Senyum manis di wajah cantiknya seketika pudar, matanya terpaku pada seorang wanita dengan rambut pirang sebahu yang tersenyum kearah mereka.“Nggak papa,” jawab Anita.Naya terpaksa tersenyum, karena wanita di depannya ini adalah mantan istri Dewa yang membuat Naya selalu merasa takut, kesal dan marah. Dirinya takut jika Dewa akan kembali dengan wanita itu karena Naya tau suaminya masih belum bisa move on dari mantan istrinya dan akan membuatnya menjadi janda. Apalagi Naya tau jika suaminya itu belum mencintainya jadi kapan saja bisa pergi darinya. Dulu Naya tidak mempermaslahkan jika Dewa akan kembali dengan mantan istrinya itu. Tapi, sekarang Naya tidak akan membiarkan begitu saja.Entah perasaan itu kapan datangnya, namun Naya baru menyadari bahwa dirinya takut kehilangan pria itu, bahkan merasa cemburu saat kemaren mendegar suaminya makan siang bersama dengan matan istrinya.“Ka-kanaya, Ya.” Savira seolah mengingat siapa dirinya, bahkan terlihat berpura-pura menyapanya padahal
“Lo nggak coba tanya?” tanya Citra membuat Naya menggeleng.Pertengkaran kali ini cukup lama bahkan Naya memutuskan untuk tidur di kamar tamu sejak malam itu, karena suaminya masih bungkam, dan kali ini Naya masih betah mendiamkan suaminya.Entah kapan sampai kapan Naya mendiamkan suaminya kali ini, tapi dirinya sudah benar-benar lelah dengan suaminya. Sebenarnya Naya merasa bersalah membiarkan Dewa mengurus dirinya sendiri karena Naya selalu menghindar dari Dewa.Bahkan sudah tiga hari Naya tidak menemui suaminya sama sekali. Selalu keluar kamar sebelum suaminya itu pergi dan kembali masuk mengunci kamar tamu hingga Dewa tidak bisa masuk.“Gue capek, Cit. Dua bulan pernikahan gue hanya diam menunggu dia cerita sendiri ke gue, tapi apa yang gue dapat dia selalu menghindar ketika gue tanya."“Tapi kalau lo nggak mencoba bicara sama pak Dewa, mau sampai kapan lo seperti ini?”Naya mendendikan bahunya dengan wajah lelah dan pasrahnya.”Gue yakin mas Dewa sama Savira pisah karena sesuatu, d
“Tapi beda,Nay.” ujar bundanya membuat Naya hanya memutar bola matanya malas.Apa yang beda? Sama bukan, sama-sama pernah menikah sebelumnya. Lalu apa yang di permasalahkan oleh bundanya sekarang. Atau karena Dewa duda pilihan ayahnya?“Udah ya, Bun. Nggak usah ngomongin orang.”“Kalau Dewa kan sudah terverifikasi kebaikannya, kalau dia kan belum,”Naya hanya bisa memutar bola matanya malas, bagaimana bisa bundanya seyakin itu bahwa Dewa adalah laki-laki yang baik, padahal anaknya saja sering di buat kesal dan menangis oleh laki-laki itu.“Sebelum ayah memilih Dewa sudah jelas ada seleksinya. Dan menurut ayah dan bunda, Dewa cocok untuk kamu.” imbuh bundanya lagi.Naya hanya bisa tersenyum miring, menarik nafas dalam-dalam, begitu yakinkah orang tuanya dengan Dewa?"Kenapa kamu nggak terima, bunda bilang suami kamu baik?”Naya hanya diam dan menghela nafas lelah, bahkan Naya tidak tahu harus menjawab apa sekarang.“Kamu berantem sama Dewa?” tuduh bundanya langsung membuat Naya menatap
