Isabella merasa lega melihat hubungannya dengan Nathaniel semakin dekat setiap harinya. Pekerjaannya di BelleVue Books juga berjalan lancar. Ia menulis novel dengan begitu mengalir, dan semua itu tentu berkat bantuan dan dukungan dari Nathaniel. Semua tampaknya berjalan baik-baik saja, dan Isabella merasa bahagia dengan arah hidupnya saat ini. Namun, sangat disayangkan karena Isabella terlalu terlena dengan kehidupan yang damai sebelumnya. Hingga dia tidak siap saat melihat guncangan yang ada di hadapannya.
Dan saat ini, Isabella tercengang cukup lama saat melihat ponselnya, memerhatikan headline beberapa portal berita dipenuhi dengan kabar tentang keluarga Alexander. Di antara judul-judul yang memenuhi internet, semuanya didominasi oleh informasi tentang Elena Alexander—yang ternyata adalah ibu kandung Nathaniel, bukan kakak Nate seperti yang selama ini diketahui oleh publik.
Yang membuat Isabella tercekat adalah banyaknya berita yang melebih-lebihkan dan t
Setelah beberapa hari belalu, Nathaniel memilih untuk mengabaikan segala yang tertulis dan tersebar di internet. Meskipun Elena telah melakukan konferensi pers dan menjelaskan segalanya, media tampaknya tidak puas dan terus menggoreng pembahasan tentang keluarga Alexander. Yang paling menyedihkan dari semua berita di media adalah munculnya foto-foto Nathaniel yang dijebak oleh Jane sebelumnya. Foto-foto itu tidak hanya merusak reputasinya, tetapi juga menggiring persepsi buruk terhadapnya di mata publik. Isabella penasaran siapa sebenarnya yang menyebarkan foto tersebut, mengingat jika Henrik sudah mendekam di tahanan. Isabella semakin gelisah melihat Nathaniel harus menerima hujatan dari netizen setiap hari, sementara dia sendiri merasa tidak bisa berbuat banyak untuk membantu. Yang bisa Isabella lakukan saat ini hanya memberikan Nathaniel lebih banyak perhatian, meyakinkan pemuda itu jika dia tidak sendiri menghadapi semua masalah di hadapannya. Saat ini, Nathaniel
Isabella dan Nathaniel berhenti berlari saat mereka tiba di salah satu lorong jalanan yang sepi. Setelah memastikan situasi aman, Isabella menoleh pada Nathaniel lalu membantunya duduk di salah satu emperan toko yang tutup. Pemuda itu terlihat kacau, darah terus mengalir dari kepalanya, wajahnya pucat dan sekujur tubuhnya gemetar. Isabella segera menyingkirkan rambut Nathaniel dari wajahnya, mencoba untuk melihat keadaannya dengan lebih jelas. Melihat napas Nathaniel yang tersengal-sengal, Isabella semakin khawatir. “Nate, bagaimana perasaanmu?” tanya Isabella cemas. “Kurasa kita harus cepat pergi ke rumah sakit, kau masih sanggup jalan? Kita terpaksa ambil jalan memutar, karena di depan masih banyak massa yang mengamuk.” Isabella menggenggam tangan Nathaniel dengan erat. Nathaniel tak menganggapi ucapan Isabella, kepalanya menunduk— dia seolah masih sibuk mengatur napasnya sendiri. Isabella makin cemas melihat itu. “Nate? Apa yang kau rasakan? Apa kau sulit bernapas
Setelah berpamitan, Felix, Luciana, Mia dan Clara meninggalkan rumah sakit menuju rumah masing-masing. Isabella kembali duduk di ruang tunggu. Dia teringat bahwa dia harus memberi tahu Elena tentang kondisi Nathaniel. Elena pasti akan ingin tahu apa yang terjadi pada putranya. Dengan cepat, Isabella mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Elena. Setelah beberapa kali deringan, akhirnya Elena mengangkat teleponnya. “Halo, Isabella. Ada apa?” “Halo, Bibi. Maaf mengganggu malam-malam begini. Aku ingin memberi tahu bahwa Nate sedang dirawat di rumah sakit. Ada insiden tak terduga yang membuat Nate terluka cukup serius.” Elena terdiam sejenak, tampak terkejut dengan kabar tersebut. “A—apa yang terjadi? Apa yang terjadi, Bella? Bagaimana kedaan Nate sekarang?” suara Elena terlihat terbata-bata, seolah perempuan itu sedang menangis sekarang. Isabella menjelaskan secara singkat tentang kondisi Nathaniel dan tindakan medis yang telah diambil o
