Satu minggu berlalu setelah kedatangan Asoka ke rumah keluarga Riri untuk melamarnya, kedatangan Asoka sukses membuat Bunda terkejut tanpa ada kehadiran Bagas anak sulungnya yang kebetulan Dia sedang mendapat pekerjaan diluar kota. Namun keterkejutan ini tidak berlaku untuk Riri yang telah lama tahu kabar tersebut, namun Dia enggan untuk menceritakan perihal pinangannya dengan Asoka.
Dan hari yang ditentukan pun telah tiba tepat pukul tujuh malam Asoka beserta kedua orang tuanya telah tiba di rumah calon besannya.
"Om, Tante, terima kasih telah sudi mampir ke kediaman keluarga saya dan maaf kediaman keluarga saya tidak sebagus istana Om dan Tante," sapa Riri sembari tersenyum ramah Dia tunjukkan ke orang tua Asoka yang tengah duduk manis di ruang tamu.
"Tidak apa-apa. Tante maklum kok," jawab Mommy Asoka, "Orang tua kamu apa belum pulang juga?"
"Sebentar lagi, Tante. Mungkin sedang dijalan, maaf lama menunggu," jelas Riri sembari mengatupkan kedua tangan di dada.
Mommy hanya mengangguk untuk menjawabnya.
Sekitar sepuluh menit berlalu yang ditunggu-tunggu akhirnya telah datang terdengar dari deru mobil Bagas yang tengah terparkir di halaman rumah. Tidak lama kemudian samar-samar suara langkah kaki timbul di luar sana yang di pastikan ialah Bunda dan Bagas hendak masuk ke dalam rumah.
"Maaf saya terlambat," ucap Bunda yang sebelumnya telah mengucap salam dan langsung menghampiri Riri untuk ikut duduk disampingnya disusul Bagas dibelakang.
"Loh, Lita!" Tanpa sadar Daddy dari Asoka berseru dengan suara baritonnya.
Seketika Bunda yang mendengar suara yang cukup familiar itu segera menatap ke lawan bicaranya, "Mas Sultan." raut wajah Bunda tidak kalah terkejutnya.
"Eh, Daddy kenal sama Tante Lita?" Bukan tanpa sebab Asoka bertanya seperti itu karena Dia melihat gelagat berbeda dari Daddy nya tersebut.
Namun Daddy tidak mengindahkannya, Dia memilih menatap tajam Bunda di depannya tanpa sadar senyum smirk terbit dari bibir nya.
"Apa dunia ini sangat sempit sampai kita dipertemukan kembali, Lita," kata Daddy sembari memainkan bulu-bulu halus di dagunya yang tumbuh di sekitar rahangnya menggunakan ibu jari dan telunjuk tangan.
"Coba kamu jelaskan kenapa keluarga Bramasta ada disini," sergah Bunda Lita Dia tunjukkan ke Riri yang berada di sampingnya sembari telunjuk tangan nya mengarah ke Daddy Asoka.
Namun Riri seakan membisu, mulutnya seakan di lem sangat susah untuk dibuka. Disaat seperti ini Bagas tidak mungkin berdiam diri Dia mencoba menenangkan Bunda disampingnya yang kemungkinan akan tersulut emosi dan sekaligus menyadarkan Riri karena Bagas tahu Riri sedang bingung dengan apa yang Dia saksikan.
"Bunda, sudahlah. Ingat jaga kesehatan Bunda," ucap Bagas sembari mengelus punggung Bundanya dengan lembut yang sukses membuat emosinya sedikit mereda.
Dengan angkuh Daddy berdiri dari duduknya dan berjalan perlahan menghampiri Bunda sembari mulutnya bersiap untuk melancarkan kata-kata racun yang membuat Bunda terpancing emosi.
"Jadi ini calon besanku," ejek Daddy sembari tersenyum miring.
Plakkk...
Sebuah tamparan keras sukses dilayangkan dari Bunda yang sebelumnya Dia bangkit dari duduknya, terlihat bekas cap lima jari terukir di pipi brewok Daddy yang lambat laun memerah.
Asoka yang melihat itu langsung menganga sementara Riri spontan menutup mulutnya melihat aksi bar-bar Bundanya yang baru Dia tahu ini.
"Aku tidak sudi mempunyai besan sepertimu, Mas. Bahkan jika anak mu satu-satunya laki-laki di dunia ini. Lebih baik anakku menjadi perawan tua daripada menikahkan dengan anakmu," tegas Bunda dengan nafas memburu sembari menatap tajam ke Pria didepannya.
"Riri, bawa Bunda masuk ke kamar sekarang," titah Bagas namun Riri seakan mematung ditempat, "RIRI!" Seketika Riri tersadarkan dan segera menuntun Bunda masuk ke kamarnya.
Walaupun Bunda awalnya terus menolak untuk masuk ke kamarnya namun dengan bujukan Riri Bunda mengiyakan ajakan anaknya tersebut.
Tanpa malu Daddy tertawa terbahak-bahak setelah diperlakukan seperti itu, mungkin tamparan itu tidak cukup keras dibandingkan dengan hatinya.
"Dengan segala hormat, saya mohon maaf atas kejadian ini dan mohon untuk kalian segera angkat kaki dari rumah kami," tegas Bagas dan ekor matanya teralihkan untuk melirik kearah Asoka, "Dan untuk kamu jangan coba-coba memulai hubungan dengan adik saya lagi tanpa kecuali." Asoka yang mendengar itu pun hendak membela namun dicegah oleh Mommy.
"Tanpa disuruh pun saya akan pergi dari sini," ucap Daddy dengan nada mengejek, "Saya disini hanya buang-buang waktu saja." Tanpa permisi Daddy melenggang pergi dari kediaman keluarga Riri disusul dengan Mommy dan Asoka mengekori dari belakang.
Dengan nafas memburu Asoka mengejar langkah kaki Daddy didepannya, "Daddy, jelaskan apa yang sebenarnya terjadi!"
"Asoka, kita bicarakan di rumah saja ya sayang," ajak Mommy kepada anak sulungnya tersebut yang tengah menahan amarah.
Dengan terpaksa Asoka mengiyakan ajakan Mommy nya tersebut dengan perasaan yang dongkol.
Disepanjang perjalanannya Asoka terdiam sembari menatap kosong ke jendela mobil disampingnya. Dia meratapi nasibnya yang tinggal selangkah lagi Dia mendapati pujaan hatinya. Namun harapannya seakan sirna.
*****
Asoka POV's
Sesampainya kami di rumah, Aku langsung menagih penjelasan ke Daddy ataupun Mommy terkait batalnya lamaran pernikahanku. Kebetulan kami sedang berkumpul di ruang keluarga.
"Daddy," panggilku ke arah Daddy yang berada didepanku.
Daddy hanya melirik sekilas setelah itu Dia fokuskan kembali melihat benda pipih di genggamannya, "Jika kamu ingin membahas wanita itu. Daddy tidak akan menjawabnya. Hanya buang-buang waktu saja."
"Dad, Aku tidak peduli dengan masalah kalian. Tapi tolong jangan libatkan kami bersama masalah kalian," jelasku sembari menatap nanar Daddy.
Setelah aku menjelaskan itu semua, kulihat mulut Daddy masih merapat seakan tidak ada niatan untuk menjawab.
"DADDY!" Aku cukup geram dengan kelakuan Daddy yang sampai detik ini masih bungkam atas kejadian di rumah Riri.
"Dari awal sudah Daddy katakan untuk tidak berhubungan dengan Wanita rendahan itu," kata Daddy dengan angkuh, "Tapi kamu selalu bersikeras ingin menjalin hubungan bersama Dia."
"Cukup, Dad. Untuk sekali dua kali aku akan diam disaat Daddy berkata seperti itu namun untuk kali ini jangan harap aku akan diam," ancamku namun kulihat Daddy langsung tertawa kecil disana.
"Apa istimewanya wanita itu dimatamu!" Daddy berseru sembari tidak habis-habisnya Dia tertawa, "Sampai kamu terus membela Dia."
Disaat aku akan menjawabnya tiba-tiba Mommy menghampiriku, yang aku pastikan Mommy berusaha untuk meleraikan perdebatanku dengan Daddy.
"Asoka sayang, sudahlah. Mungkin Dia bukan jodohmu," kata Mommy dengan lembut sembari mengelus pucuk kepalaku.
'Apa tidak ada yang berpihak kepadaku. Daddy menentang perjodohan ini, sekarang Mommy pun ikut-ikutan menyudutkan aku.’ batinku.
