Bruaaakkk!
Terdengar suara pintu yang dibanting keras. Buru-buru Salsa menghampiri. Dai tak menyangka jika Romy sudah datang dan pintu rumah lupa belum dia kunci sepertinya.
Tampak ragu Salsa saat ingin menyusul ke dalam kamar. Sejenak dia terdiam dengan napas yang tertahan. Lalu dia mengurungkan niat untuk mengetuk pintu. Salsa lebih memilih menuju dapur.
"Sebaiknya aku buatkan es sirup aja," ucapnya lirih.
Salsa bergegas membawa secangkir gelas menuju kamar Romy.
Tok tok tok!
"Mas Romy! Aku buatkan minuman nih."
Tetap tak ada jawaban yang terdengar. Salsa pun memberanikan diri untuk menarik handle pintu kamar Romy. Lalu melangkah lambat menghampiri Romy.
"Mas Romy kenapa? Ehhhh ... ini aku buatkan es sirup."
Salsa menyodorkan pada Romy, yang hanya melirik sekilas.
"Bisa enggak, kamu jangan ganggu aku!"
"Maksud Mas apa? Apa aku ada salah?"
Salsa pun duduk di sebelahnya. Romy menoleh dan menata
"Adrian, terima kasih untuk semuanya. Kamu orang yang selalu hadir pertama kali setiap aku membutuhkan seseorang.""Mungkin kita memang berjodoh?"Amelia memukul lengan kokoh Adrian pelan."Apa pun keadaannya, makasih. Kamu lakukan semua ini penuh ketulusan buat aku.""Kalau aku tidak tulus, bagaimana?""Entahlah. Bagiku, kamu terlihat tulus dan aku tak peduli selebihnya alasan kamu."Senyum Adrian mengembang lebar. Baru kali ini dia mendapatkan jawaban yang menurut dia terdengar indah di telinganya."Rumah ini lama kosong, Mel. Hanya Pak Sadi dan istrinya yang menempati, karena buat bersih-bersih. Tapi setidaknya kamu nyaman di sini. Kalau enggak biar kita cari lagi rumah yang lain."Amelia menahan lengan Adrian. Keduanya terhenti dengan posisi saling berhadapan."Ada yang salah, Mel?"Dia tak menjawab pertanyaan Adrian. Amelia berjinjit tinggi dengan kedua tangan yang berpegangan pada lengan kokoh Adrian.
"Ta-tapi, Adrian. Aku ini terlalu banyak masalah dalam hidupku. Aku ini tak pantas membebani dirimu dengan semua keluh kesahku. Dan lagi aku sudah terbiasa sendiri. Iya ... sendiri.""Bukankah hidup ini memang dipenuhi oleh masalah, Mel?"Amelia tak bisa berkata-kata. Selain menatap wajah tampan Adrian, yang saat ini di matanya, terlihat begitu teduh dan penuh wibawa."Kenapa? Terpesona denganku lagi?"Sontak kalimat itu membuat Amelia tergelak. Baginya Adrian selalu mampu membuat hatinya kembali cerah dan bersemangat. Serasa dirinya hidup kembali."Kenapa senyum-senyum sendiri?""Enggak apa-apa," jawab Amelia tersenyum."Kamu nyaman di kota ini?""Sangat nyaman, Adrian. Enggak jauh dari Surabaya dan Malang. Pas di tengah."Adrian mengulurkan tangannya pada Amelia."Ayo!""Ke-ke mana?""Cari makan, Mel.""Yuk, ahh. Aku juga lapar nih."Mereka segera menuju teras depan. Pak Sadi da
Cintaku belum tentu cintanya. Rinduku pun belum tentu juga rindunya.Cinta pun bagai ruang dan waktu, yang bisa dalam sekejap menghilang. Melupakan diriku, mungkin juga dirimu.Mungkin cinta harus teruji dengan perpisahan. Sedang bagiku cinta tak perlu diuji. Karena cinta sendiri sebuah kenyamanan yang memberikan kebahagiaan. Bukan untuk merasakan kesendirian yang tak bertepi. Atau juga merasa tersiksa oleh penantian yang tak kunjung datang.Bagiku semua itu bukan CINTA!Cinta ketulusan hati memperebutkan dan mempertahankan sampai kapan pun. Bahkan saat maut taruhannya. Itu cinta menurutku. Tak saling menyakiti dan tersakiti.Saat perasaan nyaman itu terselami, hingga kau tak ingin berpisah dengannya. Ikutilah kata hatimu. Mungkin itulah cintamu yang sebenarnya!_OOO_Saat dua hati yang harusnya bertemu. Kehendak takdir Illahi berkata lain. Saat Romy memasuki rumah makan itu. Di saat yang sama,