Naya masih betah berada di pelukan suaminya malam ini, selama ini Naya selalu terpaku saat melihat Dewa tanpa atasan seperti ini, karena terdapat bekas luka di tubuh pria ini, tidak hanya satu tapi ada beberapa yang menurutnya bukan bekas luka kecil. Hal itu selalu menjadi perhatian Naya. “Kamu dulu suka berantem?” tanyanya mendongak menatap wajah suaminya. Dewa hanya mengelengkan kepalanya. “Terus ini kenapa?” tanya Naya menyentuh bekas luka yang ada di bahu dan lengan suaminya. “Kecelakaan, saat jadi tukang bangunan.” jawab Dewa. Namun Naya yang melihat itu justru menatapnya dengan mata berkaca-kaca seberat apa kehidupan Dewa dulu. Hingga banyak sekali bekas luka yang ada di badan suaminya, laki-laki yang selama ini terlihat angkuh, dingin dan tertutup ini ternyata menyimpan banyak hal yang Naya tidak tau. “Kalau yang ini?” tanya Naya beralih ke bagian perut bawah Dewa yang terdapat bekas luka yang cukup besar dan Naya menebak ini adalah bekas tusukan. Dewa diam, bekas luka itu
“Mas, nggak sadar? Kalau sudah tua?” tanya Naya menatap suaminya.“Saya baru 32 tahun, Kanaya.” balas suaminya tidak terima.Hal itu membuat Naya terkekeh, ternyata seorang Dewangga Aditama tidak menyukai jika dirinya menyinggung soal umur.“Mas,” panggil Naya menatap suaminya namun sepertinya suaminya justru membuang muka, hal itu kembali membuat Naya terkekeh, ternyata suaminya bisa ngambek juga.Naya menangkup wajah Dewa dengan kedua tangannya, hingga mau tidak mau sekarang Dewa menatap istrinya.“Walaupun kamu tua, aku tetap mau kok mas,” ujarnya tersenyum manis menatap suaminya.“Kamu nggak masalah kalau saya tua?” tanya Dewa lagi-lagi membuat Naya tersenyum, kenapa lucu sekali suaminya ini.“Hmm,” Naya seolah berfikir membuat Dewa hendak memalingkan muka, tetapi Naya lebih cepat kembali menahan kepala laki-laki itu agar tidak memalingkan mukanya.“Mau kamu setua apapun aku nggak masalah, karena sekarang kamu suami aku.”Setelah mendapat jawaban itu, Dewa melepaskan tangan Naya da
Setelah suaminya berangkat kerja, hanya tersisa keheningan dan kesepian Naya tidak suka hal ini karena di rumah seluas ini hanya ada dirinya sendirian.Saat dirinya sedang bersantai di ruang tengah sambil memperhatikan ikan kesayangan suaminya tiba-tiba ponselnya bergetar, mau tidak mau dirinya meraih ponsel yang ada di meja.“Kenapa dia telpon?” Naya menghembuskan nafasnya pelan, melihat nama yang tertera di ponselnya, Andrian. Bahkan Naya baru tahu jika dirinya masih menyimpan nomor mantannya itu. Naya memilih mengabaikan panggilan Rian dan memilih mematikan handphonenya.Daripada dirinya berfikir yang tidak penting, lebih baik dirinya jalan-jalan keluar sekaligus belanja kebutuhan rumah. Naya berjalan ke arah kamar untuk bersiap setelah selesai Naya segera meraih tas selempangnya tidak lupa menyemprotkan parfum ke badannya dengan senyum merekah di wajahnya.Naya segera berlari ke arah pintu dan membukanya, betapa terkejutnya melihat laki-laki yang ingin dirinya hindari, Rian.“Nay,
Saat ini Naya sedang berada di danau dekat rumahnya, untuk menenangkan diri. Karena Naya butuh tempat yang sepi untuk menenangkan diri dari rasa kecewa, marah dan sedih yang bercampur menjadi satu.“Sialan!” teriak Naya.Teriakan demi teriakan mengema, berharap rasa sesak di dadanya akan berkurang. Namun hanya isak tangis yang kembali Naya dapatkan.Kenapa hidupnya sedrama ini, pacaran tidak di ristui, dan di pisahkan oleh ayahnya sendiri kemudian di jodohkan dengan laki-laki duda pilihan ayahnya. Dan apesnya laki-laki itu tidak mencintainya.Cukup lama dirinya berada di danau ini untuk meratapi nasibnya, hingga dirinya tidak sadar matahari mulai terbenam namun dirinya masih betah disini. Menyisakan senja yang terlihat sangat indah sore ini.Naya tersenyum mengingat kisah hidupnya. Yang seperti senja, keindahan yang datang walau sebentar, bahkan harus kembali menunggu untuk kembali melihat keindahan itu. Senja mulai menghilang digantikan cahaya bulan yang membuat Naya tersadar, jika
