"Kenapa kamu bawa dia kesini?""Kita harus segera selesaikan permasalahan ini, saya tidak bisa seperti ini terus." Katanya membuat Naya menatap suaminya kesal."Tapi tidak dengan membawa dia kerumah ini!" "Biar semuanya segera selesai, dan kita bisa sama-sama lagi." ujar Dewangga dengan santainya.Apakah suaminya itu tidak berpikir dulu sebelum mengundang mantan istrinya itu kerumah orang tuanya. Bahkan sekarang Naya tidak biasa berbuat apapun karena wanita itu sudah ada di bawah."Kamu itu kebiasaan ya, Mas. Apa-apa di putuskan sendiri." ucap Naya marah."Tapi tidak dengan kamu bawa Savira kerumah ini, Mas!" "Kamu ingin permasalahan saya dengan dia segera selesai kan?" tanya Dewa.Naya juga ingin segera selesai permasalahan rumah tangganya dan mantan istri suaminya itu. Tapi tidak dengan wanita itu di bawa kerumah orang tuanya, Naya masih tidak terima akan hal itu.Tapi Naya ragu dan cemas dengan fakta yang akan dirinya dapat nantinya, apalagi sekarang sudah banyak pertanyaan-perta
Permasalahan mereka memang belum selesai walau Naya tau suaminya tidak bersalah, namun Naya ingin nama suaminya bersih dari tuduhan wanita itu. Tapi kasus ini sangat susah untuk si pecahkan apalagi Savira kekeh mengatakan bahwa anak yang di kandung adalah anak Dewa, suaminya. Dan sudah menghilangkan semua bukti mengenai anak yang di kandungnya itu. Tapi wanita itu baru saja membisikan kepadanya nama laki-laki yang mungkin adalah ayah dari bayi yang di kandung oleh Savira. Tapi bagaimana cara membuktikannya karena wanita itu justru mengatakan dengan jelas bahwa semua bukti sudah mengarah ke suaminya. Dan sampai kapanpun wanita itu akan berusaha merebut Dewa kembali darinya.Licik bukan.Naya memang mengatakan ingin membantu wanita itu, karena Naya harus bisa bersikap tenang dan santai agar wanita itu tidak kembali melakukan hal licik kembali. karena Naya yakin mantan istri suaminya itu pasti sudah memiliki banyak rencana untuk mengambil Dewa kembali.Jadi Naya tidak boleh gegabah dala
Naya yang di tatap seperti itu oleh Dewa hanya bisa semakin melesak kedalam dekapan suaminya dan menangis, entah bagaimana perasaannya saat ini. Naya sedang bertarung dengan perasaannya sendiri karena sekuat apapun Naya menepis perasaannya dengan Dewa tapi nyatanya cinta itu masih ada.Tidak adil bukan, suaminya sudah banyak sekali menyakitinya namun tiba-tiba sekarang Naya tidak siap jika harus kehilangan Dewa. Benar kata orang cinta itu bisa membuat orang bodoh."Kenapa harus menangis, Kanaya?" Dewa menatap Naya yang menangis tersedu di dadanya dan merelakan kemejanya basah dengan air mata istrinya."Kenapa kita ketemu ya terlambat sih, Mas. Kenapa kamu harus nikah dulu sama Savira!" ujar Naya menatap Dewa dengan mata sembabnya namun wajahnya cemberut kesal."Kamu terlalu lama lahirnya." Jawabannya suaminya justru kembali membuat Naya memukul suaminya kesal."Iya, mana dapetnya om-om duda lagi. Tuhan nggak adil banget sama aku."Bukannya marah, Dewa justru tertawa kecil kemudian men
"Tau nggak sih, Mas. Katanya Citra sama mas Naufal mau nikah tapi papanya Citra belum ristuin." Melihat Dewa yang baru saja pulang kerja, bukannya membiarkan suaminya untuk bersih-bersih dulu justru Naya langsung mengajak suaminya itu ngobrol. "Menikah?" tanya Dewa. "Iya, tapi kasian belum dapat restu." ujar Naya cemberut. "Kenapa?" "Katanya sih karena Naufal terlalu tua untuk Citra." Memang sih Naufal itu mungkin seumuran suaminya pasti papanya Citra berpikir dua kali untuk membiarkan anak perempuan satu-satunya menikah dengan om-om. "Dia belum ada 30 tahun," ujar suaminya membuat Naya menatap suaminya tidak percaya. Padahal Naya kira mereka seumuran ternyata tidak. "Hah! Maksud kamu." "Saya sama Naufal beda 3 tahun dia baru mau masuk 30 bulan besok." Naya baru tau ternyata Mas Naufal masih lebih muda dari suaminya tapi kalau di lihat dari wajahnya memang seperti sudah kepala tiga. "Tapi tetap saja, Mas. Mereka beda 6 tahunan." Protes Naya. "Saya sama kamu beda 11 tahun.