Aku menatap tajam kearah Mommy, "Kalau Mommy berkata seperti itu lagi, berarti Mommy sama saja dengan Daddy."
"Mommy tidak mendukung siapapun, sayang. Mommy cuman ingin yang terbaik untukmu," ujar Mommy sembari menggenggam tanganku.
Biasanya sentuhan tangan Mommy adalah penenang hatiku namun tidak dengan sekarang sentuhan ini seakan membuatku semakin marah.
Aku langsung menepis genggaman tangan Mommy, "Terbaik untuk siapa? Untuk Mommy atau untukku."
Mungkin wajahku sudah merah padam karena dari tadi aku disuruh untuk diam dan menahan amarahku.
"Bukan seperti itu, sayang," jawab Mommy sembari menahan lelehan air mata yang terus berdesakkan di pelupuk matanya.
"Asoka, Asoka. Wanita seperti itu diluar sana masih banyak berkeliaran dan lebih cantik dari Wanita rendahan itu," ejek Daddy dengan angkuhnya.
Mendengar perkataan itu dadaku tiba-tiba terasa sesak nafasku memburu, tanpa sadar aku menaikan suaraku satu oktaf untuk menjawab Daddy.
"Bagiku Riri lebih dari istimewa, Dad!"
Plakkk.... perih, satu rasa itu yang kini aku rasakan. Bukan Daddy yang melakukannya melainkan Mommy yang sukses membuatku terkejut.
"Cukup ASOKA BRAMASTA KUSUMA, harusnya kamu tidak berhak bicara keras seperti itu kepada kami." Kulirik sekilas dengan ekor mataku pipi Mommy sudah basah yang ku pastikan itu bekas air mata Mommy.
Awal nya aku akan menenangkan Mommy seperti biasanya. Namun untuk sekarang, rasa perhatian ku mengalahkan rasa kecewa dihatiku, sosok Mommy yang ku sayangi dan begitu hangat seakan sudah hilang. Mungkin jika Daddy yang memperlakukan ini aku bisa maklum, namun kali ini Mommy aku tidak bisa memaafkan begitu saja.
Tanpa berpikir panjang aku segera melangkah pergi dari ruangan ini percuma hanya membuat dadaku lebih sesak.
"Apa kamu masih menganggap wanita itu istimewa jika tahu keluarga merekalah yang membuat kehancuran perusahaan kita dulu." Aku yang mendengar penjelasan itupun sontak segera menunda langkahku.
"Apa," gumamku langsung melirik ke sumber suara dibelakang yang ku pastikan Daddy, "Tidak mungkin, Daddy pasti hanya mencari alasan untuk aku menjauhi mereka bukan?"
"Jika kamu tidak mempercayai Daddy, kamu bisa bertanya kebenarannya sama Mommy mu," jelas Daddy sembari melirik Mommy disampingnya dengan tatapan tajam.
Yang diberi tatapan tajam itu hanya mampu mengangguk untuk menjawabnya.
'Permainan apa lagi ini.’ pikirku.
Aku melirik kearah Mommy, Mommy hanya menatap sendu. Untuk kali ini tidak ada yang bisa aku percaya termasuk Mommy.
"Tidak mungkin," ucapku sembari berjalan mundur secara perlahan, "TIDAK, AKU TIDAK PERCAYA ITU!" Tanpa permisi aku berlari menuju kamarku yang berada di lantai tiga. Ku dengar Mommy memanggilku dari belakang namun aku tak mengindahkannya.
