Hari semakin berlalu, namun hubungan Dewangga dan Kanaya masih belum banyak perubahan. Dewangga masih berjuang untuk kembali mendapatkan maaf dari Kanaya. Sedangkan Kanaya sudah mulai berdamai dengan keadaanya dan sudah mulai melakukan aktivitas yang membuatnya senang. Seperti jalan-jalan keliling kompleks setiap hari, dan belanja kebutuhan untuk babynya.Semenjak Naya tinggal dirumah orang tuanya. Dewa juga ikut tinggal dirumah ini dengan alasan untuk menjaga Naya. Dan laki-laki itu bahkan benar-benar menunjukan kesungguhannya untuk memperbaiki hubungan mereka.Seorang Dewangga yang sejak dulu terkenal dengan sifat dingin dan cueknya, sekarang berubah menjadi suami yang perhatian dan siaga. Bahkan laki-laki itu rela begadang demi menemani Naya yang kesulitan tidur akhir-akhir ini, membuatkan susu hamil setiap hari, mengelus punggungnya ketika nyeri dan memijit kakinya yang akhir-akhir ini sering membengkak.Namun hal itu belum membuat Naya luluh begitu saja, wanita itu memang sudah m
"Nggak nyangka sih gue, kalau lo bentar lagi punya anak." Ujar Citra terkekeh membuat Naya ikut tertawa kecil.Saat ini mereka ada di salah satu cafe yang tidak jauh dari kantor suaminya, karena kebetulan Naya baru saja dari mall untuk membeli segala perlengkapan untuk bayinya nanti. Dan karena ini jam makan siang jadi Naya mengajak Citra untuk makan siang bersama. "Gue juga masih nggak percaya," Bahkan sampai sekarangpun rasanya masih tidak percaya jika sebentar lagi dirinya akan memiliki seorang anak. Dan menjelang lahiran ini Naya sering tiba-tiba takut untuk melahirkan, takut tidak bisa menjadi ibu yang baik untuk anaknya nanti dan masih banyak lagi. "Nay, sekarang gimana setelah melihat perubahan Pak Dewangga?" tanya Citra."Gue nggak tau." Naya menggeleng. "Sebenernya gue bingung sama semuanya, Cit. Tapi gue juga takut kalau harus kembali memulai, kan lo tau hidup sama orang yang masih terikat sama masa lalu itu sangat berat." ujar Naya."Coba lo bicara sama pak Dewangga soal
"Hamil?" tanya Naya menatap Savira. Entah dirinya harus percaya atau tidak dengan ucapan wanita di depannya ini. Tapi rasanya tidak mungkin jika suaminya berbuat sampai sejauh itu, tapi bagaimana kalau benar jika memang wanita di depannya ini hamil. 'Tapi bisa jadi bukan anak suaminya, bukan?' batin Kanaya. Naya berusaha untuk tenang dan tidak terbawa emosi. "Terus hubungannya sama saya apa?" "Aku hamil anak Dewangga," Naya terkejut mendengar pengakuan wanita di depannya ini. Namun rasanya sangat susah untuk mempercayai wanita di hadapannya ini, apalagi Dewa sekarang lebih sering dirumah orang tuanya. Bahkan setiap jam hampir mengirimkan pesan singkat kepadanya. "Sudah berapa bulan?" tanya Naya berusaha untuk mencari tau. "Baru masuk 3 bulan." Jawabnya membuat Naya menghela nafas. Tiga bulan, artinya mereka melakukannya sejak rumah tangganya masih baik-baik saja. Karena rumah tangganya dengan Dewa baru renggang sebulan ini. Jika memang benar itu anaknya Dewa. "Terus kenapa k