“Isabella, maaf mengganggumu malam-malam begini. Aku hanya ingin menanyakan tentang Nate, belakangan ini aku sama sekali tidak bisa menghubunginya,” ucap Julian. Sebelum Isabella bisa menjawab, ponselnya lebih dulu direbut oleh Elena yang langsung mengambil alih percakapan, “Katakan yang sebenarnya, Julian. Apa kau orang yang sudah membocorkan rahasia keluarga kami pada media?” Suara Julian terdengar terkejut, namun dia berusaha tetap tenang, “Elena, kau kah itu?” “Ya ini aku,” jawab Elena dengan suara tegas. “Elena, kenapa kau berpikir seperti itu? Mungkin aku memang mengetahui rahasia keluarga kalian, tapi apa kau pikir aku sanggup melakukannya?” “Baiklah, jika kau memang tidak melakukannya. Tapi aku akan tetap mencari tahu, siapa dalang yang sudah membuat kekacauan ini— bahkan membuat Nate celaka. Aku pastikan tidak akan melepaskan orang itu,” ucap Elena. Suaranya terdengar mantap. Julian terdiam sejenak,
Di tengah cahaya senja yang menyelinap masuk ke dalam ruangan, Nathaniel bersama dengan keluarganya dan juga Isabella duduk bersama di ruang keluarga. Suasana terasa begitu hangat dan akrab. Isabella begitu menikmati momen di mana dia semakin dekat dengan keluarga Nathaniel, sepertinya dia memang sudah mendapat golden tiket untuk bisa menjadi mempelai pemuda itu. Isabella bahkan seperti sudah menjadi bagian dari keluarga ini, merasa disambut dan diterima dengan tulus oleh Gabriel, Camilia, dan Elena. Nathaniel yang duduk di sampingnya juga terlihat lebih rileks dan bahagia, terlepas dari semua peristiwa yang baru saja dia alami. Mereka menghabiskan waktu dengan saling bercerita dan tertawa, sambil berbagi pengalaman dan kenangan. Gabriel juga sempat iseng, menunjukkan foto-foto dari masa kecil Nathaniel yang membuat mereka tertawa terbahak-bahak. Sementara Camilia juga membagikan kisah dari konser-konsernya di seluruh dunia. Di antara obrolan seru itu, Nathaniel dan
Isabella melajukan mobilnya melalui jalan yang lengang, ia tersenyum sendiri saat memikirkan momen indah yang baru saja dialaminya bersama Nathaniel. Suasana malam yang tenang dan langit yang cerah di bawah sinar rembulan seolah menjadi cerminan perasaannya. Di tengah perjalanan, lagu-lagu romantis di playlist menambah nuansa berbunga-bunga di hatinya. Saat mobil melintasi sebuah pepohonan yang menjulang tinggi, Isabella merenung, membiarkan ingatannya melayang ke momen-momen manis yang baru saja dia lewati bersama Nathaniel. Isabella merasa beruntung karena memiliki seseorang seperti Nathaniel di hidupnya. Dalam benaknya, dia bersyukur atas setiap detik yang mereka habiskan bersama, dan dia tidak sabar untuk menemukan momen-momen indah lainnya di masa depan. Lamunannya buyar saat tiba-tiba terdengar suara dering ponselnya. Isabella segera mematikan musik yang sejak tadi mengalun, lalu beralih mengangkat panggilan telepon melalui perangkat di mobilny
