Setelah suaminya berangkat kerja, hanya tersisa keheningan dan kesepian Naya tidak suka hal ini karena di rumah seluas ini hanya ada dirinya sendirian.Saat dirinya sedang bersantai di ruang tengah sambil memperhatikan ikan kesayangan suaminya tiba-tiba ponselnya bergetar, mau tidak mau dirinya meraih ponsel yang ada di meja.“Kenapa dia telpon?” Naya menghembuskan nafasnya pelan, melihat nama yang tertera di ponselnya, Andrian. Bahkan Naya baru tahu jika dirinya masih menyimpan nomor mantannya itu. Naya memilih mengabaikan panggilan Rian dan memilih mematikan handphonenya.Daripada dirinya berfikir yang tidak penting, lebih baik dirinya jalan-jalan keluar sekaligus belanja kebutuhan rumah. Naya berjalan ke arah kamar untuk bersiap setelah selesai Naya segera meraih tas selempangnya tidak lupa menyemprotkan parfum ke badannya dengan senyum merekah di wajahnya.Naya segera berlari ke arah pintu dan membukanya, betapa terkejutnya melihat laki-laki yang ingin dirinya hindari, Rian.“Nay,
Saat ini Naya sedang berada di danau dekat rumahnya, untuk menenangkan diri. Karena Naya butuh tempat yang sepi untuk menenangkan diri dari rasa kecewa, marah dan sedih yang bercampur menjadi satu.“Sialan!” teriak Naya.Teriakan demi teriakan mengema, berharap rasa sesak di dadanya akan berkurang. Namun hanya isak tangis yang kembali Naya dapatkan.Kenapa hidupnya sedrama ini, pacaran tidak di ristui, dan di pisahkan oleh ayahnya sendiri kemudian di jodohkan dengan laki-laki duda pilihan ayahnya. Dan apesnya laki-laki itu tidak mencintainya.Cukup lama dirinya berada di danau ini untuk meratapi nasibnya, hingga dirinya tidak sadar matahari mulai terbenam namun dirinya masih betah disini. Menyisakan senja yang terlihat sangat indah sore ini.Naya tersenyum mengingat kisah hidupnya. Yang seperti senja, keindahan yang datang walau sebentar, bahkan harus kembali menunggu untuk kembali melihat keindahan itu. Senja mulai menghilang digantikan cahaya bulan yang membuat Naya tersadar, jika
“Nggak tau,” jawab Naya ragu.Dirinya tidak tahu harus bagaimana, semuanya begitu membingungkan untuknya. Mau marah dengan ayahnya pun rasanya sudah percuma, semuanya sudah terjadi dan sekarang dirinya juga sudah menikah dengan Dewa.Naya menatap laki-laki yang sudah tiga bulan ini bersamanya, sudah banyak sekali merubah hidupnya. “Kenapa?” tanya Dewa.“Kalau kamu jadi aku, kamu akan gimana, Mas?” tanyanya menatap Dewa serius.“Gimana apanya?” tanya Dewa dengan wajah bingungnya.Hal itu membuat Naya berdecak kesal, sepertinya dirinya salah meminta pendapat suaminya. Karena Dewa tidak akan pernah mau mengutarakan isi hatinya dan akan memilih untuk diam.Hal itu membuat Naya selalu penasaran dengan isi pikiran suaminya yang sangat susah untuk dirinya tebak, bahkan suaminya selalu terlihat tenang seolah tidak pernah memiliki masalah dan hebatnya selalu terlihat baik-baik saja.“Sudah malam, kamu butuh istirahat.”Naya menatap suaminya kesal. Namun tetap menuruti perintah suaminya untuk