Sesampainya di rumah sakit, Kanaya sudah masuk kedalam ruang perawatan dan Dewangga sudah menunggu di depan ruang perawatan Naya dengan wajah cemasnya.Mendengar pintu terbuka Dewa segera menghampiri dokternya. "Gimana keadaan istri saya, Dok?""Pak Dewangga, karena ketuban bu Naya sudah pecah dini jadi harus di lakukan operasi untuk menyelamatkan anak dan ibunya...." Jelas dokter yang menangani Naya."Lakukan yang terbaik buat istri saya, Dok." ujar Dewa cepat yang di balas anggukan oleh Dokter itu."Baik, Pak. Sus.. siapkan ruang operasi untuk persalinan Bu Kanaya." "Baik Dok."Dewa terdiam cukup lama, dirinya benar-benar merasa bersalah sudah membentak Naya barusan, dan sekarang istrinya sedang kesakitan di dalam sana untuk melahirkan anak mereka. Dewa benar-benar menyesalinya, dia hanya tidak suka jika Kanaya mengatakan perpisahan di depannya karena dirinya tidak akan pernah bisa berpisah dengan Kanaya."Ngga," suara itu membuat Dewa mendongak dan menatap ayah mertuanya yang bar
Seminggu ini putranya masih berada di dalam inkubator, dan hari ini putranya sudah bisa lepas dari alat-alat medis hal itu membuat Dewangga dan Kanaya sangat bersyukur. Dewangga menecup kening istrinya, "Terimakasih, sudah bertahan Kanaya. Dan membawa malaikat kecil yang sangat tampan untuk saya.."Naya menoleh menatap suaminya beberapa hari terkahir ini Dewangga selalu menemaninya di rumah sakit, dan mungkin laki-laki itu melupakan kewajibannya di kantor."Kamu nggak kerja?" tanya Naya membuat Dewa menggeleng."Kalian lebih penting," seorang Dewangga Aditama mengabaikan pekerjaanya sungguh luar biasa."Aku udah bisa sendiri, kalau kamu mau ker..""Saya ingin disini bersama istri dan anak saya, Kanaya." Potong Dewangga membuat Naya diam."Tapi..""Permisi bapak dan ibu.." suara itu membuat Naya menatap kearah pintu kamar rawat inapnya melihat suster dan dokternya dengan mendorong box bayi putranya seketika matanya berair biasanya Naya hanya bisa melihat di balik kaca dan masuk ketik
Naya hanya diam di atas ranjang rumah sakit, menunggu Dewa menyelesaikan administrasi sebelum mereka pulang. Mereka kembali berdebat akan pulang kemana, Dewa ingin kembali pulang kerumah mereka namun rasanya Naya belum siap karena jika dirinya pulang kerumah mereka artinya mereka akan kembali bersama. Tapi Naya masih ragu dengan semuanya.Karena permasalahan rumah tangganya belum selesai, dan Naya ingin semuanya selesai dulu jika nanti dirinya dan Dewa harus pisah Naya sudah menyiapkan diri dan hatinya.Tapi jika sekarang dirinya harus bersama dengan Dewa dirinya belum bisa karena masalalu suaminya itu masih terikat dengan suaminya. "Nay...," suara itu membuat Naya menatap pintu ruang rawat inap, di sana ada seorang wanita yang menyebabkan dirinya dan Dewa berantem barusan.Ya, dia Savira mantan istri suaminya yang sudah berdiri di depan pintu dengan sebuah paperback berwarna biru. Dia berjalan masuk tanpa di persilahkan kemudian duduk di kursi yang di sediakan di sebelah ranjangnya.
