"Berarti, Om Adrian mau menikah sama Mama?"
"Haaaaahhh???"
Amelia menghentikan langkahnya. Lalu berjongkok dan memegang kedua bahu Dita. Membuat kedua manik mata mereka saling bertemu.
"Apa, Om Adrian mau jadi Papa Dita, Ma?"
Dia berusaha untuk tersenyum. Dan mulai mengajak Dita bicara dari hati ke hati.
"Masuk kamar dulu yuk! Mau?"
Gadis cilik itu mengangguk. Amelia menuntunnya dan duduk di atas kasur.
"Om Adrian itu teman baik, Mama. Dia baik sama kita, bukan berarti dia akan jadi Papa, Dita!"
"Kok, bisa begitu Ma?"
"Nanti, kalau Dita sudah gede. Pasti akan mengerti apa yang dikatakan sama Mama."
Gadis kecil itu memeluk Amelia. Lalu merebahkan dirinya di pangkuannya. Bola mata yang bersinar, terus menatap wajah Amelia. Dia menggapai dengan tangan mungilnya.
"Mama, Om Adrian sama kita juga baik. Tapi, kenapa kita harus pindah dari rumah? Kenapa Rumah Papa dijual, Ma?"
"Mama enggak jual k
"Kamu mulai berteriak padaku lagi?""Keluar! Pergi sekarang juga dari rumahku, Sella Angelica Santoso!" sentak Adrian benar-benar kesal. Membuat Sella terbelalak atas perlakuan lelaki tampan itu padanya."Ka-kamu beneran nih usir aku?""Iya! Karena kamu orangnya bebal. Semau gue dan aku paling enggak suka yang kayak begitu. Paham Sella?""Terserah kamu Adrian!"Saat Sella hendak pergi. Dia berbalik, "Adrian!" Suara Sella terdengar lantang. Adrian hanya memerhatikan wanita itu."Apalagi?""Asal kau tau, aku tak akan pernah melepaskan kamu!" Suara Sella bergetar dan akhirnya pergi meninggalkan Adrian yang hany menatap kepergian."Haaaahhh!"Tiba-tiba terdengar suara Amelia dari balik dinding menuju tangga."Tampaknya dia sudah cinta mati sama kamu, Adrian!"Adrian sedikit terkejut dengan kehadiran Amelia."Biarkan dia dengan perasaannya sendiri."Dia melangkah pergi meninggalkan Amelia yang masi
Amelia merasa aneh akan perasaannya saat ini. Dia yang semula biasa, menjadi salah tingkah di hadapan Adrian yang terus memandang dirinya.'Ada yang salah ini!' bisik Amelia dalam hati."Kamu kok wajahnya sampai merah begitu, ada apa?""Haaaahhh?""Iya, tuh wajah kamu!"Buru-buru Amelia menyembunyikan wajahnya. Dan menghabiskan segelas air putih yang ada di tangan. Segera dia beranjak dari sofa."Mel, kamu mau ke mana?""I-ini, naruh gelas. Mau apalagi?"Adrian menggeleng."Hanya ingin kamu duduk di sebelah aku!""Enggak ahh. entar kamu apa-apain.""Tuh kan, mancing!"Amelia pun tergelak. Dia berusaha menutupi rasa aneh yang kian menjalar dengan bercanda. Menganggap semua wajar dan normal seperti biasa. Dia pun menghempaskan tubuhnya di samping Adrian."Adrian ....""Hemmmm!"Wajahnya menoleh pada Amelia."Kenapa kamu masih sendiri? Apa enggak kesepian?""S