“Nggak tau,” jawab Naya ragu.Dirinya tidak tahu harus bagaimana, semuanya begitu membingungkan untuknya. Mau marah dengan ayahnya pun rasanya sudah percuma, semuanya sudah terjadi dan sekarang dirinya juga sudah menikah dengan Dewa.Naya menatap laki-laki yang sudah tiga bulan ini bersamanya, sudah banyak sekali merubah hidupnya. “Kenapa?” tanya Dewa.“Kalau kamu jadi aku, kamu akan gimana, Mas?” tanyanya menatap Dewa serius.“Gimana apanya?” tanya Dewa dengan wajah bingungnya.Hal itu membuat Naya berdecak kesal, sepertinya dirinya salah meminta pendapat suaminya. Karena Dewa tidak akan pernah mau mengutarakan isi hatinya dan akan memilih untuk diam.Hal itu membuat Naya selalu penasaran dengan isi pikiran suaminya yang sangat susah untuk dirinya tebak, bahkan suaminya selalu terlihat tenang seolah tidak pernah memiliki masalah dan hebatnya selalu terlihat baik-baik saja.“Sudah malam, kamu butuh istirahat.”Naya menatap suaminya kesal. Namun tetap menuruti perintah suaminya untuk
"Kemarin seru, ya, Mas?" tanya Kanaya dengan senyum nakal, matanya yang cerah menatap Dewangga yang tengah duduk bersandar di headboard ranjang, sibuk membaca buku tebal yang tampaknya tak pernah jauh dari tangannya.Kemarin adalah hari penuh keceriaan, waktu berkualitas yang dihabiskan bersama keluarga kecil mereka. Laughter and joy filled the house—penuh tawa dan kebahagiaan. Namun, kini mereka kembali pada rutinitas masing-masing, dan semua itu seolah menjadi kenangan manis yang terpatri dalam hati.Dewangga menoleh sejenak dan mengangguk. "Kai terlihat bahagia kemarin," ujarnya dengan suara pelan, seperti mengingat kembali momen itu dengan penuh rasa syukur."Kai aja? Emang Mas nggak bahagia?" tanya Kanaya dengan nada menggoda, membiarkan pertanyaan itu mengalir begitu saja, berharap Dewangga menangkap leluconnya."Jika anak dan istri saya bahagia, maka saya juga bahagia, Kanaya," jawab Dewangga, suaranya tenang, namun ada kehangatan yang menyertai kata-katanya. Senyumnya yang tul
Pagi itu, Kanaya terbangun dan langsung disuguhi pemandangan romantis antara ayah dan anak. Dewangga tengah menciumi wajah putranya, Kai, yang masih terlelap dalam tidurnya.“Aku nggak di-cium?” tanya Kanaya, dengan wajah cemberut dari balik selimut, membuat Dewangga menoleh sejenak ke arahnya.Namun, bukannya menjawab, Dewangga malah kembali menciumi pipi Kai, seakan tidak peduli dengan Kanaya yang sedang merajuk.“Mas,” Kanaya memanggil dengan nada menggoda.Dewangga menoleh sejenak, lalu bangkit dan turun dari ranjang."Loh, mau ke mana?" tanya Kanaya saat melihat suaminya bergerak menuju pintu."Kamar mandi, mau ikut?" tanya Dewangga santai, namun dengan senyum yang khas."Males," jawab Kanaya malas, lalu menatap Kai yang masih tertidur lelap. Tidur Kai pagi itu tampak jauh lebih nyenyak daripada malam sebelumnya yang sedikit rewel.Setelah selesai dengan rutinitasnya, Dewangga kembali ke kamar, di mana Kanaya tengah bercanda dengan Kai di atas ranjang. Jika kalian berpikir Dewang
