"Nggak nyangka sih gue, kalau lo bentar lagi punya anak." Ujar Citra terkekeh membuat Naya ikut tertawa kecil.Saat ini mereka ada di salah satu cafe yang tidak jauh dari kantor suaminya, karena kebetulan Naya baru saja dari mall untuk membeli segala perlengkapan untuk bayinya nanti. Dan karena ini jam makan siang jadi Naya mengajak Citra untuk makan siang bersama. "Gue juga masih nggak percaya," Bahkan sampai sekarangpun rasanya masih tidak percaya jika sebentar lagi dirinya akan memiliki seorang anak. Dan menjelang lahiran ini Naya sering tiba-tiba takut untuk melahirkan, takut tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk anaknya nanti dan masih banyak lagi. "Nay, sekarang gimana setelah melihat perubahan Pak Dewangga?" tanya Citra."Gue nggak tau." Naya menggeleng. "Sebenernya gue bingung sama semuanya, Cit. Tapi gue juga takut kalau harus kembali memulai, kan lo tau hidup sama orang yang masih terikat sama masa lalu itu sangat berat." ujar Naya."Coba lo bicara sama pak Dewangga soal
"Hamil?" tanya Naya menatap Savira. Entah dirinya harus percaya atau tidak dengan ucapan wanita di depannya ini. Tapi rasanya tidak mungkin jika suaminya berbuat sampai sejauh itu, tapi bagaimana kalau benar jika memang wanita di depannya ini hamil. 'Tapi bisa jadi bukan anak suaminya, bukan?' batin Kanaya. Naya berusaha untuk tenang dan tidak terbawa emosi. "Terus hubungannya sama saya apa?" "Aku hamil anak Dewangga," Naya terkejut mendengar pengakuan wanita di depannya ini. Namun rasanya sangat susah untuk mempercayai wanita di hadapannya ini, apalagi Dewa sekarang lebih sering dirumah orang tuanya. Bahkan setiap jam hampir mengirimkan pesan singkat kepadanya. "Sudah berapa bulan?" tanya Naya berusaha untuk mencari tau. "Baru masuk 3 bulan." Jawabnya membuat Naya menghela nafas. Tiga bulan, artinya mereka melakukannya sejak rumah tangganya masih baik-baik saja. Karena rumah tangganya dengan Dewa baru renggang sebulan ini. Jika memang benar itu anaknya Dewa. "Terus kenapa k
Sesampainya di rumah sakit, Kanaya sudah masuk kedalam ruang perawatan dan Dewangga sudah menunggu di depan ruang perawatan Naya dengan wajah cemasnya.Mendengar pintu terbuka Dewa segera menghampiri dokternya. "Gimana keadaan istri saya, Dok?""Pak Dewangga, karena ketuban bu Naya sudah pecah dini jadi harus di lakukan operasi untuk menyelamatkan anak dan ibunya...." Jelas dokter yang menangani Naya."Lakukan yang terbaik buat istri saya, Dok." ujar Dewa cepat yang di balas anggukan oleh Dokter itu."Baik, Pak. Sus.. siapkan ruang operasi untuk persalinan Bu Kanaya." "Baik Dok."Dewa terdiam cukup lama, dirinya benar-benar merasa bersalah sudah membentak Naya barusan, dan sekarang istrinya sedang kesakitan di dalam sana untuk melahirkan anak mereka. Dewa benar-benar menyesalinya, dia hanya tidak suka jika Kanaya mengatakan perpisahan di depannya karena dirinya tidak akan pernah bisa berpisah dengan Kanaya."Ngga," suara itu membuat Dewa mendongak dan menatap ayah mertuanya yang bar