"Raffian, aku ingin ketemu. Bisa 'kan datang ke kafe biasanya?""Belum tau.""Please, ini penting! Ini sebuah pekerjaan Raff!"Cukup lama Sella menunggu jawaban."Soal apa?""Datanglah dulu!""Oke."Terlihat Sella mengayunkan sebelah kaki yang dia topang di kakinya yang lain. Dia sibuk dengan ponsel yang ada di tangan. Sesekali dia mendengkus kasar. Seolah kesal dan geram.Dalam pancaran iris mata yang coklat muda. Sangat terlihat Sella memendam kekesalan yang memuncak. Perlakuan dingin Adrian padanya, menghancurkan perasaan dan hatinya."Kau keterlaluan, Adrian. Terang-terangan mengajak cewek itu tidur di rumah kamu. Mana sama anaknya lagi!"Napasnya terdengar memburu. Begitu juga dengan tarikan napasnya yang tersengal. Berulang kali Sella mengusap wajah dan kelopak mata yang hendak menitikkkan air mata.Tak sabar dia menanti kedatangan seorang teman yang bernama Johan. Buru-buru
Bergegas setengah berlari Raffian menuju meja resepsionis UGD. Belum sampai dia bertanya. Seseorang memanggil namanya dengan kencang."Mas Raffi!" Salah seorang tetangga berlari ke arahnya."Pakdeh Hanafi, gimana Ibu?""Ibu kamu langsung masuk ke ruang UGd. Masih dapat perawatan di sana. Tadi pakai uang Pakdhe nebus obat lima ratus ribu.""Iya, Pakdhe. Nanti aku ganti ya. Sekarang Raffi temuin Ibu dulu!""I-iya, Raff."Raffian berjalan cepat menuju ruang perawatan. Dia menemui seorang perawat dan menanyakan keadaan sang Ibu."Mbak, bagaimana Ibu saya?""Pasien atas nama siapa, Mas?""Ibu Rusmini.""Sebentar ya."Setelah melihat berkas data yang ada ditangannya. Dia segera menghampiri Raffian."Ibu Rusmini masih dalam penanganan dokter, Mas. Di tunggu saja. KIta pasti panggil nanti," ucapnya seraya mempersilakan Raffian menunggu di luar."Terima kasih, Mbak."Perawat itu membalas dengan
Terdengar suara pintu yang dibuka perlahan. Samar Raffian mendengar suara orang yang sedang bicara. Saat dia membuka mata. Sosok Budhe Hanafi sudah berdiri di sebelah ibunya."Budhe!""Iya, Mas Raff. Katanya pagi suruh datang ke sini?""Iya, Budhe. Ada kerjaan yang enggak bisa Raffian tinggalkan.""Ka-kamu mau ke mana, Fian?"Raffian bergegas turun dari ranjang. Berjalan mendekati sang ibu."Fian ada kerjaan sebentar, Bu. Nanti Budhe yang akan menemani ya?"Wanita itu mengangguk. Lnagkahnya menuju kamar mandi dengan membawa pakaian yang dia siapkan."Mas Fian!"Langkahnya terhenti. Lalu menoleh, "ada apa Budhe?""Tadi habis shubuh ada yang antar mobil ke rumah. Dititipkan ke Pakdhe kuncinya. Apa itu bos kamu yang kasih?""Cuman kasih pinjam aja Budhe.""Ahhhh, sama aja toh, Mas Fian."Dia hanya tersenyum tipis."Fian mandi dulu."Kedua wanita itu mengangguk. Tatap mata Rusmini te
Rumah yang mewah dan kokoh itu terkesang angkuh, bagi siapa saja yang melihat. Begitu juga bagi Raffian yang tengah mengamati dan mengawasi rumah Adrian Kusuma. Pengusaha muda, tampan dan kaya raya.Terlihat kesibukan di rumah besar itu. Amelia hilir mudik menyiapkan semua. Dibantu oleh rini dan Dita. Beberapa barang sudah siap masuk ke dalam mobil."Adrian kamu enggak usah antar kita. Kamu kerja aja!" tegas Amelia."Kamu yakin bisa sendirian?""Pasti lupa kalau aku sudah terbiasa melakukannya sendirian," sahut Amelia tersenyum lebar.Adrian yang sudah berdandan stylish. Menghampiri Dita dan Amelia. Aroma parfum mahal tercium di hidung keduanya."Dita, maafkan Om belum bisa antar ya?""Enggak apa-apa, Om.""Nanti setelah pulang dari kantor Om main ke rumah. Dita minta dibawakan apa nih?""Terserah Om aja."Gadis kecil itu berlari menuju Rini. Wajahnya memerah tersipu, membuat Adrian terkekeh. Lalu melempar pandang
