Riri POV
Hari berganti minggu, minggu berganti bulan dan bulan berganti tahun. Tidak terasa satu tahun telah berlalu banyak kenangan manis pahit dan ada juga pelajaran hidupku untuk lebih baik lagi, contohnya seperti kenangan bersama Asoka seorang CEO Bramasta yang pernah membuat hatiku luluh akan tindakan nekatnya untuk meminangku sampai memperjuangkan cintanya padaku. Namun takdir seakan tidak merestui hubungan kami, terbukti setelah berbagai cara Asoka lalui untuk mendapatkanku namun hasilnya penolakan dan pada akhirnya aku mendengar bahwa Asoka telah berangkat ke London untuk menangani kantor cabang Bramasta disana. Dari situ mungkin akhir perjuangan cintanya, Asoka berhak bahagia tapi bukan bersamaku. Walaupun hati kecilku tidak bisa dibohongi ada perasaan sesak disana.
Terlepas dari kenangan bersama Asoka ada kenangan yang tak pernah ku lupakan yaitu yang pertama pernikahan Kak Bagas yang telah berlangsung empat bulan yang lalu dan kesuksesan usaha katering Bunda. Lambat laun seiring berjalannya waktu Bunda melebarkan sayapnya untuk membuka restoran kecil di pusat kota bernama restoran madurasa yang telah dibuka tiga bulan kebelakang mengalami respon positif dari pengunjung yang pernah datang ke restoran ini.
Mungkin karena menu andalan restoran kami ialah ayam bakar madu, restoran kecil Bunda semakin maju dan berkembang. Dan disinilah aku dimintai Bunda untuk mengelola restoran madurasa dengan senang hati aku menyetujui permintaan tersebut.
"Kamu serius gak perlu dijemput, Bunda?" Bunda berbicara jauh diseberang telepon.
"Gak perlu, Bun. Toh aku sebentar cuman mau ke toko buku depan," jelasku kepada orang yang mendengar diseberang telepon.
"Ya udah, kalau ada apa-apa hubungi Bunda langsung," pinta Bunda terdengar nada lembut disana.
"Siap Boss," kataku sembari jari-jari merapat dan diletakan di pelipis mata kanan.
Setelah minta izin ke Bunda dari sambungan telepon, aku segera bersiap-siap untuk berangkat ke tempat tujuan mengunakan Driver online yang telah dipesan.
Singkat cerita aku telah sampai di toko buku yang terbilang cukup besar di kota ini dan telah berada di dalam. Sebelum aku mengecek kesediaan buku favoritku, terlebih dahulu aku ingin menelusuri rak-rak buku disini tanpa sengaja ekor mataku melirik sebuah buku bertema kedokteran salahsatu buku yang telah lama ku nantikan.
Awalnya aku hendak mengambil buku tersebut namun tanganku kalah cepat, ternyata seseorang ada yang hendak mengambil buku yang sama.
Seketika aku melirik kearah orang disampingku ternyata seorang Pria dengan rambut klimis mengenakan kaos oblong lengan panjang berwarna gelap.
"Mas, saya duluan yang liat buku ini," ucapku berusaha negosiasi ke Pria disampingku.
"Enak aja, saya yang lebih dulu memegang buku ini.” Terlihat olehku Pria yang kusebut cowok rese itu langsung menarik buku tersebut.
"Mas kan cowok, ngalah napa sama cewek," bentakku sembari mencoba mengambil buku tersebut dari genggaman erat cowok rese didepanku.
"Emang kalau saya cowok kenapa? Gak boleh beli buku ini." Terlihat sorot matanya menatap tajam ke arahku yang membuat nyaliku mendadak ciut.
Namun demi buku kedokteran itu aku harus terus maju pantang mundur untuk mendapatkan buku itu.
"Ih, pokoknya buku ini milik saya. TITIK." Aku menunjuk buku di genggaman cowok rese itu sembari membalas menatap tajam kearahnya.
Sedetik dua detik tidak ada respon dari cowok rese didepanku. Namun aku melihat kakinya akan melangkah ke kasir mungkin untuk membayar buku tersebut.
'Oh tidak bisa, Bambang. Buku itu harus menjadi milikku.’ batinku.
"Mas, Mas," panggilku sembari melambaikan tangan ke cowok rese didepan. Namun Dia masih cuek-cuek bebek terhadapku.