"Maaf, Ya. Saya belum bisa jadi suami yang baik buat kamu," Naya menoleh menatap suaminya heran.'Apa-apan tiba-tiba ngomong gitu. Gak kesampet kan?' tanya Naya dalam hati sambil menatap Dewa heran.Sore ini mereka sudah kembali kerumah Dewa, dan memang pindahan mereka tidak sesuai rencana karena harusnya siang mereka pindah, justru Dewa haru ada cara hingga akhirnya mereka baru bisa pindah sore hari. Jadi sampai semalam ini Naya belum selesai beres-beres padahal sudah di bantu bik Rosma siang tadi, tapi tetap Saja perlengkapan Kai sangat banyak, mulai dari skincare, dan yang lainya."Kamu kenapa?" tanya Naya heran."Nggak papa," ujarnya kemudian masuk kedalam kamar dan merebahkan tubuhnya di atas kasur."Aneh," cibir Naya kemudian melanjutkan aktivitas beberesnya. Seperti biasanya suaminya hanya akan menjadi mandiri saja, karena Naya tidak suka jika sedang berberes ada yang membantu karena hasilnya pasti tidak sesuai keinginannya."Besok lagi, udah malam." ujarnya membuat Naya kemba
Naya sempat diam mematung sebentar, melihat Savira yang tiba-tiba ada di depan rumahnya. Karena sudah satu minggu ini Savira sudah tidak lagi menghubunginya namun tiba-tiba datang kerumahnya.Tentu saja Naya terkejut dengan kedatangan mendadak wanita di depannya ini."Gimana, Nay?" Tanyanya langsung."Duduk dulu, Mbak." ujar Naya sopan mempersilahkan Savira yang sedari tadi berdiri di teras rumahnya, apalagi wanita itu sedang hamil."Naya, aku mohon kembalikan Dewa padaku, aku butuh Dewa. Anak aku butuh ayahnya." pinta Savira. Entah, kenapa sekarang Naya sudah kehilangan respect lagi pada wanita di depannya ini. Apalagi wanita ini tidak bisa di ajak bicara baik-baik dan jika dikasari makan akan semakin berani."Mbak, anak aku juga butuh ayahnya. Mbak bisa minta tanggung jawab sama Haikal bukan sama suami aku," "Tapi anak...""Mbak, aku mohon jangan gunakan anak itu hanya untuk memenuhi obsesi kamu saja." "Nay, karir aku udah hancur! Dan orang yang benar-benar perduli denganku sekar
"Nggak usah kerja, aku nggak mau kamu repotin lagi." Naya sudah mengeluarkan tatapan ketusnha pada Dewa.yang lahi ini hendak bekerja."Kamu terlalu lebay kalau saya sakit." Katanya menyubit hidung Naya pelan."Kalau kamu sakit bisa ngurus diri sendiri aku nggak repot,Mas. Kamu kalau lagi sakit dikit-dikit, Kanaya, Kanaya dan Kanaya." "Ya karena kamu istri saya." Jawabnya kemudian duduk di pinggiran ranjang mengurungkan niatnya untuk berangkat kerja, jika dirinya tetap memaksa bisa ngamuk istrinya."Jagain anak aku, jangan di buat nangis!" ujar Naya penuh peringatan."Dia anak saya juga, Kanaya. Tidak mungkin saya buat anak saya memangis." jawab Dewa."Oke, aku kebawah dulu."***"Mbak, ada tamu di depan." ujar Bik Rosma saat Naya baru saja sampai di bawah."Pagi-pagi begini? " "Dia bilang mau ketemu bapak, Mbak. Kalau wajahnya asing kalau buat saya." Naya berpikir sebentar, kira-kira Siapa yang bertemu sepagi ini dan ingin bertemu dengan suaminya. Kalau Naufal pasti akan langsung m