Sampai sekarang dirinya masih menunggu, bagaimana dirinya bisa berdamai dengan keadaan, terlebih dengan permasalahan rumah tangga yang entah akhirnya akan seperti apa. Berulang kali wanita itu mencoba untuk berdamai dengan dirinya namun rasanya sangat susah untuk kembali menguatkan dirinya sendiri. Ternyata dirinya sudah terlalu dalam mencintai suaminya, dan Naya sudah tidak tau bagaimana caranya berhenti. Harusnya perasaan itu hilang seiring berjalannya waktu, tapi nyatanya perasaan itu semakin dalam padahal laki-laki yang sudah menyakitinya.Bodoh. Namun rasanya sangat susah untuk sadar dari kebodohannya itu."Sayang, mama harus gimana kembali berjuang dengan papa kamu atau mama harus mengalah dari suaminya.." lirihnya memeluk putranya dengan air mata yang sudah mulai turun ke pipinya."Bohong kalau mama bilang bisa hadapin semuanya sendiri, mama capek dengan semuanya, sayang." ujar Naya kembali mencium wajah putranya.Setelah melihat putranya sudah tertidur dengan tenang, Naya mem
"Maafkan saya. Tapi tolong tetap percaya sama saya." Pintanya membuat Naya jenggah melihat sikapnya yang terus begitu."Gimana aku mau percaya, kamu nggak pernah mau cerita sama aku. Semuanya kamu pedam sendiri, apalagi pernikahan kamu yang dulu. Kamu masih cinta sama dia atau enggak aja aku nggak tau. Terus sekarang Bagian mana yang harus aku percaya? Sedangkan kamu hanya bilang tolong percaya sama saya, bukankah mau nggak mau aku percaya sama ucapan mantan istri kamu dan berita itu?" Cecar Naya.Lama-lama dirinya sudah tidak lagi bisa menjadi wanita yang tenang dan sabar untuk menghadapi suaminya itu."Saya mohon cukup kamu percaya sama saya." ucapnya membuat Naya semakin kesal. Rasanya sangat ingin memukul laki-laki di depannya itu."Aku males bahas kaya gini terus. Kalau kamu mau aku percaya sama kamu, dan kamu masih mau melanjutkan rumah tangga ini. Kamu cerita dan jelaskan sekarang sama aku. Kalau kamu masih memilih diam berarti kamu memilih untuk tidak melanjutkan hubungan kit
Spesial Kanaya. Kanaya berdiri di depan jendela besar ruang tamu, menatap hujan yang turun perlahan di luar. Mengingat bagaimana perjuangannya untuk bertahan di pernikahannya, Pernikahan mereka dimulai dengan cara yang tidak pernah dia inginkan. Terpaksa, mungkin itulah kata yang paling tepat. Pernikahan yang bukan atas dasar cinta, tetapi lebih karena tuntutan keluarga dan kewajiban yang tidak bisa dielakkan. Dewa, suaminya adalah mantan atasan yang dirinya benci dan dirinya benci waktu saat itu. Namun tuhan justru mempersatukannya dengan Dewa dalam ikatan pernikahan. Dewa adalah pria yang dingin, tertutup, dan jauh dari kata romantis. Dulu, Kanaya sering bertanya-tanya, apakah perasaan suaminya itu benar-benar ada, atau apakah dia hanya seorang pria yang terperangkap dalam rutinitas hidup yang membuatnya sulit untuk mengungkapkan apa pun—termasuk cinta. Namun, ketika Kanaya pertama kali bertemu dengan Dewa, hatinya sempat ragu, bahkan takut. Bagaimana bisa ia menikahi seorang
POV Dewangga Dewa duduk di ruang kerjanya, memandang keluar jendela besar yang menghadap ke kota. Senja mulai turun, dan langit yang tadinya biru cerah kini berubah menjadi jingga yang hangat. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai macam perasaan. Rasanya, hidupnya memang tidak pernah berjalan semulus yang ia inginkan. Ada selalu saja masalah yang datang silih berganti, dan seakan tidak pernah habis. Namun, di balik semua itu, satu hal yang selalu menjadi pegangan Dewa adalah keberadaan Kanaya di sampingnya. Jika ia harus mengakui satu hal yang paling berharga dalam hidupnya, itu adalah Kanaya. Istrinya yang setia, sabar, dan penuh kasih, meskipun mereka sering kali terjebak dalam konflik-konflik yang tak terduga. Kanaya, yang selalu merasa cemas dan khawatir dengan segala yang terjadi, selalu berdiri teguh di sampingnya, mendukungnya dengan sepenuh hati. Dewa tahu, ia tidak selalu menjadi suami yang sempurna. Ada kalanya ia terlalu