Nathaniel turun dari mobilnya di depan sebuah kedai kopi kecil di pusat kota. Dia merapatkan topi dan masker untuk menutupi wajahnya, mencoba mempertahankan sedikit privasinya di tengah-tengah perjuangannya melawan tuduhan yang tak berdasar yang belakangan ini tertuju padanya. Dengan langkah cepat, dia melangkah ke kedai yang lengang.Di dalam, Felix sudah menunggu di salah satu sudut ruangan sambil mengetik sesuatu di laptopnya. Nathaniel menghampiri meja tempat temannya itu duduk dengan ekspresi campur aduk. Sebuah tawa kecil terlepas dari Felix begitu Nathaniel melepas maskernya.“Tadi kukira kau siapa,” ucap Felix yang melihat penampilan aneh Nathaniel. Sementara Nathaniel hanya bisa menghela napas panjang, “Aku sudah tidak bebas pergi ke mana-mana seperti sebelumnya,” keluhnya.Felix mengangguk mengerti, “Kau pasti trauma dengan insiden penyerangan sebelumnya.”Nathaniel hanya tersenyum tipis, namun dalam hatinya m
Emilia mengangguk, namun ekspresinya masih penuh dengan kekhawatiran. “Aku paham, Nate. Tapi aku mohon pertimbangkan lagi dampak hubunganmu dengan Isabella— terhadap masa depannya sebagai seorang penulis. Aku harap kau bisa mengambil langkah yang tepat untuk menjaga Isabella dan juga karirnya.”“Nathaniel, jika kau benar-benar mencintai Isabella, kau harusnya tidak merugikannya,” tambah Eleanor.Nathaniel merasa tertekan oleh kata-kata yang dilontarkan Emilia dan Eleanor. Pikirannya dipenuhi kebimbangan atas desakan dua orang wanita yang dekat dengan Isabella tersebut.“Maafkan aku, Nate. Aku tahu kalian saling mencintai, tapi aku juga ingin melindungi Isabella. Aku mohon, tolong menjauhlah dari Isabella,” ucap Emilia pada akhirnya.Nathaniel merasa seolah-olah dunia sekelilingnya berhenti berputar. Dia bingung dengan apa yang harus dilakukannya. Di satu sisi, dia mencintai Isabella dengan sepenuh hati dan tidak ingin kehilangannya. Namun, di sisi lain, d
Sore itu, Nathaniel melangkah keluar dari kantor dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan jelas kemarahan dan frustrasi. Pertengkarannya dengan Isabella tadi masih terasa panas di benaknya. Ketika Isabella mencoba mengikutinya, Nathaniel berusaha untuk tidak memperdulikannya.“Nate, tunggu!” panggil Isabella sambil mempercepat langkahnya untuk mengejar Nathaniel yang sudah berada di depan pintu utama.Nathaniel menghentikan langkahnya sejenak, namun tidak berbalik. “Apa?” suaranya terdengar dingin dan tegang.Isabella mendekat, meraih lengan Nathaniel. “Aku minta maaf soal tadi. Aku hanya kesal karena kau terus menerus menerima pesan dari Olivia,” katanya, suaranya merendah, berusaha menenangkan suasana.Nathaniel menatap Isabella dengan tajam, melepaskan tangannya dari genggaman Isabella. “Olivia yang mengirimiku pesan, Isabella. Bukan aku. Kenapa kau harus cemburu karena hal itu?”Isabella menghela napas, mencoba mengendalikan emosinya. “Karena aku merasa dia hanya mencari alasan
Nathaniel dan Isabella duduk berdampingan di ruang kerja mereka, suasana penuh dengan semangat dan produktivitas. Mereka telah menghabiskan beberapa minggu terakhir dengan bekerja keras, dan kini Isabella baru saja menulis penutup untuk novelnya. Ia merasa lega dan antusias untuk menunjukkan hasil kerjanya kepada Nathaniel.“Nate, bagaimana menurutmu?” Isabella bertanya, suaranya penuh harap sambil menatap layar komputer yang menampilkan paragraf akhir dari novelnya.Nathaniel yang sedang sibuk dengan catatannya, menggeser kursinya lebih dekat ke layar Isabella. Ia membaca dengan cermat setiap kata, matanya fokus pada kalimat-kalimat terakhir yang menggambarkan penyelesaian cerita.Isabella tersenyum, menikmati momen ini karena posisi Nathaniel yang sekarang sangat dekat dengannya. Kehangatan tubuhnya terasa nyaman di sebelahnya, membuat jantungnya berdetak sedikit lebih cepat.Melihat peluang yang tak ingin dilewatkan, Isabella perlahan melin
