Di tengah cahaya senja yang menyelinap masuk ke dalam ruangan, Nathaniel bersama dengan keluarganya dan juga Isabella duduk bersama di ruang keluarga. Suasana terasa begitu hangat dan akrab. Isabella begitu menikmati momen di mana dia semakin dekat dengan keluarga Nathaniel, sepertinya dia memang sudah mendapat golden tiket untuk bisa menjadi mempelai pemuda itu.
Isabella bahkan seperti sudah menjadi bagian dari keluarga ini, merasa disambut dan diterima dengan tulus oleh Gabriel, Camilia, dan Elena. Nathaniel yang duduk di sampingnya juga terlihat lebih rileks dan bahagia, terlepas dari semua peristiwa yang baru saja dia alami.
Mereka menghabiskan waktu dengan saling bercerita dan tertawa, sambil berbagi pengalaman dan kenangan. Gabriel juga sempat iseng, menunjukkan foto-foto dari masa kecil Nathaniel yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Sementara Camilia juga membagikan kisah dari konser-konsernya di seluruh dunia. Di antara obrolan seru itu, Nathaniel dan
Isabella melajukan mobilnya melalui jalan yang lengang, ia tersenyum sendiri saat memikirkan momen indah yang baru saja dialaminya bersama Nathaniel. Suasana malam yang tenang dan langit yang cerah di bawah sinar rembulan seolah menjadi cerminan perasaannya. Di tengah perjalanan, lagu-lagu romantis di playlist menambah nuansa berbunga-bunga di hatinya. Saat mobil melintasi sebuah pepohonan yang menjulang tinggi, Isabella merenung, membiarkan ingatannya melayang ke momen-momen manis yang baru saja dia lewati bersama Nathaniel. Isabella merasa beruntung karena memiliki seseorang seperti Nathaniel di hidupnya. Dalam benaknya, dia bersyukur atas setiap detik yang mereka habiskan bersama, dan dia tidak sabar untuk menemukan momen-momen indah lainnya di masa depan. Lamunannya buyar saat tiba-tiba terdengar suara dering ponselnya. Isabella segera mematikan musik yang sejak tadi mengalun, lalu beralih mengangkat panggilan telepon melalui perangkat di mobilny
Nathaniel turun dari mobilnya di depan sebuah kedai kopi kecil di pusat kota. Dia merapatkan topi dan masker untuk menutupi wajahnya, mencoba mempertahankan sedikit privasinya di tengah-tengah perjuangannya melawan tuduhan yang tak berdasar yang belakangan ini tertuju padanya. Dengan langkah cepat, dia melangkah ke kedai yang lengang.Di dalam, Felix sudah menunggu di salah satu sudut ruangan sambil mengetik sesuatu di laptopnya. Nathaniel menghampiri meja tempat temannya itu duduk dengan ekspresi campur aduk. Sebuah tawa kecil terlepas dari Felix begitu Nathaniel melepas maskernya.“Tadi kukira kau siapa,” ucap Felix yang melihat penampilan aneh Nathaniel. Sementara Nathaniel hanya bisa menghela napas panjang, “Aku sudah tidak bebas pergi ke mana-mana seperti sebelumnya,” keluhnya.Felix mengangguk mengerti, “Kau pasti trauma dengan insiden penyerangan sebelumnya.”Nathaniel hanya tersenyum tipis, namun dalam hatinya m
Emilia mengangguk, namun ekspresinya masih penuh dengan kekhawatiran. “Aku paham, Nate. Tapi aku mohon pertimbangkan lagi dampak hubunganmu dengan Isabella— terhadap masa depannya sebagai seorang penulis. Aku harap kau bisa mengambil langkah yang tepat untuk menjaga Isabella dan juga karirnya.”“Nathaniel, jika kau benar-benar mencintai Isabella, kau harusnya tidak merugikannya,” tambah Eleanor.Nathaniel merasa tertekan oleh kata-kata yang dilontarkan Emilia dan Eleanor. Pikirannya dipenuhi kebimbangan atas desakan dua orang wanita yang dekat dengan Isabella tersebut.“Maafkan aku, Nate. Aku tahu kalian saling mencintai, tapi aku juga ingin melindungi Isabella. Aku mohon, tolong menjauhlah dari Isabella,” ucap Emilia pada akhirnya.Nathaniel merasa seolah-olah dunia sekelilingnya berhenti berputar. Dia bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Di satu sisi, dia mencintai Isabella dengan sepenuh hati dan tidak ingin kehilangannya. Namun, di sisi lain, d
Setelah mengemudi lebih dari tiga jam, Nathaniel akhirnya memberhentikan mobil di sebuah pelataran pantai yang sepi. Dia terlihat lelah, dan begitu mesin mobil dimatikan, dia sedikit menggeliat untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku.“Aku belum pernah menyetir selama ini, punggungku sakit,” kata Nathaniel sambil mengusap punggungnya yang terasa pegal.Isabella tertawa kecil melihat keluhan Nathaniel. “Tidak ada yang memintamu menyetir sejauh ini,” katanya dengan nada menggoda.Nathaniel hanya tersenyum, merasa lega meski tubuhnya terasa lelah. “Aku ingin melihat pantai,” katanya sambil berniat membuka pintu mobil. Namun, Isabella dengan cepat mencegahnya. “Tunggu,” kata Isabella sambil meraih topi yang ada di dasbor.Isabella dengan lembut memasangkan topi tersebut di kepala Nathaniel, lalu meraih masker dan memakaikan itu di wajah Nathaniel. “Jangan sampai orang mengenalimu,” katanya dengan sen