Dewa dan Kanaya duduk di balkon rumah mereka, menikmati udara sore yang sejuk. Angin berhembus perlahan, membawa ketenangan setelah melalui hari-hari yang penuh ketegangan. Mereka baru saja menyelesaikan permasalahan besar dengan Soedrajat, dan meskipun situasi masih terbilang sensitif, rasa lega mulai mengalir pelan-pelan. Dewa memandangi istrinya dengan penuh perhatian, senyumnya sedikit lebih lebar dari biasanya. Hari ini adalah hari yang berbeda, hari di mana mereka bisa melangkah tanpa rasa takut, tanpa ancaman yang menggantung di atas kepala mereka.Kanaya menyandarkan kepalanya di bahu Dewa, merasa nyaman dalam pelukan suaminya. Setelah semua drama dan kekacauan yang mereka hadapi, kini mereka bisa menikmati kebersamaan dalam ketenangan. Semua yang terjadi dengan Soedrajat dan permasalahan yang mengikutinya seolah-olah menghilang begitu saja dari benaknya, meskipun ia tahu itu mungkin hanya sementara."Kamu baik-baik saja?" Dewa bertanya, tangannya melingkari tubuh Kanaya denga
Hari ini setelah meraka sama-sama tenang, Dewa mengajak Kanaya untuk datang kediaman Seodrajat, dia ingin segera menyelesaikan. Dewa memarkir mobil di depan rumah besar yang tampak megah namun suram. Rumah Soedrajat, dengan taman yang luas dan pagar tinggi, mencerminkan kekuasaan dan kontrol yang selama ini dia pegang. Namun, malam ini, rumah itu tampak berbeda bagi Dewa. Tidak ada lagi rasa hormat yang dia rasakan untuk pria itu. Yang ada hanya kebencian yang memuncak dan keinginan untuk mengakhiri semua permainan kotor yang sudah terlalu lama berlangsung.Di sebelahnya, Kanaya duduk dengan diam, tangannya menggenggam erat tangan Dewa. Wajahnya terlihat tegang, namun ia tahu bahwa ini adalah langkah yang harus diambil. Pasti semuanya tidak akan mudah karena yang dirinya hadapi adalah Seodrajat, apalagi setelah semua yang telah terjadi antara mereka."Ini keputusan yang tepat, kan, Mas?" tanya Kanaya dengan suara lembut, meskipun ada keraguan yang terbesit dalam kata-katanya. Apala
Ruangan kantor yang luas itu kini terasa dingin penuh dengan ketegangan. Dewa duduk di sofa kulit hitam, ekspresinya datar, hampir tidak menunjukkan perasaan apapun, tetapi matanya yang tajam memancarkan kekecewaan yang dalam. Di sebelahnya, Kanaya duduk dengan wajah menunduk tidak berani menatap suaminya. Hanya suara detak jam dinding yang berulang-ulang terdengar jelas dalam keheningan yang mencekam ini.“Kenapa nggak bilang sama saya?” Dewa akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar lebih berat dari biasanya, penuh ketegangan.Kanaya menarik napas dalam-dalam dan berusaha untuk tidak meneteskan air mata lagi. Dia tahu, dia telah melakukan kesalahan besar. Tidak hanya menyembunyikan pertemuan itu, tetapi juga melibatkan dirinya dalam urusan yang seharusnya tidak ia ambil. Biasanya, dia selalu bisa berbicara dengan Dewa tentang apapun, tidak ada yang disembunyikan. Tapi kali ini, rasa takut telah menahannya untuk tidak berkata apa-apa.“Biasanya kamu selalu membicarakan semuany