Riri POVHari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Tidak terasa satu tahun telah berlalu banyak kenangan manis pahit dan ada juga pelajaran hidupku untuk lebih baik lagi, contohnya seperti kenangan bersama Asoka seorang CEO Bramasta yang pernah membuat hatiku luluh akan tindakan nekatnya untuk meminangku sampai memperjuangkan cintanya padaku. Namun takdir seakan tidak merestui hubungan kami, terbukti setelah berbagai cara Asoka lalui untuk mendapatkanku namun hasilnya penolakan dan pada akhirnya aku mendengar bahwa Asoka telah berangkat ke London untuk menangani kantor cabang Bramasta disana. Dari situ mungkin akhir perjuangan cintanya, Asoka berhak bahagia tapi bukan bersamaku. Walaupun hati kecilku tidak bisa dibohongi ada perasaan sesak disana.Terlepas dari kenangan bersama Asoka ada kenangan yang tak pernah ku lupakan yaitu yang pertama pernikahan Kak Bagas yang telah berlangsung empat bulan yang lalu dan kesuksesan usaha katering Bunda. Lambat laun se
"Krisan Adi Pratama," eja ku dari kartu identitas yang telah kudapatkan.Tanpa disangka ternyata kartu identitas ini milik cowok rese barusan, terlihat dari foto yang tercetak didalam kartu identitas tersebut. Tanpa berpikir panjang aku segera memasukkan dompet tersebut ke dalam tas selempangku. Setelah itu aku segera melanjutkan langkahku yang sempat tertunda untuk keluar dari toko buku ini.*****Keesokan harinya tepatnya pada siang hari aku segera menghubungi nomor telepon pemilik dompet kulit ini. Walaupun aku sebenarnya malas mengembalikannya tapi dilihat dari isi dompetnya yang kebanyakan barang-barang penting seperti, beberapa kartu ATM, SIM, dan masih banyak lagi. Ditambah ada uang tunai yang jumlahnya tidak sedikit didalam dompetnya ini.Tak lama kemudian, dering suara panggilan di gawai ku berubah senyap bertanda seseorang tengah mengangkat telepon darinya."Halo?" ucap seseorang di seberang telepon."Ini dengan Krisan Adi Pratama," sahutku tanpa basa-basi."Ada apa?" Terde
Tiga bulan telah berlalu, semenjak terakhir kali aku bertemu Pria bernama Kris bersama Umi Mutia dan Bunda di restoran madurasa. Siapa sangka dibalik pertemuan kami yang tidak sengaja di Toko Buku tempo hari itu menjadi titik awal kemalangan ku dimulai, karena tepat satu bulan yang lalu aku telah sah menjadi istri cowo rese yang melihatnya pun membuat darahku langsung mendidih. Awal ceritanya bermula pada saat aku menjadi pendonor darah untuk Umi Mutia. Flashback on Sinar matahari lambat laun meredup digantikan dengan sorot lampu jalan untuk menerangi jalanan kota, bahkan suasana kota sudah mulai terlihat sepi. Disaat semua orang telah terlelap tidur sambil mengarungi dunia mimpi masing-masing. Mobil Daihatsu Xenia milik Bunda masih melesat memecah keheningan malam, menuju Rumah Sakit Karisma yang berada di pusat kota. "Bunda, pokoknya aku gak mau karena menolong Umi Mutia. Imbalannya aku harus menikah dengan anaknya," ucapku berdebat didalam mobil sambil menyilangkan kedua tan
Terik matahari seakan menyengat tubuh, ditambah padatnya lalu lintas membuat siapapun tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuan masing-masing. Sama halnya dengan Restoran madurasa, padatnya lalu lintas ibu kota menjadi peluang emas untuk restoran tersebut. Terlihat pengunjung terus berdatangan tidak habis-habisnya memadati restoran. Restoran berlantai tiga itu memiliki rooftop bernuansa klasik berwarna dominan kuning kecoklatan, namun tidak mengurangi sisi modern. Spot ini cocok untuk anak muda yang menongkrong atau pengunjung yang ingin sekadar bersantai melihat pemandangan ibu kota sambil menikmati makanan yang disajikan restoran madurasa. Dengan kepadatan pengunjung di Restoran madurasa, terlihat Kris sedang duduk manis di salahsatu sofa yang berada di rooftop. Tidak berselang lama Riri berjalan menghampiri Kris disana dengan membawa nampan berisi makanan yang telah Dia masakan barusan. Dug... "Makanlah, anggap saja ini untuk balas budi," ucap Riri setelah meletakkan namp
