"Ada apa kau ke sini Mas?" tanyaku dengan tatapan dingin."Aku ingin ....""Bukannya tadi kami sudah bersalaman dengan ayah? Untuk apa Ayah mengulang datang lagi?" tanya Felicia."Apa ayah merasa menyesal menyakiti kami, percuma, kami tidak akan memaafkan ayah!" Rena, putriku yang paling sakit hati dan dendam dengan ayahnya nampak tidak mampu menyembunyikan emosinya."Ayah datang ke sini Untuk mengantarkan THR lebaran kalian," ujarnya sambil merogoh saku."Apa sekarang Ayah ingin membeli harga diri kami agar kami mengalah dan menerima pernikahan ayah?" Tanya Rena. " Seberapa banyak uang itu?""Kok kalian jadi begini sama ayah?" tanya Mas Faisal yang berusaha tetap sabar dan tenang, tapi anak anak sudah terlanjur marah."Meski rumah ini adalah pemberian ayah, tapi sungguh kami tidak mau ayah datang lagi. Tolong jangan menyakiti Umi dan adik-adik saya dengan kehadiran ayah.""Ayah masih ada hak lho di sini. Masa Iddah ibu kalian masih tiga bulan lagi!""Tapi itu bukanlah alasan yang pa
"Oh, eh, be-begitu ya?" Entah kenapa sahabatku jadi panik dan gelagapan di hadapanku. Dia terlihat bersalah mengajakku bekerja sementara di sisi lain aku menggeleng di hadapannya agar dia tetap bersikap santai dan tenang-tenang saja."Alhamdulillah aku mendapatkan suami yang romantis dan mapan. Dia memperlakukanku dengan penuh cinta dan memberiku hadiah bertubi-tubi yang tidak pernah kuduga. Tak kusangka dia telah mencintaiku lebih lama dari perkiraanku," ucapnya dengan tawa berderai. Dia memang bicara kepada Puji tapi dia sesekali melirikku dengan maksud untuk menyindir dan menyakiti perasaan ini.Aku mulai bersikap acuh tak acuh juga, tidak perduli dengan semua ungkapan dan curhatan hatinya karena aku memilih untuk sibuk menyusun emas yang ada di display."Oh ya, aku suka cincin yang disusun oleh wanita itu. Coba bawa kemari satu cincin bermata ungu!" Entahnya sambil melirik diriku dengan tatapan yang arogan. Dia tidak menyebutku dengan nama atau apa tapi dia menyebutku dengan kata
"Sebagai wanita yang punya malu dan tahu kalau dirinya pelakor, dia tidak akan searogan dan sombong itu memamerkan aibnya di hadapan orang banyak!" Ujarku dengan nafas memburu, aku mulai emosi dan kesal sekali hingga tidak mampu mengendalikan diriku, saking meluapnya amarah, napasku memburu dan rasanya wajah ini melepuh oleh hawa panas. Aku mulai berada di puncak emosi dan tak takut pada apapun. aku terus memupuk kesabaran dan diam saja sejak tadi tapi wanita itu terus saja menguji pengendalian diriku. Aku sungguh muak dengannya. Beberapa orang mendekati wanita itu dan membantu Dia bangkit, menjauhkan dia dariku yang sedang full energi dan emosi. Mereka mendudukkan rima yang ter batuk-batuk dan memegangi perutnya di sebuah bangku panjang yang diperuntukkan untuk pelanggan."Aku akan melaporkan ke kantor polisi dan memberitahu Mas Faisal bahwa kau sudah jahat sekali.""Oh ya? Kau pikir aku akan gemetar, meski dia mantan suamiku tapi aku tahu persis dia tidak akan menyalahkanku! Co