"Ini milik saya, saya udah lama nunggu buku ini," sergahku sembari sekuat tenaga merebut buku di genggaman tangan cowok rese didepan kasir.
"Mba, kok maksa sih. Ini udah milik saya, sudah ditangan saya.” Terdengar nafasnya memburu mungkin Dia menahan marah kepadaku.
Petugas kasir didepanku terlihat mencoba melerai perdebatan kami karena terdengar olehku Dia terus memanggil kami. Namun aku tidak mengindahkannya karena yang terpenting mendapatkan buku di genggaman cowok rese ini.
Alhasil drama tarik menarik buku pun terjadi dan berujung sampul buku tersebut rusak terbagi dua.
Terlihat cowok rese menyugar rambutnya, "Gara-gara kamu jadi bukunya rusak," cetus cowok rese terlihat bibirnya mengerucut, "Saya tidak butuh lagi." Cowok rese itu menaruh buku tersebut tepat di meja kasir dan melenggang pergi tanpa permisi.
"Giliran udah rusak itu cowok kabur," celetukku seakan geram dengan kelakuan cowok rese itu sembari mengambil belahan buku tersebut.
"Maaf, kak. Kakak harus bertanggungjawab untuk membeli buku ini," ucap petugas kasir dengan tegas sembari menunjuk buku di genggamanku.
"Iya, Mba. Tenang aja, saya beli buku ini," jawabku sembari mengerucutkan bibir.
'Gini banget dah, demi buku ini kurela beradu otot dengan pengunjung lain.’ batinku.
Disaat aku hendak melangkah pergi dari toko buku tersebut yang sebelumnya telah menyelesaikan transaksi pembelian buku ini. Tidak sengaja pandanganku melirik sebuah dompet kulit yang tergeletak di lantai tak jauh dari kasir. Tanpa sadar aku mengambil dompet tersebut yang berada didepan dan membukanya, terdapat kartu identitas didalamnya.
"Krisan Adi Pratama," eja ku dari kartu identitas yang telah kudapatkan.
"Krisan Adi Pratama," eja ku dari kartu identitas yang telah kudapatkan.Tanpa disangka ternyata kartu identitas ini milik cowok rese barusan, terlihat dari foto yang tercetak didalam kartu identitas tersebut. Tanpa berpikir panjang aku segera memasukkan dompet tersebut ke dalam tas selempangku. Setelah itu aku segera melanjutkan langkahku yang sempat tertunda untuk keluar dari toko buku ini.*****Keesokan harinya tepatnya pada siang hari aku segera menghubungi nomor telepon pemilik dompet kulit ini. Walaupun aku sebenarnya malas mengembalikannya tapi dilihat dari isi dompetnya yang kebanyakan barang-barang penting seperti, beberapa kartu ATM, SIM, dan masih banyak lagi. Ditambah ada uang tunai yang jumlahnya tidak sedikit didalam dompetnya ini.Tak lama kemudian, dering suara panggilan di gawai ku berubah senyap bertanda seseorang tengah mengangkat telepon darinya."Halo?" ucap seseorang di seberang telepon."Ini dengan Krisan Adi Pratama," sahutku tanpa basa-basi."Ada apa?" Terde
Tiga bulan telah berlalu, semenjak terakhir kali aku bertemu Pria bernama Kris bersama Umi Mutia dan Bunda di restoran madurasa. Siapa sangka dibalik pertemuan kami yang tidak sengaja di Toko Buku tempo hari itu menjadi titik awal kemalangan ku dimulai, karena tepat satu bulan yang lalu aku telah sah menjadi istri cowo rese yang melihatnya pun membuat darahku langsung mendidih. Awal ceritanya bermula pada saat aku menjadi pendonor darah untuk Umi Mutia. Flashback on Sinar matahari lambat laun meredup digantikan dengan sorot lampu jalan untuk menerangi jalanan kota, bahkan suasana kota sudah mulai terlihat sepi. Disaat semua orang telah terlelap tidur sambil mengarungi dunia mimpi masing-masing. Mobil Daihatsu Xenia milik Bunda masih melesat memecah keheningan malam, menuju Rumah Sakit Karisma yang berada di pusat kota. "Bunda, pokoknya aku gak mau karena menolong Umi Mutia. Imbalannya aku harus menikah dengan anaknya," ucapku berdebat didalam mobil sambil menyilangkan kedua tan
Terik matahari seakan menyengat tubuh, ditambah padatnya lalu lintas membuat siapapun tidak sabar untuk segera sampai ke tempat tujuan masing-masing. Sama halnya dengan Restoran madurasa, padatnya lalu lintas ibu kota menjadi peluang emas untuk restoran tersebut. Terlihat pengunjung terus berdatangan tidak habis-habisnya memadati restoran. Restoran berlantai tiga itu memiliki rooftop bernuansa klasik berwarna dominan kuning kecoklatan, namun tidak mengurangi sisi modern. Spot ini cocok untuk anak muda yang menongkrong atau pengunjung yang ingin sekadar bersantai melihat pemandangan ibu kota sambil menikmati makanan yang disajikan restoran madurasa. Dengan kepadatan pengunjung di Restoran madurasa, terlihat Kris sedang duduk manis di salahsatu sofa yang berada di rooftop. Tidak berselang lama Riri berjalan menghampiri Kris disana dengan membawa nampan berisi makanan yang telah Dia masakan barusan. Dug... "Makanlah, anggap saja ini untuk balas budi," ucap Riri setelah meletakkan namp
Hari ini Restoran tidak terlalu ramai akan pengunjung. kesempatan ini Riri luangkan untuk membaca buku yang berada di ruang kerjanya. Dari beberapa buku yang berada di meja kerjanya, ada satu buku yang terbilang cukup terkesan bahkan selalu membuatnya tertawa sendiri jika mengingat momen tersebut. Buku bersampul berwarna dominan hijau daun perpaduan putih dengan karakter wanita menjadi objeknya itu menjadi pertemuan pertama dengan suaminya. Disaat Riri sedang asyik membaca isi buku di genggamannya. Terdengar seseorang mengetuk pintu ruangannya berulangkali. Riri segera meletakkan bukunya diatas meja. "Masuk," ucap Riri memberi tanda ke orang diluar ruangannya. Seorang wanita muda masuk perlahan dan berjalan menghampiri Riri, "Maaf, Mbak. Diluar ada tamu," lapor wanita dengan poni lempar itu. Riri mengernyitkan dahi, "Siapa. Kris?" tanyanya. "Bukan, Mbak," jawab Wanita berponi itu singkat. "Seorang Pria yang tampan lebih tampan dari Mas Kris," sambungnya dengan nada dibuat manja s
"Bunda," seru Riri sedikit berteriak sambil berlari masuk kedalam rumahnya. "Iya. Bunda disini," jawab Bunda Lita diarah dapur. Mendengar respon dari Bundanya, bergegas Riri berlari ke sumber suara, "Bunda, bantu aku untuk gotong Kris yang berada didalam mobil," ucap Riri dengan nada panik. Bunda Lita yang mendengarnya ikut panik, "Loh Kris kenapa, Ri?" tanya Bunda Lita sambil berjalan keluar rumah. "Kris pingsan saat mau jalan pulang, Bun," jawab Riri singkat. "Iya, tapi pingsannya kenapa?" "Mungkin gara-gara ditonjok sama Asoka di Restoran kali," Dengan susah payah Bunda Lita dan Riri menggotong tubuh Kris dan di baringkan untuk sementara di sofa ruang tamu. Riri langsung duduk didepan Kris untuk mengompres luka lebam yang ada di wajah tampan suaminya. Disaat Riri sedang membersihkan wajahnya Kris, tidak sengaja Riri menempelkan punggung tangannya di pipi Kris, "Bun, kayaknya Kris demam?" tanya Riri ke Bunda Lita yang duduk di sampingnya. Spontan Bunda Lita ikut menempelkan
Tiga bulan kemudian. "Saya terima nikahnya-" belum selesai sang mempelai pria mengucapkan kabul untuk mengikrarkan janji pernikahannya. Terlihat seorang Pria berbadan tinggi besar, berlari tergesa-gesa menghampiri mempelai pria membuat acara tersebut tertunda sejenak. "Maaf, Bos. Diluar ada..." ucap Pria tinggi besar tergantung karena kelanjutan ucapannya langsung Dia bisikkan ke telinga sang mempelai pria. Mempelai pria itu langsung bangkit dari duduknya dan langsung berjalan keluar rumah setelah mendengar laporan dari salahsatu anak buahnya. Terlihat diluar rumah telah datang tiga orang Pria berseragam berwarna cokelat lengkap dengan lentera emas di dadanya sedang berdiri dengan gagahnya menunggu sang pemilik rumah. "Selamat siang. Apa betul saudara bernama Asoka Bramasta Kusuma?" tanya salahsatu Pak Polisi berhidung mancung dengan suara baritonnya yang khas. "Betul," jawab singkat mempelai pria tersebut ternyata Asoka. "Kami mendapat laporan dari keluarga korban, bahwa sauda
"Tolong!" teriak Riri sampai membuat Asoka disampingnya spontan menutup mulut Riri."Ada apa, Manis. Kamu kenapa berteriak? tanya Asoka dengan nada lembut sambil mengelus pipi mulus Riri."Kumohon. Tolong bebaskan aku, aku mohon," mohon Riri dengan raut wajah memelas nya.Asoka hanya tertawa terbahak-bahak dan Riri yang mendengarnya hanya bisa menumpahkan air matanya, seakan Dia sudah lelah dengan keadaannya saat ini.Asoka yang melihat Riri seperti itu langsung memasang wajah sendu dan perlahan melepaskan mulut Riri yang ia bekap, "Manis, kenapa? Apa kamu tidak senang bersama denganku. Hem," ucapnya dengan nada lembut.Tidak ada respon dari Riri, Asoka mengangkat dagu Riri dengan telunjuk tangannya, "Ayolah. Aku tidak suka Riri yang cengeng seperti ini, nanti kamu sakit, Manis," ucapnya terjeda sejenak, "Kamu-" belum selesai Asoka mengucapkan kata-katanya. Terdengar suara bising dari luar.Duag...Suara pintu ruangan terbuka paksa dari luar. Asoka yang mendengar itu langsung mengerny
Flashback on'Perasaanku saja atau memang tadi ada yang teriak minta tolong?’ tanya Kris dalam hati.Pria berstatus Dosen dan suami Riri itu terus melangkahkan kakinya menuju arah suara yang sempat terdengar oleh indera pendengarannya."Loh, ini cuman halaman belakang rumah biasa?" tanyanya ke diri sendiri sambil melihat sekeliling tempat tersebut.Hanya terdapat lemari kaca berwarna hitam yang tinggi nya hampir dua meter di depannya. Selain itu hanya halaman luas yang berada dibelakangnya, yang terdiri empat celah masuk atau keluar yang sengaja di buat tanpa pintu untuk jalan pintas menuju ke taman.Seakan tidak ada artinya Kris berdiam diri disini. Dia hendak melangkah pergi meninggalkan tempat tersebut, namun langkahnya terhenti ketika ada seseorang yang berjalan kearahnya. Bukan melarikan diri, Kris memilih untuk bersembunyi di balik tembok yang berukuran setinggi pinggangnya."Asem banget dah, harus bertugas di waktu libur gini," gerutu seorang Pria dengan brewok lebat berwarna k
"Setiap ujian hidup pasti ada hikmahnya. Tergantung kita menyelesaikan ujian tersebut, apa lulus atau harus mengulang kembali." ~ Amarilis Jelita~"Riri!"Aku segera melirik ke sumber suara tersebut, samar-samar terlihat seorang wanita mengenakan (...) berjalan menghampiriku. Setelah cukup dekat barulah aku mengenalinya dia Angel, salahsatu teman sekolahku dulu. 'Tumben dia sendirian gak sama dayang-dayangnya?" pertanyaan itu terus berputar dalam benakku."Hai," sahutku singkat sambil membalas cipika-cipiki dengan wanita cantik didepanku."Kamu lagi piknik juga sama keluarga kamu?" tanyanya langsung duduk lesehan disampingku."Iya, An. Mumpung lagi libur tahun baru, jadi keluarga aku semua mengusulkan piknik kesini," jawabku seadanya tidak lupa aku memberikan senyum tipis.Aku melihat dahinya mengernyit dengan jawabanku."Kenapa gak ke Bali," tanya Angel terjeda sejenak, "aku denger Hasna sama keluarga nya kesana?""Enggak ah, An. Hasna juga sempat mengajakku, cuman Nana kalau perjal
Sementara di sebuah rumah sakit yang ditempati oleh Kris dirawat, terlihat sepasang suami-istri tersebut terus beradu mulut, seperti serial kartun identik dengan pemeran kucing dan tikus yang dulu sering muncul di layar televisi. Mereka selalu tidak akur, namun jika terpisah akan ada yang kehilangan."Ri, cukup aku udah kenyang," ucap Kris sambil menutup mulutnya dengan kedua tangannya.Riri langsung menyingkirkan kedua tangan Kris sambil tangan kanannya melayang sesendok penuh bubur tanpa topping."Kamu terus bilang kenyang. Baru juga tiga kali suap," jawabnya sambil memasukkan sesendok bubur tersebut kedalam mulut suaminya."Pokoknya aku gak mau tahu, kamu harus habiskan semangkok bubur ini. TITIK."Satu minggu setelah berlalu, semenjak pertama kali Kris ditemukan di gudang terbengkalai dengan kondisi yang memprihatinkan.Ada beberapa luka lebam di wajah tampannya, tangan kirinya patah akibat hantaman keras dari benda tumpul. Dan lebih membuat Riri tersentuh itu, terdapat sebuah li
Flashback onDisebuah rumah berlantai tiga yang begitu kental dengan nuansa arsitektur bangunan ala Eropa. Terdapat satu keluarga kecil dari pemilik perusahaan elektronik ternama.Mereka sedang berkumpul di ruang makan untuk menyantap makan malam dengan anak sulungnya itu bernama Bagas."Mas, kamu serius memercayai Mas Sultan memegang saham sebesar itu?" tanya seorang wanita cantik yang mempunyai bulu mata lentik itu ialah Lita.Bukan tanpa alasan Lita bertanya seperti itu, karena suaminya sudah terlalu loyal terhadap sahabat yang telah dikenalnya dibangku kuliah. Karena dia telah memercayai sahabat yang dikenalnya sejak bangku kuliah itu 50% dari saham yang didapat dari perusahaan suaminya. Bahkan saham yang diberikan kepada anak kandungnya tidak lebih dari 15%.Pria yang berstatus sebagai suami Lita itu bukan menjawab, tapi berbalik bertanya, "Kamu masih meragukan kesetiaan Sultan terhadap keluarga kita?" tanyanya tanpa melihat lawan bicaranya sambil melanjutkan suapan terakhir maka
Suasana hening perhutanan berubah menjadi bising dari beberapa kendaraan roda empat maupun roda melaju dengan kecepatan sedang.Langkah kaki panjang yang sebelumnya telah turun dari kendaraan yang mereka tumpangi, terus berjalan mengendap-endap ke sebuah gudang terbengkalai di tengah hutan.Sinar matahari siang hari ini seakan terhalang oleh awan yang lambat laun berubah abu-abu, mengakibatkan pantulan cahaya mentari sedikit menggelap. Namun semua itu tidak menyulitkan indera penglihatan puluhan pria berseragam coklat yang khasnya.Brukkk...Terdengar nyaring suara pintu dibuka dari luar secara paksa. Bertepatan dengan itu, puluhan pria berseragam coklat yang telah menunggu diluar langsung masuk kedalam lengkap dengan senjata api yang berada di tangannya."Angkat tangan. Tempat ini telah dikepung!" titah seorang polisi dengan suara baritonnya yang khas.Spontan semua orang yang berada di dalam ruangan itu mengangkat kedua tangan mereka sambil terjongkok ditempat, setelah itu puluhan p
Siang ini matahari memancarkan sinar nya yang cerah serta terasa panas, sepanas kabar terkait penyakit yang diderita oleh Riri. Kabar tersebut langsung menyebar melalui grup media sosial yang identik dengan icon berwarna hijau.Banyak tanggapan dan komentar beragam dari anggota grup yang berisikan angkatan sekolahnya, sampai kabar itu terbaca oleh kedua sahabat Riri.Melihat kabar yang belum tentu pasti kebenarannya, Hasna mencoba meluruskan permasalahan yang ada. Namun Indah selalu membela diri bahwa kabar ini bukan hanya kabar burung saja, seakan terus terpojok Hasna maupun Putri menghentikan perdebatan di grup tersebut walaupun puluhan chat terus membanjiri grup tersebut. Karena mereka akan menanyakan langsung ke korban yang tengah menjadi viral di grup angkatan sekolah mereka.*****Sudah hampir setengah jam mereka berada didalam ruangan yang ditempati Riri dirawat.Keadaan langsung hening, disaat Hasna memberitahukan tentang kabar yang membuat grup angkatan sekolahnya heboh, samp