Langkah Adrian berjalan tegap menemui resepsionis. Seorang wanita muda yang sangat menarik tersenyum padanya."Pagi. Adakah yang bisa saya bantu?""Pagi juga. Saya sudah ada janji dengan Ibu Santi.""Bapak Adrian Kusuma?"Senyumnya langsung mengembang, "tepat sekali.""Silakan bapak naik ke lantai tiga. Langsung menuju ruang Bu Santi.""Terima kasih."Segera Adrian menuju lift yang tak jauh darinya saat ini.Ting!Pintu lift terbuka lebar, di lantai tiga. Sejenak dia terdiam. Melihat suasana sekitar ruangan. Dengan penuh percaya diri, dia segera masuk ke dalam sebuah ruangan yang begitu nyaman. Terdengar musik yang mengalun lembut.Pandangan matanya berpendar. Mengitari seluruh ruangan. Kemudian seorang wanita seumuran dirinya datang menghampiri."Bapak Adrian?""Benar.""Ikuti saya, Pak!" ajak wanita itu.Mereka berdua berjalan di sebuah lorong yang tak begitu panjang. Di depan pintu t
Suara Santi terdengar samar. Usapan lembut Santi di punggung dan dada Adrian, menimbulkan suatu rasa yang berbeda. Tanpa sadar Adrian menarik tangan Santi dengan kasar.Lalu mendekatkan wajahnya pada wajah Santi. Tanpa bisa berpikir, Adrian melumat dengan rakus bibir Santi yang memang tengah mengharapkan kemesraan dari Adrian. Terdengar desah yang memburu pada keduanya."Lanjutkan Adrian," bisik Santi.Dia berdiri dari tempatnya. Lalu mengajak Adrian untuk berpindah tempat. Santi dengan rona wajah berbunga-bunga, menarik jemari Adrian untuk segera naik ke atas ranjang."Adrian ...."Dengan beringas Santi melucuti kemeja Adrian. Saat dia hendak melepas gesper lelaki yang telah mampu membuat dirinya jatuh hati. Tubuh Adrian terjerembab. Terbenam di antara selimut dan bantal.Tak lama terdengar bunyi dengkuran yang keras. Membuat Santi terperanjat dan geram. Hatinya sangat kesal. Melihat Adrian yang suda tertidur dengan tubuh yang tertelungkup.
“Saya terima nikahnya dan kawinnya Amelia Pratiwi binti Assobri dengan maskawinnya tersebut, tunai karena Allah.”Suara Adrian terdengar tegas dan lantang."Sah?!" teriak penghulu. Disambut dengan jawaban serempak para undangan yang hadir, "Sah!""Alhamdulillah, Tabarakallah. Aamiin."Kali ini perhatian kembali tertuju pada pasangan pengantin Adi Hermansyah dan Salsa Munandar.“Saudara Muhammad Adi AlQorni bin H. Ahmad Komarudin. Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Salsa Munandar, dengan maskawinnya berupa seperangkat alat sholat dan uang seratus juta, tunai!”“Saya terima nikahnya dan kawinnya Salsa Munandar binti Munandar, dengan maskawinnya yang tersebut, tunai karena Allah.”"Bagaimana, sah?""Sah!!!""Alhamdullillah." Rumah Maya dan Hartono terdengar riuah dengan ucapan doa yang penuh kebahagiaan. Begitu juga terpancar dari wajah-wajah penuh cinta dan kasih sayang.