“Sudah gelap, lebih baik kita pulang sekarang,” kata Nathaniel, mencoba menarik tangan Isabella untuk kembali ke mobil. Namun, Isabella menahannya. “Aku tidak ingin pulang,” katanya dengan suara malas.Nathaniel sedikit terkejut. “Kenapa?”Isabella menatap ke arah laut yang gelap, raut wajahnya penuh dengan kekecewaan. “Aku masih marah pada ibuku. Jika aku pulang, aku hanya akan bertengkar dengannya.”Nathaniel menghela napas, merasakan beban yang ada di bahu Isabella. “Jangan bertengkar dengan ibumu hanya karena aku,” kata Nathaniel, mencoba meyakinkan Isabella.Isabella menatap Nathaniel dengan ekspresi campur aduk. “Bukan karenamu, Nate. Tapi karena ibuku,” jelasnya.Melihat kekecewaan di wajah Isabella, Nathaniel ingin tahu lebih banyak. “Ibumu seperti apa?”“Ibuku selalu begitu, mudah sekali terpengaruh oleh omongan orang,” ungkap Isabella, s
“Bukankah foto Olivia yang beredar di media sudah diblur? Bagaimana kau bisa menemukan identitas aslinya?” Nathaniel penasaran.“Aku terus mencari sumber di beberapa media, dan ternyata ada yang mungkin terlewat tidak diblur, jadi aku bisa memanfaatkan itu untuk segera melacaknya,” jelas Felix.Nathaniel mengangguk, “Terima kasih, Felix. Ini sangat berarti bagiku.”“Tak perlu berterima kasih. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita bisa menyelesaikan masalah ini dan membersihkan namamu,” jawab Felix.“Kita perlu menghubungi pengacara dan membawa bukti ini ke pihak berwenang. Olivia harus bertanggung jawab atas tindakannya,” ucap Isabella tegas.Mereka bertiga kemudian berdiskusi lebih lanjut tentang langkah-langkah yang akan diambil. Mereka kemudian melanjutkan dengan makan malam bersama, menikmati momen tenang setelah percakapan yang penuh emosi dan perencanaan yang serius. Namun, ket
Nathaniel terbangun dari tidurnya dengan sekujur tubuh pegal. Dia menatap sekeliling, baru sadar jika dia tertidur dengan posisi duduk, dan Isabella bersandar di bahunya. Pantas saja dia sangat lelah. Perlahan, Nathaniel memegangi kepala Isabella, lalu bangkit dengan hati-hati. Dia merebahkan tubuh Isabella di sofa, memastikan kekasihnya itu tidur dengan nyaman.“Tidurmu nyenyak sekali,” bisik Nathaniel sambil merapikan anak rambut Isabella. Kemudian, dia bangkit perlahan dan berjalan menuju dapur, berniat untuk menyiapkan sarapan.Namun, tiba-tiba ada tangan yang meraih pergelangannya. Nathaniel menoleh dan melihat Isabella yang masih mengantuk, memegangi tangannya.“Maaf, apa aku membuatmu terbangun?” tanya Nathaniel dengan suara lembut.Isabella menggeleng pelan. “Aku masih ngantuk,” jawabnya.“Tidurlah lagi, aku akan siapkan sarapan,” kata Nathaniel sambil tersenyum.Isabella mengangguk dan
Nathaniel masih diam, masih terkejut. “Apa kau benar putri paman Julian?” Nathaniel memastikan.“Ya,” kata Olivia dengan suara penuh kebencian. “Kau mendapatkan perhatian dan kasih sayang yang seharusnya milikku. Kau tahu bagaimana rasanya hidup tanpa ayah, sementara kau mendapatkan semua perhatian dari ayahku?”“Olivia, aku dan Nate sama sekali tidak tahu menahu perihal Paman Julian yang memiliki istri dan anak. Dan menurutku, sangat tidak adil jika kau melampiaskan kebencianmu pada Nate,” protes Isabella.“Aku tidak peduli, aku tidak bisa hanya diam melihat kalian bahagia,” kata Olivia dengan suara penuh kebencian.“Olivia, aku mengerti bahwa kau terluka, tapi bukankah seharusnya kau menyelesaikan masalah ini dengan paman Julian langsung?” kata Isabella, merasa kesal dengan sikap Olivia.“Aku tahu ayahku sangat menyayangi Nate, dan aku akan menghancurkannya agar ayahku
Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan
Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin
Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga
Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila
Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.
Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”
Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s
Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela