Saat ini Naya sedang berada di danau dekat rumahnya, untuk menenangkan diri. Karena Naya butuh tempat yang sepi untuk menenangkan diri dari rasa kecewa, marah dan sedih yang bercampur menjadi satu.“Sialan!” teriak Naya.Teriakan demi teriakan mengema, berharap rasa sesak di dadanya akan berkurang. Namun hanya isak tangis yang kembali Naya dapatkan.Kenapa hidupnya sedrama ini, pacaran tidak di ristui, dan di pisahkan oleh ayahnya sendiri kemudian di jodohkan dengan laki-laki duda pilihan ayahnya. Dan apesnya laki-laki itu tidak mencintainya.Cukup lama dirinya berada di danau ini untuk meratapi nasibnya, hingga dirinya tidak sadar matahari mulai terbenam namun dirinya masih betah disini. Menyisakan senja yang terlihat sangat indah sore ini.Naya tersenyum mengingat kisah hidupnya. Yang seperti senja, keindahan yang datang walau sebentar, bahkan harus kembali menunggu untuk kembali melihat keindahan itu. Senja mulai menghilang digantikan cahaya bulan yang membuat Naya tersadar, jika
“Nggak tau,” jawab Naya ragu.Dirinya tidak tahu harus bagaimana, semuanya begitu membingungkan untuknya. Mau marah dengan ayahnya pun rasanya sudah percuma, semuanya sudah terjadi dan sekarang dirinya juga sudah menikah dengan Dewa.Naya menatap laki-laki yang sudah tiga bulan ini bersamanya, sudah banyak sekali merubah hidupnya. “Kenapa?” tanya Dewa.“Kalau kamu jadi aku, kamu akan gimana, Mas?” tanyanya menatap Dewa serius.“Gimana apanya?” tanya Dewa dengan wajah bingungnya.Hal itu membuat Naya berdecak kesal, sepertinya dirinya salah meminta pendapat suaminya. Karena Dewa tidak akan pernah mau mengutarakan isi hatinya dan akan memilih untuk diam.Hal itu membuat Naya selalu penasaran dengan isi pikiran suaminya yang sangat susah untuk dirinya tebak, bahkan suaminya selalu terlihat tenang seolah tidak pernah memiliki masalah dan hebatnya selalu terlihat baik-baik saja.“Sudah malam, kamu butuh istirahat.”Naya menatap suaminya kesal. Namun tetap menuruti perintah suaminya untuk
Naya terdiam, semuanya memang terasa rumit bahkan membingungkan. Laki-laki yang berdiri di depannya ini adalah laki-laki yang pernah menjadi alasannya dirinya bahagia empat tahun lalu.Dengan pria itu Naya merasakan bagaimana rasanya dicintai oleh seorang pria. Karena Rian adalah cinta pertamanya, sebelumnya Naya tidak pernah dekat dan tertarik untuk menjalin hubungan dengan seorang laki-laki. Semuanya berbeda ketika dirinya bertemu dengan Rian. Bahkan mereka menjalin hubungan sudah sangat lama sejak dirinya masuk bangku perkuliahan hingga satu tahun lalu, sekitar 4 tahunan mereka dekat. Namun satu tahun lalu hubungan mereka kadas, Rian datang untuk membatalkan pernikahan mereka.Dan saat itu Naya sangat hancur, apalagi setelah mengetahui kenapa Rian meninggalkannya dirinya semakin kecewa. Rian mungkin tidak sepenuhnya salah, karena kadasnya hubungan mereka karena ada campur tangan ayahnya. Namun sekarang semuanya sudah berubah bukan? Dirinya sudah menikah dan sudah membuka buku baru
Ini sudah hari ketiga dimana suaminya pergi keluar kota, dan malam ini harusnya suaminya sudah pulang. Naya berjalan mondar-mandir untuk menunggu suaminya pulang, dirinya cemas karena diluar sedang hujan deras. Naya melirik jam dinding sudah menunjukan pukul 23.00, namun belum ada tanda-tanda suaminya akan pulang.“Po, papa kamu kok belum pulang, ya?” tanyanya pada pipo, ikan peliharaan suaminya. Karena kakinya sudah pegal karena mondar-mandir akhirnya Naya berjalan ke kamar mencoba untuk tidur. Namun tetap saja dirinya tidak bisa. Apalagi Naya melihat story mantan istri suaminya itu juga ada di surabaya kemarin, entahlah Naya memang mencari penyakit karena masih kepo dengan mantan istri suaminya itu hingga membuat second account hanya untuk memantaunya.Tidak. Tidak. Naya menggelengkan kepalanya mengusir prasangka buruk itu dari sana. Dia tidak ingin berpikiran buruk, namun melihat story mantan istri Dewa itu kemungkinan mereka bertemu. Apalagi jika wanita itu memposting foto pem
Kesepian? mungkin awal-awal pernikahan Naya selalu merasakan kesepian, apalagi setelah menikah Naya tidak di perbolehkan bekerja oleh Dewa dan menjadi pengangguran sukses.Dan makin kesini Naya sudah terbiasa dengan sifat Dewa yang dingin dan kaku itu. Kalau Dewa diam artinya Naya harus berisik, bukankah pasangan harus saling melengkapi?“Nggak kok, buk. Naya sudah terbiasa sekarang dan sudah bisa memaklumi sifat Mas Dewa yang sedikit irit kalau bicara itu.” ujar Naya terkekeh.“Iya, ibu aja sering kesal, Nay. Kalau ngomong sama suami kamu jawabannya cuma ham hem doang,” ujar Aida dengan wajah kesalnya.Ternyata sifat Dewa yang dingin, kaku dan irit bicara tidak tidak hanya kepadanya namun kepada semua orang bahkan dengan ibunya sendiri pun begitu.Aida menatap menantunya kemudian mengelus wajah Naya dengan sayang.”Ternyata pilihan Dewa memang tidak salah,” “Maksud ibu?” tanya Naya terkejut.Ibu mertuanya menarik nafas, sepertinya ragu untuk menceritakannya. Namun jiwa kepo Naya meng
“Beneran, aku cantik?” tanya Naya mendekat kearah suaminya.Dewa hanya mengangguk, seketika senyum Naya semakin lebar. Bagaimana tidak, selama menikah dengan Dewangga baru ini laki-laki itu memuji dirinya cantik, walaupun dengan wajah datarnya.Walaupun begitu, Naya tetap senang karena di puji suaminya untuk pertama kalinya, bahkan yang awalnya Naya kesal, jengkel dan marah dengan suaminya seketika hilang begitu saja.Dewa kembali menunggu Naya dengan duduk di pinggiran ranjang dengan wajah datarnya, hal itu membuat Naya tersenyum mendekat kearah Dewa dan mendekat menempelkan keningnya untuk mendorong kening Dewa. Awalnya Naya hanya iseng karena gemas dengan tingkah suaminya yang terkadang sangat lucu, padahal mulutnya memuji dirinya cantik tapi wajahnya tetap datar, berasa di puji seorang robot bukan?Keisengan Naya ternyata membuat Dewa terpancing dan mencium bibir istrinya.“Ish jangan cium-cium, lipstiku jelek nanti.” Naya mendorong dada suaminya. Padahal di dalam hatinya senang k
Ayah nggak mungkin melakukan sesuatu tanpa alasan, Nay.” ujar Riski.Mungkin yang di bilang kakaknya benar, tapi tetap saja yang dilakukan ayahnya bukan hal yang benar, karena dengan masalah itu semuanya kembali rumit.Apalagi Rian yang terus-terusan mendekatinya kembali, dan selalu menyalahkan ayahnya karena kejadian 1 tahun lalu. “Rian bukan laki-laki yang baik buat kamu.” ujar Riski dengan wajah seriusnya.“Nggak baik gimana?” tanya Naya.“Ayah kerjasama dengan Om Wira untuk mengirim Rian ke luar negeri?” “Om Wira?” tanya Naya dengan wajah tidak percayanya.Wira adalah ayah kandung Rian, tapi bagaimana bisa, bahkan Wira datang kerumah Naya untuk meminta maaf setelah Rian berangkat ke luar negeri, kenapa semuanya membingungkan.“Iya, coba kamu pikir lagi, Nay. Ayah mana punya teman yang memiliki perusahaan di luar negeri, kita bukan konglomerat seperti Om Wira.” Sial, Naya baru tersadar bagaimana bisa dirinya melupakan hal itu, tidak mungkin juga Om Wira memperbolehkan putra tung
“Dari mana?” Naya menghentikan langkah kakinya saat baru saja masuk kedalam rumah. Dirinya lupa jika pergi tanpa izin suaminya, apalagi tadi pagi Naya sudah membuat janji agar Dewa pulang lebih awal tapi justru dirinya melupakan hal itu.“Dari ketemu temen, Mas." 'Maaf, Mas. kali ini aku berbohong, tapi ini demi kebaikan kita berdua.'Naya tau tidak ada bohong demi kebaikan, kalau sudah berbohong ya tetap saja bohong. Tapi kali ini Naya tetap memilih berbohong. Rasanya tidak mungkin dirinya berkata jujur sekarang, karena bisa saja nanti suaminya ikut keseret kedalam masalahnya. Jadi Naya memilih untuk menyelesaikannya dulu, dan jika waktunya sudah tepat Naya akan menceritakannya.“Kamu minta saya pulang awal, tapi kamu pergi hingga petang.” Suara Dewa datar, tetapi terdengar lebih dingin dari biasanya.Naya gelapan, “M–maaf, Mas.” Naya benar-benar kesulitan untuk menjawab, dirinya tidak berani untuk jujur jika menemui Wira, papa Rian.'Maaf mas, aku janji setelah semuanya selesai
"Kemarin seru, ya, Mas?" tanya Kanaya dengan senyum nakal, matanya yang cerah menatap Dewangga yang tengah duduk bersandar di headboard ranjang, sibuk membaca buku tebal yang tampaknya tak pernah jauh dari tangannya.Kemarin adalah hari penuh keceriaan, waktu berkualitas yang dihabiskan bersama keluarga kecil mereka. Laughter and joy filled the house—penuh tawa dan kebahagiaan. Namun, kini mereka kembali pada rutinitas masing-masing, dan semua itu seolah menjadi kenangan manis yang terpatri dalam hati.Dewangga menoleh sejenak dan mengangguk. "Kai terlihat bahagia kemarin," ujarnya dengan suara pelan, seperti mengingat kembali momen itu dengan penuh rasa syukur."Kai aja? Emang Mas nggak bahagia?" tanya Kanaya dengan nada menggoda, membiarkan pertanyaan itu mengalir begitu saja, berharap Dewangga menangkap leluconnya."Jika anak dan istri saya bahagia, maka saya juga bahagia, Kanaya," jawab Dewangga, suaranya tenang, namun ada kehangatan yang menyertai kata-katanya. Senyumnya yang tul
Pagi itu, Kanaya terbangun dan langsung disuguhi pemandangan romantis antara ayah dan anak. Dewangga tengah menciumi wajah putranya, Kai, yang masih terlelap dalam tidurnya.“Aku nggak di-cium?” tanya Kanaya, dengan wajah cemberut dari balik selimut, membuat Dewangga menoleh sejenak ke arahnya.Namun, bukannya menjawab, Dewangga malah kembali menciumi pipi Kai, seakan tidak peduli dengan Kanaya yang sedang merajuk.“Mas,” Kanaya memanggil dengan nada menggoda.Dewangga menoleh sejenak, lalu bangkit dan turun dari ranjang."Loh, mau ke mana?" tanya Kanaya saat melihat suaminya bergerak menuju pintu."Kamar mandi, mau ikut?" tanya Dewangga santai, namun dengan senyum yang khas."Males," jawab Kanaya malas, lalu menatap Kai yang masih tertidur lelap. Tidur Kai pagi itu tampak jauh lebih nyenyak daripada malam sebelumnya yang sedikit rewel.Setelah selesai dengan rutinitasnya, Dewangga kembali ke kamar, di mana Kanaya tengah bercanda dengan Kai di atas ranjang. Jika kalian berpikir Dewang
“Beneran pekerjaan kamu udah selesai? Aku nggak mau, ya, nanti tiba-tiba harus pulang gara-gara kerjaan kamu,” ucap Kanaya dengan nada sedikit kesal.Ia melirik Dewangga yang duduk bersandar di kepala ranjang, laptop bertengger di pangkuannya. Matanya tetap terpaku pada layar, jemarinya mengetik cepat.Walaupun Dewangga sudah banyak berubah tidak sedingin dulu, namun untuk yang satu ini sepertinya tidak akan berubah. Karena di mana pun mereka berada, pekerjaan selalu menjadi prioritas utama.“Hanya mengecek laporan sebentar,” jawab Dewangga santai, tanpa menoleh sedikit pun.Kanaya mendesah pelan, kemudian mengalihkan perhatiannya ke putra mereka, Kai, yang tertidur di tengah-tengah mereka. Nafasnya teratur, wajah mungilnya tampak begitu damai. Senyum kecil muncul di bibir Kanaya, lalu dengan lembut ia mengulurkan tangan untuk membelai pipi anaknya.“Jangan diganggu, dia baru tidur,” tegur Dewangga lembut, masih dengan mata tertuju ke laptop.Kanaya mendengus kecil, lalu cemberut. “A
"Suami kamu jadi nyusul, Nay?" tanya Eyang dengan wajah penuh tanya, membuat Naya menggelengkan kepala. Ia tidak tahu pasti, karena semalam Dewangga mengatakan masih ada beberapa urusan yang harus diselesaikan."Belum tahu, Yang. Soalnya Mas Dewa lagi ada proyek baru," jawab Kanaya sambil tersenyum tipis.Eyang Ratih mengangguk bijak. "Gak papa, suami kamu itu memang pekerja keras dari dulu. Kamu harus lebih pengertian dengan pekerjaan suamimu, Nak," katanya sambil menatap cucunya dengan penuh kasih sayang.Kanaya mengangguk pelan. "Naya sekarang sudah lebih mengerti kok, Yang. Sebelum menikah pun, Mas Dewa memang suka kerja, tapi semenjak ada Kai, dia mulai lebih bisa membagi waktu."Kanaya mengingat bagaimana dulu ia selalu mempermasalahkan kebiasaan Dewangga yang workaholic, bahkan sering kali waktu mereka bersama terasa terbatas karena suaminya lebih banyak di kantor."Kai, anak kamu mirip banget sama papanya," ujar Ratih sambil terkekeh, melihat Kai yang asyik bermain dengan sepu
Pagi ini, suasana di dalam mobil terasa hening. Dewangga mengemudi dengan wajah serius, hanya sesekali mengalihkan pandangannya ke spion atau dashboard, tanpa banyak kata. Kanaya duduk di sampingnya, berusaha mencairkan suasana, tetapi setiap kali ia membuka suara, suaminya hanya memberi gumaman atau jawaban sepintas. Tidak ada kehangatan seperti biasanya. Dewangga tampak begitu jauh, seolah keberangkatan mereka bukanlah hal yang dia inginkan.Kanaya merasakan ketegangan itu dengan jelas. Ia tahu, jika terus memaksa berbicara, suaminya bisa saja berubah pikiran dan membatalkan izin untuk pergi. Itu adalah sesuatu yang sangat ingin ia hindari. Ia sudah menunggu kesempatan ini begitu lama, sebuah kesempatan untuk bertemu keluarganya di Yogyakarta, meski hanya untuk beberapa hari. Namun, perasaan Dewangga yang gelisah, seolah membawa kecemasan yang tak terucapkan, membuatnya merasa bimbang.Mobil mereka akhirnya memasuki area bandara. Di kejauhan, Kanaya bisa melihat keluarganya sudah me
"Cucu Oma makin ganteng aja," ujar Ika sambil menciumi pipi cubby cucunya dengan gemas. Wajah Kai yang bulat dan menggemaskan membuat hati Ika semakin hangat setiap kali melihatnya.Hari itu, Ika sengaja mengunjungi putrinya setelah beberapa waktu tidak bertemu. Rasa rindu kepada cucunya semakin membuncah, dan akhirnya ia memutuskan untuk datang."Di minum, Bun" ujar Kanaya mempersilahkan, sambil menaruh nampan berisi minuman dan makanan ringan untuk bundanya.Ika tersenyum. "Dewangga lagi sibuk banget, Nay?" tanyanya dengan tatapan penuh perhatian.Kanaya mengangguk pelan, sedikit terlihat lelah. Sejak kecelakaan di Bali beberapa minggu yang lalu, suaminya memang terlihat sangat sibuk. Pekerjaan dan masalah yang datang setelah kecelakaan itu membuat Dewangga hampir tidak punya waktu untuk istirahat."Iya, Bun," jawab Kanaya, membuka bungkus snack untuk Kai, yang tampaknya sudah mulai lapar. Snack itu adalah oleh-oleh dari Oma Ika.Ika menarik napas panjang, seolah berpikir sejenak se
"Beneran mau kerja?" tanya Kanaya, suaranya penuh keraguan setelah kembali dari kamar putranya.Dia melihat Dewangga yang sudah berdiri di depan cermin dengan pakaian kerjanya, terlihat begitu siap untuk meninggalkan rumah. Kanaya mendekat dan meraih dasi di tangan suaminya, lalu mulai memakaikannya dengan lembut."Rambut kamu udah kepanjangan," ujar Kanaya sambil menatap rambut Dewangga yang mulai menutupi dahinya, seakan menyembunyikan sebagian dari wajahnya yang serius itu.Dewangga hanya terdiam, memilih untuk menatap Kanaya yang sedang dengan cekatan menyimpulkan dasinya. Kanaya merasa suaminya memperhatikannya dengan penuh perhatian, membuatnya sedikit salah tingkah. Tanpa sadar, dia mendongak dan membalas tatapan Dewangga, meskipun tinggi mereka sangat berbeda. Dia hanya sejajar dengan dada suaminya."Kenapa?" tanya Kanaya, sedikit canggung, sambil mengelus rahang Dewangga dengan lembut. Senyumnya terbit, meski hatinya sedikit tergerak oleh perhatian suaminya."Kenapa?" Dewangg
"Mau sama Mama," Kai memeluk erat leher Kanaya, bahkan tidak mau melepaskan, meskipun sejak tadi Kanaya sudah berusaha membujuk putranya dengan lembut."Anak mama bobok yaa," "Ndak mau," Kai menggeleng keras, suara tangisan mulai terdengar, membuat hati Kanaya semakin terenyuh.Kanaya hanya bisa menghela napas dan mencoba menenangkan Kai, mengelus punggungnya dengan lembut. "Bobo yaa, sudah malam," bisiknya, mencoba memberikan ketenangan. Ia mengecup kepala Kai beberapa kali, merasakan kehangatan tubuh kecil itu yang semakin membuatnya merasa sulit untuk melepaskannya.Kanaya melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Sudah waktunya tidur, namun mata Kai belum juga terpejam. Mungkin Kai merasa ada yang berbeda malam ini, apalagi Dewangga, suaminya, yang tengah sakit dan belum bisa melakukan banyak hal. Waktu Kanaya hampir sepenuhnya tersita untuk merawat Dewangga seminggu ini. Mungkin itu yang membuat Kai merasa cemas, merasa iri pada perhatian yang diberikan unt
Kanaya terus menatap suaminya, Dewangga, yang sejak tadi hanya diam saja, memerhatikannya tanpa sepatah kata pun. Matanya penuh dengan kekesalan, tapi Dewangga tetap tidak memberikan reaksi apapun. Hanya tatapannya yang diam, seolah menunggu sesuatu yang tidak bisa Kanaya pahami."Kenapa? Mau marah aku?" tanya Kanaya dengan nada menantang, meskipun ia tahu betul bahwa Dewangga tidak pernah melakukan hal seperti itu padanya. Dulu, jika Dewangga menegurnya, Kanaya hanya diam dan mengabaikan suaminya selama berhari-hari sebagai bentuk pembalasan. Tapi kali ini, perasaannya begitu sulit untuk diredakan.Dewangga hanya menatapnya dengan penuh pengertian, tanpa mengatakan apapun. Lalu, ia mengulurkan tangan dan menggenggam tangan Kanaya dengan lembut, mencoba menenangkan suasana yang semakin tegang. Namun, Kanaya merasa kesal dan segera menarik tangannya dengan cepat. Ia berbalik, hendak meninggalkan Dewangga begitu saja.Melihat itu, Dewangga hanya bisa menggelengkan kepala dengan ekspresi