Seminggu ini putranya masih berada di dalam inkubator, dan hari ini putranya sudah bisa lepas dari alat-alat medis hal itu membuat Dewangga dan Kanaya sangat bersyukur. Dewangga menecup kening istrinya, "Terimakasih, sudah bertahan Kanaya. Dan membawa malaikat kecil yang sangat tampan untuk saya.."Naya menoleh menatap suaminya beberapa hari terkahir ini Dewangga selalu menemaninya di rumah sakit, dan mungkin laki-laki itu melupakan kewajibannya di kantor."Kamu nggak kerja?" tanya Naya membuat Dewa menggeleng."Kalian lebih penting," seorang Dewangga Aditama mengabaikan pekerjaanya sungguh luar biasa."Aku udah bisa sendiri, kalau kamu mau ker..""Saya ingin disini bersama istri dan anak saya, Kanaya." Potong Dewangga membuat Naya diam."Tapi..""Permisi bapak dan ibu.." suara itu membuat Naya menatap kearah pintu kamar rawat inapnya melihat suster dan dokternya dengan mendorong box bayi putranya seketika matanya berair biasanya Naya hanya bisa melihat di balik kaca dan masuk ketik
Naya hanya diam di atas ranjang rumah sakit, menunggu Dewa menyelesaikan administrasi sebelum mereka pulang. Mereka kembali berdebat akan pulang kemana, Dewa ingin kembali pulang kerumah mereka namun rasanya Naya belum siap karena jika dirinya pulang kerumah mereka artinya mereka akan kembali bersama. Tapi Naya masih ragu dengan semuanya.Karena permasalahan rumah tangganya belum selesai, dan Naya ingin semuanya selesai dulu jika nanti dirinya dan Dewa harus pisah Naya sudah menyiapkan diri dan hatinya.Tapi jika sekarang dirinya harus bersama dengan Dewa dirinya belum bisa karena masalalu suaminya itu masih terikat dengan suaminya. "Nay...," suara itu membuat Naya menatap pintu ruang rawat inap, di sana ada seorang wanita yang menyebabkan dirinya dan Dewa berantem barusan.Ya, dia Savira mantan istri suaminya yang sudah berdiri di depan pintu dengan sebuah paperback berwarna biru. Dia berjalan masuk tanpa di persilahkan kemudian duduk di kursi yang di sediakan di sebelah ranjangnya.
Sampai sekarang dirinya masih menunggu, bagaimana dirinya bisa berdamai dengan keadaan, terlebih dengan permasalahan rumah tangga yang entah akhirnya akan seperti apa. Berulang kali wanita itu mencoba untuk berdamai dengan dirinya namun rasanya sangat susah untuk kembali menguatkan dirinya sendiri. Ternyata dirinya sudah terlalu dalam mencintai suaminya, dan Naya sudah tidak tau bagaimana caranya berhenti. Harusnya perasaan itu hilang seiring berjalannya waktu, tapi nyatanya perasaan itu semakin dalam padahal laki-laki yang sudah menyakitinya.Bodoh. Namun rasanya sangat susah untuk sadar dari kebodohannya itu."Sayang, mama harus gimana kembali berjuang dengan papa kamu atau mama harus mengalah dari suaminya.." lirihnya memeluk putranya dengan air mata yang sudah mulai turun ke pipinya."Bohong kalau mama bilang bisa hadapin semuanya sendiri, mama capek dengan semuanya, sayang." ujar Naya kembali mencium wajah putranya.Setelah melihat putranya sudah tertidur dengan tenang, Naya mem
"Maafkan saya. Tapi tolong tetap percaya sama saya." Pintanya membuat Naya jenggah melihat sikapnya yang terus begitu."Gimana aku mau percaya, kamu nggak pernah mau cerita sama aku. Semuanya kamu pedam sendiri, apalagi pernikahan kamu yang dulu. Kamu masih cinta sama dia atau enggak aja aku nggak tau. Terus sekarang Bagian mana yang harus aku percaya? Sedangkan kamu hanya bilang tolong percaya sama saya, bukankah mau nggak mau aku percaya sama ucapan mantan istri kamu dan berita itu?" Cecar Naya.Lama-lama dirinya sudah tidak lagi bisa menjadi wanita yang tenang dan sabar untuk menghadapi suaminya itu."Saya mohon cukup kamu percaya sama saya." ucapnya membuat Naya semakin kesal. Rasanya sangat ingin memukul laki-laki di depannya itu."Aku males bahas kaya gini terus. Kalau kamu mau aku percaya sama kamu, dan kamu masih mau melanjutkan rumah tangga ini. Kamu cerita dan jelaskan sekarang sama aku. Kalau kamu masih memilih diam berarti kamu memilih untuk tidak melanjutkan hubungan kit