"Kamu tau kenapa saya mengajak kamu bertemu,"Kanaya menatap pria tua yang baru saja datang itu. "Silahkan duduk," "Saya pikir kamu tidak akan seberani ini untuk menemui saya," ujarnya sebelum mendudukan dirinya. "Saya heran kenapa kedua cucu saya memilih kamu sebagai pasangan hidup, padahal masih banyak wanita di luaran sana yang lebih daripada kamu." Ujarnya dengan wajah mengejeknua.Naya menarik minumannya untuk membasahi tenggorokan nya yang mendadak kering."Sebenarnya apa tujuan anda mengajak saya bertem?" tanya Naya langsung.Rasanya sudah tidak bisa jika harus berbasa-basi dengan pria di depannya ini. Seodrajat melipat tangannya di depan dada, menatap Kanaya kemudian tersenyum tipis."Ceraikan Dewangga." Sudah ia duga, jika laki-laki tua di depannya itu meminta dirinya untuk bercerai dengan Dewa. Naya terdiam sejenak berusaha tenang, agar tidak mudah terpengaruh."Saya tidak akan menceraikan suami saya." ucap Kanaya tenang."Saya tidak akan membiarkan cucu saya di pengaruhi
"Terus lo mau gimana, Nay?" tanya Citra yang sejak tadi hanya menyimak cerita sahabatnya itu.Citra hari ini memang sengaja berkunjung kerumah sahabatnya setelah mendengar sedikit tentang masalah yang menimpa sahabatnya itu.Naya hanya bisa menggeleng pelan, tidak tau harus menjawab bagaimana karena Dewa selalu mengatakan padanya untuk tidak terlalu memikirkan permasalahannya dengan Seodrajat. Bahkan pria itu berkali-kali menekankan semuanya akan baik-baik saja.Tapi bagaimana bisa, karena Seodrajat juga menganggunya lewat pesan singkat dengan berisi ancaman.Banyak sekali yang tengah Naya pikiran, yang paling mengganggu pikirannya mengenai keluarga Soedrajat yang tidak pernah lelah menganggu keluarga kecilnya. Apakah dia belum puas dengan apa yang mereka lakukan kepada suaminya, bahkan hingga membuat suaminya trauma dan menjalani hidup berat selama ini."Gue nggak tau,""Percaya sama Pak Dewa, Nay." "Gue selalu percaya sama suami gue, Cit. Tapi gue tetap saja khawatir, selama ini Ma
"Mas kamu nggak seneng kencan sama aku?" Naya mendekat kearah suaminya yang sejak tadi hanya menampilkan wajah datarnya saja, sangat terlihat tidak senang dengan kencan mereka bukan.Dewa menoleh menatap istrinya, "Senang."Jawaban singkat, padat dan tidak ikhlas itu membuat Naya menatap suaminya kesal, dan yang semakin membuat Naya semakin kesal suaminya itu justru asik berbalas pesan dengan Naufal. Walaupun mereka membahas pekerjaan tapi rasanya Naya tidak terima karena harusnya hari ini mereka Quality time.Kanaya sangat tau pekerjaan adalah istri kedua suaminya itu, tapi tidak bisakah suaminya itu bersikap adil?"Katanya hari ini kita kecan?" Naya mengambil ponsel suaminya dan menyembunyikan di belakang tubuhnya."Kanaya," panggil Dewangga pelan sembari meraih ponselnya namun gagal karena Naya sudah lebih dulu memasukan kedalam tasnya."Kamu nggak ikhlas kecan sama aku," ujar Naya sok ngambek, padahal mah biasa saja. Karena sejak awal niatnya hanya untuk mengerjai suaminya saja,
"Papa!" teriak Kai saat melihat papanya baru saja pulang.Naya tersenyum melihat Kai yang berlari dengan senyum merekah di wajahnya kemudian memeluk kaki papanya."Jangan lari, Nanti kalau jatuh gimana?" tanya Dewa sembari mengangkat Kai kegendongannya."Kai hati-hati kok, pa. Kata mama kalau jatuh sakit jadi harus hati-hati." jawabnya dengan suara khas anak kecil yang mengemaskan."Pah, tadi Kai berkebun di belakang rumah." seperti biasa Kai akan menceritakan semua aktivitasnya seharian ini ketika papanya pulang."Oh ya? sama siapa?""Mama." jawab Kai membuat Dewa menatap istrinya yang masih duduk di ruang tengah memperhatikan mereka berdua."Tadi nanam apa?" "Bunga, bunganya warna warni tau, Pah." jawabnya tertawa kecil, menampakkan daratan giginya."Kai sudah berkebun?" Kai mengangguk cepat dengan senyum merekah di wajahnya."Aku bosan, Mas. Jadi nanam beberapa jenis bunga di halaman belakang." sahut Naya yang sedari tadi hanya diam memperhatikan interaksi antara papa dan anak itu