"Ayah! Ayah ingin melihat seseorang yang sudah kehilangan akalnya!" tanya Felicia sambil maju dan menabrakkan diri ke tubuh ayahnya yang jauh lebih tinggi dari dirinya."Hei, kau! Jangan melawan ayah!"Brak!Mas Faisal langsung mendorong putriku hingga terhempas ke bufet yang meyokong televisi, putriku terbelalak diperlakukan dengan kasar karena selama ini sebagai anak bungsu Dia sangat dimanjakan dan dielukan oleh Mas Faisal. Memang selama ini Felicia adalah anak yang paling cerdas dan cantik di antara ketiga putra dan putriku. Mantan suamiku sangat menyayanginya dan tidak pernah sedikitpun memarahinya."Ayah!!!" Felicia berteriak dan tidak terima dengan perlakuan Mas Faisal sementara mantan suamiku sendiri terlihat terkejut sendiri dengan perbuatannya kepada putrinya.Mas Faisal yang terlihat menyesal berusaha untuk mendekat dan minta maaf namun putriku yang sudah terlanjur jijik kepada ayahnya langsung menepiskan tangan dan menjauh."Dengan kedatangan ayah ke rumah ini dan marah-
Kupeluk putriku dengan penuh perasaan lalu tetap berusaha untuk menenangkan dia. Rina dan Heri juga begitu prihatin dengan adiknya yang rela menjadikan dirinya sebagai tumbal di hadapan ayahnya meski itu tidak benar-benar terjadi."Ayah benar benar keterlaluan," gumam Rena."Iya, betul, aku kecewa pada tindakan ayah," ujar Heri sambil memandangku dengan sedih."Ayo bangun, mari kita bersihkan bekas bensin dari ruangan ini," ujarku sambil mengusap air mata dan membangunkan anakku yang masih berduka.Kuantar felicia ke kamarnya lalu kuminta ia mandi, kusiapkan pakaian di atas ranjang lalu aku pun beranjak membersihkan diri. Kedua anakku yang lain sibuk membereskan bekas bensin dan barang barang yang pecah. Aku tercenung dan terdiam melihat pemandangan rumah dari balkon lantai dua. Dulu, rumahku adalah surgaku, tempat terbaik kami untuk pulang dan menenangkan perasaan. Sekarang semuanya sudah beda, hawanya suram, sepi dan tidak lagi tentram. Perasaan yang ada selalu was was dan berkecamu
Kemudian semuanya berlanjut seperti normal, meski ada kendala saat aku kekurangan uang belanja atau anak-anak yang harus menekan keinginannya untuk membeli sesuatu tapi kami mulai belajar tentang kesederhanaan dan arti kebersamaan. Kami mulai hidup apa adanya dan menikmati makanan dengan bersyukur di penghujung hari.Satu kebiasaan yang tidak pernah hilang di rumah kami adalah selalu makan malam bersama karena di momen itu kami akan bercerita dan curhat juga meminta pendapat dan diskusi dengan anggota keluarga yang lain.Seperti Malam ini aku dan dan ketiga anakku yang baru selesai mandi duduk di meja makan sambil menikmati makanan kami. Aroma hidangan mengepul sedap dan menggugah selera sehingga membuat Rena dan Felicia begitu bersemangat makan. Heri anak sulungku yang tidak terlalu suka pedas hanya tersenyum melihat adiknya terus mendesis kepedasan."Makanya jangan rakus, cabe aja dimakan kayak gitu," ujar Heri."Enak tahu, kakak ga tahu aja rasanya ...""Aku memang tidak bisa mera
"Eh, euhm, se-sebaikmya saya masuk..." Aku ingin menghindari percakapan canggung itu karena merasa belum siap mental.Aku belum menyiapkan diriku untuk tertarik kepada seorang lelaki mengingat diri ini baru saja ditinggalkan oleh suami. Bukannya menolak untuk move on dan melangkah ke depan, aku hanya butuh waktu untuk menghilangkan luka yang ada di hatiku kemudian membuka lebaran baru dengan orang lain."Kenapa Mutia menjadi gugup dan menghindari saya?"Aduh, kini dia menyebut namaku dengan suara yang begitu lembut hingga aku benar-benar gemetar."Bu-bukan begitu, Mas. Ehm, sa-saya merasa tidak enak saja dengan orang yang ada di dalam karena kita berdua duduk di luar sini.""Bukannya ayahnya Mutia yang meminta saya untuk mengajak kamu duduk ke teras?""Be-benar juga, ta-tapi ..." Mendadak mulutku ganggu tenggorokanku tercekat dan aku yang biasanya bicara lantang dan tegas tiba-tiba tidak mampu mengatakan apa-apa. Entah karena aku terpukau oleh pesona mas Rusdi ataukah aura dirinya