"Dewangga Aditama." Sapa laki-laki yang rambutnya sudah banyak memulihkan itu."Kenapa ada kekantor saya?" tanya Dewa."Kamu tidak mau menawarkan saya minum dulu?" "Langsung saja."Fahri menghembuskan nafasnya, dia tersenyum menatap laki-laki di depannya yang pernah menjadi menantunya. "Kata Savira kamu sudah menikah dan memiliki anak ya, Ngga?" tanya Fahri dengan senyum di wajahnya."Iya." Jawabnya dengan wajah datarnya. Dewangga merasa tidak nyaman kembali di pertemukan dengan mantan ayah mertuanya itu."Jika tidak ada yang ingin anda katakan lagi, silahkan keluar saya sedang sibuk." Dewangga sengaja menarik tali pembatasan agar percapakan mereka tidak banyak basa-basi.Fahri terkekeh, "Saya kesini hari sabtu harusnya kamu tidak begitu sibuk." "Anda bisa langsung ke intinya saja?" "Kamu dan Savira...""Sejak saya kembalikan Savira kepada anda artinya saya sudah tidak ada hubungan apapun dengan Savira." "Kamu harus tau berapa banyak biaya yang saya keluarkan untuk membungkam me
Spesial Kanaya. Kanaya berdiri di depan jendela besar ruang tamu, menatap hujan yang turun perlahan di luar. Mengingat bagaimana perjuangannya untuk bertahan di pernikahannya, Pernikahan mereka dimulai dengan cara yang tidak pernah dia inginkan. Terpaksa, mungkin itulah kata yang paling tepat. Pernikahan yang bukan atas dasar cinta, tetapi lebih karena tuntutan keluarga dan kewajiban yang tidak bisa dielakkan. Dewa, suaminya adalah mantan atasan yang dirinya benci dan dirinya benci waktu saat itu. Namun tuhan justru mempersatukannya dengan Dewa dalam ikatan pernikahan. Dewa adalah pria yang dingin, tertutup, dan jauh dari kata romantis. Dulu, Kanaya sering bertanya-tanya, apakah perasaan suaminya itu benar-benar ada, atau apakah dia hanya seorang pria yang terperangkap dalam rutinitas hidup yang membuatnya sulit untuk mengungkapkan apa pun—termasuk cinta. Namun, ketika Kanaya pertama kali bertemu dengan Dewa, hatinya sempat ragu, bahkan takut. Bagaimana bisa ia menikahi seorang
POV Dewangga Dewa duduk di ruang kerjanya, memandang keluar jendela besar yang menghadap ke kota. Senja mulai turun, dan langit yang tadinya biru cerah kini berubah menjadi jingga yang hangat. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai macam perasaan. Rasanya, hidupnya memang tidak pernah berjalan semulus yang ia inginkan. Ada selalu saja masalah yang datang silih berganti, dan seakan tidak pernah habis. Namun, di balik semua itu, satu hal yang selalu menjadi pegangan Dewa adalah keberadaan Kanaya di sampingnya. Jika ia harus mengakui satu hal yang paling berharga dalam hidupnya, itu adalah Kanaya. Istrinya yang setia, sabar, dan penuh kasih, meskipun mereka sering kali terjebak dalam konflik-konflik yang tak terduga. Kanaya, yang selalu merasa cemas dan khawatir dengan segala yang terjadi, selalu berdiri teguh di sampingnya, mendukungnya dengan sepenuh hati. Dewa tahu, ia tidak selalu menjadi suami yang sempurna. Ada kalanya ia terlalu
Dewa dan Kanaya duduk di balkon rumah mereka, menikmati udara sore yang sejuk. Angin berhembus perlahan, membawa ketenangan setelah melalui hari-hari yang penuh ketegangan. Mereka baru saja menyelesaikan permasalahan besar dengan Soedrajat, dan meskipun situasi masih terbilang sensitif, rasa lega mulai mengalir pelan-pelan. Dewa memandangi istrinya dengan penuh perhatian, senyumnya sedikit lebih lebar dari biasanya. Hari ini adalah hari yang berbeda, hari di mana mereka bisa melangkah tanpa rasa takut, tanpa ancaman yang menggantung di atas kepala mereka.Kanaya menyandarkan kepalanya di bahu Dewa, merasa nyaman dalam pelukan suaminya. Setelah semua drama dan kekacauan yang mereka hadapi, kini mereka bisa menikmati kebersamaan dalam ketenangan. Semua yang terjadi dengan Soedrajat dan permasalahan yang mengikutinya seolah-olah menghilang begitu saja dari benaknya, meskipun ia tahu itu mungkin hanya sementara."Kamu baik-baik saja?" Dewa bertanya, tangannya melingkari tubuh Kanaya denga
