lagi takdir menemukan Panca, dengan membawa sesuatu yang membuatnya bertanya-tanya."Alam Bawah? Kuil Jiwa Leluhur?""Ya, Majikan. Kita sekarang berada di Alam Bawah. Jiwamu terjebak di sini atas takdir yang telah ditetapkan. Mungkin sudah bertemu dengan beberapa makhluk di luar sana, sebelum masuk ke tempat ini? Mereka adalah makhluk neraka Alam Bawah."Panca pun teringat dengan para makhluk neraka tadi, membuatnya sedikit mendelik."Aku adalah Tikus Api Ungu, dia adalah Bilah Pedang Kehampaan, dan Majikan bisa memanggil monyet ini dengan sebutan Raja Kabut Hitam. Kami bertiga adalah Prajurit Dewa Alam Bawah, yang ditugaskan untuk menjaga Kuil Jiwa Leluhur ini. Warisan di dala
Jelas Panca tidak akan tinggal diam. Dia merembeskan aura kebiruan miliknya dan segera meladeni gempuran sejumlah makhluk neraka itu.SIUF BUG DUAKBeberapa jurus begitu lihai diperagakan oleh Panca. Menghindar dan menangkis, lalu membalikkan serangan dengan sangat baik. Namun, jumlah kekuatan dari makhluk neraka itu cukup besar, membuat Panca kewalahan menghadapinya.Pada satu kesempatan Panca lengah. Beberapa serangan telak dikirim pada Panca hingga akhirnya Panca terpental ke belakang dan menubruk batu besar di sana hingga retak.BRUK"Uhuk!"Panca terbatuk dan memuntahkan darah segar dari mulutnya."Sial. Mereka terlalu kuat. Aku tidak bisa seperti ini." Panca bergumam, dengan tatapan sinis menyorot ke arah para makhluk neraka.Menyadari perbedaan kekuatan yang cukup jauh, Panca pun segera berbalik dan melesat ke atas batu besar, untuk kemudian melarikan diri."KHI KHI KHI. Kau pikir kau akan lari ke mana?" ujar pemimpin kelompok itu. Segera dia meminta rekannya untuk mengejar Panc
Butuh waktu beberapa detik untuk Wira mengumpulkan kesadarannya dan segera mendengar dengan jelas seruan Huzen."Tuan! Tuan!"Setelah sadar, Wira sontak berdiri dan menatap danau lahar di sana. Huzen yang takut Wira nekat untuk melompat, tampak menggenggam erat tangan Wira."Wira? Tenangkan dirimu. Tenangkan dirimu!" ujar Huzen.Lalu perlahan Wira mulai tenang. Dia pun tanpa ragu segera menangis, walau padahal hal itu pantang dilakukan oleh Wira, apalagi di depan orang lain.Tidak ada yang mau berkomentar dengan sikap Wira. Mereka juga sama-sama merasakannya. GGRRRRTempat itu kembali berguncang. Seiring itu, Gundal Pama terlihat mendongakkan wajahnya, menatap langit-langit yang sudah kehilangan banyak bagiannya."Sebaiknya kita bergegas. Aku takut, langit-langit itu akan runtuh dan akan berefek pada lorong ini," ucap Gundal Pama.Mendengarnya, Wira menolak dan ingin tetap di sana saja. Hal itu membuat Huzen terpaksa harus menotok Wira atas perintah isyarat dari Tetua Kalingga dan me
Panca meminta Hayati untuk tetap tenang. Hayati hanya mengangguk, sama sekali tidak menunjukkan raut wajah panik.Hayati pun terpikirkan suatu ide, yang mana dia akan memanggil binatang roh Merak Api miliknya, untuk membawa mereka dari situ."Baiklah," balas Panca.Segera Hayati merapalkan gerakan tangan, yang membuat tubuhnya seketika diselimuti oleh cahaya aura merah api. Dan tidak berlangsung lama, sebuah cahaya jingga memancar tidak jauh di atas mereka berdua. Seiring itu, Merak Api milik Hayati muncul sambil melebarkan sayapnya.Orang-orang yang berada di seberang tampaknya mulai tenang. "Ayo naik," minta Hayati. Panca hanya mengangguk dan lekas melompat ke punggung sang Merak Api. Rintangan belum sampai di situ, karena setelah Merak Api itu mengepakkan sayapnya menuju tempat Gundal Pama dan lainnya, mereka harus menghindari reruntuhan langit-langit yang jatuhnya semakin parah. Di seberang sana mereka juga menjadi panik, karena tempat tersebut tidak lama akan hancur."Hati-hati
Kembali ke Panca dan lainnya. Saat ini mereka tengah melewati tempat yang cukup luas, yang di beberapa titik terdapat danau lahar. Panca, Wira, Huzen, dan Tetua Kalingga, berjalan dengan tubuh diselimuti oleh cahaya aura, agar tubuh mereka tidak terkena hawa panas secara langsung. Sebab bukan berasal dari suku Cuanci, sehingga apabila berjalan tanpa pelindung, maka tidak menjamin bahwa kulit mereka akan tahan dengan panas di sana.Panca saat itu tampak diselimuti aura kebiruan, Huzen hijau, Wira hitam keunguan, serta Tetua Kalingga kuning keemasan."Berapa lama lagi?" tanya Wira."Seharusnya sebentar lagi kita akan menemukan lorong yang terhubung dengan sungai Lengkeng. Sungai Lengkeng ada di hutan Anjir, tidak jauh berjarak dengan Gunung Kabut Es," jelas Gundal Pama.Namun, saat asyik berjalan, seketika eksistensi kekuatan para kelompok tadi dirasakan oleh Panca, yang membuat Panca meminta mereka segera waspada.SIUUUFPanca mandelik dan sontak berbalik. Beberapa serangan cahaya mer