"Terus anak siapa yang di kandung Savira?" tanya Naya."Saya tidak tau, Kanaya." Dewa mendekat kemudian mencium bibir Naya sekilas."Mas!!!" teriak Naya tidak terima suaminya tiba-tiba menciumnya begitu saja. "Kamu bawel," ujarnya membuat Naya berdecak kesal."Nggak ada cium-cium! Sebelum masalah kamu dan wanita itu selesai." Ujar Naya penuh peringatan.Enak aja suaminya itu, masalah belum selesai jangan harap Naya bisa bersikap seperti awal-awal pernikahan mereka. "Bukan saya yang menghamili dia." "Ya, terserah mau kamu atau bukan yang menghamili dia! Tapi kalau nama kamu masih di seret-seret aku nggak mau!" Dewa menghela nafas, kemudian menatap Kanaya yang sekarang memang lebih tegas dan berani daripada biasanya membuat Dewa tersenyum. Walaupun Kanaya lebih terlihat galak namun Dewa lebih suka Kanaya yang sekarang."Malah senyum-senyum nggak jelas!" "Saya akan segera menyelesaikan itu semua, tapi saya nggak ada sangkut pautnya...""Mau ada atau enggak! Aku cuma mau nama kamu be
"Kemarin seru, ya, Mas?" tanya Kanaya dengan senyum nakal, matanya yang cerah menatap Dewangga yang tengah duduk bersandar di headboard ranjang, sibuk membaca buku tebal yang tampaknya tak pernah jauh dari tangannya.Kemarin adalah hari penuh keceriaan, waktu berkualitas yang dihabiskan bersama keluarga kecil mereka. Laughter and joy filled the house—penuh tawa dan kebahagiaan. Namun, kini mereka kembali pada rutinitas masing-masing, dan semua itu seolah menjadi kenangan manis yang terpatri dalam hati.Dewangga menoleh sejenak dan mengangguk. "Kai terlihat bahagia kemarin," ujarnya dengan suara pelan, seperti mengingat kembali momen itu dengan penuh rasa syukur."Kai aja? Emang Mas nggak bahagia?" tanya Kanaya dengan nada menggoda, membiarkan pertanyaan itu mengalir begitu saja, berharap Dewangga menangkap leluconnya."Jika anak dan istri saya bahagia, maka saya juga bahagia, Kanaya," jawab Dewangga, suaranya tenang, namun ada kehangatan yang menyertai kata-katanya. Senyumnya yang tul
Pagi itu, Kanaya terbangun dan langsung disuguhi pemandangan romantis antara ayah dan anak. Dewangga tengah menciumi wajah putranya, Kai, yang masih terlelap dalam tidurnya.“Aku nggak di-cium?” tanya Kanaya, dengan wajah cemberut dari balik selimut, membuat Dewangga menoleh sejenak ke arahnya.Namun, bukannya menjawab, Dewangga malah kembali menciumi pipi Kai, seakan tidak peduli dengan Kanaya yang sedang merajuk.“Mas,” Kanaya memanggil dengan nada menggoda.Dewangga menoleh sejenak, lalu bangkit dan turun dari ranjang."Loh, mau ke mana?" tanya Kanaya saat melihat suaminya bergerak menuju pintu."Kamar mandi, mau ikut?" tanya Dewangga santai, namun dengan senyum yang khas."Males," jawab Kanaya malas, lalu menatap Kai yang masih tertidur lelap. Tidur Kai pagi itu tampak jauh lebih nyenyak daripada malam sebelumnya yang sedikit rewel.Setelah selesai dengan rutinitasnya, Dewangga kembali ke kamar, di mana Kanaya tengah bercanda dengan Kai di atas ranjang. Jika kalian berpikir Dewang