"Berarti, Om Adrian mau menikah sama Mama?""Haaaaahhh???"Amelia menghentikan langkahnya. Lalu berjongkok dan memegang kedua bahu Dita. Membuat kedua manik mata mereka saling bertemu."Apa, Om Adrian mau jadi Papa Dita, Ma?"Dia berusaha untuk tersenyum. Dan mulai mengajak Dita bicara dari hati ke hati."Masuk kamar dulu yuk! Mau?"Gadis cilik itu mengangguk. Amelia menuntunnya dan duduk di atas kasur."Om Adrian itu teman baik, Mama. Dia baik sama kita, bukan berarti dia akan jadi Papa, Dita!""Kok, bisa begitu Ma?""Nanti, kalau Dita sudah gede. Pasti akan mengerti apa yang dikatakan sama Mama."Gadis kecil itu memeluk Amelia. Lalu merebahkan dirinya di pangkuannya. Bola mata yang bersinar, terus menatap wajah Amelia. Dia menggapai dengan tangan mungilnya."Mama, Om Adrian sama kita juga baik. Tapi, kenapa kita harus pindah dari rumah? Kenapa Rumah Papa dijual, Ma?""Mama enggak jual k
"Kamu mulai berteriak padaku lagi?""Keluar! Pergi sekarang juga dari rumahku, Sella Angelica Santoso!" sentak Adrian benar-benar kesal. Membuat Sella terbelalak atas perlakuan lelaki tampan itu padanya."Ka-kamu beneran nih usir aku?""Iya! Karena kamu orangnya bebal. Semau gue dan aku paling enggak suka yang kayak begitu. Paham Sella?""Terserah kamu Adrian!"Saat Sella hendak pergi. Dia berbalik, "Adrian!" Suara Sella terdengar lantang. Adrian hanya memerhatikan wanita itu."Apalagi?""Asal kau tau, aku tak akan pernah melepaskan kamu!" Suara Sella bergetar dan akhirnya pergi meninggalkan Adrian yang hany menatap kepergian."Haaaahhh!"Tiba-tiba terdengar suara Amelia dari balik dinding menuju tangga."Tampaknya dia sudah cinta mati sama kamu, Adrian!"Adrian sedikit terkejut dengan kehadiran Amelia."Biarkan dia dengan perasaannya sendiri."Dia melangkah pergi meninggalkan Amelia yang masi
Amelia merasa aneh akan perasaannya saat ini. Dia yang semula biasa, menjadi salah tingkah di hadapan Adrian yang terus memandang dirinya.'Ada yang salah ini!' bisik Amelia dalam hati."Kamu kok wajahnya sampai merah begitu, ada apa?""Haaaahhh?""Iya, tuh wajah kamu!"Buru-buru Amelia menyembunyikan wajahnya. Dan menghabiskan segelas air putih yang ada di tangan. Segera dia beranjak dari sofa."Mel, kamu mau ke mana?""I-ini, naruh gelas. Mau apalagi?"Adrian menggeleng."Hanya ingin kamu duduk di sebelah aku!""Enggak ahh. entar kamu apa-apain.""Tuh kan, mancing!"Amelia pun tergelak. Dia berusaha menutupi rasa aneh yang kian menjalar dengan bercanda. Menganggap semua wajar dan normal seperti biasa. Dia pun menghempaskan tubuhnya di samping Adrian."Adrian ....""Hemmmm!"Wajahnya menoleh pada Amelia."Kenapa kamu masih sendiri? Apa enggak kesepian?""S
"Raffian, aku ingin ketemu. Bisa 'kan datang ke kafe biasanya?""Belum tau.""Please, ini penting! Ini sebuah pekerjaan Raff!"Cukup lama Sella menunggu jawaban."Soal apa?""Datanglah dulu!""Oke."Terlihat Sella mengayunkan sebelah kaki yang dia topang di kakinya yang lain. Dia sibuk dengan ponsel yang ada di tangan. Sesekali dia mendengkus kasar. Seolah kesal dan geram.Dalam pancaran iris mata yang coklat muda. Sangat terlihat Sella memendam kekesalan yang memuncak. Perlakuan dingin Adrian padanya, menghancurkan perasaan dan hatinya."Kau keterlaluan, Adrian. Terang-terangan mengajak cewek itu tidur di rumah kamu. Mana sama anaknya lagi!"Napasnya terdengar memburu. Begitu juga dengan tarikan napasnya yang tersengal. Berulang kali Sella mengusap wajah dan kelopak mata yang hendak menitikkkan air mata.Tak sabar dia menanti kedatangan seorang teman yang bernama Johan. Buru-buru
Bergegas setengah berlari Raffian menuju meja resepsionis UGD. Belum sampai dia bertanya. Seseorang memanggil namanya dengan kencang."Mas Raffi!" Salah seorang tetangga berlari ke arahnya."Pakdeh Hanafi, gimana Ibu?""Ibu kamu langsung masuk ke ruang UGd. Masih dapat perawatan di sana. Tadi pakai uang Pakdhe nebus obat lima ratus ribu.""Iya, Pakdhe. Nanti aku ganti ya. Sekarang Raffi temuin Ibu dulu!""I-iya, Raff."Raffian berjalan cepat menuju ruang perawatan. Dia menemui seorang perawat dan menanyakan keadaan sang Ibu."Mbak, bagaimana Ibu saya?""Pasien atas nama siapa, Mas?""Ibu Rusmini.""Sebentar ya."Setelah melihat berkas data yang ada ditangannya. Dia segera menghampiri Raffian."Ibu Rusmini masih dalam penanganan dokter, Mas. Di tunggu saja. KIta pasti panggil nanti," ucapnya seraya mempersilakan Raffian menunggu di luar."Terima kasih, Mbak."Perawat itu membalas dengan