_Dua bulan berlalu_Sejak kematian Romy Pradipta. Membawa duka yang mendalam bagi Maya dan Hartono. Begitu juga bagi Salsa dan Amelia. Walau pernah menoreh luka bagi mereka. Namun, anak yang dititipakan oleh Romy, membuat Salsa dan Amelia akan selalu teringat padanya.Hingga Maya dan Hartono meminta pada Salsa dan Amelia untuk melangsungkan pernikahan mereka di Semarang. Secara bersamaan. Walau awalnya Adrian menolak, pada akhirnya dia mencoba untuk mengerti.Karena bagi Amelia, Maya dan Hartono satu-satunya keluarga bagi dirinya. Tepat di hari jumat akad nikah akan dilangsungkan. Tak ada acara besar, atau pun pesta meriah. Karena baik Amelia maupun Salsa tak menginginkan hal itu.Pada hari kami pagi. Amelia beserta Adrian dan Dita serta Rini sudah berada di hotel yang tak terlalu jauh dari rumah Maya. Dia meletakkan kebaya pengantin milik Renata dulu. Mengusapnya perlahan dari ujung leher hingga ujung paling bawah."Ren ... mungkin aku tak p
"Maaa ... Mama!""A-ada apa, Sa?""Perut Salsa kok sakit ya, Ma?""Sa-sakit gimana?""Sepertinya mau melahirkan, Ma.""Haaahhh?!"Maya pun kelihatan panik. Dia memanggil beberapa saudara dan kerabatnya. Untuk segera mengantar Salsa ke rumah sakit terdekat."Sa, semisal menunggu Papa pulang gimana?""Salsa udah enggak kuat, Ma. Kok sakit banget.""Apa pakaian semuanya sudah kamu siapkan?""Sudah, Ma. Di kamar."Maya berjalan cepat menuju kamar. Dia mengambil tas yang ada di atas kasur. Sesaat Maya terpaku dalam diam. Selintas kenangan Romy masih membayang di matanya. Terbayang saat dia masih sakit dan terbaring di atas kasur."Haahhh! Ya Allah, anakku Romy!" desahnya.Teringat akan Salsa yang kesakitan. Buru-buru dia keluar kamar."Sa, ayo aku gandeng!" Salsa yang tak bisa jalan cepat, dibantu Maya berjalan ke luar rumah. Dari arah dalam Bulek Titut berlari ke arah mereka."Bulek!
Sengaja Adrian tak langsung memberitahukan kematian Romy, pada Amelia. "Bapak Adrian!" Segera dia mendatangi seorang perawat. "Silakan Bapak kalau mau ke kamar Bu Amelia. Baru saja dipindah kamar." "Baik, Sus. Di sebelah mana Sus?" "Bapak lurus dan belok kanan. Ada Pavilium mawar nomer 2, itu kamar Bu Amelia." "Maksih, Sus." "Sama-sama." Adrian menghampiri Dita dan Rini. "Ayo ke kamar Mama, Dit!" "Mama sudah di kamar?" "Sudah!" tegas Adrian. Mereka mengikuti langkah lebar Adrian yang berjalan mendahului. Pintu kamar terbuka lebar. Seorang perawat masih membantu Amelia pindah ranjang. "Nanti jangan terlalu banyak gerak dulu ya Bu. Besok pagi, kita rangsang ASInya buat Dedek bayi." "Iya, Sus." Amelia masih terlihat lemah. Wajahnya terlihat kuyu dan lelah. "Dita, adek kamu cowok apa cewek?" "Cowok, Ma." Amelia tersenyum senang. "D
Pandangan Romy terlihat bersinar terang. Tak lagi hampa dan kosong, seperti sebelumnya."Mas Rom! Mas Romy bisa dengar Salsa?"Namun, Romy seperti tak mendengar. Dia masih menggerakkan tangan perlahan. Terus membelai, entah apa yang ada dalam pandangannya saat ini. Sembari senyum yang tak lepas dari wajahnya."Rooom, ini Mama Nak. Coba lihat Mama, Sayang!"Namun tak ada respon yang ditunjukkan Romy. Dia terus memandang ke atas. Maish terus tersenyum.Tiba-tiba, seisi kamar terkejut dibuatnya. Mereka sampai tak percaya setelah sekian lama, tak mendengar Romy bicara."Amel ... Amelia," desis Romy. "Amelia ... Amelia."Romy terus menyebut nama Amelia terus menerus."Salsa, co-coba kamu telponkan Amelia. Mungkin dia ingin mendnegar suaranya.""Ba-baik, Ma."Saat Salsa mengambil ponslenya. Terdengar Romy yang terbatuk-batuk, hingga muntah darah. Membuat semua terperanjat."Dok! Kenapa Romy?""