Naya terdiam, semuanya memang terasa rumit bahkan membingungkan. Laki-laki yang berdiri di depannya ini adalah laki-laki yang pernah menjadi alasannya dirinya bahagia empat tahun lalu.Dengan pria itu Naya merasakan bagaimana rasanya dicintai oleh seorang pria. Karena Rian adalah cinta pertamanya, sebelumnya Naya tidak pernah dekat dan tertarik untuk menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Semuanya berbeda ketika dirinya bertemu dengan Rian. Bahkan mereka menjalin hubungan sudah sangat lama sejak dirinya masuk bangku perkuliahan hingga satu tahun lalu, sekitar 4 tahunan mereka dekat. Namun satu tahun lalu hubungan mereka kadas, Rian datang untuk membatalkan pernikahan mereka.Dan saat itu Naya sangat hancur, apalagi setelah mengetahui kenapa Rian meninggalkannya dirinya semakin kecewa. Rian mungkin tidak sepenuhnya salah, karena kadasnya hubungan mereka karena ada campur tangan ayahnya. Namun sekarang semuanya sudah berubah bukan? Dirinya sudah menikah dan sudah membuka buku baru
Ini sudah hari ketiga dimana suaminya pergi keluar kota, dan malam ini harusnya suaminya sudah pulang. Naya berjalan mondar-mandir untuk menunggu suaminya pulang, dirinya cemas karena diluar sedang hujan deras. Naya melirik jam dinding sudah menunjukan pukul 23.00, namun belum ada tanda-tanda suaminya akan pulang.“Po, papa kamu kok belum pulang, ya?” tanyanya pada pipo, ikan peliharaan suaminya. Karena kakinya sudah pegal karena mondar-mandir akhirnya Naya berjalan ke kamar mencoba untuk tidur. Namun tetap saja dirinya tidak bisa. Apalagi Naya melihat story mantan istri suaminya itu juga ada di surabaya kemarin, entahlah Naya memang mencari penyakit karena masih kepo dengan mantan istri suaminya itu hingga membuat second account hanya untuk memantaunya.Tidak. Tidak. Naya menggelengkan kepalanya mengusir prasangka buruk itu dari sana. Dia tidak ingin berpikiran buruk, namun melihat story mantan istri Dewa itu kemungkinan mereka bertemu. Apalagi jika wanita itu memposting foto pem
Kesepian? mungkin awal-awal pernikahan Naya selalu merasakan kesepian, apalagi setelah menikah Naya tidak di perbolehkan bekerja oleh Dewa dan menjadi pengangguran sukses.Dan makin kesini Naya sudah terbiasa dengan sifat Dewa yang dingin dan kaku itu. Kalau Dewa diam artinya Naya harus berisik, bukankah pasangan harus saling melengkapi?“Nggak kok, buk. Naya sudah terbiasa sekarang dan sudah bisa memaklumi sifat Mas Dewa yang sedikit irit kalau bicara itu.” ujar Naya terkekeh.“Iya, ibu aja sering kesal, Nay. Kalau ngomong sama suami kamu jawabannya cuma ham hem doang,” ujar Aida dengan wajah kesalnya.Ternyata sifat Dewa yang dingin, kaku dan irit bicara tidak tidak hanya kepadanya namun kepada semua orang bahkan dengan ibunya sendiri pun begitu.Aida menatap menantunya kemudian mengelus wajah Naya dengan sayang.”Ternyata pilihan Dewa memang tidak salah,” “Maksud ibu?” tanya Naya terkejut.Ibu mertuanya menarik nafas, sepertinya ragu untuk menceritakannya. Namun jiwa kepo Naya meng
“Beneran, aku cantik?” tanya Naya mendekat kearah suaminya.Dewa hanya mengangguk, seketika senyum Naya semakin lebar. Bagaimana tidak, selama menikah dengan Dewangga baru ini laki-laki itu memuji dirinya cantik, walaupun dengan wajah datarnya.Walaupun begitu, Naya tetap senang karena di puji suaminya untuk pertama kalinya, bahkan yang awalnya Naya kesal, jengkel dan marah dengan suaminya seketika hilang begitu saja.Dewa kembali menunggu Naya dengan duduk di pinggiran ranjang dengan wajah datarnya, hal itu membuat Naya tersenyum mendekat kearah Dewa dan mendekat menempelkan keningnya untuk mendorong kening Dewa. Awalnya Naya hanya iseng karena gemas dengan tingkah suaminya yang terkadang sangat lucu, padahal mulutnya memuji dirinya cantik tapi wajahnya tetap datar, berasa di puji seorang robot bukan?Keisengan Naya ternyata membuat Dewa terpancing dan mencium bibir istrinya.“Ish jangan cium-cium, lipstiku jelek nanti.” Naya mendorong dada suaminya. Padahal di dalam hatinya senang k
Ayah nggak mungkin melakukan sesuatu tanpa alasan, Nay.” ujar Riski.Mungkin yang di bilang kakaknya benar, tapi tetap saja yang dilakukan ayahnya bukan hal yang benar, karena dengan masalah itu semuanya kembali rumit.Apalagi Rian yang terus-terusan mendekatinya kembali, dan selalu menyalahkan ayahnya karena kejadian 1 tahun lalu. “Rian bukan laki-laki yang baik buat kamu.” ujar Riski dengan wajah seriusnya.“Nggak baik gimana?” tanya Naya.“Ayah kerjasama dengan Om Wira untuk mengirim Rian ke luar negeri?” “Om Wira?” tanya Naya dengan wajah tidak percayanya.Wira adalah ayah kandung Rian, tapi bagaimana bisa, bahkan Wira datang kerumah Naya untuk meminta maaf setelah Rian berangkat ke luar negeri, kenapa semuanya membingungkan.“Iya, coba kamu pikir lagi, Nay. Ayah mana punya teman yang memiliki perusahaan di luar negeri, kita bukan konglomerat seperti Om Wira.” Sial, Naya baru tersadar bagaimana bisa dirinya melupakan hal itu, tidak mungkin juga Om Wira memperbolehkan putra tung
Hari itu, rumah Dewangga dipenuhi oleh kolega dan teman-temannya. Sejak pagi, Kanaya tak sempat beristirahat sedikit pun karena tamu yang datang silih berganti. Keramaian ini adalah hal yang baru baginya, apalagi karena ia bukan tipe orang yang sering terlibat dalam acara-acara pekerjaan suaminya.Di tengah keramaian itu, salah satu rekan kerja Dewangga mendekat dan tanpa basa-basi berkata, "Pantas saja sekarang Dewa nggak pernah lama-lama di kantor, istrinya cantik, masih muda pula." Kanaya hanya bisa terdiam, bingung dan sedikit canggung karena ia tidak mengenali pria itu. Dewangga hanya tersenyum kecil, sementara rekan-rekan lain ikut melemparkan candaan yang membuat suasana semakin riuh. Bahkan Ayah mertuanya ikut tertawa, karena disini Dewangga terkena bahan keisengan para sahabatnya hal itu cukup membuat suasannya terasa hangat.Sementara itu, Kanaya memilih untuk duduk tenang di ruang tengah bersama para ibu-ibu yang sedang asyik berbincang. Mereka lebih banyak membahas anak-an
"Saya nggak tahu kenapa dia ada di sini," ujar Dewangga, nada suaranya datar tetapi menyimpan tanya.Naya tak langsung menjawab. Sebaliknya, ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang mengaduk dirinya. Ia tahu, Savira—mantan istri suaminya—tidak lagi memiliki hubungan apa pun dengan Dewangga. Tapi, rasa tidak nyaman tetap merayap di hatinya. Bagaimana mungkin ia bisa merasa tenang berada dalam satu ruangan yang sama dengannya?"Kanaya," suara Dewangga memecah lamunan Naya, lembut namun tegas. Ia menatap suaminya, mencoba mengendalikan gejolak di dadanya."Mbak Vira tinggal di sini, Mas," ujar Naya pelan, seolah mengungkapkan rahasia yang ia simpan. Pernyataannya membuat Dewangga mengernyit."Kamu masih berhubungan sama dia?" tanya Dewangga, nadanya berubah serius.Naya menggeleng pelan, lalu menjelaskan, "Bukan, Mas. Dia yang menghubungiku duluan, bilang mau pindah ke sini. Aku nggak kabar-kabaran sama dia."Dewangga menghela napas, wajahnya mencerminkan rasa b