“Beneran pekerjaan kamu udah selesai? Aku nggak mau, ya, nanti tiba-tiba harus pulang gara-gara kerjaan kamu,” ucap Kanaya dengan nada sedikit kesal.Ia melirik Dewangga yang duduk bersandar di kepala ranjang, laptop bertengger di pangkuannya. Matanya tetap terpaku pada layar, jemarinya mengetik cepat.Walaupun Dewangga sudah banyak berubah tidak sedingin dulu, namun untuk yang satu ini sepertinya tidak akan berubah. Karena di mana pun mereka berada, pekerjaan selalu menjadi prioritas utama.“Hanya mengecek laporan sebentar,” jawab Dewangga santai, tanpa menoleh sedikit pun.Kanaya mendesah pelan, kemudian mengalihkan perhatiannya ke putra mereka, Kai, yang tertidur di tengah-tengah mereka. Nafasnya teratur, wajah mungilnya tampak begitu damai. Senyum kecil muncul di bibir Kanaya, lalu dengan lembut ia mengulurkan tangan untuk membelai pipi anaknya.“Jangan diganggu, dia baru tidur,” tegur Dewangga lembut, masih dengan mata tertuju ke laptop.Kanaya mendengus kecil, lalu cemberut. “A
"Suami kamu jadi nyusul, Nay?" tanya Eyang dengan wajah penuh tanya, membuat Naya menggelengkan kepala. Ia tidak tahu pasti, karena semalam Dewangga mengatakan masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan."Belum tahu, Yang. Soalnya Mas Dewa lagi ada proyek baru," jawab Kanaya sambil tersenyum tipis.Eyang Ratih mengangguk bijak. "Gak papa, suami kamu itu memang pekerja keras dari dulu. Kamu harus lebih pengertian dengan pekerjaan suamimu, Nak," katanya sambil menatap cucunya dengan penuh kasih sayang.Kanaya mengangguk pelan. "Naya sekarang sudah lebih mengerti kok, Yang. Sebelum menikah pun, Mas Dewa memang suka kerja, tapi semenjak ada Kai, dia mulai lebih bisa membagi waktu."Kanaya mengingat bagaimana dulu ia selalu mempermasalahkan kebiasaan Dewangga yang workaholic, bahkan sering kali waktu mereka bersama terasa terbatas karena suaminya lebih banyak di kantor."Kai, anak kamu mirip banget sama papanya," ujar Ratih sambil terkekeh, melihat Kai yang asyik bermain dengan sepu
Pagi ini, suasana di dalam mobil terasa hening. Dewangga mengemudi dengan wajah serius, hanya sesekali mengalihkan pandangannya ke spion atau dashboard, tanpa banyak kata. Kanaya duduk di sampingnya, berusaha mencairkan suasana, tetapi setiap kali ia membuka suara, suaminya hanya memberi gumaman atau jawaban sepintas. Tidak ada kehangatan seperti biasanya. Dewangga tampak begitu jauh, seolah keberangkatan mereka bukanlah hal yang dia inginkan.Kanaya merasakan ketegangan itu dengan jelas. Ia tahu, jika terus memaksa berbicara, suaminya bisa saja berubah pikiran dan membatalkan izin untuk pergi. Itu adalah sesuatu yang sangat ingin ia hindari. Ia sudah menunggu kesempatan ini begitu lama, sebuah kesempatan untuk bertemu keluarganya di Yogyakarta, meski hanya untuk beberapa hari. Namun, perasaan Dewangga yang gelisah, seolah membawa kecemasan yang tak terucapkan, membuatnya merasa bimbang.Mobil mereka akhirnya memasuki area bandara. Di kejauhan, Kanaya bisa melihat keluarganya sudah me
"Cucu Oma makin ganteng aja," ujar Ika sambil menciumi pipi cubby cucunya dengan gemas. Wajah Kai yang bulat dan menggemaskan membuat hati Ika semakin hangat setiap kali melihatnya.Hari itu, Ika sengaja mengunjungi putrinya setelah beberapa waktu tidak bertemu. Rasa rindu kepada cucunya semakin membuncah, dan akhirnya ia memutuskan untuk datang."Di minum, Bun" ujar Kanaya mempersilahkan, sambil menaruh nampan berisi minuman dan makanan ringan untuk bundanya.Ika tersenyum. "Dewangga lagi sibuk banget, Nay?" tanyanya dengan tatapan penuh perhatian.Kanaya mengangguk pelan, sedikit terlihat lelah. Sejak kecelakaan di Bali beberapa minggu yang lalu, suaminya memang terlihat sangat sibuk. Pekerjaan dan masalah yang datang setelah kecelakaan itu membuat Dewangga hampir tidak punya waktu untuk istirahat."Iya, Bun," jawab Kanaya, membuka bungkus snack untuk Kai, yang tampaknya sudah mulai lapar. Snack itu adalah oleh-oleh dari Oma Ika.Ika menarik napas panjang, seolah berpikir sejenak se