“Beneran pekerjaan kamu udah selesai? Aku nggak mau, ya, nanti tiba-tiba harus pulang gara-gara kerjaan kamu,” ucap Kanaya dengan nada sedikit kesal.Ia melirik Dewangga yang duduk bersandar di kepala ranjang, laptop bertengger di pangkuannya. Matanya tetap terpaku pada layar, jemarinya mengetik cepat.Walaupun Dewangga sudah banyak berubah tidak sedingin dulu, namun untuk yang satu ini sepertinya tidak akan berubah. Karena di mana pun mereka berada, pekerjaan selalu menjadi prioritas utama.“Hanya mengecek laporan sebentar,” jawab Dewangga santai, tanpa menoleh sedikit pun.Kanaya mendesah pelan, kemudian mengalihkan perhatiannya ke putra mereka, Kai, yang tertidur di tengah-tengah mereka. Nafasnya teratur, wajah mungilnya tampak begitu damai. Senyum kecil muncul di bibir Kanaya, lalu dengan lembut ia mengulurkan tangan untuk membelai pipi anaknya.“Jangan diganggu, dia baru tidur,” tegur Dewangga lembut, masih dengan mata tertuju ke laptop.Kanaya mendengus kecil, lalu cemberut. “A
"Suami kamu jadi nyusul, Nay?" tanya Eyang dengan wajah penuh tanya, membuat Naya menggelengkan kepala. Ia tidak tahu pasti, karena semalam Dewangga mengatakan masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan."Belum tahu, Yang. Soalnya Mas Dewa lagi ada proyek baru," jawab Kanaya sambil tersenyum tipis.Eyang Ratih mengangguk bijak. "Gak papa, suami kamu itu memang pekerja keras dari dulu. Kamu harus lebih pengertian dengan pekerjaan suamimu, Nak," katanya sambil menatap cucunya dengan penuh kasih sayang.Kanaya mengangguk pelan. "Naya sekarang sudah lebih mengerti kok, Yang. Sebelum menikah pun, Mas Dewa memang suka kerja, tapi semenjak ada Kai, dia mulai lebih bisa membagi waktu."Kanaya mengingat bagaimana dulu ia selalu mempermasalahkan kebiasaan Dewangga yang workaholic, bahkan sering kali waktu mereka bersama terasa terbatas karena suaminya lebih banyak di kantor."Kai, anak kamu mirip banget sama papanya," ujar Ratih sambil terkekeh, melihat Kai yang asyik bermain dengan sepu
Pagi ini, suasana di dalam mobil terasa hening. Dewangga mengemudi dengan wajah serius, hanya sesekali mengalihkan pandangannya ke spion atau dashboard, tanpa banyak kata. Kanaya duduk di sampingnya, berusaha mencairkan suasana, tetapi setiap kali ia membuka suara, suaminya hanya memberi gumaman atau jawaban sepintas. Tidak ada kehangatan seperti biasanya. Dewangga tampak begitu jauh, seolah keberangkatan mereka bukanlah hal yang dia inginkan.Kanaya merasakan ketegangan itu dengan jelas. Ia tahu, jika terus memaksa berbicara, suaminya bisa saja berubah pikiran dan membatalkan izin untuk pergi. Itu adalah sesuatu yang sangat ingin ia hindari. Ia sudah menunggu kesempatan ini begitu lama, sebuah kesempatan untuk bertemu keluarganya di Yogyakarta, meski hanya untuk beberapa hari. Namun, perasaan Dewangga yang gelisah, seolah membawa kecemasan yang tak terucapkan, membuatnya merasa bimbang.Mobil mereka akhirnya memasuki area bandara. Di kejauhan, Kanaya bisa melihat keluarganya sudah me
"Cucu Oma makin ganteng aja," ujar Ika sambil menciumi pipi cubby cucunya dengan gemas. Wajah Kai yang bulat dan menggemaskan membuat hati Ika semakin hangat setiap kali melihatnya.Hari itu, Ika sengaja mengunjungi putrinya setelah beberapa waktu tidak bertemu. Rasa rindu kepada cucunya semakin membuncah, dan akhirnya ia memutuskan untuk datang."Di minum, Bun" ujar Kanaya mempersilahkan, sambil menaruh nampan berisi minuman dan makanan ringan untuk bundanya.Ika tersenyum. "Dewangga lagi sibuk banget, Nay?" tanyanya dengan tatapan penuh perhatian.Kanaya mengangguk pelan, sedikit terlihat lelah. Sejak kecelakaan di Bali beberapa minggu yang lalu, suaminya memang terlihat sangat sibuk. Pekerjaan dan masalah yang datang setelah kecelakaan itu membuat Dewangga hampir tidak punya waktu untuk istirahat."Iya, Bun," jawab Kanaya, membuka bungkus snack untuk Kai, yang tampaknya sudah mulai lapar. Snack itu adalah oleh-oleh dari Oma Ika.Ika menarik napas panjang, seolah berpikir sejenak se