Aku tidak bisa mengatakan apapun lagi selain hanya mampu berdiri dan mengusap air mata sementara lelaki itu beringsut kemeja kasir lalu membayar semua roti yang tadi jatuh sekaligus roti yang kupegang di tanganku."Saya bayar roti ibu itu juga," ujarnya pada kasir.Aku menoleh dan menggeleng cepat tanda bahwa aku tidak menerima tawaran itu. "Tidak apa apa, toh itu rotinya untuk anak anak," ujarnya sambil menyerahkan struk pembayaran."Tidak usah bersikap baik Mas.""Aku hanya mencoba agar kita tidak bermusuhan lagi."Hidup kami mulai membaik, perasaan yang tadinya bergejolak mulai mereda dan kami sudah berdamai dengan kenyataan. Di setiap waktuku aku selalu berdoa semoga kita tidak bertemu tapi entah kenapa Tuhan kembali mempertemukan kita. Maaf, saya harus pergi," ujarku."Tunggu Mutia!""Apa lagi?""Aku belum mengirimkan uang belanja untuk anak-anak bulan ini, jadi kebetulan aku membawa uang cash, aku ingin langsung memberikannya padamu."Seandainya itu uang ditujukan untuk nafkah
Hari ini adalah hari Minggu dan minggu ini terasa terasa damai karena udara berhembus sejuk dan matahari bersinar dengan cerah. Daun-daun tumbuhan yang ada di sekitar rumah nampak hijau dan bunganya bermekaran, aku merasa senang menatapnya, perasaanku juga lebih cerah karena kelima anak kami berkumpul di rumah. Pukul 07.00 pagi kusiapkan sarapan lalu kami berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama dan membicarakan impian-impian kami di masa depan. Anak-anak juga mengutarakan harapan mereka tentang karir dan kehidupan pribadinya, termasuk Nanda dan Nindy yang sebentar lagi akan menyandang gelar sarjana kedokteran.Kami juga membicarakan strategi bisnis dan bagaimana Mas Rusdi bertahan dengan kencangnya krisis dan persaingan antar perusahaan. Seperti biasa suamiku selalu memberikan arahan dan contoh-contoh kebijakan kepada kelima anak kami agar mereka punya bekal di masa depan dan belajar dari pengalaman itu.Tring....Saat kami asik sarapan, tiba-tiba ponselku berdering dari atas
Ya, waktu bergulir digantikan dengan hari dan musim-musim yang baik. Hubunganku dengan orang-orang sekitar juga jadi lebih baik, pun hubunganku dengan keluarga suamiku, serta dengan keluarga ayahnya anak anak. Mantan mertua yang dulu pernah sangat membela rima dan menyudutkanku, kini berbalik arah menjadi seperti semula baik dan penuh perhatian.Di akhir pekan kami sudah canangkan untuk berkumpul dengan keluarga sebagai bentuk quality time kami. Kadang pergi ke keluarganya Mas Rusdi kadang juga pergi ke keluargaku atau mungkin kami semua akan pergi piknik ke suatu tempat. Senang rasanya mengumpulkan kerabat dan keluarga besar di satu tempat lalu kami makan nasi liwet atau menikmati Barbeque sambil bercanda tawa dan melepas kerinduan.Tidak ada lagi permusuhan dan pertengkaran, terlebih sekarang anak-anak mendewasa dan mulai sibuk dengan kegiatannya menghasilkan uang, Rina juga semakin giat bekerja karena dia yang paling punya rencana untuk segera menikah.*Suatu hari aku dan Mas
Tidak lama kemudian setelah aku mengatakan itu mas Faisal keluar dari ruang sidang dengan didorong oleh Reno. Polisi memberi kesempatan kepada Rima untuk berpamitan kepada suami dan anaknya. Saat baru saja selesai berdebat denganku wanita itu kemudian beralih kepada suaminya sambil memicingkan mata dengan kesal."Hah, suamiku ...." Wanita itu tertawa sih ini sambil memandang Mas Faisal sementara suaminya menjadi heran dengan tingkah istrinya."Rima, maaf karena tidak ada yang bisa kulakukan untuk mendukungmu.""Tentu aja tidak," ucap wanita itu sambil bertepuk tangan ke wajah suaminya. "Kau sedang berada di kubu mutiara, suami dan anakku sudah berpaling dariku dan lebih memilih mantan istrinya. Aku bisa apa?!" Ucapnya Sambil tertawa dan memukul dadanya sendiri. Reno merasa tidak enak pada kami segera mendekat dan mencoba merangkul ibunya."Mama, tenangkanlah diri mama, kami akan cari pengacara agar mama bisa mendapatkan sedikit keringanan hukuman dan tetaplah bersikap baik selama be
Aku masih terdiam memikirkan percakapan kami beberapa saat yang lalu di rumah Mas Faisal. Sementara suamiku di sisiku mengemudi dengan tenang sambil mengikuti beberapa senandung lagu yang diputar di radio."Aku minta maaf ya Mas, aku sempat berpikiran negatif tentang dirimu._"Suamiku hanya menarik nafasnya lalu tersenyum dan menggeleng pelan,"Siapapun bisa berprasangka jika tidak diberi keterangan dengan lengkap. Kalau hanya mendengar berita sepotong-sepotong saja kadang seseorang akan menjadi salah paham. Karena aku menyadarinya, maka aku meluruskannya.""Kenapa kau tidak merasa tersinggung sama sekali atau kecewa padaku yang sudah berprasangka?""Kenapa aku harus bersikap sensitif kepada istriku? Wanita adalah tulang rusuk, kalau dia dipaksa lurus, atau dengan kata lain dia dipaksa untuk selalu pengertian dan memahamiku, maka itu adalah keputusan yang salah.""Aku terkejut karena kau sangat pengertian Mas.""Aku selalu pengertian dari dulu," jawabnya sambil membelokkan kemudi mob
"Agak lama rupanya kalian membuat kopi ya," ucap Mas Rusdi sambil menatap diriku dan Reno yang canggung karena dicurigai olehnya."Kami berbincang sebentar, berbasa-basi sambil saling menanyakan kabar karena aku dan reno sudah sama tidak saling menyapa secara pribadi."Lelaki yang telah menjadi suamiku selama 2 tahun lebih itu menatap aku dan mantan suamiku secara bergantian lalu anak tiriku."Aku menangkap kecurigaanmu terhadapku dan aku tahu pasti Reno sudah memberitahu semuanya," ujar Mas Rusdi."Aku tidak mengerti apa yang kau katakan Mas, ayo minum kopinya," ucapku sambil meletakkan cangkir kopi di depannya."Melalui kesempatan ini aku ingin bicara dari hati ke hati dengan kalian, terutama dengan Faisal.""Ada apa?" tanya Mas Faisal dengan wajah sedikit kaget dan bingung."Aku minta maaf karena apa yang kulakukan sudah sejauh ini cukup menyakiti perasaanmu tapi aku tidak punya pilihan lain untuk mengungkapkan kebenaran sehingga aku harus membawa istrimu ke rumahku. Percayalah,
Melihat sikap suamiku yang seolah berbeda dari kenyataannya, Aku jadi penasaran sudah sejauh apa yang dia lakukan untuk melindungi kami. Aku memang mencintainya dan percaya padanya aku yakin atas semua keputusan dan tindakannya tapi aku tidak ingin dia terlalu berlebihan dan sampai berlumuran dosa.Dosa kemarin saja belum dicuci dan ditebus apalagi sekarang ditambahkan dengan dosa-dosa yang baru. Sungguh aku tak sanggup. Kini kami menyambangi Mas Faisal yang terlihat terbaring di sebuah kasur yang sudah disediakan di ruang tv. Dari dulu kebiasaannya Ia memang suka berada di ruang tengah kalau sedang sakit, agar dia bisa melihat aktivitas anggota keluarga dan tetap bersama dengan orang orang yang dia cintai sepanjang waktu. Tapi itu dulu, saat bersamaku. Kami basa basi sejenak, hingga akhirnya Mas Faisal meminta Reno untuk membuatkan minuman ke dapur."Reno, minta asisten untuk membuatkan kita minuman.""Si mbak lagi libur Pa, aku aja yang buatkan," jawabnya."Biar umi bantu," ujar
Minggu-minggu ini aku dan keluargaku sangat sibuk, setelah berkutat dengan kasus tentang Rima, anak-anakku disibukkan dengan bergantian menjenguk dan menjaga ayah mereka. Seminggu aku tidak keluar rumah karena sibuk mengurusi suami dan anak-anakku. Aku juga melakukan healing dengan membereskan perabotan dan menata koleksi piring keramik yang kusukai. Juga aku juga pergi menghabiskan waktu dengan mas Rusdi untuk menenangkan pikiranku dari beberapa konflik yang terjadi di minggu-minggu kemarin.Banyak hal yang sudah kami bicarakan, terkait rencana di masa depan, bagaimana kelancaran usaha serta pendidikan anak-anak. Aku dan suamiku berkomitmen untuk tetap bekerja keras demi keluarga kami. Meski suamiku sudah dibilang pensiun dengan semua usaha dan kekayaannya serta sudah punya banyak investasi tapi tidak menjadikan hal itu sebagai alasan untuk berleha-leha saja. Kami berkomitmen untuk tetap giat sambil menghabiskan masa-masa bersama dengan bahagia.Kami juga menyempatkan waktu untuk
Hatiku memanas mendengar ungkapan dan kejujurannya, ternyata selama ini dia dan Mas Faisal mempermainkan perasaan dan akalku. Mereka memanfaatkan ketulusan hatiku untuk bersenang-senang dan menertawai kepolosanku yang selalu percaya pada suami, aku seperti mainan yang ditonton dari jauh dan ditertawakan. Aku seperti lelucon yang layak dijadikan komedi dan seperti hiburan gratis bagi mereka berdua. Miris dan menyakitkan sekali. Wanita itu masih tertawa di hadapanku sementara aku tetap tenang memperhatikan ia berbahagia dengan semua ilusi di dalam hatinya, kubiarkan ia mengenang masa lalu karena mungkin dengan begitu ia bisa meredakan penderitaan di hatinya atas kenyataan yang ada. Sekalipun dia bahagia telah menipuku tapi kenyataan yang ada di depan matanya tidak bisa dihindarkan, penjara dan hukuman sudah menunggu, tidak ada yang bisa menyelamatkan dia karena bukti sudah kuat dan saksi juga telah memberikan keterangannya.Dia masih tergelak, tergelak, menertawai kebodohanku yang sela
Banyak yang terjadi setelah aku pulang dari rumah sakit, aku dan ketiga putra putriku sempat duduk di ruang keluarga untuk membahas masalah ayah mereka yang sakit, dan tentang apa yang akan terjadi di masa depan, antara mereka, Reno dan ayah mereka."Kami tidak masalah memperbaiki hubungan dan menerima mereka baik baik, tapi kalau si Reno banyak tingkah tentu saja aku tidak akan tahan," ujar Rena."Dengan apa yang terjadi kurasa anak itu sudah banyak belajar Kak," ujar Felicia sambil menatap kedua kakaknya."Aku harap begitu, dalam konflik yang terjadi di keluarga kita ini ... tidak ada seorangpun yang menang, ibaratnya, menang jadi arang dan kalah jadi abu.""Hmm, benar, tapi Umi tidak pernah merasa berkompetisi dengan tante Rima. Tante rimalah yang menganggap Umi sebagai saingan dan selalu berusaha mengalahkannya, ujungnya dia pusing sendiri lalu putus asa dan mengambil jalan pintas yang tidak ia pikirkan konsekuensinya. Sekarang, setelah semuanya hancur barulah timbul penyesalan d