Nathaniel kesal mendengar ucapan Gabriel. “Ayah, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu apa yang kulakukan. Kau tidak bisa memaksaku untuk meninggalkan Isabella. Kita harus mencari solusi, bukan menambah masalah.”Isabella yang duduk mendengarkan pertengkaran itu dengan cemas, akhirnya berdiri. Hatinya terasa campur aduk, antara perasaan bersalah dan keinginan untuk mendukung Nathaniel. Dia berjalan mendekat, menatap Nathaniel dengan tatapan lembut.“Nate, tenanglah,” katanya dengan suara lembut, meski berusaha keras menahan emosinya. “Aku tahu ini sulit, tapi kita tidak akan mendapatkan solusi dengan bertengkar seperti ini.”Nathaniel menatap Isabella. Perlahan, dia menghela napas dan menurunkan suaranya. “Maafkan aku,” katanya dengan nada lebih tenang, mencoba meredam emosinya.Gabriel masih tampak tegang, wajahnya kaku dengan emosi yang bergolak. Nathaniel kembali duduk di samping Isabella, yang segera mengg
Pagi itu, sinar matahari menerobos tirai tipis jendela kamar Isabella, menerangi ruangan dengan kehangatan yang lembut. Udara pagi yang segar merayap masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, menambah semangat baru untuk hari yang penting. Isabella berdiri di depan cermin kamarnya, merapikan gaun putih sederhana yang dipilihnya. Gaun itu memberikan kesan elegan namun rendah hati, sesuai dengan niatnya hari ini.Di sisi lain rumah, Emilia sedang merapikan rambutnya di depan cermin di kamar tidur. Wajahnya kini tampak sedikit tegang. Hari ini, dia akan melakukan sesuatu yang belum pernah dia lakukan seumur hidupnya: meminta maaf kepada keluarga selebriti. Emilia tahu jika mungkin ini akan lebih sulit dari yang dia bayangkan, tapi setidaknya dia akan berusaha demi putrinya.“Ibu, kau sudah siap?” Suara Isabella memecah keheningan, membawa Emilia kembali dari lamunannya. Isabella berdiri di ambang pintu, menatap ibunya dengan senyum lembut namun penuh doronga
Di salah satu sudut tenang café yang berada tidak jauh dari jantung kota, Nathaniel duduk sendirian di meja kecil yang dikelilingi oleh dekorasi kayu dan lampu-lampu hangat yang menambah nuansa damai. Sambil menunggu kedatangan Olivia, ia meraih ponselnya dari saku, melihat layar penuh dengan pesan dari Isabella. Senyum tipis mengembang di wajahnya ketika ia membaca pesan-pesan itu yang kebanyakan tak begitu penting itu.Isabella, kau masih sakit. Harusnya banyak istirahat. Jangan melulu menggunakan ponselmu.Nathaniel mengirim pesan tersebut. Tak lama kemudian balasan dari Isabella masuk.Aku merasa bisa cepat sembuh jika aku terus terhubung denganmu.Sebelum Nathaniel sempat membalas pesan itu, terdengar suara dering keras dari ponselnya. Ia melihat nama Isabella muncul di layar sebagai panggila
Isabella baru saja berbaring— siap untuk tidur setelah hari yang melelahkan di rumah sakit. Namun, tiba-tiba ponselnya berdering. Nada dering yang familiar membuatnya meraih ponsel di meja samping tempat tidur, dan melihat nama Nathaniel yang terpampang di layar membuat kantuknya sirna seketika.Isabella segera menjawab telepon itu, senyum terbentuk di wajahnya. “Halo, Nate,” sapanya semangat. “Halo, Isabella,” suara Nathaniel terdengar agak ragu. “Apa aku mengganggumu? Sudah larut.”Isabella tertawa kecil. “Tentu tidak, Sayang. Aku selalu rindu mendengar suaramu.”Nathaniel tertawa pelan, suara tawanya terdengar sedikit lega.“Aku serius, Nate,” lanjut Isabella dengan nada setengah menggoda. “Jangan tertawa.”“Baiklah, aku tidak akan tertawa lagi,” jawab Nathaniel dengan nada yang lebih serius, meski senyuman masih terasa dalam suaranya.