Hari ini setelah meraka sama-sama tenang, Dewa mengajak Kanaya untuk datang kediaman Seodrajat, dia ingin segera menyelesaikan. Dewa memarkir mobil di depan rumah besar yang tampak megah namun suram. Rumah Soedrajat, dengan taman yang luas dan pagar tinggi, mencerminkan kekuasaan dan kontrol yang selama ini dia pegang. Namun, malam ini, rumah itu tampak berbeda bagi Dewa. Tidak ada lagi rasa hormat yang dia rasakan untuk pria itu. Yang ada hanya kebencian yang memuncak dan keinginan untuk mengakhiri semua permainan kotor yang sudah terlalu lama berlangsung.Di sebelahnya, Kanaya duduk dengan diam, tangannya menggenggam erat tangan Dewa. Wajahnya terlihat tegang, namun ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Pasti semuanya tidak akan mudah karena yang dirinya hadapi adalah Seodrajat, apalagi setelah semua yang telah terjadi antara mereka."Ini keputusan yang tepat, kan, Mas?" tanya Kanaya dengan suara lembut, meskipun ada keraguan yang terbesit dalam kata-katanya. Apala
Ruangan kantor yang luas itu kini terasa dingin penuh dengan ketegangan. Dewa duduk di sofa kulit hitam, ekspresinya datar, hampir tidak menunjukkan perasaan apapun, tetapi matanya yang tajam memancarkan kekecewaan yang dalam. Di sebelahnya, Kanaya duduk dengan wajah menunduk tidak berani menatap suaminya. Hanya suara detak jam dinding yang berulang-ulang terdengar jelas dalam keheningan yang mencekam ini.“Kenapa nggak bilang sama saya?” Dewa akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya, penuh ketegangan.Kanaya menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tidak meneteskan air mata lagi. Dia tahu, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak hanya menyembunyikan pertemuan itu, tetapi juga melibatkan dirinya dalam urusan yang seharusnya tidak ia ambil. Biasanya, dia selalu bisa berbicara dengan Dewa tentang apapun, tidak ada yang disembunyikan. Tapi kali ini, rasa takut telah menahannya untuk tidak berkata apa-apa.“Biasanya kamu selalu membicarakan semuany
"Kamu tau kenapa saya mengajak kamu bertemu,"Kanaya menatap pria tua yang baru saja datang itu. "Silahkan duduk," "Saya pikir kamu tidak akan seberani ini untuk menemui saya," ujarnya sebelum mendudukan dirinya. "Saya heran kenapa kedua cucu saya memilih kamu sebagai pasangan hidup, padahal masih banyak wanita di luaran sana yang lebih daripada kamu." Ujarnya dengan wajah mengejeknua.Naya menarik minumannya untuk membasahi tenggorokan nya yang mendadak kering."Sebenarnya apa tujuan anda mengajak saya bertem?" tanya Naya langsung.Rasanya sudah tidak bisa jika harus berbasa-basi dengan pria di depannya ini. Seodrajat melipat tangannya di depan dada, menatap Kanaya kemudian tersenyum tipis."Ceraikan Dewangga." Sudah ia duga, jika laki-laki tua di depannya itu meminta dirinya untuk bercerai dengan Dewa. Naya terdiam sejenak berusaha tenang, agar tidak mudah terpengaruh."Saya tidak akan menceraikan suami saya." ucap Kanaya tenang."Saya tidak akan membiarkan cucu saya di pengaruhi