"Beneran mau kerja?" tanya Kanaya, suaranya penuh keraguan setelah kembali dari kamar putranya.Dia melihat Dewangga yang sudah berdiri di depan cermin dengan pakaian kerjanya, terlihat begitu siap untuk meninggalkan rumah. Kanaya mendekat dan meraih dasi di tangan suaminya, lalu mulai memakaikannya dengan lembut."Rambut kamu udah kepanjangan," ujar Kanaya sambil menatap rambut Dewangga yang mulai menutupi dahinya, seakan menyembunyikan sebagian dari wajahnya yang serius itu.Dewangga hanya terdiam, memilih untuk menatap Kanaya yang sedang dengan cekatan menyimpulkan dasinya. Kanaya merasa suaminya memperhatikannya dengan penuh perhatian, membuatnya sedikit salah tingkah. Tanpa sadar, dia mendongak dan membalas tatapan Dewangga, meskipun tinggi mereka sangat berbeda. Dia hanya sejajar dengan dada suaminya."Kenapa?" tanya Kanaya, sedikit canggung, sambil mengelus rahang Dewangga dengan lembut. Senyumnya terbit, meski hatinya sedikit tergerak oleh perhatian suaminya."Kenapa?" Dewangg
"Mau sama Mama," Kai memeluk erat leher Kanaya, bahkan tidak mau melepaskan, meskipun sejak tadi Kanaya sudah berusaha membujuk putranya dengan lembut."Anak mama bobok yaa," "Ndak mau," Kai menggeleng keras, suara tangisan mulai terdengar, membuat hati Kanaya semakin terenyuh.Kanaya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan Kai, mengelus punggungnya dengan lembut. "Bobo yaa, sudah malam," bisiknya, mencoba memberikan ketenangan. Ia mengecup kepala Kai beberapa kali, merasakan kehangatan tubuh kecil itu yang semakin membuatnya merasa sulit untuk melepaskannya.Kanaya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya tidur, namun mata Kai belum juga terpejam. Mungkin Kai merasa ada yang berbeda malam ini, apalagi Dewangga, suaminya, yang tengah sakit dan belum bisa melakukan banyak hal. Waktu Kanaya hampir sepenuhnya tersita untuk merawat Dewangga seminggu ini. Mungkin itu yang membuat Kai merasa cemas, merasa iri pada perhatian yang diberikan unt
Kanaya terus menatap suaminya, Dewangga, yang sejak tadi hanya diam saja, memerhatikannya tanpa sepatah kata pun. Matanya penuh dengan kekesalan, tapi Dewangga tetap tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tatapannya yang diam, seolah menunggu sesuatu yang tidak bisa Kanaya pahami."Kenapa? Mau marah aku?" tanya Kanaya dengan nada menantang, meskipun ia tahu betul bahwa Dewangga tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya. Dulu, jika Dewangga menegurnya, Kanaya hanya diam dan mengabaikan suaminya selama berhari-hari sebagai bentuk pembalasan. Tapi kali ini, perasaannya begitu sulit untuk diredakan.Dewangga hanya menatapnya dengan penuh pengertian, tanpa mengatakan apapun. Lalu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kanaya dengan lembut, mencoba menenangkan suasana yang semakin tegang. Namun, Kanaya merasa kesal dan segera menarik tangannya dengan cepat. Ia berbalik, hendak meninggalkan Dewangga begitu saja.Melihat itu, Dewangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan ekspresi