"Maaf, Wa. Aku kesini karena khawatir begitu mendengar kamu kecelakaan," kata Savira dengan suara lirih, matanya penuh kekhawatiran. Dia berdiri di depan pintu ruang perawatan, memandang Dewangga yang terbaring di ranjang rumah sakit.Kebetulan hari ini Savira tengah menemani ibunya untuk terapi agar bisa kembali berjalan seperti semula, dan saat di depan administrasi dia tidak sengaja bertemu dengan Naufal."Saya tidak apa-apa, kamu bisa keluar," ujar Dewangga dengan suara tegas."Wa... aku..." Savira terbata-bata, tidak tahu harus berkata apa. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan kata-katanya, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.Naya berdiri di ambang pintu, matanya langsung tertuju pada sosok wanita yang berdiri di samping ranjang suaminya. Hatinya sedikit terkejut, namun ia mencoba tetap tenang, menyembunyikan perasaannya di balik senyuman.Kanaya segera berjalan ke arah suaminya tanpa memerdulikan Savira atau menyapanya lebih dulu."Kamu nggak papa kan, mas?" tanya Naya dengan suara
"Sekarang lo ngerti kan apa yang gue rasain dulu?" Naya terkekeh sambil menatap wajah Citra yang cemberut. Beberapa hari ini, Citra merasa terabaikan karena suaminya, Naufal, sedang perjalanan dinas ke luar kota. Naya yang dulu sering merasa ditinggalkan suaminya, Dewangga, kini bisa merasakan betapa beratnya perasaan Citra.Kebetulan setiap pulang bekerja, Citra selalu menyempatkan untuk mampir kerumahnya. Karena merasakan kesepian di tinggal suaminya ke luar kota."Iya, gue dulu sering ngejek lo," jawab Citra, matanya yang sembab menatap kosong ke arah meja. "Gue nggak tahu kalau rindu seberat ini."Naya mendengus kesal meski masih ada rasa ingin menggoda sahabatnya. "Lo lebih alay daripada gue," katanya sambil melemparkan tatapan mengejek ke arah Citra yang semakin tidak terima."Lo kan dulu nikah tanpa cinta, Nay. Kalau gue sama Mas Naufal, kita menikah dengan penuh cinta," balas Citra, sedikit membela diri dengan ekspresi yang lebih tegas.Naya hanya tertawa kecil mendengar itu.
Pagi ini, Naya kembali ke rutinitasnya, seperti biasa. Ia sibuk menyiapkan sarapan di dapur bersama Bibi Rosma. Di samping itu, Naya juga menyiapkan makanan untuk MPASI Kai, berusaha memberikan yang terbaik untuk anaknya yang semakin besar.Sambil sibuk bekerja di dapur, Naya melirik Dewangga yang tengah menuntun Kai menuju meja makan. Pemandangan itu membuat hatinya tersenyum. Terkadang, ia masih merasa tak percaya bahwa ia bisa bertahan sejauh ini, melewati segala cobaan hidup."Pagi, Sayang," sapa Naya lembut, mendekat untuk mencium pipi cubby Kai yang kini semakin chubby dan lucu itu. Dewangga tersenyum melihat interaksi mereka."Masak apa hari ini?" tanya Dewangga, matanya memperhatikan Naya yang tengah sibuk di dapur, mempersiapkan makanannya."Bikin MPASI buat Kai, terus aku juga masakin kamu soto, perkedel kentang kayaknya enak buat sarapan hari ini," jawab Naya sambil menyajikan makanan dengan penuh perhatian.Dewangga mengangguk, lalu mengangkat Kai dan duduk di baby chair y
“Saya menang, Kanaya!” Dewangga mengulang ucapan itu dengan senyum lebar, matanya bersinar penuh kegembiraan saat menatap Naya. Setelah bertanding sengit melawan Rian, keringat yang membasahi wajah dan tubuhnya seolah tak berarti lagi. Kemenangan ini membuatnya lupa akan lelahnya. Naya, meskipun masih merasa cemas sepanjang pertandingan, tersenyum bangga melihat suaminya. Dengan penuh kasih, ia mengacungkan jempol.Naya merasa bangga, meskipun ada rasa khawatir yang mengendap. Ia selalu cemas setiap kali Dewangga bertanding, terlebih jika lawannya adalah Rian, yang meskipun lebih muda, selalu memiliki energi melimpah. Melihat suaminya yang kelelahan, Naya segera merogoh tas dan mengambil handuk kecil. Dengan lembut, ia mendekat dan mengelap keringat yang mengalir di pelipis Dewangga."Mas keren banget," ujar Naya dengan senyum tulus, matanya berbinar-binar, sambil terus mengelap wajah Dewangga."Makasih, Sayang," jawab Dewangga, suaranya terdengar lemah namun penuh rasa terima kasih,