"Terus lo mau gimana, Nay?" tanya Citra yang sejak tadi hanya menyimak cerita sahabatnya itu.Citra hari ini memang sengaja berkunjung kerumah sahabatnya setelah mendengar sedikit tentang masalah yang menimpa sahabatnya itu.Naya hanya bisa menggeleng pelan, tidak tau harus menjawab bagaimana karena Dewa selalu mengatakan padanya untuk tidak terlalu memikirkan permasalahannya dengan Seodrajat. Bahkan pria itu berkali-kali menekankan semuanya akan baik-baik saja.Tapi bagaimana bisa, karena Seodrajat juga menganggunya lewat pesan singkat dengan berisi ancaman.Banyak sekali yang tengah Naya pikiran, yang paling mengganggu pikirannya mengenai keluarga Soedrajat yang tidak pernah lelah menganggu keluarga kecilnya. Apakah dia belum puas dengan apa yang mereka lakukan kepada suaminya, bahkan hingga membuat suaminya trauma dan menjalani hidup berat selama ini."Gue nggak tau,""Percaya sama Pak Dewa, Nay." "Gue selalu percaya sama suami gue, Cit. Tapi gue tetap saja khawatir, selama ini Ma
"Mas kamu nggak seneng kencan sama aku?" Naya mendekat kearah suaminya yang sejak tadi hanya menampilkan wajah datarnya saja, sangat terlihat tidak senang dengan kencan mereka bukan.Dewa menoleh menatap istrinya, "Senang."Jawaban singkat, padat dan tidak ikhlas itu membuat Naya menatap suaminya kesal, dan yang semakin membuat Naya semakin kesal suaminya itu justru asik berbalas pesan dengan Naufal. Walaupun mereka membahas pekerjaan tapi rasanya Naya tidak terima karena harusnya hari ini mereka Quality time.Kanaya sangat tau pekerjaan adalah istri kedua suaminya itu, tapi tidak bisakah suaminya itu bersikap adil?"Katanya hari ini kita kecan?" Naya mengambil ponsel suaminya dan menyembunyikan di belakang tubuhnya."Kanaya," panggil Dewangga pelan sembari meraih ponselnya namun gagal karena Naya sudah lebih dulu memasukan kedalam tasnya."Kamu nggak ikhlas kecan sama aku," ujar Naya sok ngambek, padahal mah biasa saja. Karena sejak awal niatnya hanya untuk mengerjai suaminya saja,
"Papa!" teriak Kai saat melihat papanya baru saja pulang.Naya tersenyum melihat Kai yang berlari dengan senyum merekah di wajahnya kemudian memeluk kaki papanya."Jangan lari, Nanti kalau jatuh gimana?" tanya Dewa sembari mengangkat Kai kegendongannya."Kai hati-hati kok, pa. Kata mama kalau jatuh sakit jadi harus hati-hati." jawabnya dengan suara khas anak kecil yang mengemaskan."Pah, tadi Kai berkebun di belakang rumah." seperti biasa Kai akan menceritakan semua aktivitasnya seharian ini ketika papanya pulang."Oh ya? sama siapa?""Mama." jawab Kai membuat Dewa menatap istrinya yang masih duduk di ruang tengah memperhatikan mereka berdua."Tadi nanam apa?" "Bunga, bunganya warna warni tau, Pah." jawabnya tertawa kecil, menampakkan daratan giginya."Kai sudah berkebun?" Kai mengangguk cepat dengan senyum merekah di wajahnya."Aku bosan, Mas. Jadi nanam beberapa jenis bunga di halaman belakang." sahut Naya yang sedari tadi hanya diam memperhatikan interaksi antara papa dan anak itu