"Beneran mau kerja?" tanya Kanaya, suaranya penuh keraguan setelah kembali dari kamar putranya.Dia melihat Dewangga yang sudah berdiri di depan cermin dengan pakaian kerjanya, terlihat begitu siap untuk meninggalkan rumah. Kanaya mendekat dan meraih dasi di tangan suaminya, lalu mulai memakaikannya dengan lembut."Rambut kamu udah kepanjangan," ujar Kanaya sambil menatap rambut Dewangga yang mulai menutupi dahinya, seakan menyembunyikan sebagian dari wajahnya yang serius itu.Dewangga hanya terdiam, memilih untuk menatap Kanaya yang sedang dengan cekatan menyimpulkan dasinya. Kanaya merasa suaminya memperhatikannya dengan penuh perhatian, membuatnya sedikit salah tingkah. Tanpa sadar, dia mendongak dan membalas tatapan Dewangga, meskipun tinggi mereka sangat berbeda. Dia hanya sejajar dengan dada suaminya."Kenapa?" tanya Kanaya, sedikit canggung, sambil mengelus rahang Dewangga dengan lembut. Senyumnya terbit, meski hatinya sedikit tergerak oleh perhatian suaminya."Kenapa?" Dewangg
"Mau sama Mama," Kai memeluk erat leher Kanaya, bahkan tidak mau melepaskan, meskipun sejak tadi Kanaya sudah berusaha membujuk putranya dengan lembut."Anak mama bobok yaa," "Ndak mau," Kai menggeleng keras, suara tangisan mulai terdengar, membuat hati Kanaya semakin terenyuh.Kanaya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan Kai, mengelus punggungnya dengan lembut. "Bobo yaa, sudah malam," bisiknya, mencoba memberikan ketenangan. Ia mengecup kepala Kai beberapa kali, merasakan kehangatan tubuh kecil itu yang semakin membuatnya merasa sulit untuk melepaskannya.Kanaya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya tidur, namun mata Kai belum juga terpejam. Mungkin Kai merasa ada yang berbeda malam ini, apalagi Dewangga, suaminya, yang tengah sakit dan belum bisa melakukan banyak hal. Waktu Kanaya hampir sepenuhnya tersita untuk merawat Dewangga seminggu ini. Mungkin itu yang membuat Kai merasa cemas, merasa iri pada perhatian yang diberikan unt
Kanaya terus menatap suaminya, Dewangga, yang sejak tadi hanya diam saja, memerhatikannya tanpa sepatah kata pun. Matanya penuh dengan kekesalan, tapi Dewangga tetap tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tatapannya yang diam, seolah menunggu sesuatu yang tidak bisa Kanaya pahami."Kenapa? Mau marah aku?" tanya Kanaya dengan nada menantang, meskipun ia tahu betul bahwa Dewangga tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya. Dulu, jika Dewangga menegurnya, Kanaya hanya diam dan mengabaikan suaminya selama berhari-hari sebagai bentuk pembalasan. Tapi kali ini, perasaannya begitu sulit untuk diredakan.Dewangga hanya menatapnya dengan penuh pengertian, tanpa mengatakan apapun. Lalu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kanaya dengan lembut, mencoba menenangkan suasana yang semakin tegang. Namun, Kanaya merasa kesal dan segera menarik tangannya dengan cepat. Ia berbalik, hendak meninggalkan Dewangga begitu saja.Melihat itu, Dewangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan ekspresi