Nathaniel menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. “Aku tahu ini tidak mudah, tapi kita harus mencoba. Isabella dan aku... kami saling mencintai, dan kami berhak mendapatkan kesempatan.”Elena menggigit bibirnya, tampak bimbang sejenak sebelum menegakkan punggungnya lagi. “Cinta tidak selalu cukup, Nate. Kadang ada hal-hal yang lebih penting dari perasaan itu.”“Apa yang lebih penting?” Nathaniel menatap Elena.Tepat saat itu, beberapa wartawan muncul, mengelilingi mereka di parkiran. Kilatan kamera dan rentetan pertanyaan yang mendesak membuat suasana semakin kacau.“Bagaimana kelanjutan hubungan Anda dengan Isabella setelah kecelakaan sebelumnya?”“Nathaniel, bukankah hubunganmu dengan keluarga Isabella sedang tidak baik?”“Nathaniel, bagaimana tanggapan Anda tentang situasi ini?”“Apakah ini terkait dengan skandal sebelumnya?”
Emilia mengingat bagaimana kelakuannya hingga membuat berita di media makin panas, menambahkan api ke situasi yang sudah kacau. Dia tahu bahwa dia paling merugikan Nathaniel, yang sebenarnya tidak pernah berbuat salah apa pun padanya. Dengan rasa bersalah yang menyelimuti, Emilia melangkah mendekat, wajahnya menunduk, merasa tak berdaya di hadapan dua orang muda yang telah dia sakiti.Nathaniel dan Isabella melepaskan pelukan mereka dengan perasaan hangat namun canggung. Nathaniel menoleh ke arah Emilia yang terus menatapnya dengan ekspresi serius.“Nate, bisa kita bicara sebentar?” tanya Emilia dengan ekspresi agak ragu. Nathaniel terkejut oleh permintaan itu, merasa resah, mengingat penolakan Emilia sebelumnya. Ia ragu-ragu sebelum akhirnya bertanya, “Kita bicara di luar?”Emilia mengangguk. Isabella, yang memperhatikan mereka, memberikan senyuman yang meyakinkan kepada Nathaniel, mencoba menenangkannya. “Semuanya akan baik-baik s
Hugo memandang Emilia dengan mata penuh kebencian. “Aku tidak akan pergi kecuali kau mentransfer uang padaku sekarang. Aku butuh uang itu, dan aku tahu kalian bisa memberikannya.”Emilia tersentak, hampir tidak percaya dengan sikap Hugo yang tidak tahu malu. “Uang? Kau datang ke sini untuk meminta uang? Ini rumah sakit, Hugo! Isabella sedang sakit, dan kau hanya memikirkan dirimu sendiri!”Hugo menyeringai sinis, melipat tangan di dadanya. “Ya, aku butuh uang itu. Dan aku tidak akan pergi sampai kau memberikannya.”Isabella menatap ayahnya penuh kebencian. “Kau benar-benar tidak punya hati, Ayah. Aku tidak akan memberikan apa pun padamu. Keluar dari sini!”Emilia akhirnya bangkit dari tempat duduknya, tubuhnya gemetar karena marah. “Keluar, Hugo. Sekarang juga!” teriak Emilia, matanya menyalak dengan kemarahan yang tertahan terlalu lama.Wajah Hugo berubah merah karena marah, pria itu mela