“Gue nggak habis pikir sama mereka,” ujar Naya dengan nada tidak percaya, masih terhenyak oleh apa yang baru saja dilihatnya. Di lapangan tenis belakang kantor suaminya.Dewangga dan Rian tengah bersiap untuk bertanding. Mereka terlihat begitu antusias, padahal usia mereka sangat berbeda.Naya bahkan baru pertama kali tahu kalau di kantor Dewangga ada lapangan tenis. Ketika ia datang untuk menemui suaminya setelah beraktivitas di rumah, sama sekali tidak menyangka akan menemukan pemandangan seperti ini. Di tengah kesibukan akhir pekan, yang seharusnya menjadi waktu bersama keluarga, ia justru harus duduk di bangku penonton, menyaksikan pertandingan antara suaminya dan Rian.“Tapi keren sih suami lo,” ujar Citra sambil terkekeh, melihat seorang Dewangga yang tidak mudah terpengaruh hal remeh justru menerima tawaran Rian untuk bertanding Tenis, sangat suportif bukan.Naya hanya mendengus, lalu menatap ke arah lapangan di mana Dewangga dan Rian sudah bersiap. Dewangga—suaminya yang terli
Hari ini, Naya memutuskan untuk mengantarkan makan siang ke kantor suaminya, Dewangga. Dengan langkah penuh semangat, Naya melangkah menuju halaman kantor. Suasana yang biasanya sibuk dengan para karyawan kini terasa lebih tenang. Beberapa orang terlihat sibuk dengan pekerjaan mereka, namun kebanyakan tampak sedang beristirahat. Naya menikmati keheningan itu, berharap bisa beristirahat sejenak dari rutinitas dan masalah yang semakin menumpuk di kehidupannya. Namun, baru beberapa langkah memasuki halaman kantor, sebuah suara yang sangat dikenalnya memanggilnya. "Nay!" suara itu disertai langkah cepat yang semakin mendekat. Naya menoleh dengan malas. Di belakangnya, Rian berdiri dengan senyum lebar di wajahnya, seolah tak ada yang berubah. Tanpa menunggu lama, Rian berlari mendekat. "Keponakan gue mana, Nay?" tanyanya dengan nada ceria. "Di rumah," jawab Naya datar, matanya menyipit kesal. Sejujurnya, ia tak ingin berurusan dengan Rian hari ini. Rian tertawa kecil. "Lo masih aja
POV Dewangga Dewa duduk di ruang kerjanya, memandang keluar jendela besar yang menghadap ke kota. Senja mulai turun, dan langit yang tadinya biru cerah kini berubah menjadi jingga yang hangat. Ia menarik napas panjang, berusaha menenangkan pikirannya yang mulai dipenuhi berbagai macam perasaan. Rasanya, hidupnya memang tidak pernah berjalan semulus yang ia inginkan. Ada selalu saja masalah yang datang silih berganti, dan seakan tidak pernah habis. Namun, di balik semua itu, satu hal yang selalu menjadi pegangan Dewa adalah keberadaan Kanaya di sampingnya. Jika ia harus mengakui satu hal yang paling berharga dalam hidupnya, itu adalah Kanaya. Istrinya yang setia, sabar, dan penuh kasih, meskipun mereka sering kali terjebak dalam konflik-konflik yang tak terduga. Kanaya, yang selalu merasa cemas dan khawatir dengan segala yang terjadi, selalu berdiri teguh di sampingnya, mendukungnya dengan sepenuh hati. Dewa tahu, ia tidak selalu menjadi suami yang sempurna. Ada kalanya ia terlalu fo