Hani masih setia duduk disamping Riri menunggu adik iparnya yang telah tertidur pulas disana, sambil mengelus rambut hitam Riri dengan lembut. Matanya terus berembun seakan air matanya terus berdesakkan untuk turun, namun wanita yang mengenakan khimar berwarna peach itu terus menahan air matanya untuk tidak jebol dari pelupuk matanya.BIP... BIP... BIP...Suara dering gawainya cukup terdengar dari arah tas branded nya.Hani meraih tasnya yang tersimpan di atas nakas dan langsung mengeluarkan gawainya didalam sana.Hubby calling...Melihat nama kontak di layar gawainya, wanita bergamis abu-abu itu bangkit dari duduknya untuk berjalan keluar ruangan. Setelah sampai di ruang tunggu, Dia segera menggeser tombol berwarna hijau yang ada pada layar gawainya itu."Hallo, Mas," ucap Hani untuk seseorang di seberang sana."Gimana keadaan Riri?" tanya Pria di seberang sana dengan suara baritonnya yang khas."Alhamdulillah. Riri baru tidur, mungkin suster yang bertugas sudah memberikan obatnya,"
"Apa aku tidak berhak bahagia? Disaat aku kemarin baru merasakan indahnya kasih sayang seorang pasangan halalku sampai air mata kebahagiaan tertetes. Kenapa sekarang air mata itu harus tergantikan dengan air mata kesedihan." ~Amarilis Jelita~BIP... BIP... BIP...Kris calling...'Tumben Kris menelepon di jam kerja begini?' monologku dalam hati. Ada perasaan aneh dalam hati ini, namun aku langsung menepis perasaan tersebut.Aku segera menggeser tombol berwarna hijau yang ada pada layar gawaiku."Halo, Manis." Nafasku seakan tercekat setelah mendengar suara yang menelepon di seberang sana."Kamu pasti mengira bahwa yang meneleponmu adalah suamimu, bukan," ucapnya dengan nada lembut, "emang ini suamimu, Manis. Asoka Bramasta Kusuma." Mulutku tiba-tiba membisu mendengar suara yang susah payah aku hindari. Terdengar suara tertawa terbahak-bahak di sambungan telepon ini."Kenapa, Manis. Katakanlah sesuatu atau aku harus mengatakan bahwa Kris sudah MA-TI." Aku langsung memejamkan mataku seje
Disaat Riri membisikkan lanjutan kata-kata ke kedua sahabatnya dengan mendekatkan wajah mereka satu sama lain."APA!" teriak Hasna dan Putri kompak.Mereka bertiga terdiam sejenak, setelah itu Hasna berucap, "Masa iya cowo setampan Asoka menikah sama nenek lampir itu?" tanya Hasna sambil mengernyit heran. Terlihat sebelah alisnya terangkat keatas.Hasna mengalihkan pandangannya ke arah Putri, "Put, kamu dengar gak dari Danu. Secara kan ayang kamu dulu cukup dekat sama Indah?"Putri mengelus dagu nya yang sedikit runcing sambil menundukkan pandangannya, "Setahu aku, dulu Danu bilangnya Indah itu sama Andre bahkan mereka mau married," ucapnya terjeda sejenak, "ya aku pikir, suami Indah itu Andre," sambungnya menatap ke kedua sahabatnya yang berada disampingnya."Emang kamu tahu darimana, Ri. Kalau Asoka itu istrinya Indah?" tanya Hasna sambil menyeruput milkshake strawberry yang di pesannya.Riri menghela nafasnya berat sebelum berucap, "Waktu itu aku saat makan siang bersama Kris di Ba
Matahari telah tertidur digantikan dengan cahaya rembulan yang menyinari bumi. Kelap kelip bintang yang bertaburan di langit menambah keindahan malam hari ini.Di tengah taman belakang rumah terdapat satu meja bundar berwarna putih dengan hidangan makan malam di atasnya lengkap dengan dua kursi dengan warna senada yang saling berhadapan satu sama. Kursi tersebut telah diduduki oleh sepasang suami istri mengenakan pakaian kasual. Tidak lupa sang suami membawa sebuket bunga yang di sembunyikan di tangan kanannya.Kunang-kunang yang berkelap-kelip di sekitar mereka tempati membuat nuansa makan malam ini terkesan romantis dan berwarna."Untukmu," ucap sang suami sambil memberikan sebuket bunga dan langsung diterima oleh sang istri."Ya ampun, Kris. Kalau ngasih itu bunga bank bukannya bunga mawar merah," ucap Riri sambil menghirup aroma bunga yang berada di tangannya."Kalau kamu tidak suka buang saja," ucap Kris ketus sambil memalingkan wajahnya.Riri langsung mengelus punggung tangan Kr