Mobil melaju dengan kecepatan sedang. Kontraksi yang dirasakan oleh Amelia, intervalnya mulai teratur. Sakit yang dia rasa berkisar 30 sampai 70 detik."Adrian kayak ada yang merembes di kaki aku.""Haaahhh?!!!" Adrian tersentak. Sekilas dia melihat pada bagian perut kebawan yang tampak basah. "Tenang, Mel." Wajah Adrian semakin tegang. Dia terus membunyikan klakson agar mobil di depannya memberikan ruang untuk dia lewat."Mama enggak apa-apa ya Om?" tanya Dita ikut panik."Enggak apa-apa Dita. Semua jangan ikutan panik kayak Om ya.""Mas Adrian jangan panik dong. Kita jadi ikutan cemas juga," sahut Rini, smabil mendekap Dita. Yang ikut panik."Enggak apa-apa, mulesnya mulai berkurang kok," lanjut Amelia. "Adrian, nanti aku minta tolong.""Apa?""Tolong adzankan anakku ini.""I-iya, Mel. Aku udah siapin soal itu.""Makasih, Adrian."Hampir dua puluh menit perjalanan. Mobil memasuki pelataran parkir ru
Dalam kepanikan mereka, Salsa memberi kabar kalau Dokter Helmi akan datang ke rumah."Dia langsung ke sini, Sa?""Iya, Ma. Kata Dokter mungkin sepuluh sampai lima belas menit.""Ya, udah kalau gitu, kita tunggu."Hartono yang cemas, hanya bisa mondar mandir di dalam kamar Romy. Sedangkan Maya semakin gelisah dengan suhu tubuh Romy yang masih tinggi. Tak lama, Salsa masuk membawa Dokter Helmi ke kamar."Ohhh, syukurlah Dok. Saya udah cemas sekali.""Biar saya periksa dulu!""Dari tadi, Romy enggak bangun-bangun Dok," ucap Salsa kalut. Sedari tadi dia meremat jemari tanganya yang dingin. Lalu menghampiri Maya yang hanya bisa bungkam."Kita harus bawa ke rumah sakit. Ini Mas Romy bukan cuman tidur biasa.""Maksud Dokter?" tanya Hartono mengejar."Saya masih belum bisa pastikan, Pak Hartono. Cuman kalau di rumah sakit, Mas Romy bisa terbantu dengan obat yang masuk lewat selang infus. Saya yang langsung tangani di sana
Langkah Salsa bergerak cepat menuju arah kamar. Sekilas dia mendapati Maya yang menangis di ruang tengah. Sedang ditenangkan oleh Hartono."Kamu mau ke kamar, Sa?""Iya, Pa.""Panggilah Yono, biar dia yang angkat di atas kasur.""Baik, Pa."Maya masih terlihat sesenggukkan."Memangnya kamu ini kenapa sih, Ma?""Aku sedih, Pa. Barusan aku telponan sama Amelia. Mama jadi merasa semua ini salah kita.""Hussst! Apa maksud Mama bilang kayak gitu?"Bukan malah tangisannya berhenti. Maya semakin terisak, hingga beranjak pergi meninggalkan Hartono yang ikut sedih. Maya melangkah cepat menuju kamar. Diikuti oleh Hartono.Maya menghempaskan tubuhnya di atas kasur. Menelungkupkan wajahnya di bantal."Maksud kamu tadi apa, Ma?""Mungkin ini teguran buat kita juga, Pa. Terlalu memaksakan kehendak kita, pada Romy.""Bukan, Ma. Mama jangan merasa bersalah kayak gitu.""Entahlah Pa. Mama merasa bersala
Selepas kepulangan Adi, tampak Salsa masih berdiri termenung di depan pagar. Dia menoleh pada taman samping rumah. Sepertinya Maya sedang mengajak Romy jalan-jalan. Bergegas Salsa mengejar langkah mereka."Ma ... Mama!""Ehhh ... kamu kok nyusul ke sini?""Iya, Ma. Mas Adi sudah pulang kok.""Ka-kamu ... apa mencintai dia?"Wajah Salsa memerah. Dia tersipu saat mendapat pertanyaan itu."Kenapa Mama tanya kayak gitu?""Mama tidak bisa menuntut apa pun dari kamu, Sa. Kebaikan yang kamu berikan pada keluarga kami, itu tak ternilai buat Mama. Sama Papa juga. Apalagi cinta dan sayang kamu pada Romy masih terlihat nyata di mata Mama."Salsa langsung memeluk wanita itu dari samping."Maafkan Salsa, Ma. Yang mungkin enggak bisa selamanya menemani Mas Romy.""Mama tahu, Sa. Dan sangat paham sekali.""Makasih atas semuanya ya.""Iya, Ma. Salsa juga makasih sama Mama, yang mau menganggap Salsa anak sendiri."