Hari ini Restoran tidak terlalu ramai akan pengunjung. kesempatan ini Riri luangkan untuk membaca buku yang berada di ruang kerjanya. Dari beberapa buku yang berada di meja kerjanya, ada satu buku yang terbilang cukup terkesan bahkan selalu membuatnya tertawa sendiri jika mengingat momen tersebut. Buku bersampul berwarna dominan hijau daun perpaduan putih dengan karakter wanita menjadi objeknya itu menjadi pertemuan pertama dengan suaminya. Disaat Riri sedang asyik membaca isi buku di genggamannya. Terdengar seseorang mengetuk pintu ruangannya berulangkali. Riri segera meletakkan bukunya diatas meja. "Masuk," ucap Riri memberi tanda ke orang diluar ruangannya. Seorang wanita muda masuk perlahan dan berjalan menghampiri Riri, "Maaf, Mbak. Diluar ada tamu," lapor wanita dengan poni lempar itu. Riri mengernyitkan dahi, "Siapa. Kris?" tanyanya. "Bukan, Mbak," jawab Wanita berponi itu singkat. "Seorang Pria yang tampan lebih tampan dari Mas Kris," sambungnya dengan nada dibuat manja s
"Bunda," seru Riri sedikit berteriak sambil berlari masuk kedalam rumahnya. "Iya. Bunda disini," jawab Bunda Lita diarah dapur. Mendengar respon dari Bundanya, bergegas Riri berlari ke sumber suara, "Bunda, bantu aku untuk gotong Kris yang berada didalam mobil," ucap Riri dengan nada panik. Bunda Lita yang mendengarnya ikut panik, "Loh Kris kenapa, Ri?" tanya Bunda Lita sambil berjalan keluar rumah. "Kris pingsan saat mau jalan pulang, Bun," jawab Riri singkat. "Iya, tapi pingsannya kenapa?" "Mungkin gara-gara ditonjok sama Asoka di Restoran kali," Dengan susah payah Bunda Lita dan Riri menggotong tubuh Kris dan di baringkan untuk sementara di sofa ruang tamu. Riri langsung duduk didepan Kris untuk mengompres luka lebam yang ada di wajah tampan suaminya. Disaat Riri sedang membersihkan wajahnya Kris, tidak sengaja Riri menempelkan punggung tangannya di pipi Kris, "Bun, kayaknya Kris demam?" tanya Riri ke Bunda Lita yang duduk di sampingnya. Spontan Bunda Lita ikut menempelkan
Tiga bulan kemudian. "Saya terima nikahnya-" belum selesai sang mempelai pria mengucapkan kabul untuk mengikrarkan janji pernikahannya. Terlihat seorang Pria berbadan tinggi besar, berlari tergesa-gesa menghampiri mempelai pria membuat acara tersebut tertunda sejenak. "Maaf, Bos. Diluar ada..." ucap Pria tinggi besar tergantung karena kelanjutan ucapannya langsung Dia bisikkan ke telinga sang mempelai pria. Mempelai pria itu langsung bangkit dari duduknya dan langsung berjalan keluar rumah setelah mendengar laporan dari salahsatu anak buahnya. Terlihat diluar rumah telah datang tiga orang Pria berseragam berwarna cokelat lengkap dengan lentera emas di dadanya sedang berdiri dengan gagahnya menunggu sang pemilik rumah. "Selamat siang. Apa betul saudara bernama Asoka Bramasta Kusuma?" tanya salahsatu Pak Polisi berhidung mancung dengan suara baritonnya yang khas. "Betul," jawab singkat mempelai pria tersebut ternyata Asoka. "Kami mendapat laporan dari keluarga korban, bahwa sauda
"Tolong!" teriak Riri sampai membuat Asoka disampingnya spontan menutup mulut Riri."Ada apa, Manis. Kamu kenapa berteriak? tanya Asoka dengan nada lembut sambil mengelus pipi mulus Riri."Kumohon. Tolong bebaskan aku, aku mohon," mohon Riri dengan raut wajah memelas nya.Asoka hanya tertawa terbahak-bahak dan Riri yang mendengarnya hanya bisa menumpahkan air matanya, seakan Dia sudah lelah dengan keadaannya saat ini.Asoka yang melihat Riri seperti itu langsung memasang wajah sendu dan perlahan melepaskan mulut Riri yang ia bekap, "Manis, kenapa? Apa kamu tidak senang bersama denganku. Hem," ucapnya dengan nada lembut.Tidak ada respon dari Riri, Asoka mengangkat dagu Riri dengan telunjuk tangannya, "Ayolah. Aku tidak suka Riri yang cengeng seperti ini, nanti kamu sakit, Manis," ucapnya terjeda sejenak, "Kamu-" belum selesai Asoka mengucapkan kata-katanya. Terdengar suara bising dari luar.Duag...Suara pintu ruangan terbuka paksa dari luar. Asoka yang mendengar itu langsung mengerny